Oleh Putu Setia
Cicak muncul sebagai lagu anak-anak. Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, hup, lalu ditangkapnya… Dalam menangkap mangsanya, cicak lebih kalem. Bahasa manusianya, tidak emosional.
Lain dengan buaya, baik buaya sungai, apalagi buaya darat. Ia menangkap mangsanya dengan kejam, tak mengenal prikebinatangan. Yang menyanyikan buaya darat pun orang dewasa sambil menghujat, misalnya, Duo Ratu: Buaya darat, bussyet…
Di internet, kini lagu tentang cicak disandingkan dengan buaya: Cicak-cicak di dinding, diam-diam menyadap, datang seekor buaya, hup, cicak ditangkapnya
Kenapa cicak mau ditangkap? Dalam keyakinan Hindu, cicak binatang yang dimuliakan. Sabtu kemarin, umat Hindu merayakan Dewi Ilmu Pengetahuan (Saraswati), salah satu ornamen dalam sesaji ada kue berwujud cicak. Kalau umat Hindu bersembahyang, lalu terdengar suara cicak, konon pertanda doa sampai di “atas”. Kata “atas” saya apit tanda petik, bisa berarti banyak, atau memang cicak ada di atas dinding. Saya belum mendengar apakah buaya pernah dikaitkan dengan ritual Hindu.
Rupanya binatang banyak dipuja, betapa pun seringnya manusia menyebut dirinya lebih mulia dari binatang. Binatang sering dihina (nafsu binatang, misalnya), tapi dijadikan lambang mempersatukan sekelompok manusia. Ada banyak partai yang memakai lambang banteng: banteng di lingkaran, banteng segi tiga, banteng segi empat. Dan lebih dari satu partai yang memakai lambang burung garuda.
Belum ada partai berlambang cicak – entah nanti, karena nafsu membuat partai tak pernah surut. Tiba-tiba, kini muncul CICAK (sering ditulis dalam huruf capital), akronim dari “Cinta Indonesia, Cintai KPK”. Baju kaos pun beredar dengan teks: “saya cicak, berani melawan buaya”. Kalau cicak dimaksudkan sebagai simbol mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi, lalu buaya itu simbol siapa? Kenapa harus dilawan? Kenapa pula buaya mau menangkap cicak? Meski saya tak paham duduk soalnya, saya ikut mendukung CICAK, saya suka negeri ini tanpa koruptor.
Komisi Pemberantasan Korupsi memang tugasnya menangkap koruptor, seperti cicak menangkap nyamuk. Untuk mencegah seseorang menjadi “nyamuk koruptor”, itu tugas instansi atau profesi lain. Misalnya, guru yang mengajarkan anak didiknya berperilaku baik, ulama yang mengajarkan umatnya untuk tidak serakah, dan banyak lagi. Termasuk buaya, eh, polisi, yang mengajak masyarakat untuk tak melanggar aturan hukum. Ibaratnya, seseorang yang ingin menyeberang sungai untuk menjarah uang di tepian sana, ada buaya yang mencegah hingga orang itu tak menyeberang. Uang pun selamat karena nyamuk yang menggerogoti uang itu sudah ditangkapi oleh cicak. Jadi, cicak dan buaya tak harus bermusuhan, habitatnya saja sudah beda.
Jadi buaya diperlukan, cicak juga dibutuhkan. Tak sepatutnya buaya ingin menangkap cicak. Tak sepatutnya pula instansi seperti KPK terus dimandulkan atau ditebarkan rumor yang membuat anggota KPK gerah. Apalagi menangkap anggota Komisi dengan kesalahan yang dicari-cari: “kalau terbukti tak salah, kan pengadilan membebaskan.” Ya, betul, tapi selama tuduhan itu diproses bagaimana Komisi menangkapi para koruptor?
Mari kita biarkan cicak tetap sehat untuk menangkap nyamuk yang bisa menyebabkan malaria dan demam berdarah. Lewat Dewi Saraswati kita memuliakan cicak merayap di dinding dengan suara yang memberi sinyal tentang kedamaian. Lewat CICAK kita memberi semangat anggota Komisi untuk terus menangkapi koruptor demi kesejahtraan. Mari kita dukung CICAK.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar