Kamis, 27 Agustus 2009

Dua Dunia Putu Setia

Oleh Toriq Hadad

MUMPUNG ada peristiwa istimewa, perkenankan saya menulis tentang Putu Setia, pencipta dan penulis rubrik Cari Angin ini. Ya, peristiwa itu luar biasa untuk wartawan senior Tempo yang kini 58 tahun itu serta Ni Made Sukarnithi, istrinya, tentu juga untuk umat Hindu di Bali.

Jumat dinihari lalu, di Pasraman Dharmasastra Manikgeni di Banjar Taman Sari, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, setelah menjalani prosesi Rsi Yadnya Mediksa atau wisuda pandita, lengkaplah pasangan itu menjadi brahmana sejati. Mereka menjalani dwi jati atau upacara kelahiran kedua. Ia mencapai tahap bhiksuka, di mana orang melepas segala hal duniawiah.

Maka, Putu Setia praktis ”dimatikan”, menjelma menjadi Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Konon kata ”Prema” – yang berarti kasih sayang – datang langsung dari Tuhan lepas tengah malam itu. Sementara lima kata yang lain sudah menjadi standar resmi pendeta Bali. ”Bisa saja yang datang dari Tuhan nanti kata Tempo,” ujar Putu Setia sambil bercanda melalui telepon, beberapa jam sebelum wisuda.

Ia -- yang pada tahun 1978 sudah menjadi kepala biro Tempo untuk Yogya dan Jawa Tengah -- memang menyebut Tempo sebagai salah satu gurunya. Ketika guru nabe-nya menjelaskan bahwa ia harus memilih orang dan bukan organisasi, ia memilih salah satu nama, tapi tetap mencantumkan Tempo sebagai guru baginya.

Saya -- yang berbilang tahun tinggal satu kompleks dengannya di Pamulang Permai -- gembira untuk pencapaian besarnya ini. Saya tahu ia berjuang untuk umatnya, misalnya dalam hal kasta. Semua orang konon lahir sebagai sudra. ”Di Bali tak ada kasta, yang ada warna, ajaran Hindu yang memberi kesempatan setiap orang menjadi apa saja. Kalau mau jadi brahmana, belajarlah ritual agama. Kalau mau jadi Wesya, belajarlah menjadi pedagang,” katanya suatu kali. Dan ia memutuskan tak menjadi petani (sudra) tapi menjadi brahmana dengan belajar ritual agama, selepas pensiun sebagai karyawan tiga tahun lalu. Ia memprakarsai penerbitan buku ”Kasta: Kesalahpahaman Berabad-Abad”. Ia ikut mendirikan Forum Cendekiawan Hindu Indonesia.

Maka, bila berkunjung ke Bali, saya tak bisa lagi seenaknya memanggil dia Mas, Pak, atau Bos seperti biasa. Saya akan panggil dia Pandita – atau Pak Pandita, kalau boleh. Saya harus mulai menahan diri tidak tertawa geli melihat kerucut (kuncir bundar) rambut di bagian atas kepalanya. Saya mesti mulai terbiasa dengan busana wiku putih-kuning yang dikenakannya ke mana saja. Saya tahu sekarang ia mesti sering melayani umat dan sembahyang dengan membunyikan bajra (genta kecil), merapal bacaan seloka dari Catur Weda, sembari jari tangannya memperagakan mudra.

Saya tadinya merasa kehilangan Putu Setia. Kehilangan sahabat dengan rasa humor yang ”gila-gilaan”. Ketika Tempo berkantor di Kuningan, dan bertetangga dengan kedutaan Australia -- di mana kami bisa menyaksikan para bule berenang di kolam renang -- Putu mengaku sudah lama membangun kolam renang di rumahnya. Untuk itu rumahnya dijaga khusus oleh seorang satpam. Begitu meyakinkan ia bercerita, sampai suatu kali direktur keuangan sengaja datang ke rumahnya. Tentu saja yang ada hanyalah kolam ikan kecil di rumah 200 meter persegi itu. Satpam memang kebetulan lewat, tapi itu satpam RT yang menjaga seratus rumah yang lain.

Humor itu selalu mewarnai tulisan-tulisannya. Bagi kami di Tempo, hanya dia yang bisa menulis dengan jenaka. Dia juga penulis yang sangat produktif. Tiga seri ”Menggugat Bali” merupakan sebagian dari banyak karyanya. Maka, dalam tugas pelayanan rohani nanti, semogalah dia diijinkan berdakwah lewat tulisan. Saya tahu menulis adalah hidupnya. Dan tulisannya lebih menggugah ketimbang bila ia diminta berpidato – bicaranya terlalu cepat atau pasti cenderung mengajak bergurau.

Rasa kehilangan saya terobati. Sebuah pesan pendeknya mampir di hand-phone saya: nama Putu Setia tetap dipatenkan di dunia kewartawanan. Alhamdulillah. Kelebihannya dalam menyampaikan ”dakwah” melalui tulisan rupanya diakui para guru spiritualnya. Artinya pekan depan ia sudah mulai menulis Cari Angin lagi – semoga tetap dengan ”kenakalan” seorang Putu Setia.***

(Cari Angin Koran Tempo, 23 Agustus 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar