Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Hari ini umat Hindu, khususnya di Bali, merayakan Hari Raya Galungan. Kapan istilah Galungan muncul, kapan perayaan Galungan dimulai, dan leluhur kita yang mana memperkenalkan rangkaian perayaan Galungan, tetap jadi misteri sampai sekarang. Tak ada bahan otentik yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dalam hal ini.
Dalam pustaka-pustaka kita hanya tahu kalau di abad ke 11 hari raya Galungan sudah dirayakan di zaman Kerajaan Jenggala. Ini dimuat dalam Kidung Panji Amalat Rasmi. Begitu pula kalau kita menyimak Pararaton, disebutkan pada akhir Kerajaan Majapahit, Galungan sudah dirayakan dengan besar-besaran. Apakah perayaan itu sama dengan di Bali tak ada bahan pembanding, karena di Bali sendiri perayaan Galungan pernah ada dan tiada.
Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan di Bali pada tahun 804 Saka, persis saat itu adalah Purnama Kapat. Tapi perayaan ini berhenti pada tahun 1103 Saka. Tidak diketahui kenapa setelah tiga abad Galungan dirayakan tiba-tiba berhenti begitu saja. Baru di tahun 1126 Saka perayaan Galungan diadakan kembali, yakni pada pemerintahan Raja Sri Jaya Kesunu. Untung absennya tidak begitu lama. Tapi, apa yang terjadi selama 23 tahun Galungan tidak dirayakan? Apakah ada perubahan tafsir dalam menentukan perayaan kemenangan dharma itu atau hanya masalah “politik kerajaan” terkait dengan perselihan di antara raja-raja? Tak ada yang bisa menjawabnya.
Yang bisa diperkirakan adalah perayaan Galungan mengalami perubahan yang disesuaikan dengan zaman dan situasi sosial masyarakat. Kearifan lokal leluhur orang Bali dikenal sangat tinggi dan adaptasi agama dengan budaya demikian kentalnya. Perayaan Galungan sebagai wujud dari perayaan kemenangan dharma melawan adharma, inti awalnya adalah “pembersihan diri” dan “menegakkan kembali jati diri”. Ini disimbolkan dengan datangnya Sang Kala (Bhuta) Tiga yang terdiri Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat.
Tiga bhuta ini adalah simbol-simbol kejahatan. Bhuta Galungan muncul pada Minggu (Redite) Wuku Dungulan, Bhuta Dungulan pada Senin (Soma) esok harinya, sedangkan Bhuta Amangkurat muncul pada Selasa Wuku Dungulan, esok harinya lagi, sehari sebelum Galungan. Jadi ketiga bhuta (simbol kejahatan) ini datang tiga hari berturut-turut menjelang Galungan dan itu yang harus kita kalahkan sehingga pada Rabu Wuku Dungulan kita merayakan kemenangan. Pada hari Rabu itu jasmani kita sudah bersih oleh nafsu-nafsu jahat dan menemukan kembali jati diri kita sebagai manusia yang suci.
Pada perkembangan kemudian dengan diserapnya budaya lokal, Galungan menjadi “otonan gumi” dan di situlah berbagai sesajen diperkenalkan termasuk pemujaan kepada leluhur. Galungan sebagai kemenangan dharma mendapat tambahan sebagai hari raya untuk berterimakasih dan bersyukur (angayubagia) kepada Hyang Widhi atas terwujudnya bumi yang makmur subur (gemah ripah loh jinawi). Kita bisa lihat saat ini berbagai ornamen sesajen memunculkan lambang kemakmuran, seperti penjor yang dihiasi hasil alam dari padi, jagung, kelapa, buah-buahan dan berbagai jajan. Begitu pula persembahyangan ke pura.
Kemungkinan dari sini leluhur kita menciptakan rentetan perayaan Galungan begitu panjang, dimulai dari Tumpek Pengarah, 25 hari sebelum Galungan. Nama Tumpek (Sabtu Kliwon) ini beragam, ada yang menyebutnya Tumpek Bubuh dan juga Tumpek Wariga, sesuai nama wukunya. Di sini umat memuja Sang Hyang Sangkara, dewa tumbuh-tumbuhan. Orang datang ke kebun memberi sesajen kepada segala pohon yang berbuah, dari pisang, kelapa, pepaya, durian, nangka, jambu, dan sebagainya. Inilah bentuk adaptasi ajaran agama dan budaya Bali yang dipengaruhi oleh budaya agraris. Umat datang dengan doa-doa yang intinya, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah: “Hai pohon-pohon, berbuahlah segera, 25 hari lagi Galungan, kami mempersembahkan semua hasil alam untuk kesejahtraan bumi”.
Pertanyaan besar sekarang, ketika masyarakat Bali mulai berpaling dari budaya agraris ke budaya industri, sejauh mana Galungan dimaknai? Apakah tetap terjebak dengan ritual yang sudah diwariskan leluhur kita, tetapi dilakukan dengan segenap kepalsuan? Lihatlah kenyataan saat ini. Orang Bali pada Tumpek Pengarah masih membawa sesajen ke kebun, semua pohon buah diberi sesajen. Tetapi ketika Galungan tiba, mana ada buah Bali yang dijadikan sesajen? Mana ada buah pepaya, nangka, durian, jambu, nanas dan sebagainya untuk sesajen? Orang Bali sudah membeli apel, peer, jeruk yang datang dari luar negeri di pasar swalayan. Di pedesaan hanya pisang yang masih diambil dari kebun, sementara diperkotaan orang mendapatkan pisang dari luar Bali. Kalau begitu, untuk apa pada Tumpek Pengarah membawa sesajen ke kebun, toh buahnya dianggap kalah gengsi dengan buah impor?
Penjor orang Bali saat ini, isinya memang masih hasil bumi. Tapi, itu bukan hasil bumi dari lingkungan terdekat, bahkan bukan dari tanah Bali. Lihatlah di sepanjang jalan di Desa Kapal, seluruh ornamen penjor sudah dijajakan, termasuk padi. Di tanah Bali sudah ditanam padi yang langsung jadi gabah di sawah, mana mungkin untuk digantung di penjor. Hiasan penjor lainnya, busung dari Sulawesi, kelapa dan telornya dari Banyuwangi. Jajan orang Bali juga mulai berubah. Kaliadrem, gipang, apem, dan sebagainya berubah menjadi roti, dunkin, kue bulu yang dibeli di pasar swalayan yang sudah bertebaran di pedesaan Bali dalam bentuk “mini market”. Konsep merayakan Galungan versi ini saja sudah salah kaprah sekarang.
Kemudian, jika Galungan dirayakan dalam konsep awal-awalnya, “berperang” melawan Sang Kala (Bhuta) Tiga, apa yang terlihat? Simbolisasinya sudah meleset. Memerangi nafsu jahat disimbolkan dengan menyembelih babi, bukan “menyembelih nafsu hewani” dengan melakukan pengendalian diri atau meditasi, misalnya. Yang terjadi pesta pora dengan makanan berlimpah dan bau arak, justru ini adalah “sahabatnya” para bhuta.
Jadi, Galungan hanya soal rutinitas, hampir tak memberi pengaruh apa-apa untuk kemuliaan orang Bali masa kini, yang berada di persimpangan jalan. Kasus adat tetap merebak, judi mulai mengganas, kriminalitas meningkat, orang mabuk bertambah apalagi pemerintah mengijinkan pabrik miras. Ironis, sementara itu Galungan semakin meriah secara phisik.
Saatnya orang Bali harus introspeksi diri, bagaimana mengembalikan esensi perayaan Galungan sesuai konsep para leluhur. Sekarang, orang yang betul-betul memaknai Galungan dengan perang melawan adharma hanya sebagian kecil. Dan orang yang mempersembahkan hasil bumi di kebunnya sendiri pada Galungan – betapa pun kalah mewah dibanding buah impor – pun sedikit jumlahnya. Tetapi merekalah Sang Pemenang yang sejati dan kepada merekalah sesungguhnya Selamat Hari Raya Galungan layak disampaikan.***
(Dimuat Harian Radar Bali 14 Oktober 2009 menyambut Hari Raya Galungan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar