Oleh Putu Setia
(Catatan: Ini adalah tulisan awal untuk Cari Angin Koran Tempo yang dimuat Minggu 22 November 2009, sebelum diedit untuk disesuaikan dengan panjang kolom.)
Sembilan dari sepuluh orang yang saya wawancarai mengatakan bahwa kiamat itu pasti terjadi. Ini masalah keyakinan. Seorang tak mau menjawab dan menuduh saya mengalihkan perhatian dari isu Bibit dan Chandra, yang kini memasuki masa paling sulit bagi Presiden Yudhoyono.
Sembilan dari sepuluh orang itu pula yang menyebutkan, kiamat menjadi rahasia Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu kapan terjadinya. “Bagaimana kalau terjadinya besok?” Tanya saya. Hampir serempak mereka menjawab: “Jangan, Senin besok, kita ingin lihat keputusan apa yang diambil Presiden pada kasus Bibit dan Candra.” Bagaimana kalau 2011? Seseorang menjawab: “Jangan, tahun depan saya ikut Pilkada, kalau saya jadi Bupati kan cuma setahun menjabat, tak balik modal kampanye saya.” Bagaimana kalau kiamat itu terjadi 21 Desember 2012? “Ah, itu takhyul,” kata mereka serempak. “Itu kan versi film yang sudah tak dipercayai oleh para ulama kita.”
Katanya yakin kiamat pasti datang. Katanya rahasia Tuhan yang bisa terjadi kapan saja. Tapi kok mau mengatur sendiri, kapan kiamat itu tidak boleh?
Saya tanya lagi: “Apa yang Anda lakukan seandainya kiamat itu sudah dekat?” Pertanyaan ini tentu konyol, itu berarti saya pun terjebak pada “ramalan”, padahal kan rahasia Tuhan. Tetapi, karena mereka mau menjawab, ya, kita dengarkan saja.
“Saya mau terbang ke berbagai tempat, ganti pesawat setiap turun di bandara, siapa tahu pas di atas awan kiamat datang, kan saya bisa lihat dari atas,” kata seseorang. “Saya mau beli hape yang bisa untuk facebook sebanyak-banyaknya, saya kasih teman-teman saya, agar ia segera membalas status saya kalau kiamat datang,” kata yang lain. Yang satu lagi, lelaki bertato, menjawab agak lama: “Rasanya ingin memperkosa penyanyi dangdut, kan tak masuk penjara, wong kiamat…”
“Stop,” teriak saya. Meski pun ini bukan mewakili 200 juta penduduk negeri, saya semakin yakin bangsa ini sudah tak lagi religius, tapi konsumtif. Para pemuka agama acapkali berseru, “Hai umat manusia, berbuatlah saleh dan kebajikan, seolah-olah esok adalah hari akhir, hari kiamat”. Kematian itu, kata pemuka agama, harus kita persiapkan. Matilah di jalan Tuhan, matilah pada saat kita sudah melaksanakan segala amal saleh dan melaksanakan semua perintah-Nya.
Dongeng tentang kiamat – termasuk film – semestinya menjadi cambuk buat kita agar berlaku saleh dan beramal baik. Imajinasi tentang “hari akhir” berkembang sesuai tingkat pengetahuan. Masyarakat pedesaan di masa lalu, melukiskan datangnya kiamat dengan pertunjukan seni yang memukau, misalnya, adegan gunung meletus, laharnya melanda umat manusia. Orang-orang saleh disambar bidadari diterbangkan ke atas sehingga tak merasakan pedihnya lahar panas seperti yang dialami orang-orang durjana. Mereka tak melahirkan imajinasi tentang meteor, karena tak pernah baca kisah itu.
Kini, di zaman modern, kiamat divisualkan dengan benturan berbagai benda planet yang menimbulkan gempa, tsunami, puting beliung dan sejenisnya. Bumi porak poranda, tak ada bidadari karena orang modern tak kenal Ken Subadra, Ken Sulasih dan bidadari lainnya.
Di masa lalu, ketika tempat ibadah sedikit tetapi umat religius, setiap orang seperti diajak berlomba dalam kebajikan begitu usai menonton “drama” tentang kiamat. Orang berseru; “Ya Tuhan, ampuni hamba, jauhkan hamba dari dosa sebelum hari itu tiba.” Kini, ketika rekaan datangnya kiamat difilmkan, orang berlomba bilang: jangan percaya. Tapi, filmnya laris dan yang menonton pun tetap mengunyah pop corn. Kiamat cuma jadi hiburan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar