Kamis, 21 Oktober 2010

Bencana

Putu Setia (Mpu Jaya Prema Ananda)

Belum sempurna pantat ini menyentuh kursi, Romo Imam sudah mengajukan pertanyaan: “Bagaimana bunyi sila pertama Panca Sila yang menjadi dasar negara?”

Saya tercengang. Jawaban itu tentu saja mudah. Yang sulit adalah mencari tahu ada apa di balik pertanyaan itu. “Kenapa Romo menanyakan hal itu?” saya balik bertanya.


“Pertanyaan ini jauh lebih bermutu dari tes calon pegawai negeri Kementerian Perdagangan. Apa kaitannya pegawai yang ngurusi harga bawang merah ini dengan lagu ciptaan Presiden SBY? Kenapa tidak sekalian ditanyakan, apa parfum yang biasa dipakai Ibu Ani Yudhoyono. Pertanyaan konyol. Tapi pertanyaan saya serius, jawab.”

Sorot mata Romo membuat saya kecut dan akhirnya saya menjawab: “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Romo tertawa senang, lalu berdiri: “Benar, dan bukan Keuangan Yang Maha Kuasa. Sekarang yang berkuasa itu uang, kalau punya uang berbuat apa saja bisa. Ketuhanan Yang Masa Esa, bukan Keuangan Yang Maha Kuasa. Tapi, kenapa jarang sekali ini dijadikan ‘dasar’, padahal ini sila pertama?”

Saya tak paham, untung Romo melanjutkan: “Kalau benar orang Indonesia menjadikan Ketuhanan Yang Masa Esa sebagai dasar falsafah hidup yang pertama, kenapa setiap ada masalah tak pernah merujuk pada kekuasaan Tuhan? Jika ada masalah yang menimbulkan korban, maka alam dijadikan kambing hitam, istilahnya pun disebut bencana alam. Padahal alam yang diciptakan Tuhan tak mungkin memberI bencana, alam diciptakan untuk dinikmati sepenuhnya oleh isi alam.”

Saya masih tak paham dan membiarkan Romo bicara terus. “Alam itu diciptakan dalam konsep keseimbangan. Begitu keseimbangan dirusak, alam mencari keseimbangan baru. Kalau hutan dibabat, tanah yang tak dilindungi pohon itu akan mencari keseimbangan baru untuk menguatkan posisinya. Hutan yang rusak juga membuat air tanah di sana “tak nyaman”, lalu air di tanah itu mencari keseimbangan baru. Dalam proses pencarian itu, terjadi tanah longsor dan banjir bandang. Kenapa itu disebut bencana oleh manusia?”

Wah, saya tak mudah mencerna filsafat alam seperti ini. Saya masih diam. “Saya memuji orang Bali yang selalu menjaga keseimbangan alam dengan ritual yang memuja alam. Misalnya, pohon diberi sesajen, danau diberi sesajen dan sebagainya,” kata Romo.

Yang ini saya paham, makanya saya nimbrung: “Romo benar, orang Bali menjaga alam dengan banyak ritual. Pohon diberi sesajen, sesungguhnya agar pohon itu tak mudah ditebang orang yang haus kayu. Tapi, orang Bali menjadi sibuk menjelaskan konsep keseimbangan alam ini, karena belum apa-apa sudah dituduh klenik, mistik, memuja berhala. Padahal yang dipuja adalah Tuhan dengan ciptaan-Nya.”

Romo menyela: “Inti yang mau saya katakan adalah mari sesekali kita menoleh kepada kekuasaan Tuhan, karena bukankah ini sila pertama dasar negara kita? Siapa tahu kita banyak berbuat salah. Kita membabat hutan, banjir datang. Kita menguras air tanah, ambles datang. Jika kita menyadari ada yang salah, mari kita bertobat. Kita lakukan ruwatan nasional.”

Saya memotong: “Betul Romo, kita lakukan intropeksi mengacu kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kereta api tabrakan terus, jangan-jangan pejabat yang mengurusi perhubungan moralnya cela di mata Tuhan. Bus wakil rakyat tabrakan, jangan-jangan para wakil rakyat banyak yang berdusta. “

Romo terpingkal-pingkal. “Kalau itu diperpanjang, jadi banyak. Bisa tak nyambung, bisa pula nyambung. Tapi ada baiknya kita sesekali berpikir: apa perlu melakukan pertobatan nasional dan minta ampun pada Tuhan, sembari memperbaiki moral kita bersama-sama?”

(Koran Tempo 17 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar