Negeri ini sudah tak aman. Rusuh di mana-mana. Rusuh antaretnis, rusuh antarpreman, rusuh antarkelompok, rusuh antarmahasiswa, rusuh antarpelajar. Polisi tak berkutik karena mereka rusuh dengan para pengunjuk-rasa. Apa yang salah?
Itulah ocehan istri saya yang sudah saya sunting supaya tidak terlalu vulgar. Maklum, ia belakangan ini lebih sering menonton berita dibandingkan sinetron.
Saya tak berminat meladeni. Indonesia luas, rusuh di sana, asal tidak di sini, biarkan saja. Itu sudah menjadi pendapat yang menggejala belakangan ini, rasa memiliki bangsa sudah luntur. Tapi, kalau saya tak mau meladeni ocehan istri saya, itu soal lain.
“Apakah kerusuhan ini buah dari demokrasi yang membaik, yang dipuji-puji Obama? Setiap saat ada unjuk rasa, setiap unjuk rasa ada kerusuhan. Polisi takut tegas karena bisa melanggar hak asasi manusia. Nah, makan itu demokrasi,” oceh istri saya lagi.
Saya tetap tak ingin meladeni.
“Teroris juga makin berani. Merampok, menyerang pos polisi, bahkan muncul teroris kelas sepeda ontel. Orang di pusat berteriak agar teroris dijadikan musuh bersama, tak cuma musuh polisi. Tapi di daerah, jenasah yang disebut teroris itu disambut spanduk bertuliskan pahlawan agama. Ada wakil rakyat yang menyalahkan kerja polisi yang menembak mati teroris. Semuanya berjalan seiring, di satu pihak teroris dijadikan musuh besar, di satu pihak teroris mendapat simpati. Sesungguhnya, bangsa ini tega nggak berperang dengan teroris?” lagi-lagi istri saya ngoceh.
Saya hampir tergerak meladeni, tapi saya urungkan. Saya memaklumi istri saya lagi terprovokasi pengamat di televisi. Maklumlah, kebijaksanaan redaksi media masa saat ini adalah bagaimana mencetak oplag besar, bagaimana menaikkan ratting tinggi, meski harus mengabaikan apakah berita dan siaran itu bermanfaat untuk bangsa atau tidak. Ini juga buah demokrasi, pers yang bebas.
“Rampok bersenjata, waduh, ini mengerikan, ibu takut pak…” tiba-tiba ia memeluk saya. Terpaksa saya meladeni, kalau tidak tentu saya dianggap suami tak normal. “Tenang Bu, perampok yang ganas di Sumatra dan di Jawa. Kalau pun ada di Bali, ya, hanya di kota,” kata saya.
“La, tadi malam di kampung kita, tiga perampok bertopeng menyekap petani kopi dengan senjata, semua uang dan perhiasan ludes dirampok. Polisi tak bisa berkutik,” ujar istri saya.
Saya baru sadar kejadian semalam, memang sadistis. Padahal ini di kampung yang jauhnya 60 kilometer dari Denpasar, kampung yang damai, di mana orang biasa menaruh sepeda motor di depan rumah tanpa dikunci semalaman. Rumah-rumah yang tanpa pagar. “Ya, negeri ini sudah tak aman, sangat memprihatinkan,” komentar saya. Istri saya menimpali: “Nah, akhirnya bereaksi juga setelah merasakan langsung akibatnya.”
Saya membenarkan kata-katanya. Orang baru peduli ketika sebuah kasus menimpa dirinya atau dekat dengan dirinya. Orang bisa tak berbelas kasih kepada teroris jika tahu betapa teroris menghancurkan kehidupan sekian ribu orang bertahun-tahun – contohnya seperti dampak bom Bali. Orang baru mengecam kerusuhan ketika keluarganya terkena bencana salah sasaran itu. Kerusuhan di Sampit dan kini di Tarakan, hanya dianggap berita biasa di daerah lain, padahal benih-benih kerusuhan itu – kesenjangan antara pendatang dan penduduk asli – muncul di mana-mana. Ledakan hanya menunggu waktu, dan Indonesia berantakan jika kebersamaan sudah mulai luntur dan rasa memiliki bangsa ini mulai surut. Apalagi para elite bangsa pada tak akur dan pemerintah sangat lemah -- seperti sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar