Jumat, 11 Maret 2011

Menyoroti Perda RTRW Bali tentang Kawasan Suci

Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Perda RTRW Bali 2009 memiliki 19 bab serta 153 pasal. Perda ini mengatur banyak hal, dari hal-hal yang berada di bawah tanah (sumber mata air dan tambang, misalnya) sampai di atas tanah bahkan di awang-awang (soal tower dan penerbangan pesawat). Namanya saja mengatur soal ruang, tak ada ruang yang tak diatur sampai alam bawah tanah yang sejatinya tak ada ruangnya juga diatur.
Begitu luas cakupan perda ini, dari hutan lindung sampai terminal bus, dari laut sampai gunung, begitu rinci, termasuk mengatur masalah kendaraan bermotor dalam kaitan dengan kepadatan lalu lintas.

Tapi, yang jadi polemik hanyalah sebagian kecil saja, yaitu menyangkut kawasan suci pura. Dengan energi yang demikian besar memperbincangkan hal ini, seolah-olah isi perda hanya mengatur masalah kawasan suci pura. Apalagi Bhisama PHDI Pusat dijadikan landasan.

Kenapa ini jadi polemik? Karena kita terjebak pada kata-kata suci. Mendengar kata suci kita seperti emosional, karena kata itu begitu bertuah dan harus kita bela mati-matian. Siapa yang mempermasalahkan kata suci ini seolah-olah menjadi tidak suci. Dan lawan suci adalah kotor.

Apa sebenarnya kesucian itu? Kalau dalam ajaran Hindu semua alam ciptaan Tuhan ini adalah suci. Dari laut sampai ke puncak gunung suci. Tanah sebagai ibu pertiwi adalah suci. Bahkan dalam perda pun sudah dijelaskan secara gamblang mengenai kesucian itu. Dari laut, pantai, campuhan, danau, mata air, gunung semuanya suci

Dalam Perda, kesucian dipilah-pilah menurut tempat dan fungsinya. Ada kawasan suci di gunung (pasal 44 ayat 2 huruf.a.), mencakup kawasan dengan kemiringan sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) derajat dari lereng kaki gunung menuju ke puncak gunung. Kawasan suci danau (pasal 44.2 b), Batur, Beratan, Buyan, Tamblingan. Kawasan suci campuhan, di mana ada campuhan diseluruh Bali. (ps 44.c). Kawasan suci pantai (ps 44.2 d). Kawasan suci laut (ps 44. 2 e). Kawasan suci mata air (ps 44.2 f)

Selain kawasan suci ada lagi kawasan tempat suci, dan ini mengacu ke Bhisama PHDI Pusat. Ini dituangkan dalam Pasal 50 (2) yang melengkapi pasal 44.1 b sebelumnya. Rinciannya, kawasan tempat suci di sekitar Pura Sad Kahyangan dengan radius sekurang kurangnya apeneleng agung setara 5.000 (lima ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura. Kawasan tempat suci di sekitar Pura Dang Kahyangan dengan radius sekurangkurangnya apeneleng alit setara dengan 2.000 (dua ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura. Kawasan tempat suci di sekitar Pura Kahyangan Tiga dan pura lainnya, dengan radius sekurang-kurangnya Apenimpug atau Apenyengker.

Penetapan status Pura-pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan dilakukan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari PHDI Bali dan MUDP. Pura Sad Kahyangan ada 10 buah, Pura Dang Kahyangan 252 buah dan ribuan pura Tri Kahyangan. Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura Sad Kahyangan didasarkan pada konsepsi Rwa Bhineda, Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, mencakup:
1. Pura Lempuyang Luhur (Puncak Gunung Lempuyang di Kabupaten Karangasem).
2. Pura Andakasa (Puncak Gunung Andakasa di Kabupaten Karangasem).
3. Pura Batukaru (lereng gunung Batukaru di Kabupaten Tabanan).
4. Pura Batur (tepi kawah Gunung Batur di Kabupaten Bangli).
5. Pura Goa Lawah (di Kabupaten Klungkung).
6. Pura Luhur Uluwatu (Bukit Pecatu di Kabupaten Badung).
7. Pura Pucak Mangu (di Kabupaten Badung).
8. Pura Agung Besakih (lereng Gunung Agung di Kabupaten Karangasem).
9. Pura Pusering Jagat (Pejeng di Kabupaten Gianyar).
10. Pura Kentel Gumi (di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung).

Dalam penjelasan Perda ini, yang dimaksud kawasan tempat suci adalah kawasan di sekitar tempat suci/bangunan suci yang ada di Bali yang disebut Pura atau Kahyangan yang berwujud bangunan yang disakralkan sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, terdiri dari Kahyangan Tiga, Dhang Kahyangan, Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan pura lainnya.

Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia mengenai Kesucian Pura Nomor 11/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994, menyatakan bahwa tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah Kekeran, dengan ukuran Apeneleng, Apenimpug, dan Apenyengker.

Bhisama ini mengatur pemanfaatan ruang di sekitar pura yang berbunyi sebagai berikut. Di daerah radius kesucian pura (daerah Kekeran) hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan keagamaan Hindu, misalnya didirikan Darmasala, Pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan (misalnya Tirtayatra, Dharmawacana, Dharmagitha, Dharmasadana dan lain-lain). Artinya, dalam radius kesucian pura hanya diperbolehkan untuk: pembangunan fasilitas keagamaan, dan ruang terbuka yang dapat berupa ruang terbuka hijau maupun budidaya pertanian.

Kalau mengacu kepada ketentuan ini, dari kawasan tempat suci yang bernama Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan, tercatat 35 % dari luas Pulau Bali yang hanya 563.666 Ha. Ditambah lagi Tri Kahyangan, prosentase itu akan bertambah besar. Nah, bagaimana kalau kemudian dihitung kawasan suci gunung, danau, campuhan, mata air dan sebagainya. Maka, seluruh tanah Bali ini tak ada tersisa, dan semuanya suci. Ini sebenarnya pas betul dengan konsep ajaran Hindu bahwa semua tanah itu (ibu pertiwi) adalah suci.

Muncul pertanyaan, apakah kesucian itu berkaitan dengan suci dalam pengertian ritual keagamaan? Suci yang menjadi lawan dari kotor, dan kotor dalam pengertian yang lebih khusus lagi: leteh, cuntaka, dan seterusnya. Yang kemudian kekotoran ini harus dibuatkan pembersihan. Tidak ada kaitannya sama sekali. Karena pura itu sendiri sudah punya aturan, yang mana suci, yang mana setengah suci, yang mana kotor.

Pura punya mandala, ada utama mandala atau disebut jeroan, ada madya mandala, ada nistha mandala. Itu kalau pura dalam bentuk Trimandala, kalau Dwi Mandala hanya ada Utama Mandala dan Nistha Mandala. Kesucian yang tertinggi itu ada di Utama Mandala, di Madya Mandala vibrasi kesuciannya sudah memudar. Itu sebabnya kalau ada piodalan, umumnya orang mebhakti dan nunas tirtha di Utama Mandala. Kalau tirtha sampai dibawa ke madya Mandala karena melewati kori (apakah itu kori agung atau kori gelung) vibrasinya sudah memudar. Kalau terpaksa, pemangku yang membawa pura itu harus mngucapkan mantram pengurip tirtha lagi. Namun umumnya, tirtha tak sampai di bawa ke madya mandala. Kita bisa saksikan di pura seperti Uluwatu, Sakenan, Gelgel, dan banyak lagi, pemedek yang mebhakti dan nunas wasuh pada Ida Bethara semuanya di jeroan. Jika saja vibrasi kesucian itu sama antara utama mandala dan madya mandala, apalagi sama dengan nista mandala, untuk apa orang berdesak-desakan dan ngantre sampai pingsan mebhakti di Sakenan atau Gelgel. Atau di Uluwatu sampai diberlakukan sistem karcis. Kan tinggal membawa saja tirtha itu ke luar jeroan.

Inilah kesucian dalam hubungan ritual. Adapun kawasan tempat suci yang dimaksudkan bhisama yang diadopsi oleh Perda ini, menurut saya, adalah wilayah kekeran pura yang ideal. Apa itu kekeran pura? Kekeran, keker, itu artinya kita sudah bisa melihat pura itu dari tempat kita berada. Seorang pemedek yang datang ke sebuah pura, diharapkan sudah membawa pikiran yang suci ketika sudah melihat wujud phisik pura itu. Dengan pikiran yang sudah distel ke arah kesucian maka sampai di pura apalagi di jeroan tinggal menyempurnakan kesucian itu. Inilah konsep leluhur kita di masa lalu dalam memilih lokasi pura yang diperuntukan umat secara umum (Kahyangan Jagat), sengaja diadakan area kekeran dan luasnya menyesuaikan dengan pura itu sendiri.
Tidak bisa hal ini diseragamkan. Adapun pura Tri Kahyangan karena letaknya di dalam pemukiman desa (Tri Kahyangan adalah syarat dari pembentukan desa adat, jadi memang di pemukiman atau diwilayah desa adat itu sendiri) tidak diperlukan wilayah kekeran. Cukup apenyengker (batas tembok pura).

Oleh pengempon pura atau penduduk terdekat di tempat pura itu, kekeran bisa diwujudkan dengan menanam pepohonan, jika wilayah kekeran itu sangat luas. Maka muncul kemudian istilah alas kekeran. Di banyak tempat wilayah kekeran ini dimasukkan dalam awig-awig untuk dijaga kelestariannya. Saya memakai kata lestari dan bukan suci, karena memang dalam konsep mebhakti ke pura, ini belum tempat suci. Bagaimana disebut suci, nistha mandala pura saja belum ada, masih jauh kesucian itu.

Kejanggalan Bhisama PHDI

Saya mau cerita latar belakang bhisama ini, sepanjang yang saya ikuti. Mahasabha PHDI VI yang diadakan di TMII Jakarta diwarnai oleh kasus yang mencuat di Bali akibat akan dibangunnya Bali Nirwana Resort di kawasan Tanah Lot. Penentangan proyek itu terjadi di Bali. Lalu dalam Mahasabha ini keluar Keputusan Maha Sabha PHDI No. I/TAP/M. SABHA/1991 Tentang Tata Keagamaan.

Bagian II ketetapan ini bertajuk Tempat Suci Ibadah. Dalam huruf 2.a berbunyi: PHDI Pusat hendaknya mengeluarkan peraturan atau ketentuan tentang Tata Keagamaan terutama mengenai sila sesana atau aturan-aturan di dalam menjaga kesucian tempat sembahyang.

Huruf 2.b berbunyi: Asta Kosala, Asta Kosali, Asta Dewa, Asta Gumi serta ketentuan yang ada pada satu daerah dijadikan dasar untuk membuat bangunan tempat pemujaan dengan segala perlengkapannya.

Keputusan inilah, antara lain, mendasari dirancangnya Bhisama Kesucian Pura. Sejak itu lalu diadakan diskusi-diskusi. Pura harus dibuat kawasan suci yang mengacu kepada Asta Kosala Kosali, Asta Dewa dan Aasta Gumi seperti huruf 2.b di atas.

Ide bhisama itu pun mengacu kepala wilayah kekeran. Bagaimana mengukur wilayah kekeran itu? Dalam diskusi awal yang diadakan para Sulinggih yang tergabung dalam Paruman Sulinggih (kini nama itu sudah menjadi Sabha Pandita), ditemukan 3 istilah, yakni: apeneleng, apenimpug dan apenyengker.

Apeneleng adalah wilayah yang bisa diteleng (dilihat) dari pura, artinya dalam batas mana kita bisa memandang dari pura sehingga yang dipandang bisa kita ketahui wujudnya. Ini untuk pura Kahyangan Jagat (kelompok ini dibagi dua: Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan). Apenimpug adalah wilayah yang bisa diukur sejauh seseorang bisa melemparkan sesuatu dari pura. Ini agak sulit batasannya, karena tergantung sesuatu itu dan siapa yang melempar. Tapi umumnya tak jauh amat, karena sesuatu itu dipastikan alat-alat upacara. Ini untuk pura yang umumnya ada di lereng gunung, yang tak ada penyengkernya. Umumnya pura berbentuk bebaturan, di lereng Gunung Batukaru banyak ada; Pura Turus Gunung, Pura Gunung Tengah, Pura Geria, Pura Kamoksan, dllnya. Terakhir: apenyengker, ini paling jelas ukurannya karena sudah dinyatakan dengan membangun tembok pura. Pura Tri Kahyangan semuanya ber-penyengker.

Pada saat bhisama digodok saya mengikuti selintas dalam status saya sebagai wartawan dan orang yang peduli sama perkembangan Hindu. Tapi menjelang bhisama lahir di UNHI (Januari 1994), saya kembali lagi ke Jakarta karena disibukkan sebagai Ketua Forum Cendekiawan Hindu Indonesia yang akan mengadakan proyek besar kerja sama dengan ICMI, PIKI, KCBI dan ISKI. Apalagi kemudian ada musibah, dibredelnya Majalah Tempo tempat saya bekerja, saya harus menyelamatkan banyak teman-teman karyawan. Jadi perhatian saya lepas sama sekali dari kelahiran bhisama itu.

Setelah beberapa tahun kemudian baru saya sadar, kenapa bhisama yang kemudian disebut Bhisama Kesucian Pura (bukan bhisama wilayah kekeran – salah satu ide sebelumnya) istilah apeneleng, apenimpug dan apenyengker itu diberi penjelasan dalam kurung dengan ukuran eksakta. Bahkan apeneleng dibagi dua: apeneleng agung dan apeneleng alit. Apa yang membedakan kedua jenis apeneleng itu, apakah apeneleng agung memakai keker (teropong) dan sebagainya. Kita tahu dalam bhisama apeneleng agung diberi dalam kurung 5 km untuk jarak Sad Kahyangan, apeneleng alit jarak 2 km untuk Dhang Kahyangan, apenimpug jarak 25 meter.

Ini agak janggal, karena itu perlu dipertanyakan agar umat paham dan jelas. Keputusan PHDI sebelumnya jelas menyebutkan dasar kesucian itu didasarkan pada Asta Kosala Kosali, Asa Gumi dan sebagainya. Asta Kosala Kosali tak mengenal ukuran eksak, centimeter, meter, kilometer. Atapak tangan ngandang, atapak pada…. Ajari, alangkat, asiku, adepa, dan seterusnya. Ini untuk membuat bangunan dan pemelahan bangunan. Untuk kawasan memakai Asta Gumi, pun dalam Asta Bumi tak ada ukuran kilometer dan sebagainya. Untuk ukuran kawasan ada apeneleng. Ini warisan leluhur kita yang patut dilestarikan karena memiliki konsep, setiap apapun yang dibangun haruslah menyesuaikan dengan siapa yang akan menggunakan bangunan itu.

Lalu dari mana datangnya apeneleng itu menjadi 5 km? Apeneleng disamakan dengan jarak tertentu, menurut saya salah besar. Dari arti kata saja sudah tak tepat.
Apeneleng itu artinya batas jarak pandang kita pada suatu obyek dari pura. Kalau kita sudah dibatasi oleh pandangan dan sesuatu itu sudah di luar batas pandang (tak bisa diteleng), maka itu sudah di luar apeneleng. Contoh yang pernah saya dapatkan; Pura Pulaki, dibangun di pilah-pilah tebing. Jika kita berada di pura, batas pandang kita dibatasi oleh tebing sekelilingnya. Wilayah di balik tebing itu, tak bisa diteleng. Jadi, Dodik Gerokgak yang jaraknya kurang dari 200 meter dari Pura Pulaki di luar kawasan kekeran atau dalam istilah bhisama di luar wilayah apeneleng. Kalau sekarang menurut bhisama, Dodik itu harus “ditertibkan” karena Pulaki termasuk Dang Kahyangan yang wilayah kesuciannya harus 2 km.

Contoh lain, Pura Goa Gajah. Dari komplek pura, kita tak bisa meneleng tempat parkir di atas dengan segala kesibukannya. Jadi tak ada pengaruhnya, kecuali masalah keamanan/ketahanan pura, tempat parkir dipindah menjauh. Tapi tidak sejauh 2 km. Nah, ini kan sudah beda sekali antara apeneleng tanpa unsur jarak dan apeneleng memakai unsur jarak.

Konsep menambah aturan jarak untuk apaneleng ini patut dipertanyakan kepada para penyusun bhisama. Mumpung ada Pansus RTRW, supaya ada tugasnya, cobalah ini ditanya. Mungkin benar aturan jarak itu sudah dengan pertimbangan matang, sudah berdasar sastra, sudah didiskusikan panjang lebar, tapi apa dasarnya, jelaskan dengan tuntas. Yang saya khawatirkan, tapi saya tak boleh menuduh, jarak 5 km dan 2 km ini ditambahkan belakangan di luar Paruman Sulinggih, apalagi bhisama itu ditandatangi oleh Pengurus PHDI Pusat, bukan oleh Paruman Sulinggih.

Ini mungkin terjadi –sekali lagi mungkin, tapi belum tentu, karena itu perlu diselidiki—karena PHDI saat itu masih didominasi oleh para walaka. Paruman Sulinggih bisa disetir oleh pengurus harian, meskipun pengurus hariannya dipimpin oleh pandita. AD-ART PHDI yang berlaku saat itu, Pasal 12 menyebutkan: Paruman Sulinggih diangkat oleh pengurus pusat dan pasal 15 menyebutkan: Hasil musyawarah Pesamuan Sulinggih disampaikan kepada Pengurus Pusat untuk selanjutnya diumumkan dalam bentuk keputusan Parisada Pusat. Jumlah Paruman Sulinggih hanya 11 orang.

Karena itu bhisama yang digodok Pesamuan Sulinggih harus disampaikan ke pengurus pusat dan kita lihat Bhisama Kesucian Pura ini bukan bhisama Pesamuan Sulinggih tetapi Bhisama PHDI Pusat. Yang menandatangani Ketua Umum dan Sekjen yang walaka. Apakah dalam perjalanan bhisama ini dari sulinggih ke pengurus pusat ada koreksi dan penambahan jarak 5 km danb 2 km itu, saya tak tahu, tapi bisa kita lacak.
Pada Mahasabha PHDI setelah itu, yakni 1996 yang diadakan di Solo, ketika itu saya sudah jadi peserta aktif, struktur PHDI mengalami perubahan sedikit. Mulai diperkenalkan Sabha Pandita pengganti Paruman Sulinggih dan Sabha Pandita berjumlah 33 orang dipilih dan diangkat oleh Mahasabha. Jadi kedudukannya tinggi sekali, tapi selama kepengurusan ini – yang memang ada masalah saat pembentukannya – tak ada melahirkan bhisama.

Sampailah pada Mahasabha PHDI 2001 di Hotel Radisson Bali yang dikenal dengan reformasi PHDI. Di sana dikukuhkan bahwa organ tertinggi di PHDI itu adalah Sabha Pandita yang dipimpin oleh Dharma Adyaksa. Pengurus PHDI hanya mengurusi masalah administrasi. Kepengurusan ini paling banyak menghasilkan bhisama. Pada tahun 2002 di Pesamuan Agung Mataram lahir bhisama dana punia, bhisama catur warna dan bhisama sadhaka. Pada 2005 lahir bhisama soal pediksan. Semua bhisama itu ditandatangani Dharma Adhyaksa dan wakilnya, karena memang sejak awal digodok Sabha Pandita. Sabha Walaka hanya memberikan masukan.

Mahasabha PHDI 2006 di Jakarta tak ada perubahan. Kepengurusan ini akan segera berakhir tahun ini dan Mahasabha 2011 akan digelar lagi di Bali.

Nah, Bhisama Kesucian Pura tahun 1994 itu tentu terbuka kemungkinan (meskipun ini baru dugaan yang harus ditelusuri), hasil Pesamuhan Sulinggih mendapat koreksi atau apalah namanya oleh Pengurus Harian.

Kalau misalnya Pansus RTRW menemukan kejanggalan dalam bhisama kesucian pura, seperti yang saya rasakan, ini kesempatan berharga untuk dibawa ke Mahasabha PHDI di Bali, beberapa bulan lagi.

Kejanggalan Perda terkait Bhisama
Sekarang saya cerita kejanggalan Perda RTRW ini terkait bhisama kesucian pura yang dijadikan acuan. Terutama dalam menentukan apa itu Sad Kahyangan.
Pasal 50 ayat 3 berbunyi: Penetapan status Pura-pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan dilakukan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari PHDI Bali dan MUDP.

Pasal 83
(1) Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan sosial budaya Bali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf c, mencakup:
a. kawasan radius kesucian Pura Sad Kahyangan berdasarkan konsepsi Rwa Bhineda, Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, mencakup: Pura Lempuyang Luhur (Puncak Gunung Lempuyang di Kabupaten Karangasem), Pura Andakasa (Puncak Gunung Andakasa di Kabupaten Karangasem), Pura Batukaru (lereng gunung Batukaru di Kabupaten Tabanan), Pura Batur (tepi kawah Gunung Batur di Kabupaten Bangli), Pura Goa Lawah (di Kabupaten Klungkung), Pura Luhur Uluwatu (Bukit Pecatu di Kabupaten Badung), Pura Pucak Mangu (di Kabupaten Badung), Pura Agung Besakih (lereng Gunung Agung di Kabupaten Karangasem), Pura Pusering Jagat (Pejeng di Kabupaten Gianyar), Pura Kentel Gumi (di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung); dan

b. kawasan warisan budaya, terdiri dari: kawasan Warisan Budaya Jatiluwih, Kawasan Warisan Budaya Taman Ayun, dan Kawasan DAS Tukad Pekerisan.

Kejanggalannya:
Bhisama PHDI Pusat 1994 itu tak ada mengatur Sad Kahyangan berdasarkan konsep Rwa Bhineda, Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, Dari mana Perda ini dapat masukan konsep itu? Kalau melihat pasal 50 ayat 3 di atas, logikanya masukan konsep itu dari PHDI Bali dan MUDP. Pertanyaannya, kapan rekomendasi itu diberikan dan apa dasar rekomendasi PHDI Bali dan/atau keputusan MUDP Bali? Ini perlu dijelaskan agar masyarakat terang benderang.

Padahal penggolongan Sad Kahyangan sudah ditetapkan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek2 Agama Hindu. Seminar ini dihadiri para sulinggih dan pemuka agama Hindu, saya siang malam meliputnya sebagai wartawan. Dalam keputusan seminar ini jelas disebutkan landasan dasar Kahyangan Jagat yang digolongkan Sad Kahyangan adalah:
1. Landasan filosofis: Konsep Sad Winayaka menurut lontar Dewa Purana Bangsul.
2. Landasan Historis: sudah ada sebelum kedatangan Gajah Mada ke Bali tahun 1343 Masehi.

Berdasarkan landasan ini Sad Kahyangan itu adalah Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, Pura Pusering Jagat. Betul-betul enam, tak ada Sad berarti sepuluh.

Jadi, Pura Andakasa, Pura Puncak Mangu, Pura Batur, dan Pura Kentel Gumi, tidak tergolong Sad Kahyangan menurut hasil Seminar Kesatuan Tafir itu. Kalau mengikuti konsep Padma Bhuwana maupun Catur Lokapala (tapi ini bukan keputusan seminar) barulah Andakasa dan Puncak Mangu masuk. Sedangkan Pura Batur masuk dalam konsep Rwa Bhineda sebagai Pradhana dari Besakih yang berstatus Purusha.

Karena Perda ini produk hukum, jangan rancu antara Kahyangan Jagat dengan Sad Kahyangan seperti masyarakat umumnya. Kahyangan Jagat menganut konsep Rwa Bhineda, Catur Lokapala dan Sad Winayaka, sedang Sad Kahyangan hanya memakai konsep Sad Winayaka ditambah landasan historis tadi.

Ini biar jelas, karena masyarakat kian kritis, nanti anak-anak bertanya: lo katanya sad itu artinya enam, dalam perda ini kok sad kahyangan menjadi sepuluh kahyangan, kenapa tak disebut Dasa Kahyangan. Lagi pula kita menghormati Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir. Kecuali memang diubah oleh keputusan lembaga yang sama kuatnya.

***
Akhirnya, sekarang kita berasumsi bahwa jarak-jarak itu sudah benar dan Sad Kahyangan itu pun benar ada 10 kahyangan, lalu bhisama harus ditegakkan. Menurut saya kita pun tak perlu ribut, demo sana demo sini, kita perlu duduk bersama antara yang pro dan kontra Perda ini.

Pasal penutup Perda ini (Pasal 153) berbunyi; Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Kemudian pada akhir Perda tercantum: Diundangkan di Denpasar pada tanggal 28 Desember 2009. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI BALI, I NYOMAN YASA.

Kalau pasal ini kita pakai, maka persoalan sebenarnya tak begitu ruwet. Pelabuhan Padangbai tak harus dipindahkan, Penelokan tak harus digusur, warga di Pejeng dan Banjarangkan tak harus resah. Saya tak tahu bagaimana dengan Pecatu, berapa banyak bangunan yang didirikan setelah tahun 2009 itu.

Namun, Perda ini juga menyimpan pasal yang sedikit bertentangan, yakni pada BAB XVIII. KETENTUAN PERALIHAN Pasal 150. Isinya:
(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus segera disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2) Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan rencana tata ruang dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin diberikan penggantian yang layak.

Kalau pasal 150 (1) ini yang diikuti, ada kata “harus” di sana, maka semua bangunan (pemanfaatan ruang) yang tak sesuai Perda harus disesuaikan. Kata “harus” menegaskan bahwa ada penataan, sementara kata “penyesuaian” masih bisa dirembugkan. Kalau di wilayah kesucian pura itu berdiri hotel, villa atau penginapan, kan pemiliknya tinggal menyesuaikan dengan memberi pengumuman; “Para tamu dilarang melakukan perbuatan yang menodai ajaran agama Hindu seperti : ini…ini…ini.” Kalau kita sering melancong ke daerah lain, banyak hotel yang mencantumkan peringatan ini. Tak perlu rebut-ribut buang energi, apalagi mempermasalahnya nama hotel, villa, darmasala dan sebagainya. Tak semua hotel dipakai untuk mesum, dan tak semua rumah-rumah penduduk di sekitar pura bebas dari perselingkuhan.

Atau kalau bangunan itu tak bisa “disesuaikan”, ya, serahkan ke pemerintah dan minta ganti rugi yang layak, sebagai mana diatur padal 150 (2). Bahkan sebelumnya di BAB XII HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT pada Pasal 138 c. disebutkan, masyarakat berhak memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;

Catat itu, pergantian yang layak. Rakyat jangan dikorbankan, kalau pemerintah tak punya uang ganti rugi yang layak, ya sudahlah, Perda tak bisa dijalankan. Penataan Candi Borobudur-Parmbanan bisa dijadikan teladan di sini.

Jadi, kenapa kita ribut-ribut membuang energi? Bagi saya, yang diributkan saat ini persoalan yang kecil jika kita melihat cakupan Perda yang begitu luas. Saya terbatas menyoroti dari sosial budaya – sesuai permintaan panitia. Dasar pembuatan Perda ini sudah menyebutkan begini:

Dalam konteks nasional, Bali merupakan sebuah pulau kecil yang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun memiliki keunggulan komparatif dari segi keunikan budaya dan keindahan alam, yang merupakan modal dasar bagi Bali dalam menyelenggarakan pembangunan wilayahnya. Keunikan budaya dan alam tersebut telah menempatkan Bali sebagai salah satu destinasi wisata terkemuka di Indonesia dan Dunia dan dinyatakan sebagai pulau terindah di dunia.

Menjaga keindahan Bali ini tak harus mengobok-obok bangunan wisata, bahkan bangunan wisata itu kalau ditata dengan baik, memperkuat keindahan. Tapi bagaimana dengan keunikan? Kenapa ini tidak menjadi prioritas dan malah terkesan dinomor sekiankan. Banyaknya pendatang ke Bali menimbulkan masalah dalam keunikan, rumah-rumah bedeng bertebaran, budaya yang tak dikenal dalam keunikan Bali mulai datang. Pengemis di jalanan, pengamen dan pedagang acung di perempatan jalan, itu keunikan Jakarta yang tak cocok dengan keunikan Bali. Cobalah iseng lihat tulisan di warung pinggir jalan, ada ratusan warung yang sudah bertuliskan Warung Muslim. Di daerah lain dari Sabang sampai Merauke tak ada warung berlabel agama. Hanya di Bali ada Warung Muslim, sementara orang tahu, keunikan Bali adalah kuatnya agama Hindu dan simbul-simbul Hindu.

Saya pernah berdiskusi soal ini dengan tokoh Muslim, mereka pun risih, karena warung saja harus mencantumkan label agama. Harusnya cukup dengan tulisan “halal” atau kalau mau lebih jelas “tidak menjual makanan dari unsur babi”. Di Jakarta, pernah ada restoran bernama Bar Buddha, protes marak dan bar itu ditutup. Tapi di Bali, keunikan Bali digerogoti, dan orang Bali pada diam.

Pedagang kaki lima di Bali sudah memenuhi banyak tempat dan merusak keunikan Bali. Kenapa tak mencontoh Solo, ada penertiban sehingga keunikan Solo tetap bertahan.

Sepeda motor di Bali lebih banyak dari sepeda motor di Jawa Tengah yang terdiri dari 35 kabupaten. Keunikan dokar Bali sudah tergusur, padahal di Yogya sendiri keunikan andong itu dilestarikan. Perda ini mengatur soal lalu lintas, dari urusan terminal, transportasi antar kota dan sebagainya. Kenapa ini belum dilaksanakan dan tak ada yang mempermasalahkan. Jika transportasi umum diabaikan – dan itu pemerintah melanggar Perda – Bali suatu saat akan macet total oleh sepeda motor. Lihat saja tiap hari, ribuan sepeda motor masuk Bali. Tapi jangan salahkan penduduk. Kalau tak punya sepeda motor, mau pakai apa.

Banyak sekali yang semestinya sudah dikerjakan untuk memberlakukan Perda ini, kenapa urusan tanah rakyat di Pecatu yang selalu diobok-obok terus, seolah-olah pengempon pura Uluwatu sudah mulai mengotori kahyangannya sendiri, sementara kita yang mungkin setahun sekali ke sana teriak-teriak menyebut tak suci.

Mari kita berkepala dingin dan merajegkan Bali dengan tidak saling congkrah. Perda ini sudah sangat ideal, bahkan terlalu ideal sampai-sampai ada yang sangat mustahil untuk dilaksanakan, bukan hanya menyangkut kesucian pura versi bhisama, tetapi juga soal sosial budaya, soal lingkungan dan soal manusia Bali secara luas.

Sebagai penutup, ada baiknya kita statusquo sesaat, sambil memberi kesempatan Pansus bekerja siapa tahu ada yang memang diperbaiki, dan juga menunggu Mahasabha PHDI dalam beberapa bulan ini, siapa tahu masalah bhisama ini bisa dibahas lagi.

Sekian dan terimakasih.

Saran-saran
1. Beri kesempatan Pansus RTRW Bali bekerja dan beri tugas untuk menanyakan ke PHDI Pusat kenapa ada ukuran eksak di dalam bhisama, apa dasar hukumnya. Apakah ukuran itu sama untuk semua pura sejenis, tidakkah ada pertimbangan tentang pelemahan pura.
2. Ditanyakan pula, sebenarnya Sad Kahyangan itu enam pura sesuai Hasil Keputusan Seminar Tafsir atau 10 pura seperti dalam Perda. Kalau 10 pura, apa dasar hukumnya.
3. Pertanyaan 1 dan 2, bisa pula dibawa ke Mahasabha PHDI P yang akan digelar tahun ini di Bali, supaya dibahas oleh Sabha Pandita, mengingat bhisama tahun 1994 ini ditandatangani pengurus Parisada.
4. Jangan terburu-buru merevisi Perda, mengingat cakupannya begitu luas, lebih baik yang bermasalah seperti soal kawasan suci ini di-statusquo dulu, sampai ada kejelasan soal 1 dan 2. Selain itu, kalau kita taat hukum, revisi perda baru dibenarkan setelah 5 tahun berjalan. Tunggu saja saat itu.
5. Laksanakan Perda untuk hal-hal lainnya yang tidak bermasalah. Ide kawasan suci dalam Perda tentu sangat baik untuk Bali ke depan, cuma yang perlu dipertanyakan apakah jaraknya itu sudah patut dan seragam untuk semua pura, karena menyimpang dari konsep wilayah kekeran.

Biodata Penulis:
Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, nama walaka Putu Setia
1974-1978 Wartawan Bali Post, lebih banyak urusan agama dan kebudayaan.
1978-2006 Wartawan Tempo, pernah di Yogya dan lama di Jakarta
2006 pensiun dan persiapan mediksa pulang ke Bali, Diksa Dwijati 29 Agustus 2009

1991-1996 Ketua Umum Forum Cendekiawan Hindu Indonesia
2001-2003 Ketua Badan Penyiaran Hindu PHDI Pusat
2003-2007 Sabha Walaka PHDI Pusat, terakhir menjabat Wakil Ketua Sabha Walaka.
2009 Mengundurkan diri dari Sabha Walaka di Pesamuan Agung PHDI Denpasar karena sudah berstatus pandita.

Penulis buku trilogi soal budaya dan adat Bali: Menggugat Bali, Mendebat Bali, dan Bali yang Meradang. Menulis beberapa buku agama Hindu, selain buku sosial politik dan jurnalistik.


2 komentar:

  1. Pertama-tama saya sampaikan selamat kepada Pak wartawan ...ehh Pandita Mpu atas telah dicapainya posisi Brahmana yg merupakan etape terakhir dalam rally kehidupan di dunia ini. Umat tentu merasa bersyukur memiliki tambahan pemimpin keagamaan yg sangat komplit-komprehensif dalam era globalisasi ini. Umat kini memiliki Mpu yg banyak membaca (banyak buku), banyak menulis, banyak melihat (tentu=banyak mendengar), banyak dialog dan last but not least mempraktekkan teknologi informasi mutakhir,shg dgn dmk pasti lebih mampu bersiar/ berkomunikasi dg banyak umat, bahkan umat di luar Hindu. Ini saya kira merupakan persyaratan sukses dan kelebihan tersendiri bagi pemimpin umat(loka pala sraya). Seperti halnya Bapak Pandita Bhagawan Dwija (Singaraja) dgn website Stiti Dharma, saya bangga dan memberi apresiasi tinggi atas niat, ikhtiar yg sudah dilakukan oleh beliau-beliau ini, shg generasi muda Hindu bisa belajar ttg agamanya dgn mudah. Bravo Hindu! Om shanti, shanti, shanti Om. Drs.Winten Peradika,Ak, MM Jakarta

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bapak Pujangga tidak sepantasnya ada berkata "Pertama-tama saya sampaikan selamat kepada Pak wartawan ...ehh Pandita Mpu",,,hal ini menampakan bahwa bapak tidak mempunyai kerendahan hati,,saat ini status beliau sudah lebih tinggi dari bapak,terima kasih sy sampaikan.

      Hapus