Senin, 23 Mei 2011

Semut

Putu Setia

(Tulisan ini dimuat Koran Tempo Minggu 15 Mei 2011, ditampilkan di sini untuk selingan saja)

Sebagai pemerhati semut, saya kagum dengan fotografer Robertus Agung Sudiatmoko yang bisa memotret semut yang tengah menari dengan satu kaki. Bahkan dalam serial foto semutnya yang dilansir Daily Mail, Robertus juga mengabadikan seekor semut yang berdiri di atas bebatuan tengah menyilangkan tangannya seperti berdoa. Robertus mengaku suka hewan kecil itu, alasannya semut sangat mandiri dan dalam bekerja sama semuanya bekerja.
Saya setuju. Saya sering memakai semut untuk memberi contoh bagaimana seharusnya manusia bekerja sama. Begitu banyak teladan dari alam, baik benda hidup maupun mati, saya suka dengan tiga hal: persekutuan binatang buas, persatuan sapu lidi, dan paguyuban semut.

Persekutuan binatang buas, misalnya macan, dalam mencari mangsa awalnya berkelompok. Begitu ketemu mangsa, macan-macan ini bersatu membunuh korbannya. Kemudian, macan itu saling berebut mendapat jatah paling banyak. Setelah kenyang mereka pergi cerai berai, lupa pada persekutuan.

Di dunia manusia, persekutuan ini banyak dipraktekkan dalam kasus korupsi berjamaah – istilah yang tak saya suka karena mengambil idiom agama. Kasus cek pelayat yang dikaitkan dengan terpilihnya Miranda Goeltom sebagai deputi Gubernur Bank Indonesia, masuk katagori ini. “Macan-macan” itu setelah puas melahap cek, kini saling menyalahkan. Kasus Gayus Tambunan juga masuk katagori ini. Tak mungkin sebagai “macan” Gayus sendirian menggarong uang rakyat, tapi “macan” yang lain keburu hilang dalam rimba. Selain gelap, penjaga hukum dalam rimba terbiasa tebang pilih.

Kasus anyar, korupsi pembangunan wisma atlet Sea Games Palembang, juga tergolong “persekutuan macan”. Pelaku yang ramai disebut, membantah terlibat, bahkan tiba-tiba saling tak kenal. Lalu saling menuduh, yang ini merekayasa itu, yang itu merekayasa ini. Sekejam-kejam macan tak pernah memangsa anaknya, dan manusia yang baik tentu melindungi “anak buahnya”. Maka petinggi partai pun, baik Demokrat maupun Demokrasi Indonesia Perjuangan, pasti berusaha meminimalkan keterlibatan kadernya.

Mari lihat persatuan sapu lidi. Setangkai lidi mudah dipatahkan, tetapi sekumpulan lidi, sulit dipatahkan. Bersatu teguh, bercerai rapuh. Masalahnya, sebuah sapu mudah dipakai oleh siapapun yang merasa memiliki. Di jagat manusia, kita sudah biasa melihat berbagai aksi yang orangnya “itu-itu saja”. Apalagi saat kampanye Pemilu, tinggal memberi baju kaos – plus nasi bungkus dan sangu. Kini, kita mendapatkan wakil rakyat yang gemar mengejar “bungkusan” dan sangu.

Tapi, saya tak ingin memasukkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam katagori ini. Komisi ini pasti tak bisa “dipinjam” untuk menyapu bagian sana tapi tidak bagian sini. Misalnya, sapu bersih penerima cek pelayat, tapi jangan menyapu pemberinya. Sapu bersih penerima suap Wisma Atlet, tapi jangan sampai ke petingginya.

Paguyuban semut yang ideal. Selebar apapun jalannya, mereka antre, lebih mulia dari manusia di jalanan. Kalau ada sumber makanan, ia komunikasikan lewat sinyal kimiawi yang canggih, yang oleh manusia sistem ini ditiru untuk menciptakan Facebook. Ini bukan omongan saya, ini penelitian Noa Pinter-Wollman dari Stanford University. Ketangguhan semut, seperti dibuktikan Robertus dalam fotonya, dapat membawa daun berukuran lebih dari 10 kali tinggi badannya.

Cuma, semut hewan “wong cilik”, disemprot pestisida mati – akibatnya muncul wabah ulat bulu. Pelajaran dari sini, kalau pemerintah tetap tak memperhatikan rakyat kecil, jangan salahkan “ulat bulu” yang radikal itu jadi subur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar