Senin, 23 Mei 2011

Jika Griya Berbisnis Banten

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda


(Tulisan ini dimuat Majalah Hindu Raditya edisi Mei 2011)


Pertanyaan pertama yang diajukan oleh warga dadya di mana saya meminta dukungan untuk meningkatkan kesucian diri dengan menjadi Sulinggih (pendeta Hindu) adalah apa tujuan yang ingin dicapai? Jawaban saya spontan saja: ingin mengabdi pada umat dan menjadi pelayan umat, mengabdi kepada Bethara Kawitan, mengabdi dalam dunia spiritual dan tentu saja untuk penyucian diri.

Pertanyaan seperti ini ternyata terus muncul pada tahap-tahap berikutnya, ketika menentukan Guru Nabe, ketika diperiksa masalah administrasinya oleh Parisada, ketika Diksa Pariksa yang dilakukan oleh pesemetonan kawitan. Bahkan pertanyaan itu nampaknya menjadi pertanyaan wajib untuk semua orang yang ingin meningkatkan dirinya menjadi Sulinggih lewat upacara Diksa. Jawaban saya -- dan begitu pula jawaban orang lain yang pernah saya dengar -- tetap sama, meski pun dengan berbagai bunga-bunga dan kembang-kembang supaya kelihatan lebih meyakinkan dan mungkin juga lebih seram.

Tapi apakah kenyataannya semua Sulinggih melaksanakan apa yang telah dikatakan sebagai “jawaban atas pertanyaan” itu? Kenapa ada griya yang berbisnis banten, bukankah seorang pendeta tak boleh berjualan, tan wenang adol atuku? Bahkan ada griya yang sudah memposisikan diri sebagai “pabrik banten” dengan mempekerjakan tenaga-tanaga upahan (karyawan).

Fenomena ini tak bisa ditutup-tutupi karena sudah terang benderang. Bahkan beberapa griya sudah menerapkan tabel banten, Untuk upacara ini sekian juta, untuk upacara itu sekian juta. Sampai-sampai ada tabel: daksina linggih harganya sekian ribu, banten prayascita sekian ribu. Mirip super market. Kalau begitu kenapa harus menjadi Sulinggih, kenapa tidak menjadi makelar banten saja?

Di perguruan kami, sangat ketat larangan untuk menjual banten itu. Bahkan dibujuk bagaimana pun oleh umat, tetap tak bisa melayani penjualan banten. Ada cara untuk menyiasati hal itu, yakni dengan menghubungkan umat yang akan melakukan yadnya dengan tukang banten yang memang profesinya menjual banten. Umat yang beryadnya akhirnya berhubungan dengan tukang banten, dan pilihan tukang banten yang dituju diberikan alternatif, bukan cuma satu. Kalau terjadi tawar-menawar, lakukan di sana, bukan tawar-menawar di griya karena griya bukan supermarket banten. Griya adalah tempat memberikan pencerahan kepada umat, tempat bertanya dan menuntun umat dalam kegelapan di bidang agama.

Memang harus diakui, dalam era globalisasi sekarang ini ada proses tertentu yang membuat tak semua orang bisa membuat banten dan mau membuat banten sendiri untuk keperluan ritualnya. Mereka lebih praktis membeli. Tetapi mari tempatkan “sesana kewikon”, janganlah seorang wiku atau sulinggih atau pendeta yang menjual banten, nanti malah upacara yang mestinya kecil dibuat besar supaya bantennya lebih banyak laku.. Begitu seorang sulinggih menjanjikan menjual banten, maka di otaknya sudah ada pikiran tentang berapa keuntungan. Bisa jadi, ia akan berhitung melulu, berapa sekarang harga telur, berapa harga kelapa, berapa harga janur. Kalau itu yang dipikirkan, bagaimana memikirkan kesucian diri, dan kalau dirinya tidak suci bagaimana melaksanakan yadnya yang suci?

Sulinggih adalah pelayan umat. Suatu kali seseorang datang ke sulinggih, minta dibuatkan kajang (perlengkapan pitra yadnya). Ini memang harus dikerjakan sulinggih karena menyangkut kesucian, misalnya, merajah dan sebagainya. Tetapi sulinggih tak berhak menentukan berapa harga kajang itu. Terserah berapa “punia” yang diberikan umat.

Ada contoh menarik dalam hal ini. Seseorang meminta kajang ke sulinggih yang akan muput. Selesai kajang itu, umat memberi uang Rp 50 ribu. Si pemberi merasa uang itu sudah banyak. Sulinggih menerima begitu saja dengan tersenyum, karena memang tugasnya melayani umat. Padahal apa arti uang Rp 50 ribu? Bahan yang dibutuhkan delapan meter kain putih, dua spidol anti air (agar tak melobor jika kena tirtha), dan butuh sehari semalam untuk menggambar dan membuat rerajahan. Umat tak tahu kerepotan dan berapa bahan yang dihabiskan, jadi belum tentu pelit. Namun sang sulinggih tak etis menyebutkan berapa uang yang dihabiskan untuk membuat kajang. Seorang sulinggih yakin, pengorbanannya dalam melayani umat, akan dibalas berlebihan oleh Hyang Widhi, barangkali di kesempatan lain ada umat me-”resi yadnya” lebih banyak.

Suatu kali ada wartawan -- teman lama -- yang bertanya pada saya: kalau tak menjual banten, tak mengejar “proyek muput” dan hanya menunggu yang datang, dari mana memperoleh penghasilan? Jawab saya: “Saya menjadi sulinggih bukan untuk mencari penghasilan, bukan untuk memperoleh kekayaan. Kalau mau penghasilan besar dan kaya, lebih baik menjadi pedagang atau meneruskan karir wartawan dan politik. Untuk apa menjadi sulinggih kalau yang dipikirkan masih materi?” Artinya, menjadi sulinggih bukan untuk mencari pekerjaan baru, bukan untuk job.

Karena itu seorang sulinggih seharusnya punya “tabungan” untuk mengisi hari-harinya melayani umat. Tabungan tak harus materi, bisa berupa anak yang sudah punya pekerjaan mapan dan mendukung sepenuhnya griya yang diasuh sulinggih.

Ya, sulinggih adalah manusia. Seperti halnya pemimpin ada yang korupsi, tokoh agama ada yang berbuat onar, bisa jadi ada sulinggih yang masih memanfaatkan kesulinggihannya untuk menimbun materi. Tapi itu tak banyak, jauh lebih banyak sulinggih yang memegang “sesana kewikon”.

5 komentar:

  1. mantap , Ratu, cukup Kritis....moga2 banyak orang bali yang tahu tulisan ini!!!!

    BalasHapus
  2. kalau memang tidak boleh medagang banten kenapa tidak dihapuskan saja konsep banten di bali..saya rasa semua orang bali sudah mengeluh dengan keruwetannya...belum lagi biaya yg tidak sedikit..


    walaupun ada banten murah..tetapi hal itu tidak cukup jika kita tidak merubah pola pikir orang bali tentang gengsi...

    harus ada orang yg merevolusi bali...harus ada orang yg menghentikan monopoli grya terhadap weda...

    diluar itu saya salut kepada pak nanda...karena mau meninggalkan keduniawian menuju dunia spiritual ..sudah seperti kisah buda saja...

    saya sendiri keturunan pemangku puseh...tapi saya tidak tertarik untuk menjadi pemangku..karena saya tidak punya saudara..sekarang bingun entah bagaimana mengatakan kepada ortu dan masyarakat...apa mereka mau menerima alasan saya...

    ---orang asing nabung untuk melali ke bali untuk melihat budayanya, namun orang bali nabung untuk menjaga budaya tersebut yg penuh dengan ritual yg tidak murah....

    BalasHapus
  3. aduh pak tolong hapus coment saya di atas...saya lupa kalau saya memakai nama panggilan saya dirumah..

    jangan sampai ada orang yg tau saya membaca itu..waduh gawat ne...

    tolong pak nanda, nunas ampura...

    BalasHapus
  4. Loodec... jika anda merasa bahwa pendapat anda itu benar kenapa musti takut... tidak usah bersembunyi kecuali anda merasakan bahwa pendapat itu keliru... pertanggung jawabkanlah setiap perkataan yang ada keluarkan dengan ksatria...

    BalasHapus
  5. Ratu Nak Lingsir, tyang mohon ijin utk di share. suksme, MGM

    BalasHapus