Selasa, 14 Juni 2011

Pancasila

(Diambil dari Koran Tempo Minggu 29 Mei 2011, untuk direnungkan bahwa prilaku kita saat ini sungguh menyimpang dari Pancasila)

• Putu Setia

Menjelang 1 Juni, orang sibuk bicara Pancasila sebagai dasar negara. Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi menjadi tamu para petinggi negara yang membicarakan betapa pentingnya kelahiran Pancasila diperingati.

Apakah ini juga buah reformasi? Pada masa Orde Baru, Soeharto tak sudi merayakan kelahiran Pancasila karena lebih tertarik pada kesaktian Pancasila--padahal semua orang tahu tak ada yang sakti kalau tak pernah dilahirkan. Namun di era reformasi pula Pancasila mulai dilupakan, setidaknya pengamalannya luntur. Pancasila tak lagi diajarkan secara khusus, sehingga para rektor di Jawa Timur meminta agar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diajarkan kembali.

Saya setuju Pancasila diajarkan, tapi kurang sreg P4 dihidupkan, meskipun saya alumnus penataran P4 tingkat nasional angkatan ke-145. P4 penafsirannya terlalu mutlak dan kurang menghargai dialog. Tapi itu urusan Ketua MPR, Ketua DPR, presiden, dan petinggi lainnya.

Yang hendak saya katakan, pengamalan Pancasila sudah jauh merosot. Sekarang ini perikehidupan--ini bahasa penataran--menyimpang dari Pancasila, baik di tingkat elite maupun lapisan bawah. Yang banyak diamalkan justru "Pancasala". Sala, seperti halnya sila, adalah bahasa Jawa kuno yang artinya salah. "Lima kesalahan" inilah yang kini banyak diamalkan.

Apakah itu? Sala pertama: keuangan yang mahakuasa. Uanglah yang membuat orang berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Untuk menjadi bupati, gubernur, presiden, dan wakil rakyat perlu uang. Menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia saja perlu miliaran uang untuk menyogok wakil rakyat. Menurut akal sehat, tak masuk akal, bagaimana mengembalikan uang itu dengan gaji yang diperoleh? Tapi itu yang terjadi, korupsi semakin marak. Memalukan luar biasa.

Sala kedua: kemanusiaan yang batil dan biadab. Menurut kamus, batil artinya tak benar. Banyak perilaku kita yang tak benar dan kebiadaban terjadi di mana-mana. Teroris menjadi ancaman, perampok seenaknya menembak tewas polisi, rumah ibadah dirusak dengan beringas. Antara Mahfud Md. dan Muhammad Nazaruddin, siapa yang batil? Meski secara "perasaan" gampang ditebak--yang kabur biasanya tak benar--secara hukum, perdebatannya panjang. Ini skandal moral.

Sala ketiga: perseteruan Indonesia. Orang gampang berseteru. Buaya berseteru dengan cicak, es lilin berseteru dengan es kopyor. Andi Mallarangeng berseteru dengan Nazaruddin, Muchdi Pr. berseteru dengan Suryadharma Ali. Padahal semuanya satu partai dan semuanya bicara partainya solid. Memilih Ketua Umum PSSI saja ributnya setengah modar, padahal siapa pun yang terpilih tak akan membuat Indonesia juara dunia. Ini memprihatinkan.

Sala keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah keraguan dalam permusyawaratan semu. Semua langkah yang diambil berdasarkan keraguan. Menaikkan harga Premium takut, tapi tetap mengimbau pemilik mobil membeli Pertamax. Petinggi partai semua ngomong: koalisi solid, tak ada perpecahan, nyatanya itu semu. Ini memuakkan.

Sala kelima: kesenjangan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini tak perlu diulas, capek. Wakil rakyat membuat gedung mewah, anak-anak rakyat--yang jadi ketua rakyat--gedung sekolahnya roboh. Gaji wakil rakyat Rp 54 juta--di luar komisi proyek, uang reses, sangu studi banding, dan penghasilan makelar anggaran--sementara gaji guru honorer, termasuk yang mengajarkan Pancasila, Rp 200 ribu.

Pertanyaan untuk elite kita: betulkah kalian mau kembali ke dasar negara Pancasila kalau kenyataan yang kalian amalkan "Pancasala"? Beri teladan dong, jangan omong doang!

1 komentar:

  1. Om Swastiastu,

    Saya tertarik dengan jabaran dan penjelasan Sala Kelima di atas..saya baru ngeh mereka-mereka digaji diatas Rp.50 jt sebulan, menggelitik saya juga ketika dulu SBY "curhat" soal gaji..WOY..LIHAT RAKYAT JELATA GA SICH??...kalo menurut saya sie, sepatutnya pemimpin2 atau aparatur negara, mulai dari presiden, wakil presiden, menteri, wakil menteri, pejabat setingkat menteri, kepolisian, tni, pns, pemimpin dan pegawai bumn(khususnya yang memegang hajat hidup orang banyak seperti pln, pdam, pertamina, dsb), wakil rakyat : mpr, dpr, dsb, mk, ma, dsb sampai tingkat bawah yang notabene adalah sesungguhnya ABDI NEGARA, yang mana menurut hemat saya ABDI bukanlah bekerja tetapi mengabdi..Sewajarnya mereka mengabdi tanpa GAJI yang besar. Okelah saya mengerti mereka juga manusia, butuh penghasilan menyambung hidup. Tapi apa wajar sebesar itu sementara rakyat sendiri masih kesusahan?

    Menjadi ABDI NEGARA sewajarnya digaji sebatas pendapatan rata-rata masyarakat jelata, sebab gaji mereka sendiri sesungguhnya berasal dari PAJAK yang dibayar oleh RAKYAT...

    DAN dana pajak tersebut sewajarnya digunakan untuk membangun rakyat, bangun SDM nya melalui pendidikan tentang ilmu pengetahuan, teknologi, hingga budi pakerti dan spiritual, serta untuk kesehatan masyarakat. Dengan kesehatan yang prima dan pendidikan yang cerdas dan berbudi, tidak hanya pintar, niscaya NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA AKAN DAPAT LEBIH MAKMUR, GEMAH RIPAH LOH JINAWE (gitu ya tulisannya :) hehe rada-rada lupa)

    Kalo mau KAYA, JADI KARYAWAN SWASTA ATAU JADI PENGUSAHA SAJA JANGAN JADI ABDI NEGARA...

    Nah karena itu, yang mau jadi aparatur negara, semestinya adalah para pengusaha yang telah sukses dan tidak lagi memikirkan masalah perut atau mencari uang atau berbisnis lewat negara, karena dia sudah punya sumber penghasilan, yaitu usaha/bisnisnya yang sudah berjalan. Dia wajib memisahkan bisnis/pekerjaannya dengan pengabdiannya pada negara. Wajib melaporkan kepada RAKYAT kekayaan awalnya, omset dan penghasilan bulanannya serta perkembangan perusahaannya bila perlu tiap bulan, sehingga kentara bahwa jika dia makin kaya itu dari usahanya atau hasil korupsi?

    Bila perlu sie, ABDI NEGARA ga digaji..hahaha...lagipula mereka dapat fasilitas juga dari negara, mobil dinas, kemudahan fasilitas kredit,,dsbnya...thu bos-bosnya, presiden, wapres, menteri, kadis, mpr, dpr, pejabat2 negara/pemerintah, semua dikawal thu waktu dijalan raya..padahal rakyat juga yang bayar pajak untuk membangun jalan, malah disuruh minggir sama polisi-polisi sok itu (maaf kata-kata saya kasar pada polisi, karena memang polisi sok...ngurus SIM aja soknya minta ampun, ga mau disalahkan juga, padahal udah jelas-jelas kunci jawabannya salah dan ga sesuai teori dipaksa aja itu jawabannya..wkwkwk...sampai 3 x saya ngulang..akhirnya saya lawan, dan kebenaran memang memenangkan perang, meski kalah dalam beberapa pertempuran(karena dicurangi dan tidak transparan), yang penting menang dalam perang!)

    kembali ke topik, dengan begini juga, orang ga berbondong2 jadi PNS atau polisi atau pejabat sampai NOMBOK atau maen money politic atau melakukan kampanye hitam, ujungnya2nya jika nombok akhirnya KORUPSI dech...

    KALO APARATUR PEMERINTAH BERANI DAN INGIN MEWUJUDKAN PANCASILA, KHUSUSNYA SILA KEDUA DAN KELIMA, AMBIL TINDAKAN INI:

    1. PANGKAS GAJI BESAR APARATUR NEGARA (ABDI NEGARA) DAN BERIKAN SAJA GAJI YANG CUKUP UNTUK HIDUP SEBULAN ATAU GAJI SEBESAR RATA-RATA PENGHASILAN RAKYAT JELATA (RAKYAT BAWAH)

    2.MANFAATKAN PAJAK UNTUK MEMBANGUN SDM RAKYAT MELALUI PENDIDIKAN, KHUSUSNYA PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN, DAN JUGA KESEHATAN...


    Terinspirasi dari Dalang Wayang Tantri Wayan Wija, Sukawati..judul : Sang Aji Dharma Kepastu..ada disinggung bahwa pemimpin seharusnya bisa meniru "pengangon (gembala) sapi", yang membawa sapinya ke padang rumput hijau, meskipun si pengangon tidak mendapatkan apa-apa, yang penting sapinya dapat makan, dan sehat, maka itu adalah kebahagiaan bagi si pengangon...

    Om Shanti Shanti Shanti Om

    BalasHapus