Senin, 24 Januari 2011

Kesabaran dan Kesahajaan Menjadi Teladan


Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

(Tulisan ini mengantar purna bhakti Drs. Ketut Wiana, M.Ag sebagai staf pengajar di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, 5 Januari 2011)

Rasa bangga dapat berkenalan dengan orang-orang yang dikagumi tentulah dialami oleh banyak orang. Apalagi jika orang yang dikagumi itu kemudian bisa menjadi seorang sahabat yang tulus, sekaligus seorang guru yang tak habis-habisnya menuangkan ilmunya. Saya bersyukur bisa berkenalan dengan Ketut Wiana, sahabat yang tulus itu, orang yang saya kagumi itu, dan harus saya akui pula bahwa dia adalah seorang guru buat saya, meski tak pernah saya menjadi muridnya yang formal. Pak Wiana memang seorang guru, beliau bahkan pernah menjadi kepala sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Denpasar, tetapi saya tak pernah bersekolah di sana atau ikut menjadi staf pengajar di sana.

Saya tak ingat kapan saya mulai berkenalan dengan Ketut Wiana, tetapi yang jelas jauh sebelum kenal secara pribadi saya mengenalnya lewat tulisan-tulisannya, baik di media massa maupun makalah dalam berbagai seminar. Beliau sudah lama aktif di Parisada sebelum saya mengenal dengan baik majelis agama Hindu itu.

Tetapi saya ingat sebuah pertemuan dengan Ketut Wiana di Bandung, 21 Mei 1989. Saya kira itu bukan pertemuan yang pertama, karena sebelum saya merantau ke Jawa rasanya sudah pernah ketemu dengan beliau. Di Kampus Universitas Padjadjaran Bandung 21 Mei 1989 itu ada dharmatula yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Hindu Brahmacari Unpad. Drs Ketut Wiana yang kala itu menjabat Ketua III PHDI Pusat membawakan makalah tentang kasta di Bali. Saya bertugas untuk membahas materi itu.

Diskusi soal kasta ini menarik perhatian. Perdebatan pun seru. Saya yang di kalangan orang Bali rantauan dikenal sebagai “anti kasta” seringkali diundang ke berbagai diskusi, dan di Bandung itu saya mendapatkan lawan diskusi yang menarik. Sebelumnya saya menduga Pak Wiana setuju dengan adanya kasta di Bali, setidak-tidaknya tak menganggap masalah adanya sistem kasta di Bali. Dugaan saya ini dengan alasan, Parisada selama ini tak dikenal sebagai lembaga yang mau meluruskan kasta. Bahkan saya menduga Parisada mengajegkan sistem kasta itu di Bali. Dugaan saya ini meleset. Pak Wiana dalam diskusi itu sangat sependapat dengan saya, bahkan beliau lebih gencar lagi menyebutkan bahwa kasta di Bali itu salah kaprah.

Dari pertemuan ini, ada yang berubah pada diri saya. Di sana saya menyatakan, kalau begitu pandangan Pak Wiana, saya ingin ikut di organisasi Parisada. “Silakan,” katanya. Kesan saya, orang ini begitu terbuka dan demokratis, selain rendah hati. Maaf saja, sebelumnya saya selalu curiga dengan para pengurus Parisada yang saya nilai – waktu itu – masih feodalis.

Ketika Mahasabha PHDI diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta tahun 1991, saya datang sebagai penonton. Saya tak diundang karena memang tak jadi pengurus apa-apa, bahkan saya tak tahu banyak tentang Parisada saat itu. Namun, saya sudah dikenal aktif di kalangan umat Hindu Jakarta. Dalam mahasabha itu kembali saya bertemu dengan Pak Wiana, tetapi hanya selintas. Saya melihat majelis umat Hindu ini terlalu condong pada partai tertentu dan cenderung berpolitik praktis. Situasi politik saat itu memang mempengaruhi segala gerak aktifitas berbagai organisasi kemasyarakatan. Kesan saya – dan ini kesan umum – Parisada terlalu dekat dengan Golkar, bahkan ada yang bilang Parisada itu bagian dari Golkar.

Bersama teman-teman aktifis yang tak terlibat dengan Mahasabha Parisada itu, saya pun mempunyai ide bahwa perlu ada organisasi yang vokal sebagai “penyeimbang” Parisada. Maka di sanalah lahir gagasan saya untuk membentuk Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI). Supaya tidak terasa berbenturan dengan Parisada dan menghindari konflik dengan berbagai pihak, forum ini dirancang sebagai “bukan organisasi massa”, meski pun kemudian karena tuntutan berbagai hal akhirnya nyaris sebagai organisasi massa.

Ketika menyusun personalia pengurus FCHI pada awal-awalnya, saya ingat Ketut Wiana. Saya pernah menyarankan kepada teman-teman yang lain, bagaimana kalau Ketut Wiana dirangkul. Ada banyak yang setuju karena mereka sependapat dengan saya bahwa Ketut Wiana seorang demokrat dan hampir tak punya musuh. Pemikirannya juga bagus dan tak terkotak dalam sekat-sekat kecil. Namun, karena tidak ingin ada masalah lantaran Pak Wiana berada di dalam kepengurusan Parisada Pusat, nama dia tak jadi dimasukkan. Tapi, kami bertekad jika ada kegiatan yang membutuhkan pemikiran yang beragam, Pak Wiana harus diajak serta.

Banyak sekali kegiatan FCHI di awal-awal berdirinya tatkala saya memimpin forum itu. Berbagai diskusi digelar di kota-kota besar. Ada satu diskusi yang menarik yang mempertemukan kembali saya dengan Pak Wiana, yaitu diskusi yang digelar di kantor Bali Post Denpasar, pada 22 Desember 1992. Diskusi ini diselenggarakan FCHI bekerjasama dengan Yayasan Studi Hindu Indonesia menampilkan empat pembicara yakni Ketut Wiana, Ngurah Bagus, Wayan Sudirta dan IGB Arthanegara. Temanya adalah menyikapi keberadaan Pura Besakih dikaitkan dengan Undang-Undang Tentang Benda Cagar Budaya. Saat itu ada pro dan kontra bagaimana kalau Pura Besakih dimasukkan dalam gugusan Cagar Budaya – waktu itu belum ada rencana masuk Warisan Budaya Dunia. Hasil diskusi ini kemudian saya sampaikan ke Menteri P dan K yang waktu itu dijabat Prof. Fuad Hassan.

Pertemuan di Bali Post itu membuat saya makin kagum pada pemikiran Pak Wiana. Saya sampai mengibaratkan beliau “kamus berjalan”, karena apapun pertanyaan saya mengenai masalah Hindu dan adat Bali, bisa dijelaskannya dengan gamblang. Setiba di Jakarta saya langsung punya ide untuk membuat sebuah buku yang menulis soal kasta yang salah kaprah di Bali. Penulisnya tentu tak ada lain, Pak Wiana sendiri. Saya hubungi beliau dan bersedia. Ternyata naskah yang dibuatnya tidak setebal untuk buku. “Maklum, saya hanya bisa membuat tulisan berupa makalah,” katanya waktu itu.

Kalau tulisan itu saya bukukan, akan sama saja dengan buku-buku Hindu yang ada saat itu, tipis dan tidak menarik. Saya ingin menggebrak dunia penerbitan buku Hindu dengan buku yang berkualitas dan layak dijual. Saya teringat bahwa Raka Santeri – waktu itu wartawan Kompas – pernah menulis secara berseri masalah kasta di Bali Post mulai terbitan 29 April 1989. Saya hubungi Raka Santeri dan dia bersedia tulisan itu diterbitkan. Lalu saya hubungi Satria Naradha, waktu itu Wakil Pemimpin Umum Bali Post, untuk minta izin mengambil tulisan Raka Santeri. Ternyata Satria Naradha menyambut dengan baik bahkan saya dan Satria akhirnya membuat yayasan sebagai badan hukum penerbitan itu, yakni Yayasan Dharma Naradha.

Tetapi buku pertama Yayasan Dharma Naradha bukan soal kasta itu, untuk tidak menimbulkan kegoncangan seolah-olah saya membuat penerbitan hanya untuk “menggugat kasta”. Buku pertamanya adalah Cendekiawan Hindu Bicara, sebuah kumpulan tulisan dari 12 pemikir Hindu, tapi tak ada Pak Wiana di sana. Saya sengaja menyimpan nama Pak Wiana untuk buku selanjutnya, yakni tentang kasta itu.

Akhirnya buku soal kasta yang berisi gabungan tulisan Ketut Wiana dan Raka Santri terbit dengan judul “Kasta dalam Hindu: Kesalahpahaman Berabad-abad”. Buku ini, yang saya beri pengantar agak panjang, meledak di pasaran, bukan hanya di Bali, tetapi juga di Jakarta dan kota-kota lainnya. Laris sekali. Saya senang karena buku dibicarakan di Jakarta dalam berbagai kegiatan. Tetapi tidak di Bali. Wiana dan Raka Santri diteror. Raka Santri mengaku tenang saja, tetapi Pak Wiana mengaku: “Saya serba repot, banyak yang sampai meneror saya secara phisik.” Satria Naradha dan Bali Post pun kena terror dengan surat kaleng, sampai-sampai cetakan kedua buku ini ditunda karena ada ketakutan.

Saya tak memikirkan Raka Santri karena dia seorang wartawan, sudah biasa kena terror seperti halnya saya. Namun saya terus memikirkan Pak Wiana karena dia pegawai negeri di Kanwil Departemen Agama Bali, waktu itu kalau tak salah menjadi pengawas. Bagaimana kalau dia dipecat? Syukurlah tak ada “pemecatan” itu, meskipun dia mengaku ada “pengucilan’. Sejak itulah saya semakin akrab dengan Pak Wiana, dia sama sekali tak menyalahkan saya akibat terbitnya buku itu dengan judul yang bombastis.

Kesabaran Ketut Wiana adalah hal yang saya kagumi. Setiap pulang ke Bali saya berkunjung ke rumahnya. Bahkan dia dengan entengnya datang ke desa saya di Pujungan, memimpin diskusi dengan tokoh-tokoh desa dalam rumah saya yang sempit. Sepulang dari Pujungan saya terus berdiskusi bagaimana memajukan umat Hindu. Pak Wiana mengusulkan agar saya membeli lahan yang lebih luas. “Nanti dibangun bale semacam wantilan untuk tempat diskusi,” itu kata-kata yang masih saya ingat. “Berdoa saja, kalau Tuhan mengizinkan, apapun bisa kita lakukan,” katanya lagi.

Mungkin doa saya dan doa Pak Wiana terkabul. Saya kemudian mampu membeli tanah sawah seluas 30 are di samping Pura Manikgeni, dan kemudian hari saya membangun ashram (kini pesraman) di sana. Di atas tanah itu saya baru bisa membangun balai sejenis aula dengan sangat sederhana dan sebuah padmasana. Pak Wiana langsung meminta supaya bangunan itu diresmikan saja sebagai ashram. Dan itu saya ikuti, jadilah Ashram Manikgeni yang begitu sederhana diresmikan pada 3 Maret 1995. Entah karena ashramnya yang sederhana atau saya belum dikenal banyak oleh pejabat di Bali, tak satu pun undangan pejabat yang hadir. Bupati Tabanan tak hadir, apalagi Gubernur Bali. Padahal Wihara di Pupuan yang jaraknya 2 km dari tempat saya, diremikan oleh Gubernur Bali dengan sangat meriah. “Jangan putus asa, ini soal biasa, Tuhan yang meresmikan ashram ini,” kata Pak Wiana seperti menghibur saya.

Hubungan saya dengan Pak Wiana pun akhirnya semakin dekat. Kadang saya memfungsikan beliau sebagai guru yang mengajari banyak hal, tentu lebih banyak soal tatwa agama. Kadang saya memfungsikan sebagai orang tua, yang memberi banyak nasehat. Kalau Pak Wiana ke Jakarta tentu kontak saya, kadang menginap di rumah saya sambil mengajarkan yoga – sayangnya saya tak tertarik waktu itu. Setiap ada kegiatan di dalam keluarga saya di kampung (Ashram Manikgeni), Ketut Wiana selalu datang, bukan hanya sebagai tamu tetapi seperti keluarga sendiri. Ketika dua anak saya potong gigi, Pak Wiana memberikan sambutan atasnama keluarga dan langsung memberikan dharma wacana.

Saya tak pernah mendengar dia marah, apalagi marah kepada saya. Saya sering berbeda pendapat dengan dia, tetapi tak pernah sampai meretakkan hubungan, bahkan beda pendapat itu tetap disertai dengan guyonan. Ketika saya menulis opini bahwa Kitab Mahabharata bukan kitab suci umat Hindu, Ketut Wiana menegur saya, bahwa opini itu salah. Mahabharata adalah kitab suci Hindu, katanya. Beda pendapat ini hanya soal pendekatan masalah, saya mengatakan itu dari sisi formal dan format aturan beragama dalam konstitusi Indonesia, karena selama ini kitab suci Hindu tercatat Weda. Jika Mahabharata juga disebut kitab suci Hindu – dalam tataran formal dan format konstitusi – maka Hindu di Indonesia akan kembali ke tahun sebelum 1959, disebut agama budaya dan disejajarkan dengan “kepercayaan”. Ini bisa fatal karena bisa-bisa nanti tidak diayomi oleh Departemen Agama tetapi diayomi Kejaksaan Agung sebagai salah satu “kepercayaan”. Soalnya Mahabharata sudah menjadi milik dunia.

Selain sulit menemukan kemarahan pada diri Ketut Wiana, belajarlah bersabar pada beliau. Dia sangat penyabar dan dalam beberapa hal membuat orang lain justru tak sabar untuk menunggu tindakannya. Sebagai tokoh, dia sudah sesepuh di Parisada. Dari salah satu ketua, kemudian menjadi salah satu sekretaris, balik lagi menjadi ketua, terakhir menjadi Ketua Sabha Walaka. Dia bertahan karena dia tak punya musuh atau dia bisa memasuki “sarang musuh” untuk dijadikan teman. Wawasannya yang luas dan informasi yang selalu mudah diperolehnya, membuat dia produktif dalam menulis dan seperti yang saya katakana tadi, dia bak kamus berjalan jika kita bertanya soal Hindu.

Barangkali banyak orang yang lebih pintar dari Wiana, tetapi jika ilmunya itu tak mudah dibagi, apakah arti kepinteran itu. Di sini kelebihan Ketut Wiana, dia mau membagi ilmunya kepada siapa saja tetapi juga dia bisa menerima masukan dari siapa saja, ditambah dengan kerendahan dirinya yang membuat penampilannya menjadi bersahaja. Kesahajaan itu yang membuat dia menjadi teladan, dan itu yang selalu saya kenang. ***

(Penulis adalah pendeta Hindu, mantan wartawan dengan nama walaka Putu Setia, pernah menjabat Wakil Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat)

Galungan dan Bencana

Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Syahdan, Raja Bali Sri Jaya Kesunu, heran tak kepalang kenapa bencana terus-menerus terjadi di Bali. Angin puting beliung merobohkan rumah penduduk, kekacauan sering terjadi di masayarakat. Dan, ini yang lebih aneh lagi, raja-raja pendahulunya selalu berumur pendek.

Sri Jaya Kesunu naik tahta pada tahun 1126 Saka atau 1204 Masehi menggantikan Sri Dhanadi yang meninggal dunia tanpa sebab yang jelas. Tak ada disebutkan kapan Sri Dhanadi naik tahta, tetapi dia menggantikan Sri Eka Jaya yang juga berumur pendek. Tak jelas pula berapa usia Sri Eka Jaya tatkala meninggal dunia, tetapi beliau memegang tapuk pemerintahan pada 1103 Saka atau 1181 Masehi.

Begitu naik tahta, Sri Jaya Kesunu langsung melakukan dewa sraya, artinya mendekatkan diri dengan dewa. Inilah cara beliau untuk mencari tahu kenapa bencana terus-menerus menggoyang Bali dan kenapa umur raja pendek-pendek. Mendekatkan diri kepada dewa itu dilakukan di Pura Dalem Puri, sebuah pura yang dekat dengan Pura Besakih. Sri Jaya Kesunu melakukan tapa brata dan yoga samadhi.

Kocap kacarita – begitu hikayat mewartakan – berkat ketekunan Jaya Kesunu melakukan tapa brata, terdengarlah pembisik (pawisik) dari Dewi Durga, sakti (kekuatan suci) dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durga menjelaskan kenapa bencana selalu datang dan umur raja pendek. Penyebabnya tiada lain, Hari Raya Galungan, tidak lagi dirayakan. Selama Galungan tidak dirayakan, bencana akan terus datang. Dewi Durga meminta kepada Jaya Kesunu untuk kembali merayakan Galungan jika ingin ada ketentraman.

Tentu saja Sang Raja yang bijaksana dan religius ini langsung memenuhi janji Sang Dewi yang dalam versi India sangat cantik dan versi Bali sangat menyeramkan itu. Kepada masyarakat langsung diinstruksikan untuk merayakan Hari Raya Galungan sesuai jadwalnya, yakni hari Budha (Rabu) Kliwon wuku Dungulan sesuai dengan wariga yang berlaku. Konon, sejak itulah bencana bisa berkurang di Bali.

Hikayat di atas dipetik dari lontar Purana Bali Dwipa. Bahwa banyak yang tidak jelas, begitulah salah satu ciri lontar. Tak semua lontar merupakan catatan sejarah yang otentik, atau bahkan tak semua lontar bisa disejajarkan dengan prasasti. Lontar adalah “catatan yang ditulis di daun rontal” oleh seseorang pada zamannya, jadi bisa berupa opini tanpa dasar, bisa pula kisah yang benar adanya, dan banyak berupa pedoman ritual. Lontar di masa lalu adalah bentuk penyampaian pikiran dengan sarana yang ada di saat itu. Kalau dibandingkan dengan masa kini, sama dengan buku atau CD (compact disk) atau flashdiks yang menyimpan berbagai buah pikiran. Tak semua “buah pikiran” itu berdasarkan fakta, bahkan banyak “buah pikiran” itu berupa cerita fiksi.
Purana Bali Dwipa juga menyebutkan hal penting, bahwa Hari Raya Galungan di Bali dirayakan sejak tahun 804 Saka (882 Masehi), tepat pada Purnama Kapat. Lontar itu memuat begini: Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasi kecatur, tanggal 15, icaka 804. Bangun indra bhuwana ikang Bali rajya. Ini bahasa Jawa Kuno (Kawi) yang terjemahan bebasnya: Perayaan (upacara) Galungan itu dimulai (pertama) pada Bhuda Kliwon Dungulan sasih kapat bulan purnama (penanggal 15) tahun 804 Saka. Keadaan pulau Bali bagaikan indra loka.

Perayaan Galungan ini dihentikan tiba-tiba ketika Sri Ekajaya memegang tapuk pimpinan pada 1103 Saka. Entah apa penyebabnya, tak pernah diceritakan dalam lontar itu. Sejak itulah terjadi bencana. Jadi selama 23 tahun rakyat Bali tak merayakan Galungan dan terus-menerus digoncang bencana tanpa diketahui sebabnya, sampai saatnya Sri Jaya Kesunu mendapat “jawaban” itu di Pura Dalem Puri.

Bencana yang dikaitkan dengan absennya perayaan Galungan juga ada pada legenda Raja Mayadenawa. Kisah ini bahkan tanpa sumber yang jelas, jadi bisa berbeda versi di masing-masing wilayah di Bali. Namun, inilah kisah yang lebih melekat pada orang Bali dibandingkan lontar Purana Bali Dwipa itu.

Kocap kacarita disebutkan Raja Mayadenawa mengaku sebagai Dewa itu sendiri, sehingga rakyat Bali tak boleh lagi menyembah para dewa. Dialah yang harus disembah. Jangankan merayakan Galungan, bentuk persembahan yang kecil pun dilarang. Tak ada dewa selain Mayadenawa, mungkin begitu slogan yang dikumandangkan Raja Diraja ini.
Apa yang terjadi selama Sang Raja memerintah secara diktator? Bencana demi bencana datang. Rakyat bertambah melarat tetapi Mayadenawa tak pernah peduli akan nasib rakyatnya. Sampailah muncul sang pahlawan yang bernama Dewa Indra, beliau memimpin pasukan menyerang dan membinasakan Mayadenawa. Pesta perayaan kemenangan melawan Sang Diktator dilakukan secara meriah dan entah kebetulan atau memang dipaskan harinya, bertepatan pada Rabu Kliwon wuku Dungulan. Itulah Hari Raya Galungan yang kemudian terus dirayakan setiap enam bulan dalam hitungan wariga Bali – hitungan kalender Masehi setiap 210 hari.

Apakah dua kisah di atas adalah rekaan para leluhur orang Bali dalam memberikan “wawasan dan penerangan” mengenai agama dan ritual yang disesuaikan dengan kemampuan daya serap pada zamannya? Entahlah. Jika itu rekaan, maka itu adalah “kearifan lokal” bagaimana menjelaskan ajaran agama sementara bahan bacaannya tidak ada atau sangat terbatas. Adalah suatu hal yang sangat dipuji – sampai saat ini— bahwa leluhur orang Bali terkenal ahli membuat hikayat dan dongeng yang intinya menyebarkan ajaran agama yang penuh kedamaian dan kasih sayang. Sampai akhir dekade 1970-an, orang Bali pedesaan menidurkan anaknya sambil mendongeng tentang “kedamaian dan kasih sayang” itu. Baru 1980-an dan puncaknya saat ini, anak-anak Bali tak lagi mengenal dongeng karena disibukkan oleh Daremon dan sejenisnya, sementara orang tuanya – kalau televisinya lebih dari satu – menonton sinetron tentang hantu.
Hari Raya Galungan memang hari raya yang “mengusir” bencana, terutama bencana yang datang dari pikiran yang jahat. Pikiran jahat itu dikatagorikan sebagai adharma (bertentangan dengan kebenaran atau dharma). Adharma harus dibunuh sehingga yang muncul adalah dharma alias kebenaran.

Adharma bisa disimbolkan dari datangnya virus jahat itu melalui Sang Kala (Bhuta) Tiga yang terdiri dari Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Bhuta Galungan muncul pada Minggu (Redite) wuku Dungulan, Bhuta Dungulan pada Senin (Soma) esok harinya, sedangkan Bhuta Amangkurat muncul pada Selasa (Anggara), esok harinya lagi, sehari sebelum Galungan. Jadi ketiga bhuta (simbol kejahatan) ini datang tiga hari berturut-turut menjelang Galungan dan itu yang harus kita perangi sehingga pada hari Rabu kita merayakan kemenangan dharma. Sayangnya, kini memerangi bhuta itu tidak dengan pengendalian diri dan membunuh nafsu hewani, tetapi betul-betul menggorok hewan, maka babi pun disembelih dan bau arak berseliweran di antara lawar.

Galungan sebagai kemenangan dharma juga hari bersyukur kepada Hyang Widhi atas terwujudnya bumi yang makmur subur. Berbagai ornamen sesajen Galungan memunculkan lambang kemakmuran, seperti penjor yang dihiasi hasil alam dari padi, jagung, kelapa, buah-buahan dan berbagai jajan. Begitu pula bahan persembahyangan ke pura penuh buah-buahan.

Buah dari mana? Buah dari bumi pertiwi di mana kita menumpang hidup. Leluhur orang Bali “menciptakan” sebuah hari yang disebut Tumpek Pengarah, 25 hari sebelum Galungan. Di sini umat memuja Hyang Sangkara, dewa tumbuh-tumbuhan. Orang datang ke kebun memberi sesajen kepada segala pohon yang berbuah, dari pisang, kelapa, pepaya, durian, nangka, jambu, dan sebagainya. Orang Bali “mepengarah” (memberitahu) kepada semua pohon itu supaya cepat-cepat berbuah agar bisa dihaturkan pada Hari Galungan, itu sebabnya disebut Tumpek Pengarah.

Ritual itu sampai sekarang dilaksanakan, meski beberapa jenis pohon sudah hilang seperti juwet, sotong, wani, boni dan sebagainya. Nanas, durian, jambu, masih ada. Tapi, apakah sekarang ini ada orang Bali menghaturkan nanas dan durian saat Galungan? Tidak, karena kalah gengsi. Lebih enak buah impor seperti apel. peer, sunkis dan ini semua dibeli di mini market yang sudah bertebaran di pedesaan.
Penjor Galungan masih tetap lestari, kata seorang pejabat. Memang betul, tetapi semua ornamen penjor bisa dibeli di Desa Kapal, Lukluk dan sekitarnya, termasuk padi, kelapa, dan palawija yang menggantung di penjor itu. Kelapa dan telor datang dari Jawa, busung datang dari Sulawesi, padi entah masih dari Penebel atau datang dari Cianjur, Jawa Barat – karena sawah di Bali sudah ditanami “padi nigtig”. Itukah hasil “bumi pertiwi” yang dipersembahkan?

Jika sekarang ini bencana muncul di Bali – bentrok antar warga, pencurian pratima di pura, berkelahi soal kuburan, rabies yang tak kunjung tuntas diberantas dan penyakit sosial lainnya lagi – itu bukan karena Galungan tidak dirayakan, tetapi (jangan-jangan) karena Galungan dirayakan dengan salah kaprah, jauh dari kemenangan dharma.
Lihatlah saat ini ada ritual yang jor-joran, ada Dhanu Kertih, Segara Kertih, Wana Kertih dan sebagainya. Boleh saja ada Dhanu Kertih tetapi kalau danau tidak dikeruk, tak ada manfaatnya. Wana Kertih berbiaya mahal, tetapi biaya gerakan menanam pohon kecil, bagaimana hutan lestari? Gubernur Bali Made Mangku Pastika memberi contoh “yadnya yang utama”, bukan dengan ritual tetapi gerakan nyata menanam bambu. Bayangkan kalau bambu punah dari Bali, maka lengkaplah sudah, penjor Galungan betul-betul “diimpor” dari luar, orang Bali menghaturkan hasil bumi penduduk luar Bali. Bagaimana Bali bisa ajeg?

Mari kita merayakan Galungan apa adanya, persembahkan isi alam Bali, karena Galungan memang hari raya umat Hindu etnis Bali, umat Hindu yang bukan etnis Bali sama sekali tak merayakannya.

*** Penulis adalah pendeta Hindu, mantan wartawan bernama Putu Setia.