Senin, 11 Februari 2019

Banyak Peraturan yang Dilanggar

Mpu Jaya Prema

HIDUP ini memang perlu diatur. Apalagi hidup bermasyarakat yang tentu saja banyak sekali hal-hal yang harus disesuaikan karena perbedaan kepentingan. Karena itu perlu ada aturan main untuk menyesuaikan irama kehidupan itu agar tidak saling bertabrakan. Kita tidak bisa berjalan sendiri apa mau kita karena di sekitar kita masih banyak orang lain yang juga punya kemauan sendiri.
 
Di tingkat nasional dalam kehidupan berbangsa, aturan itu bisa berupa undang-undang. Lalu yang lebih menjabarkan rinciannya bisa berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden dan berlanjut mungkin dengan peraturan gubernur dan seterusnya. Namun jika aturan itu terlalu banyak, apalagi tumpang tindih antara satu dan lainnya, bisa menimbulkan ketidak-harmonisan. Apalagi kalau saling bertentangan maka yang terjadi adalah kebingungan, aturan mana yang harus dijadikan pedoman. Belum lagi masalah pelaksanaan di lapangan.

Contoh terbaru dalam masalah aturan yang berupa undang-undang, misalnya, ada rencana membuat undang-undang yang mengatur masalah musik dan kehidupan para musisi. Ini dikenal dengan Rancangan Undang-Undang tentang Permusikan. RUU Permusikan ini sudah menjadi prioritas kerja DPR di tahun sidang 2019.

Penggagas RUU Permusikan ini adalah Anang Hermansyah, politisi Partai Amanat Nasional yang kini duduk di Komisi X DPR membidangi masalah pendidikan, agama dan kebudayaan. Maksud Anang tentu saja baik. Sebagai penyanyi yang malang melintang di dunia hiburan, ia heran melihat musisi luar negeri yang begitu karya kalau ciptaannya meledak di pasaran. Sementara penyanyi di dalam negeri tak bisa sekaya itu meski pun ciptaannya berhasil sukses. Belum lagi karya-karya mereka dibajak seenaknya dan lagu mereka dinyanyikan sembarang orang di hotel-hotel besar. Karena itu Anang dan kawan-kawannya di DPR merasa perlu membuat aturan main untuk tujuan kesejahtraan musisi. Caranya membuat RUU Permusikan itu.

Namun, apa yang terjadi ketika rancangan itu tersebar di masyarakat untuk dibahas? Anang yang bergerak diam-diam untuk menyusun rancangan undang-undang itu dan bahkan tak merasa perlu melibatkan pemusik, mulai dikritik. Rancangan itu dianggap mengada-ada. Kenapa harus membuat undang-undang tersendiri jika hanya bertujuan untuk itu?  Bagaimana dengan seniman lainnya seperti dunia sastra, teater, seni rupa, pedalangan dan seterusnya? Apakah nasib sastrawan dan dramawan itu tak ikut diperhatikan? Apakah semua masalah bisa diatur dan diselesaikan hanya dengan undang-undang, tidak adakah cara lain?


Masalah yang lebih penting adalah bukankah undang-undang yang mengatur musisi itu sudah ada dan kalau dirasakan kurang kenapa undang-undang yang sudah ada itu saja direvisi? Ada beberapa undang-undang yang bisa dikaitkan dengan kepentingan para pemusik jika yang dimaksudkan untuk mengangkat harkat  dan kesejahtraan musisi. Ada Undang-Undang tentang Hak Cipta yang di dalamnya juga mengatur masalah royalti, pembajakan, dan seterusnya. Bahkan ada Yayasan Hak Cipta yang memungut royalti di setiap acara hiburan ketika sebuah lagu dinyanyikan, kenapa hal itu tidak diteruskan. Ada UU tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam yang membuat para pembajak seharusnya jera jika undang-undang itu diterapkan dengan baik. Ada UU Pemajuan Kebudayaan yang juga mengatur bagaimana musik tradisi harus dikembangkan. RUU Permusikan tidak perlu lagi dan tinggal menambahkan pasal-pasal dari undang-undang yang ada.

Justru RUU Permusikan ini menjadi hambatan para seniman untuk berkarya karena banyak sekali hal-hal yang diatur. Misalnya, musisi itu harus mendapat sertifikat dan harus lulus kompetensi sebagai musisi. Tentu nanti akan ada lembaga yang mengurusi masalah itu. Lantas musisi kelas apa yang duduk di lembaga itu?

Soal pertunjukan pun diatur. Musik tradisional harus diberi tempat di hotel-hotel. Bagaimana kalau di lokasi hotel itu tak ada musik tradisi yang layak pentas, apa harus dipaksakan? Pergelaran yang mendatangkan grup musik dari luar negeri harus didampingi oleh grup musik lokal. Bagaimana kalau aliran musiknya tidak cocok atau grup luar negeri itu tak bersedia tampil bareng? Pokoknya bermacam hal yang diatur justru dianggap tidak bisa dijalankan karena itu seniman musik ramai-ramai menolak RUU Permusikan ini.

Dalam semangat yang sama namun kasusnya beda, di Bali pernah ada aturan yang mewajibkan grup seni harus mendapatkan piagam jika pentas di hotel. Pihak hotel harus mendatangkan grup kesenian Bali yang sudah mendapatkan piagam atau sertifikat itu. Yang mengeluarkan piagam adalah Listibiya (Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan) Bali. Yang terjadi kemudian adalah munculnya calo-calo untuk pentas kesenian Bali di hotel, ditambah lagi sulitnya untuk mendapatkan piagam dari Listibiya. Pihak hotel pun menambah anggaran untuk kasus ini padahal pertunjukan seni itu tidak selamanya dimaksudkan sebagai “pentas seni khusus” yang mengandalkan mutu. Banyak yang hanya sekedar meramaikan pesta dan pentas seni untuk pengiring acara makan-makan atau lainnya. Lama-lama pihak hotel menyiasati dengan membentuk grup seni di kalangan karyawannya saja. Artinya, pihak hotel tidak menanggap grup seni luar sehingga bebas dari kewajiban mencari grup yang punya sertifikat. Ini contoh aturan yang bisa dipermainkan di lapangan.

Peraturan dibuat, apakah itu undang-undang atau peraturan yang di bawahnya, seharusnya bisa membuat orang atau masyarakat lebih tertib. Bukannya peraturan dibuat untuk dilanggar seperti yang umum terjadi belakangan ini. Kalau itu terjadi maka yang salah adalah pembuat aturan itu karena tidak melihat dampak yang terjadi ketika aturan itu dijalankan. Atau kalau dampaknya sudah diperhitungkan, pengawasan di lapangan yang tidak berjalan baik, sehingga aturan itu tak ada artinya. Banyak sekali contoh-contoh soal ini.

Aturan lalu lintas, bahkan sudah ada undang-undangnya, yang menyebut sepeda motor harus berjalan di kiri, siapa yang menaati sekarang? Semua sepeda motor seenaknya dan bahkan menyalip mobil dari kanan. Tak ada pengawasan, yang ada hanyalah imbauan berupa tulisan.

Peraturan Gubernur Bali, misalnya, penggunaan plastik bagaimana pengawasannya? Hanya efektif di pasar-pasar moderen. Di pasar tradisional, apalagi di pedagang pinggir jalan, semuanya tetap menggunakan plastik. Kalau tak diberi plastik yang belanja batal. Jadi yang dibutuhkan sebenarnya adalah pengawasan, bukan sekadar membuat aturan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar