Senin, 25 Oktober 2010

Pahlawan

Putu Setia/Mpu Jaya Prema Ananda

Awalnya adalah saya hanya bercanda di hadapan Romo Imam. Saya meminta komentar Romo, apakah saya – kalau nanti telah tiada – layak disebut pahlawan. Ternyata Romo Imam menjawab dengan serius. “Kamu pahlawan, karena salah satu yang medobrak tradisi masyarakat Bali masa lalu yang masih berkutat dengan kasta dengan mengembalikan pada ajaran Hindu. Satu contoh saja, sudah ada ratusan pendeta Hindu yang di masa lalu tak mungkin jadi pendeta karena dianggap berkasta Sudra. Gerakanmu lewat tulisan, buku dan ceramah pantas diganjar pahlawan, pahlawan back to Weda, sebagaimana yang banyak dikatakan orang….”

“Stop… jangan teruskan,” saya mengharap sampai –sampai memeluk Romo. “Ini masalah pribadi, sangat lokal, Romo. Saya malu. Lagi pula banyak yang anti dengan gerakan saya itu.”

Romo melepaskan pelukan saya. “Sekarang ini gelar pahlawan itu sangat lokal. Paro dan kontra pun tak terhindarkan. Gelar yang sudah dilembagakan pemerintah saat ini sudah salah kaprah. Apalagi yang mengusulkan seseorang mendapat gelar pahlawan itu bermula dari daerah. Akibatnya, pemerintah daerah mencari-cari orang yang harus dipahlawankan, kalau tidak ada gengsinya berkurang. Bagi Romo, gelar pahlawan itu seharusnya sudah ditutup setelah kemerdekaan. Jadi, pahlawan itu adalah mereka yang gugur di medan juang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.”

Kami duduk, tapi Romo masih bersemangat. “Awal-awalnya sudah benar, kriteria pahlawan seperti itu, berjuang atas nama kemerdekaan, lalu dicari sebuah hari yang bisa diperingati, ketemu tanggal 10 November, pertempuran di Surabaya. Setelah itu orang-orang yang berjasa di republik ini yang dianggap setara dengan pahlawan diberi julukan pahlawan dengan embel-embel, misalnya, pahlawan proklamasi yang diterima oleh Soekarno dan Hatta, dan pahlawan revolusi yang diterima oleh para jenderal yang terbunuh saat Gerakan 30 September 1965. Tiba-tiba kemudian, dua marinir, dulu disebut KKO, mati digantung di Malaysia, dan kita mengelu-elukannya sebagai pahlawan. Mungkin sulit menyebut pahlawan apa, atau emosi kita waktu itu menggebu bahwa keduanya harus jadi pahlawan, ya, hanya disebut pahlawan saja, tanpa embel-embel.

“Nah,” Romo melanjutkan, “ketika lembaga yang memberi gelar tanda jasa diformalkan di negeri ini di masa orde baru, setiap tahun lalu muncul pahlawan baru. Di sinilah terjadi kerancuan, pahlawan apa? Ya, disebut pahlawan saja. Bermunculan pahlawan di daerah. Uniknya, kalau itu tokoh lokal, justru tak ada perdebatan, karena plus minus tokoh itu tak diketahui, ya, orang cuek. Tetapi begitu tokohnya dikenal di daerah lain dan merupakan tokoh nasional, polemic justru ramai. Ya, tentu saja, karena penilaian itu sebenarnya sangat subyektif.”

Romo bertanya pada saya: “Soeharto apa layak jadi pahlawan? Gus Dur dan Ali Sadikin, apa layak?” Saya menjawab: “Karena saya berprinsip mikul dhuwur mendhem jero semuanya layak. Apalagi pahlawan itu orangnya harus mati dulu, membicarakan kejelekan orang mati pantang bagi saya. Hanya kebaikan yang harus saya umbar, kejelekannya saya kenang sebagai pelajaran.”

“Bagus,” kata Romo. “Tapi, karena gelar ini dikukuhkan secara nasional dan pahlawan dianggap orang yang layak jadi panutan, pro kontra muncul. Soeharto berjasa membangun, ribuan sekolah dan puskesmas dibangun di desa, luar biasa pembangunan itu sampai diberi julukan Bapak Pembangunan. Tapi orang bertanya, apa pantas Pak Harto yang gampang menangkap orang, yang membredel pers, jadi pahlawan? Ali Sadikin berjasa membangun Jakarta. Orang bertanya, apakah orang yang setuju judi, yang nyata-nyata melanggar agama dan haram, layak jadi pahlawan? Gus Dur pemikirannya luar biasa, pejuang pluralisme. Orang bertanya, menjadi presiden saja harus diberhentikan di tengah jalan, apakah itu teladan yang baik?”

Romo berhenti dan saya merenung. Saya pikir ada baiknya kepahlawanan seseorang itu tidak diformalkan oleh negara setelah kemerdekaan dicapai. Apalagi, tokoh-tokoh yang berjasa itu sebenarnya “tak sudi” dimakamkan di Taman Pahlawan, mereka memilih makam pribadi. Biarlah sebutan pahlawan itu bersifat local atau hanya sekedar predikat untuk menunjukkan orang itu berjasa tanpa harus ada pengakuan negara. Seperti kaum guru menyebut diri “pahlawan tanpa tanda jasa”, TKI disebut “pahlawan devisa”, Rudy Hartono pahlawan bulutangkis.

“Sebenarnya sudah cukup orang berjasa pada negara ini diberi bintang saja, lagi pula bintang jasa itu tingkatannya sudah begitu banyak. Atau gelar pahlawan dihapuskan diganti dengan piagam-piagam, misalnya Piagam Kalpataru untuk pahlawan lingkungan,” kata Romo sambil masuk ke kamarnya. Saya setuju dan saya mengajak semua orang untuk menjadi pahlawan, minimal, “pahlawan keluarga”.

(Materi tulisan ini dimut Koran Tempo Minggu 24 Oktober 2010, namun yang ini versi panjangnya, sebelum disesuaikan dengan ruangan di Koran).

Sabtu, 23 Oktober 2010

Bersembahyang ke Leluhur

Mpu Jaya Prema Ananda

Bersembahyang bisa di mana saja. Di kamar bisa, di ruang tamu dengan menggelar tikar. juga bisa. Di ruang kelas pun bisa, apalagi buat pelajar. Bersembahyang di kamar kerja, bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga sudah biasa dilakukan di kota-kota besar seperti di jakarta. Dulu, ketika saya masih jadi wartawan dan berkantor di Majalah Tempo Jakarta, saya biasa bersembahyang di ruang kerja. Kalau di luar ada suara hiruk pikuk yang mengganggu konsentrasi, saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kidung yadnya. Tujuannya adalah membawa pikiran pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk mencapai suasana religius.

Kalau bersembahyang bisa di mana saja, asal jangan di per¬empatan jalan yang lagi ramai lalu lintasnya, untuk apa umat Hindu mengun¬jungi pura? Kenapa umat berduyun-duyun pergi ke Pura Tri¬kahyangan pada saat Hari Raya Galungan? Kenapa Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan? Begitu pula Pura Lempuyang Luhur, umat parkir jauh sekali dan berjalan naik ke bukit. Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat Danau Batur, tetapi bersem¬bahyang ke Pura Ulun Danu pada Purnama Kedasa? Kenapa umat Hindu memenuhi Pura Dasar Bhuwana di Gelgel pada Pemacekan Agung dan berbondong-bondong ke Pura Sakenan pada hari Kuningan?

Jelas ada daya tariknya, kenapa pura dikunjungi. Yang pertama-tama dalam pikiran masyarakat tradisional adalah pura itu “tempat tinggal” Sesuhunan, stana Ida Bethara, Dewa, Hyang Widhi. Umat tak perlu lagi memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan dengan teliti apakah persembahyangan itu di depan meru, balai gedong, atau padmasana. “Sembahyang untuk memuja Tuhan,” kata keponakan saya yang baru kelas dua SD. Bagi dia sama saja, bersembahyang di merajan, di Pura Puseh, di Pura Ulun Danu Batur, di Pura Besakih, semuanya memuja Tuhan.

Dalam setiap kesempatan mengisi dharmatula, saya selalu menyarankan, jika kita mengunjungi pura (tirthayatra) hendaknya dengan cara-cara yang dikehendaki oleh para leluhur kita, yakni pikiran kita sudah dibawa ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Apa maksudnya?

Para leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di tempat-tempat di mana orang harus melakukan “perjalanan penuh rintangan” sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur (yang “asli” di Songan), sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura Lempuyang (baik di Luhur maupun di Madya) dibangun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang. Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan menganjurkan membuat Pura Trikahyangan dan “pura moderen” seperti Pura Jagatnatha?

Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya “rintangan” dalam perjalanan itu. Dengan adanya “rintangan” itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. “Rintangan” itu tak lain adalah cara tak langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai.

Sekarang “rintangan” itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada, sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu umat bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah. Anak-anak menangis minta mainan dan ibunya membentak terus. Suasana ngedumel dan tangisan dibawa langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang oleh Pemangku? Tak lain adalah pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika kita pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan. Begitu ada ombak, meski kecil, orang berdoa. Suasana khusuk doa dibawa ke jeroan pura.

Beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum saya menjadi pandhita, saya punya kisah yang bisa dikenang ketika sekeluarga ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel pas di hari Pemacekan Agung. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya kecil, berdesak-desakan. Ada yang mendorong dari belakang, istri saya yang melindungi anak saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang menyikutnya. Lelaki itu tersinggung dan marah, lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan? Saya menarik tangan istri saya dan anak saya keluar dari kerumunan, lalu duduk di balai gong. Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab, apa gunanya bersembahyang ketika pikiran masih dipenuhi rasa marah dan dendam? Kami istirahat sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah pikiran tenang baru masuk ke jeroan.

Sekarang ini pengaturan masuk di Pura Dasar Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah berlapis tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada dorong-mendorong, dan ada maki-makian di antara pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di setiap pura kalau ada pujawali besar. Termasuk Pura Besakih. Penyebabnya adalah kawasan suci pura sudah semakin sempit. Dan manusia-manusia moderen sudah mempersempitnya lagi dengan memberikan akses masuk bagi kendaraan, pedagang, dan sebagainya ke lokasi pa¬ling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu dalam posisi “grasa-grusu” (tergesa-gesa dengan cara sembrono).

Namun, di luar kesulitan dan keruwetan itu, sudah saatnya umat diberikan pengertian hal yang paling mendasar, seperti bagaimana etika mengunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu. Jika perlu siapkan buku sejarah mengenai pura itu yang bisa dijual dengan harga yang terjangkau. Pura besar di Bali termasuk Pura Lempuyang Madya semuanya punya sejarah, dan ini harus diketahui umat. Kalau tidak, akan muncul generasi “anak mula keto” jilid dua: generasi yang tak bisa menjelaskan apa-apa mengenai ritual dan agamanya sendiri.

Tantangan bagi kita semua untuk menerbitkan buku sejarah tentang pura, tentu termasuk di dalamnya tentang ketokohan Rsi Agung kita yang pernah berstana di pura itu, yang kini kita puja. Karena dengan cara itulah kita menjadi tahu, apa bedanya bersembahyang di kamar dengan bersembahyang jauh-jauh ke atas bukit di Pura Lempuyang Madya, misalnya. Sebagai umat Hindu kita memang memuja Tuhan (Hyang Widhi), tapi kita juga memuja leluhur, dan keduanya beda.

Kamis, 21 Oktober 2010

Ucapan Terimakasih


Atas nama keluarga besar Pasraman Dharmasastra Manikgeni dan atas nama saya pribadi, Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, kami menyampaikan ucapan terimakasih yang sangat mendalam kepada semua pihak yang telah memberi restu pada hari perkawinan (pawiwahan) putra kami, Nyoman Wirya Suniatmaja dengan Nyoman Henny Sandra Dewi. Pawiwahan dilangsungkan 13 September 2010 dan baru kesempatan ini kami bisa menghaturkan ucapan terimakasih.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada semua yang hadir, secara khusus kami menyampaikan rasa terimakasih kepada Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Bupati Tabanan Putu Eka Wiryastuti, serta Marsilam Simanjuntak, Putra Astaman, Putu Soekreta Soeranta, Gede Eratha, Nengah Dana, Djony Gingsir – semuanya di Jakarta -- Nengah Nadha di Yogyakarta.

Mari Sembahyang ke Candi Cetho


Candi Cetho berada di lereng selatan Gunung Lawu tepatnya di Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi Cetho dibangun Raja Lingga Warman sekitar tahun 500 Masehi. Kekuasaan Kerajaan Pakuan atau Lingga/linggam diwariskan kepada menantunya yang bernama Tarusbawa yang dilambangkan dengan kura-kura dan linggam. Di Candi Cetho ini pula diyakini Raja Majapahit Brawijaya moksha.

Candi Cetho merupakan sebuah candi bercorak Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit. Penggalian untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh, yang berada di lereng barat Gunung Lawu.

Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada empat belas dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras membuat munculnya dugaan akan kebangkitan kembali kultur asli (punden berundak) pada masa itu, yang disintesis dengan agama Hindu. Dugaan ini diperkuat dengan bentuk tubuh pada relief seperti wayang kulit, yang mirip dengan penggambaran di Candi Sukuh.

Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri atas sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.

Pada aras ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang.

Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat melangsungkan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong.

Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut ''Kuntobimo'') di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud Mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.

Candi Cetho kini sudah resmi dipakai sebagai tempat bersembahyang umat Hindu. Umat datang dari berbagai penjuru Nusantara. Di lereng atas Candi Cetho juga sudah dibangun tempat pemujaan Dewi Saraswathi yang kebetulan pula di sana terdapat sumber air. Karena Candi Cetho berada di ketinggian, hanya mobil pribadi atau mobil khusus yang bisa ke sana. Umat Hindu yang datang dengan bus besar harus mengganti mobil di Desa Kemuning, desa paling bawsah di Gunung Lawu.

Candi Cetho termasuk kawasan Cagar Budaya, karena itu pengunjung yang masuk ke sana membayar karcis masuk seharga Rp 2.500/orang. Namun umat Hindu yang bersembahyang tidak dikenakan karcis masuk, paling “uang kebersihan” sekedarnya.

(Bagi umat Hindu di Bali yang ingin melakukan perjalanan ke Candi Cetho, ikuti paket tirtayatra yang diselenggarakan Pasraman Manikgeni, Desa Pujungan. Kab. Tabanan. Paket itu adalah Pura Blambangan (Banyuwangi), Pura Semeru Agung (Senduro,Lumajang), Pura Kepasekan (Karanganyar, Jawa Tengah) dan Candi Cetho. Disempatkan berkunjung ke Solo membeli oleh-oleh. Berangkat dari Bali pagi hari pertama, siang di Pura Blambangan, sore di Pura Semeru, pagi hari kedua di Pura Kepasekan, siangnya di Candi Centho dan kembali ke Bali, tiba siang hari ketiga. Biaya perjalanan Rp 300.000/orang TANPA MAKAN – makan bawa sendiri).

Bencana

Putu Setia (Mpu Jaya Prema Ananda)

Belum sempurna pantat ini menyentuh kursi, Romo Imam sudah mengajukan pertanyaan: “Bagaimana bunyi sila pertama Panca Sila yang menjadi dasar negara?”

Saya tercengang. Jawaban itu tentu saja mudah. Yang sulit adalah mencari tahu ada apa di balik pertanyaan itu. “Kenapa Romo menanyakan hal itu?” saya balik bertanya.


“Pertanyaan ini jauh lebih bermutu dari tes calon pegawai negeri Kementerian Perdagangan. Apa kaitannya pegawai yang ngurusi harga bawang merah ini dengan lagu ciptaan Presiden SBY? Kenapa tidak sekalian ditanyakan, apa parfum yang biasa dipakai Ibu Ani Yudhoyono. Pertanyaan konyol. Tapi pertanyaan saya serius, jawab.”

Sorot mata Romo membuat saya kecut dan akhirnya saya menjawab: “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Romo tertawa senang, lalu berdiri: “Benar, dan bukan Keuangan Yang Maha Kuasa. Sekarang yang berkuasa itu uang, kalau punya uang berbuat apa saja bisa. Ketuhanan Yang Masa Esa, bukan Keuangan Yang Maha Kuasa. Tapi, kenapa jarang sekali ini dijadikan ‘dasar’, padahal ini sila pertama?”

Saya tak paham, untung Romo melanjutkan: “Kalau benar orang Indonesia menjadikan Ketuhanan Yang Masa Esa sebagai dasar falsafah hidup yang pertama, kenapa setiap ada masalah tak pernah merujuk pada kekuasaan Tuhan? Jika ada masalah yang menimbulkan korban, maka alam dijadikan kambing hitam, istilahnya pun disebut bencana alam. Padahal alam yang diciptakan Tuhan tak mungkin memberI bencana, alam diciptakan untuk dinikmati sepenuhnya oleh isi alam.”

Saya masih tak paham dan membiarkan Romo bicara terus. “Alam itu diciptakan dalam konsep keseimbangan. Begitu keseimbangan dirusak, alam mencari keseimbangan baru. Kalau hutan dibabat, tanah yang tak dilindungi pohon itu akan mencari keseimbangan baru untuk menguatkan posisinya. Hutan yang rusak juga membuat air tanah di sana “tak nyaman”, lalu air di tanah itu mencari keseimbangan baru. Dalam proses pencarian itu, terjadi tanah longsor dan banjir bandang. Kenapa itu disebut bencana oleh manusia?”

Wah, saya tak mudah mencerna filsafat alam seperti ini. Saya masih diam. “Saya memuji orang Bali yang selalu menjaga keseimbangan alam dengan ritual yang memuja alam. Misalnya, pohon diberi sesajen, danau diberi sesajen dan sebagainya,” kata Romo.

Yang ini saya paham, makanya saya nimbrung: “Romo benar, orang Bali menjaga alam dengan banyak ritual. Pohon diberi sesajen, sesungguhnya agar pohon itu tak mudah ditebang orang yang haus kayu. Tapi, orang Bali menjadi sibuk menjelaskan konsep keseimbangan alam ini, karena belum apa-apa sudah dituduh klenik, mistik, memuja berhala. Padahal yang dipuja adalah Tuhan dengan ciptaan-Nya.”

Romo menyela: “Inti yang mau saya katakan adalah mari sesekali kita menoleh kepada kekuasaan Tuhan, karena bukankah ini sila pertama dasar negara kita? Siapa tahu kita banyak berbuat salah. Kita membabat hutan, banjir datang. Kita menguras air tanah, ambles datang. Jika kita menyadari ada yang salah, mari kita bertobat. Kita lakukan ruwatan nasional.”

Saya memotong: “Betul Romo, kita lakukan intropeksi mengacu kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Kereta api tabrakan terus, jangan-jangan pejabat yang mengurusi perhubungan moralnya cela di mata Tuhan. Bus wakil rakyat tabrakan, jangan-jangan para wakil rakyat banyak yang berdusta. “

Romo terpingkal-pingkal. “Kalau itu diperpanjang, jadi banyak. Bisa tak nyambung, bisa pula nyambung. Tapi ada baiknya kita sesekali berpikir: apa perlu melakukan pertobatan nasional dan minta ampun pada Tuhan, sembari memperbaiki moral kita bersama-sama?”

(Koran Tempo 17 Oktober 2010)

Kamis, 07 Oktober 2010

Tumpek Landep: Hari Raya Apa?

Mpu Jaya Prema Ananda

Umat Hindu etnis Bali akan merayakan kembali sebuah hari yang disebut Tumpek Landep. Persisnya adalah pada hari Sabtu 9 Oktober 2010 ini atau dalam istilah orang Bali disebut Saniscara Kliwon Wuku Landep. Seperti kebiasaan yang mulai berkembang, umat Hindu memberi sesajen yang ditaruhnya di semua benda dan peralatan yang terbuat dari besi, terutama sekali yang menyolok saat ini adalah kendaraan, baik roda dua maupun roda empat dan lebih dari itu seperti truck, misalnya.

Bukan itu saja. Peralatan lain seperti kulkas, komputer, kompos gas dan semuanya yang dari besi dihaturkan sesajen. Termasuk pula handphone. Lalu, cobalah iseng ditanya pada orang-orang Bali itu, siapa dewa yang dipuja di sana? Tak banyak yang bisa menjelaskan. Orang-orang Bali memang masih banyak yang sebatas itu menjalankan agama: pertama berdasarkan ungkapan khas “nak mule keto” (karena begitu ditemukan dari dulu) dan sekarang ditambah dengan “ikut-ikutan”, orang Bali bilang: yen sing milu lek atine (kalau tak ikutan, malu).

Tumpek Landep adalah sebuah hari pemujaan yang penting. Karena itu pula, piodalan di Pura Manikgeni, Desa Pujungan (bersebelahan dengan Pasraman Dharmasastra Manikgeni) dilangsungkan pada hari itu, dari pagi sampai pagi esoknya. Mau datang? Silakan sambil mampir di Pasraman Manikgeni yang mempunyai Taman Baca dengan ribuan koleksi buku.

Tumpek Landep tak berdiri sendiri – hampir semua hari-hari suci umat Hindu saling berkaitan. Tumpek Landep dimulai cikal-bakalnya pada Hari Raya Saraswati, yaitu hari turunnya ilmu pengetahuan. Dewi Saraswati dipuja di sini karena Beliau yang menurunkan ilmu pengetahuan. Esoknya, orang-orang mulai melakukan pembersihan diri agar ilmu pengetahuan itu bisa masuk kedalam jiwa dengan tanpa hambatan. Orang kotor – baik kotor rohani maupun kotor phisik—akan sulit menimba ilmu pengetahuan, apalagi pengetahuan suci. Demikian seterusnya sampai suatu saat orang yang ingin mendapatkan ilmu suci itu wajib melakukan peneguhan diri, memagar dirinya dari niat dan prilaku jahat, agar ilmu pengetahuan itu menjadi lebih mantap. Pagerwesi, adalah simbul dari pagar yang maha kuat untuk peneguhan diri itu. Setelah ilmu pengetahuan suci diperoleh dan jiwa bersih plus ada rambu-rambu pagar dari wesi (simbol logam berat) silakan ilmu itu dipelajari.

Sepuluh hari setelah itu adalah simbol untuk pemantapan, dan itulah hari yang disebut Tumpek Landep. Pengetahuan atau ilmu suci itu harus dikukuhkan, dipasupati, diwinten, agar ilmu itu terus bermanfaat dan terus runcing sehingga bisa dimanfaatkan untuk membedah segala masalah yang ada di dunia ini. Runcingkan (landep) ilmu itu dengan memberkahi semua peralatan yang dipakai untuk menimba ilmu itu agar tetap memiliki kekuatan tak ternilai (taksu).

Jadi, pada Tumpek Landep ada dua hal penting: pertama pasupati, peralatan dipasupati agar terus memberikan khasiat. Kedua pewintenan, penyucian diri. Itu sebabnya banyak Sulinggih yang melakukan acara pewintenan pada saat Tumpek Landep, misalnya, Ida Pandita Mpu Dwija Kerti di Gria Seririt setiap Tumpek Landep mewinten puluhan pemangku. Semua ini dilakukan agar peralatan dan diri kita tetap punya “taksu”.

Lalu apa yang dipasupati? Pisau, karena ini peralatan penting. Setiap menyelenggarakan ritual upacara, pisau pasti alat yang paling berguna. “Ilmu mejejahitan” tak lepas dari pisau. Tombak, keris, dan sebagainya juga patut dipasupati kembali. Peralatan upacara juga, misalnya sangku, bajra dan sebagainya. Jika sudah berstatus Sulinggih, tentu semua siwakrana sang Sulinggih dipasupati pula pada hari itu.

Apakah mobil. komputer, radio, televisi juga dipasupati? Ya, silakan saja, tak ada yang melarang tak ada yang mengharuskan. Semuanya bisa saja dikait-kaitkan. Bukankah mobil adalah sarana yang penting untuk mencari ilmu pengetahuan? Kalau tak ada mobil atau motor, bagaimana bisa kuliah? Komputer bahkan sarana mendapatkan ilmu pengetahuan, kalau dimanfaatkan dengan baik lewat internetnya. Radio dan televisi adalah sumber informasi di mana ilmu pengetahuan berseliweran.

Yang penting adalah: jangan sampai mobil, radio, televise dan lainnya itu diberi sesajen yang utama, sementara peralatan melakukan yadnya seperti pisau, pengutik dan simbol kesakralan seperti tumbak, keris dan banyak lagi dilupakan. Kalau sesajen tidak banyak harus ada yang prioritas. Prioritas itu adalah “senjata kehidupan”, bukan “alat penunjang”.

Jadi kalau pada Hari Saraswati kita memuja turunnya ilmu pengetahuan, Pager Wesi membentengi diri dari pengaruh negatif agar ilmu itu bermanfaat, Tumpek Landep kita mulai jadikan ilmu itu sebagai senjata untuk memperbaiki kwalitas diri maupun pengamalan diri.

Apa saja banten Tumpek Landep? Banten adalah simbol, tentu sangat terkait juga pada dresta (kebiasaan) setempat. Orang Bali umumnya membuat dengan rangkain (sorohan) seperti ini: Sesayut Jayeng Perang, Sesayut Kesuma Yudha, Sesayut Pasupati, Segehan (Agung) Pasupati, Sesayut Guru selain banten dasar untuk pembersihan (mereresik) seperti byakawon, prayascita dan sebagainya, termasuk ayaban dan suci yang disesuaikan dengan peralatan yang diupacarai. Kiranya ini tak usah dirinci, kalau ingin tahu buka blog Mpu Jaya Prema Ananda (http://mpuprema.blogspot.com)

Bagaimana dengan puja atau mantramnya? Wah, soal itu, pemangku atau orang yang dituakan bisa melakukan improvisasi dengan baik, dan ini biasa disebut sehe atau sesontengan. Ingat selalu, Tuhan tahu semua bahasa. Dalam beryadnya yang penting ketulusan dan keiklhasan, bahasa bukan kendala. Pakai bahasa hati juga tak masalah.

Namun, karena inti Tumpek Landep adalah mepasupati peralatan dan mewinten, baiklah dikutip dua mantra. Tentang Pasupati banyak ada jenis mantranya, di sini dikutip yang paling mudah dihafal, karena hanya “ngider bhuana” saja, yang penting kita hafal letak senjata dan nama arah anginnya.

PANCA-PASUPATI-STAWA

Om, Pasupati wajra-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Purwa-desa mukha-sthanaya, Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Dandha yudhaya, Agni raksasa rupaya, Daksina-desa mukha-sthanaya,Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Pasa-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Pascima-desa mukha-sthanaya, Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Cakra-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Uttara-desa mukha-sthanaya, Om, P asupataye, Hung-Phat.

Om, Pasupati Padma-yudhaya, Agni raksasa rupaya, Madhya-desa mukha sthanaya, Om, Pasupataye, Hung-Phat.

Om, Sri-Pasupati Aksobya ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Ratnasambhawa ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Amitabha ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Amogha siddhi ya namah swaha.
Om, Sri-Pasupati Wairocana ya namah swaha.

Untuk Pewintenan, bisa dipakai Ghana Pati Stawa berikut:

Om, Ghana-pati-rsi-putram, Bhuktyantu weda-tarpanam, Bhuktyantu Jagat-tri-lokam, Suddha-purna-śariranam.

Om, Sarwa-wiśa-winasanm, Kala-Durga-durgi-pati, Marana-mala murcyate, Tri-Wristi pangupa jihwa,

Om, Gangga-Uma stawa-siddhi, Dewa-Ghana guru-putram, Sakti-wiryam loka-śriyam, jayati labhãnugrahakam.

Om, Astu-astu ya namah swaha.

Banten Tumpek Landep

Banyak orang bertanya, apa saja banten takkala datang rahinan Tumpek Landep. Berikut ini jenis-jenisnya (sorohan) yang sederhana, karena harus disesuaikan lagi dengan kebiasaan setempat.

Sesayut Jayeng Perang
Kulit sesayut dari daunan dong, tumpeng putih memuncuk barak 2 buah. Tumpeng selem memuncuk putih 1 buah. Medasar beras triwarna (injin, baas barak, baas biasa). Be ati bungkulan, yeh asibuh, muncuk dadap 11, tulung urip apasang (2), kewangen 3 (tiga) sekar pucuk bang tirta asuhun keris mewadah sibuh.

Sesayut Kesuma Yuda
Beras mepisela padma medasar beras barak, kulit sesayut busung nyuh gading, penyeneng nagasari, nyuh gading ring tengah pinaka agung, tindakan sekar mancawarna, bawang putih padang kasna, prayascita dikelilingi antuk tumpeng pancawarna metanceb pucuk bang lima katih. Getih megoreng atakir, ati dan batukan (betukan ayam) megoreng pada metakir tirta pasupati, tirta betara, tirta sulinggih sesari 76.500 kepeng, tetebusan benang hitam.

Sesayut Pasupati
Tumpeng barak amusti, kulit tebasan antuk don andong 1 ring ajeng tumpange daksina, ring bilang samping tumpenge kulit peras medaging tumpeng barak dua, soda ajengan penek barak 2, tipat kelan, tipat tampulan asiki, sampeyan nagasari penyeneng peras canang antuk don andong. Maulam ayam biing (barak) jeroan megoreng wadah taku, takir keruh meserana kacang saur. matah apalet anggen ring segehan pasupati.

Segehan Agung Pasupati
Peras barak sodan barak (sampeyan canang don andong). Daksina tampi serobong, ketipat kelan, nasi kepelan 9 kepel metatakan don andong medaging ulam jeroan matah 9 takir raung ring sowang-sowang. Asep 9 katih, nasi wong-wongan barak 5, api takep 5.

Sesayut Guru
Kulit sesayut beras akulak metatah kain putih tampelan tetebu jinah 11 kepeng. Tumpeng guru, tulung 2, kewangen 1, peras alit, pesucian, pembersihan, penyeneng, sampeyan nagasari, meulam ayam putih mulus.

Banten lain:
ayaban, suci, byakawon +prayascita (anggen mereresik). Yening membanten ring mobil, genahang jayeng perang atanding.

Rabu, 06 Oktober 2010

Rusuh

Negeri ini sudah tak aman. Rusuh di mana-mana. Rusuh antaretnis, rusuh antarpreman, rusuh antarkelompok, rusuh antarmahasiswa, rusuh antarpelajar. Polisi tak berkutik karena mereka rusuh dengan para pengunjuk-rasa. Apa yang salah?


Itulah ocehan istri saya yang sudah saya sunting supaya tidak terlalu vulgar. Maklum, ia belakangan ini lebih sering menonton berita dibandingkan sinetron.
Saya tak berminat meladeni. Indonesia luas, rusuh di sana, asal tidak di sini, biarkan saja. Itu sudah menjadi pendapat yang menggejala belakangan ini, rasa memiliki bangsa sudah luntur. Tapi, kalau saya tak mau meladeni ocehan istri saya, itu soal lain.

“Apakah kerusuhan ini buah dari demokrasi yang membaik, yang dipuji-puji Obama? Setiap saat ada unjuk rasa, setiap unjuk rasa ada kerusuhan. Polisi takut tegas karena bisa melanggar hak asasi manusia. Nah, makan itu demokrasi,” oceh istri saya lagi.

Saya tetap tak ingin meladeni.

“Teroris juga makin berani. Merampok, menyerang pos polisi, bahkan muncul teroris kelas sepeda ontel. Orang di pusat berteriak agar teroris dijadikan musuh bersama, tak cuma musuh polisi. Tapi di daerah, jenasah yang disebut teroris itu disambut spanduk bertuliskan pahlawan agama. Ada wakil rakyat yang menyalahkan kerja polisi yang menembak mati teroris. Semuanya berjalan seiring, di satu pihak teroris dijadikan musuh besar, di satu pihak teroris mendapat simpati. Sesungguhnya, bangsa ini tega nggak berperang dengan teroris?” lagi-lagi istri saya ngoceh.

Saya hampir tergerak meladeni, tapi saya urungkan. Saya memaklumi istri saya lagi terprovokasi pengamat di televisi. Maklumlah, kebijaksanaan redaksi media masa saat ini adalah bagaimana mencetak oplag besar, bagaimana menaikkan ratting tinggi, meski harus mengabaikan apakah berita dan siaran itu bermanfaat untuk bangsa atau tidak. Ini juga buah demokrasi, pers yang bebas.

“Rampok bersenjata, waduh, ini mengerikan, ibu takut pak…” tiba-tiba ia memeluk saya. Terpaksa saya meladeni, kalau tidak tentu saya dianggap suami tak normal. “Tenang Bu, perampok yang ganas di Sumatra dan di Jawa. Kalau pun ada di Bali, ya, hanya di kota,” kata saya.

“La, tadi malam di kampung kita, tiga perampok bertopeng menyekap petani kopi dengan senjata, semua uang dan perhiasan ludes dirampok. Polisi tak bisa berkutik,” ujar istri saya.

Saya baru sadar kejadian semalam, memang sadistis. Padahal ini di kampung yang jauhnya 60 kilometer dari Denpasar, kampung yang damai, di mana orang biasa menaruh sepeda motor di depan rumah tanpa dikunci semalaman. Rumah-rumah yang tanpa pagar. “Ya, negeri ini sudah tak aman, sangat memprihatinkan,” komentar saya. Istri saya menimpali: “Nah, akhirnya bereaksi juga setelah merasakan langsung akibatnya.”

Saya membenarkan kata-katanya. Orang baru peduli ketika sebuah kasus menimpa dirinya atau dekat dengan dirinya. Orang bisa tak berbelas kasih kepada teroris jika tahu betapa teroris menghancurkan kehidupan sekian ribu orang bertahun-tahun – contohnya seperti dampak bom Bali. Orang baru mengecam kerusuhan ketika keluarganya terkena bencana salah sasaran itu. Kerusuhan di Sampit dan kini di Tarakan, hanya dianggap berita biasa di daerah lain, padahal benih-benih kerusuhan itu – kesenjangan antara pendatang dan penduduk asli – muncul di mana-mana. Ledakan hanya menunggu waktu, dan Indonesia berantakan jika kebersamaan sudah mulai luntur dan rasa memiliki bangsa ini mulai surut. Apalagi para elite bangsa pada tak akur dan pemerintah sangat lemah -- seperti sekarang ini.

Perang

Mari berperang. Satukan tekad, bulatkan keyakinan, tanamkan dalam dada kita bahwa kita pasti menang. Kawan, sudahkah Anda siap terjun ke medan laga dan menunggu kemenangan itu akan datang?

Perang melawan siapa? Melawan Malaysia? Oh, tentu saja bukan. Malaysia bukan musuh kita. Negara ini dihuni oleh orang serumpun dengan kita, orang Melayu. Malaysia tetangga kita, kalau pun sesekali kita pernah cekcok, dua atau tiga sesekali pasti pernah rukun. Kita saling membutuhkan, saling punya ketergantungan. Berperang dengan tetangga, hasilnya sudah pasti seperti yang ditulis oleh para pujangga Melayu di masa lalu: menang jadi arang, kalah jadi abu. Arang dan abu tak begitu jauh bedanya, tetapi persamaannya adalah terjadi kerusakan berat dibandingkan sebelum terjadi perang. Kalau sudah jadi arang, apalagi jadi abu, tak bisa dikembalikan lagi ke bentuknya yang semula. Betapa dasyatnya dampak perang.

Karena itu mari kita bunuh nafsu berperang kepada negara tetangga. Kalau sekedar mengumpat, mengecam dengan kata, mengingatkan dengan keras, bolehlah asal tak berlarut-larut, karena pekerjaan kita di dalam negeri masih banyak. Memang, siapa yang tak geram kalau kedaulatan kita dipermainkan begitu saja oleh bangsa lain, lebih-lebih itu tetangga sendiri. Betul juga, bahwa kita terlalu sering dilecehkan. Selain kelakuan buruk tetangga kita dalam masalah perbatasan, kelakuan buruk lainnya sudah lebih dulu dipamerkan dalam hal hak cipta, misalnya. Warisan lelulur kita seperti batik, wayang, tari pendet dan sebagainya, diklaim sebagai warisan mereka.
Tapi, tidakkah kelakukan buruk tetangga itu bisa kita jadikan bahan instrospeksi? Sebelum tetangga kita mengklaim sebagai miliknya, apakah kita sudah cukup melestarikan warisan itu sesuai dengan aturan zaman? Apakah kita sudah mendaftarkan hak paten batik, wayang, tari pendet, angklung bambu, dan sejenisnya ke lembaga-lembaga terkait?

Begitu pula dalam masalah perbatasan. Sudahkah kita menentukan garis perbatasan yang disepakati oleh semua negara yang berbatasan? Presiden SBY baru saat berpidato di Cilangkap memerintahkan supaya perundingan perbatasan dengan Malaysia segera dilakukan. Lha, kok baru sekarang, memangnya kemarin-kemarin tak ada yang mengurusi masalah itu?

Malaysia menuduh tiga petugas Kementrian Kelautan dan Perikanan memeras nelayan mereka, dan karena itu polisi Malaysia menangkapnya. Menteri Kelautan membantah. Kita menuduh, Malaysia menangkap ketiga petugas kita di perairan Indonesia. Malaysia membantahnya. Bantah-berbantahan begini masih bisa diselesaikan dalam koridor perundingan, jika buntu mari kita undang pihak ketiga yang independen. Kalau masih juga buntu, ya, baru cara yang lebih keras. Janganlah keburu nafsu, belum apa-apa sudah siap berperang. Memangnya kita betul-betul tega saling berbunuhan antar tetangga?

Tapi, kita juga tak bisa menggadaikan harga diri. Kalau betul kedaulatan kita diinjak-injak, kita harus melakukan protes keras, jangan lembek. Jangan pula menimang untung rugi. Keberadaan tenaga kerja Indonesia di Malaysia yang jutaan itu jangan sampai dijadikan alat memperlunak protes yang seharusnya bisa keras.

Masih siapkah Anda berperang? Tentu, tetapi bukan dengan Malaysia. Berperanglah melawan nafsu buruk yang ada dalam diri kita, termasuk berperang melawan “nafsu berperang”. Kita tetap mengendalikan diri – antara lain dengan berpuasa – dan di akhir pekan ini, Insya Allah, kemenangan sejati akan datang.

Selamat Hari Raya Idoel Fitri, mohon maaf lahir dan batin.

Puasa

Romo Imam lagi santai. Istri dan anak putrinya sibuk di dapur menyiapkan makanan buka puasa. Sebagai basa-basi baru bertamu saya memuji: “Ibu memang pinter memasak, sudah terasa sedapnya makanan.”

Romo tersenyum. “Nanti kita buka puasa bersama,” katanya. Saya mengangguk. “Puasa penting untuk kesehatan. Tapi, ya, sudah tiga hari Ramadhan berlalu, Romo masih kurang sreg dengan puasa ini. Masih puasa phisik.”

Saya segera mengejar apa maksudnya. “Puasa yang hanya menunda makan. Pada saat kita menahan lapar, kita berpikir itu hanya menunda makan, karena sudah pasti kita akan makan. Istri sudah menyiapkan makanan, bahkan makanan yang enak-enak dibandingkan hari-hari yang bukan Ramadhan. Menunya khusus, dari minuman pembuka, makanan penambah selera, makanan besar, makanan penutup, sampai pada pernik-pernik cemilan.”
Romo mengambil koran dan membaca judul-judul berita dengan cepat, seperti penyiar televisi membawakan rangkuman berita sepekan. Ada bazaar Ramadhan di berbagai kota, ada liputan buka puasa bersama pejabat, ada selebritas yang membuat pesta buka puasa yang mewah, ada keluarga tahanan yang membawa puluhan tusuk sate kambing ke rumah tahanan. Semuanya untuk berbuka puasa. Dan semua yang berbuka puasa sudah siap dengan menu khusus itu. Jadi yang mereka pikirkan adalah bagaimana caranya makan, dari mana memulai.

“Itu puasa phisik. Mulut kita berpuasa, pikiran kita tidak. Kita tak sempat berpikir, oh, begini toh rasanya lapar, betapa memprihatinkan kaum papa yang selalu menahan lapar tanpa jelas tahu kapan akan menghentikan lapar. Puasa phisik tak akan melahirkan solidaritas yang sejati, semuanya menjadi solidaritas semu.,” kata Romo.
Saya menyela: “Tapi bukankah banyak sekali fakir miskin yang diundang saat berbuka puasa? Bahkan orang berbondong-bondong membawa nasi bungkus untuk didermakan pada mereka?”

Romo tersenyum: “Ya, itu sucinya Ramadhan. Bahkan bisa disebut saktinya bulan Ramadhan. Setelah Ramadhan lewat, berapa orang yang membawa nasi bungkus ke anak-anak jalanan dan para gembel yang selalu dianggap mengotori kota ini? Ramadhan datang, warung remang-remang dihancurkan, rumah pelacuran Dolly yang terbesar di Asia Tenggara ditutup, hotel dirazia tamunya, panti pijat, karaoke dan semua tempat hiburan malam tak boleh buka. Ramadhan lewat, negeri ini seperti dibiarkan menjadi sarang maksiat. Itu karena pola puasa kita sebagian besar menjadi urusan phisik, bukan rohani, bukan mengambil hikmat dari bulan suci itu. Saya senang di Bali tak ada lokalisasi pelacur…”

“Tapi Romo,” saya langsung menyela agar pujian itu tak berlebihan. “Memang di Bali tak ada lokalisasi pelacur karena itu simbol membiarkan perzinahan yang dilarang agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Bali. Tapi siapa yang berani mengatakan hotel-hotel di Bali bebas dari kemaksiatan?”

“Tunggu dulu,” Romo yang kini memotong saya. “Justru itu penting, memberangus simbol kemaksiatan. Bahwa kemaksiatan masih ada, itu urusan polisi dan pemuka agama yang terus menerus memberi khotbah yang menunjukkan bahwa itu maksiat. Jakarta dulu punya Kramat Tunggak, lokalisasi pelacur paling terkenal, sekarang menjadi Islamic Centre. Perubahan yang dasyat dan ini membuat citra baik. Bahwa masih ada yang tak baik, itu yang kita perangi. “

Adzan magrib bergema. “Mari kita buka,” kata Romo. “Dan besok, Insya Allah, kita berpuasa secara rohani agar nurani kita lebih berpihak pada kaum papa dan perang terhadap kemaksiatan kita lakukan berkesinambungan, ada Ramadhan atau pun tidak.”

Berita Dari Pasraman Manikgeni

Pasraman Dharmasastra Manikgeni yang juga lebih popular dengan sebutan Ashram Manikgeni di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan memiliki Taman Baca dengan ribuan buku. Koleksi buku meliputi cerita anak-anak, cerita untuk remaja, sastra, filsafat, ekonomi, pengetahuan popular, otobiografi, dan tentu saja buku-buku agama dari berbagai lintas agama. Di sini misalnya terdapat kitab Bhagawadgita dengan 12 versi terjemahan, begitu pula buku tentang Weda lainnya. Filsafat dan agama Islam menduduki urutan kedua dalam daftar buku agama, menyusul Kristen, Katolik dan Buddha. Ashram Manikgeni mendapatkan buku itu dengan cara membeli, mendapat sumbangan dari donator dan dari berbagai kalangan.

Jika Anda ingin berpartisipasi untuk melengkapi Taman Baca ini guna mencerdaskan masyarakat pedesaan bisa mengirimkan buku itu langsung ke alamat Ashram Manikgeni, atau Anda bisa mengirimkan dana punia berupa uang dengan cara mentransfer ke rekening BCA No. 049 0379 690 a.n. Putu Setia. Yayasan Dharmasastra Manikgeni akan mengelola dan mempertanggungjawabkan dana itu sebaik-baiknya, untuk kepentingan umat, bangsa dan negara.

Berikut catatan buku yang kami terima pada bulan September 2010.

Dari Arti Foundation Denpasar
1. Bali Dalam Bahasa Politik karya I Nyoman Darma Putra
2. Anjing Bali dan Rabies karya Nyoman Sadra Dharmawan
3. Bali Hohoho kartun karya Gun Gun
4. Konspirasi Media Dengan Kandidat Pilkada karya Gusti Putu Artha
5. Penari Sanghyang kumpulan cerpen karya Mas Ruscitadewi
6. Nalar Rupa Perupa karya Wayan Kun Adnyana
7. Berguru dalam Jejak Sastra karya I Nyoman Tingkat
8. Biaya Upacara Manusia Bali karya Made Sukarsa

Dari Gde Aryantha Soetama, Denpasar
1. Tak Jadi Mati kumpulan cerpen karya Gde Aryantha Soethama
2. Basa Basi Bali kumpulan tulisan karya Gde Aryantha Soethama
3. Dari Bule Jadi Bali kumpulan tulisan karya Gde Aryantha Soethama
4. Daerah Baru kumpulan cerita karya Gde Aryantha Soethama
5. Bali is Bali kumpulan tulisan karya Gde Aryantha Soethama
6. Senja di Candi Dasa novel karya Gde Aryantha Soethama
7. Bali Tikam Bali kumpulan tulisan karya Gde Aryantha Soethama
8. Mandi Api kumpulan cerpen karya Gde Aryantha Soethama
9. Pergolakan Pemikiran Menuju Amandemen UUD 1945 karya I Dewa Gede Palguna
10. Kemiskinan dan Pemiskinan Bali karya bersama Forum Komunikasi Alumni GMNI Bali


Dari Brigjen Pol. (Purn) N. Nadha, Yogyakarta
1. Pencerahan dalam Perjalanan karya Gede Prama
2. The Secret Rahasia karya Rhonda Byme
3. Kisah Tentang Seekor Sapi yang Jujur karya Necy Tanudibya
4. Konsolidasi Perbankan Nasional karya Krisna Wijaya dan Djoko Retnadi
5. 88 Kisah Bijaksana dari Negeri Naga karya Chen Wei An
6. Bertambah Bijak Setiap Hari: 5 Matahari karya Budi S. Tanuwibowo
7. Fight Like A Tiger Win Like A Champion karya Darmadi Darmawangsa dan Imam Munadi

Dari Letjen (Purn) I Putu Soekreta Soeranta, Jakarta
1. Memaknai Hidup, Renungan Rasa Eyukur karya I Putu Soekreta Soeranta
2. Gaya Hidup Sehat karya Prof. Hung Zhao Guang

Dari Djohan Efendi, Jakarta
1. Sang Pelintas Batas biografi Djohan Efendi karya Ahmad Gaus AF
2. 70 Tahun Djohan Efendi karya bersama tokoh lintas agama.

Dari Ngurah Agung, Denpasar
1. Di Kaki Padma Sang Guru Sejati penyunting Adji Mudhita

Dari Majalah Tempo, Jakarta
1. Cari Angin kumpulan tulisan karya Putu Setia
2. 9 dari Nadira novel karya Leila S. Chudori
3. Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku karya Semuel Waileruny
4. Soekarno: Paradoks Revolusi Indonesia
5. Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman
6. Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil
7. Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan