Senin, 08 April 2019

Baju Sebagai Identitas

Mpu Jaya Prema

BAJU sebagai identitas budaya memang sudah ada sejak lama. Kebaya, misalnya, adalah baju identitas untuk masyarakat tradisional Jawa yang kemudian juga dikembangkan di Bali. Karena itu tetua di pedesaan Bali menyebut kebaya itu adalah “baju potongan Jawa”.

Masyarakat Minang di Sumatra Barat baju yang dikenakan umumnya disebut baju kurung. Begitu pula kekhasan baju di berbagai daerah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, Papua dan sebagainya. Bukan cuma baju juga kain yang dikenakan. Bali dan Lombok, juga ada di sebagian daerah lain, cara memakai kain meruncing ke bawah yang disebut kancut. Namun belakangan ini sudah banyak lelaki di Bali yang enggan memakai kancut tapi memakai kain seperti orang Jawa. Namanya saja budaya, semua saling mempengaruhi.

Untuk masalah yang berkaitan dengan politik pun, baju dijadikan pula identitas, terutama warnanya. Dan ini biasanya diambil dari warna dominan bendera partai politik itu. Coba kita lihat kalau ada munas Partai Golkar, politisi yang “tahu etika identitas” akan mengenakan baju berwarna kuning. Lalu lihatlah kalau PDI Perjuangan yang punya hajat, bajunya dominan merah.

Sebuah warna bisa dipakai beberapa partai hanya sedikit beda apakah agak tua atau agak muda dan tentu ada asesoris lambang partai yang membedakan lagi. Warna biru, misalnya, dipakai Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional dan juga Partai Nasdem. Hijau oleh PKB dan PPP karena selama ini warna hijau juga menyiratkan simbul kaum muslim. Putih dipakai oleh PKS dan Gerindra. Barangkali karena warna yang layak untuk identitas politik terbatas sehingga jumlah warna kurang dibanding jumlah partai. Warna hitam tentu tak disukai karena semuanya takut kalau disebut partai politik itu menjalankan “politik hitam”. Warna pink yang sering dipakai lambang kemesraan, mungkin terlalu mengesankan lemah lembut tak berdaya, tak cocok untuk identitas partai politik. Jadi warna itu sudah menjadi simbol partai politik, tertulis atau pun tidak di dalam anggaran dasar partai itu.

Tiba-tiba calon presiden petahana Joko Widodo berseru di beberapa tempat kampanye untuk mengajak pendukungnya memakai baju putih saat pencoblosan 17 April nanti. Banyak yang heran kenapa bukan baju merah identitas PDI Perjuangan, partai yang paling depan mendukung Jokowi? Rupanya Jokowi mau gampangan saja. Karena di surat suara, baju Jokowi dan Ma’ruf Amin berwarna putih maka pendukungnya mudah digerakkan dengan menyesuaikan diri dengan warna itu. Lalu alasan lain adalah baju putih lebih murah, padahal ini juga belum tentu.

Di seberang sana, kubu Prabowo-Sandi, tak mau kalah. Mereka mendeklarasikan Rabu Biru untuk menghadapi Rabu Putih pada saat pencoblosan nanti. Padahal biru adalah simbol yang biasa digunakan Nasdem seperti halnya putih hampir semua orang tahu itu simbol PKS. Pemilu serentak pertama ini memang bisa menjungkir-balikkan semua masalah. Namun nampaknya Rabu Biru itu belum kebijakan resmi Kubu 02 dan hanya dipakai pada saat kampanye saja di beberapa tempat. Buktinya pada “kampanye akbar” hari Minggu kemarin di Gelora Bung Karno Jakarta tetap saja pendukung 02 mengenakan baju putih. Bahkan tetap ada tagar seperti “putihkan GBK” dan sebagainya.

Adakah pelanggaran dengan seruan mengenakan baju warna tertentu sebagai identitas pada saat pencoblosan? Erick Thohir, Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo–Ma’ruf Amin, menyebutkan tak ada aturan yang dilanggar. Tak ada undang-undang yang menyebut putih dan biru atau warna lainnya adalah simbol resmi sebuah partai politik. Karena itu bukan simbol maka bukan dikatagorikan alat peraga yang dilarang memasuki kawasan Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Namun bagaimana kalau dikaitkan dengan suasana kebatinan di masyarakat? Bahwa orang berbaju putih datang mencoblos tentu hal yang biasa, sebagaimana pemilu-pemilu di masa lalu, banyak yang berbaju putih. Sama dengan orang berbaju biru, hitam, kuning, warna warni, pakai batik atau kaos oblong tak ada masalah, biasa-biasa saja. Yang dilarang tentu saja tidak mengenakan baju alias telanjang, tapi itu bukan melanggar undang-undang pemilu tetapi melanggar undang-undang tentang pornografi.

Yang jadi persoalan, begitu baju putih dianjurkan dan dijadikan “sebuah gerakan” maka putih itu tidak sekadar warna tetapi simbol sebuah dukungan. Bahkan dijadikan identitas kelompok yang akan memilih calon tertentu. Lantas di mana kerahasiaan pilihan sebagai asas dari pemilihan umum? Di mana kemerdekaan dan suka cita rakyat melaksanakan demokrasi seperti yang diharapkan itu? Berbaju putih atau baju biru dicap memilih calon presiden tertentu. Jangan-jangan mengenakan baju lain dicap golput.

Padahal tahapan pemilu ada minggu tenang sebelum pencoblosan. Pada saat minggu tenang seharusnya semua simbol-simbol peserta pemilu termasuk alat peraga dinyatakan selesai fungsinya. Rakyat disuruh mencerna lebih dalam siapa yang akan dipilih. Dan ketika saat mencoblos tiba, rakyat bersuka ria untuk memilih apa yang ada di hatinya, bukan berdasar baju yang dia kenakan. Suasana riang di TPS seharusnya tetap dipertahankan seperti dulu, sehingga banyak pertugas PTS berbaju aneh-aneh, ada yang berpakaian adat, dan di Jawa banyak yang berpakaian wayang, ludruk bahkan berpakaian pocong. Semua agar orang gembira.

Janganlah rakyat dikotak-kotak terus sampai pencoblosan dengan mengenakan baju warna tertentu. Begitu pula ada ide dari Kubu 02 untuk membuat dapur umum di TPS. Itu juga tak perlu. Pokoknya segala identitas yang menunjukkan kecendrungan memilih pasangan calon siapa yang dicoblos tak boleh agar pemilu tetap rahasia. Kalau ada dapur umum harusnya dibuat oleh masyarakat secara swadaya, itu pun jika diperlukan. Sehingga siapa pun yang lapar dan mau makan silakan sepanjang persediaan ada, tak peduli pakai baju warna apa dan mencoblos calon siapa.

Kita berharap pemilu aman dan damai, khususnya di Bali yang selama masa kampanye ini sudah sangat kondusif. Lebih baik masyarakat datang ke TPS memakai busana adat saja dan bajunya bisa warna-warni karena mencoblos bukan bersembahyang ke pura, tak harus warna putih yang nanti malah bikin saling curiga. Mudah-mudahan timses di Bali, baik 01 maupun 02, tak ikut-ikutan mengarahkan warna baju agar tak ada perpecahan hanya karena pemilu. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar