Senin, 01 April 2019

Umat Hindu dan Pemilu Serentak

Mpu Jaya Prema

PEMILU serentak yang pertama kali terjadi di negeri kita tinggal menunggu hari. Kampanye terbuka sudah meriah setiap hari, meski pun fokusnya lebih banyak kepada pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden. Padahal pemilu serentak ini harus juga memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah. Ada lima surat suara yang harus dicoblos.
 
Secara nasional terjadi dua kubu yang saling berseteru. Kubu Jokowi-Ma’ruf Amin dan kubu Prabowo-Sandi. Dan kampanye yang sangat panjang ini oleh banyak pengamat disebut sangat mengkhawatirkan bakal memecah persatuan bangsa. Apalagi melihatkan pemuka-pemuka agama dengan saling klaim pengikut. Namun umumnya yang mencuat ke permukaan adalah rebutan umat Islam sebagai pemilih yang sangat besar secara nasional.

Agama dan politik memang tak bisa dipisahkan. Di negeri mana pun masalah politik biasa menyeret masalah agama. Bahkan ajaran agama di bawa-bawa ke ranah politik, entah karena tokoh agama itu sendiri adalah juga tokoh politik, atau idiom agama itu sendiri dipakai oleh politik. Ka’bah, misalnya, bangunan yang menjadi titik sentral di tanah suci umat Islam itu dipakai lambang Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Indonesia. Di negeri barat pun partai yang berazaskan agama merupakan hal yang biasa.

Apakah agama Hindu juga terlibat di dalam partai politik? Atau pertanyaan lain, apakah boleh mempergunakan nama Hindu sebagai agama dalam kehidupan hiruk-pikuk politik? Tentu saja tak ada larangan. Di India, di mana kitab suci Hindu diwahyukan, ada partai politik yang berazaskan Hindu, bahkan merupakan partai yang pernah memimpin negeri itu, yakni Partai Bharatiya Janata. Silih berganti partai ini berkuasa dengan Partai Kongres.

Cuma saja tidak menjadi keharusan di sebuah negara yang ada umat Hindu harus ada partai Hindu. Tidak juga kemudian dijadikan doktrin bahwa Hindu sebagai agama harus berpolitik seperti halnya tak ada gunanya menyebutkan bahwa Hindu sebagai agama harus dipisahkan dari politik. Biarkan semua itu terjadi karena budaya lokal termasuk kearifan masyarakat dalam menyikapi apakah kita ikut arus politik membawa agama atau tidak. Dan sikap kita itu bisa saja dituangkan dalam kesepakatan bersama. Semuanya sah-sa saja.

Dalam kaitan dengan umat Hindu di Nusantara, khususnya di Bali, kita mengalami pasang surut. Pada awal-awal pemerintahan Orde Baru, pernah majelis tinggi yakni Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dimasukkan ke dalam Sekber Golkar. Waktu itu Golongan Karya (Golkar) bukan sebagai partai politik. Selama Orde Baru jika ada pemilu, umat Hindu digiring untuk memilih Golongan Karya. Bahkan umat di pedesaan tak jarang diajak ke sebuah pura untuk menyatakan kebulatan tekad memilih Golkar.

Sekarang Golkar sudah menjadi partai politik, setara dengan partai politik lainnya. Tentu saja, PHDI pun tak mau lagi dimasuk-masukkan ke dalam Golkar, meski pun secara pribadi ada yang aktif di partai. Belakangan malah terjadi pemisahan yang jelas antara majelis agama Hindu dengan partai politik. Itu ditandai dengan lahirnya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PHDI yang tidak membolehkan pengurusnya merangkap sebagai pengurus partai politik. Ini artinya memang ada kesepakatan yang memisahkan antara kegiatan politik dengan kegiatan keagamaan.


Pemisahan antara politik dan agama dalam kasus umat Hindu di Indonesia agaknya menjadi “bagian yang tak tertulis” dengan adanya kenyataan tidak ada partai politik yang berazaskan Hindu di negeri kita ini. Beda dengan di benua India, misalnya. Memang dulu ketika reformasi baru saja dimulai, ada keinginan sejumlah orang untuk mendirikan partai berazas Hindu, meski namanya tak harus memakai Hindu. Misalnya, Partai Sanata Dharma Indonesia. Namun rencana itu tetap dalam ranah rencana karena tak mendapat sambutan apa pun. Bahkan ormas Hindu seperti Prajanithi Hindu Indonesia boleh disebutkan tidak laku di kalangan umat Hindu. Kenapa? Karena dulu ormas Hindu ini dianggap sayap dari Golkar meski pun kini sudah merupakan ormas Hindu yang independen.

Lalu apa sikap Hindu sebagai agama dan sikap majelis agama Hindu dalam mengayomi umatnya? PHDI pernah merumuskan sikap itu dengan menyebutkan istilah Dharma Agama dan Dharma Negara. Dharma Agama adalah mengayomi dan memberikan dorongan yang besar kepada umat dalam melaksanakan ajaran agamanya, termasuk ritual keagamaan yang ada. Sedangkan Dharma Agama adalah umat Hindu setia kepada negara dan bangsa serta mendukung siapa pun pemimpinnya yang dipilih secara demokratis. Tidak ada penggalangan massa atas nama majelis agama atau ormas agama untuk memilih pemimpin sebagai pejabat publik yang terkait dengan politik. Memang muncul riak-riak kecil. Misalnya, masih ada penggiringan massa jika ada pilkada yang memilih bupati atau gubernur. Masih ada krama adat yang seolah-olah mewakili seluruh warga desa adat untuk menyatakan sikap mendukung salah satu calon bupati atau calon gubernur.

Nah, dalam kaitan dengan pemilu serentak saat ini, yang lebih banyak fokusnya pada pemilihan presiden dan wakil presiden, terjadi perseteruan yang banyak dicemaskan orang akan pecahnya persatuan bangsa, karena masalah agama dibawa-bawa. Namun kita sangat bersyukur, agama Hindu dan umat Hindu tidak ikut terseret arus dalam perseteruan itu. Tak ada, misalnya, penggalangan massa secara mencolok untuk menyatakan kebulatan tekad mendukung calon nomor 01 mau pun calon nomor 02. Apalagi sampai digiring ke pura untuk melakukan sumpah. Pemilu yang tinggal 17 hari ini semoga tidak dicemarkan oleh penggalangan dukungan yang membawa-bawa agama Hindu, apalagi sampai kebulatan itu dilangsungkan di pura. Para tokoh umat dan tokoh partai harus menjaga hal ini sehingga umat Hindu tetap cerdas dalam berpolitik.

Kalau kita bisa menjaga hal ini sampai pencoblosan dan bahkan sampai penetapan siapa pemenang pemilu serentak ini, maka tentu saja ini menggembirakan. Semoga umat Hindu damai dengan perbedaan ini dan tidak ikut-ikutan pecah hanya gara-gara pemilu. Astungkara. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar