Sabtu, 06 April 2019

Baju

Putu Setia | @mpujayaprema

Menjadi politisi di negeri ini harus pandai mengenakan baju. Warna baju menentukan jati diri menyangkut fanatisme partai politik. Coba lihat kalau ada munas Partai Golkar, misalnya, politisi yang “tahu etika” akan mengenakan baju kuning. Lalu lihatlah kalau PDI Perjuangan yang punya hajat, bajunya dominan merah.

Sebuah warna bisa dipakai beberapa partai. Biru dipakai Partai Demokrat, PAN dan Nasdem. Hijau oleh PKB dan PPP. Putih oleh PKS dan Gerindra. Warna yang layak untuk identitas politik terbatas. Hitam tentu tak dipilih karena takut disebut menjalankan “politik hitam”. Pink mungkin mengesankan lemah lembut tak berdaya. Warna itu sudah jadi simbol, tertulis atau pun tidak di dalam anggaran dasar partai.

Tiba-tiba Joko Widodo selaku calon presiden berseru mengajak pendukungnya memakai baju putih saat pencoblosan 17 April nanti. Kok bukan baju merah identitas PDI Perjuangan? Rupanya Jokowi mau gampangan, karena di surat suara baju Jokowi dan Ma’ruf Amin berwarna putih, maka putih itulah yang digunakan. Alasan lain yang agak dicari-cari, baju putih lebih murah.
Di seberang sana, kubu Prabowo tak mau kalah. Mereka mendeklarasikan Rabu Biru untuk menghadapi Rabu Putih. Padahal biru adalah simbol yang juga digunakan Nasdem seperti halnya putih hampir semua orang tahu itu simbol PKS. Begitulah pemilu serentak pertama ini memang bisa menjungkir-balikkan semua masalah.

Adakah ini pelanggaran? Erick Thohir, Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo–Ma’ruf Amin, tak menyebut ada aturan yang dilanggar. Tak ada undang-undang yang menyebut putih dan biru adalah simbol resmi sebuah partai politik. Karena itu bukan simbol maka bukan termasuk alat peraga yang dilarang memasuki kawasan tempat pemungutan suara.

Erick jelas mengabaikan suasana kebatinan di masyarakat. Bahwa orang berbaju putih datang mencoblos tentu hal yang biasa, sebagaimana setiap pemilu. Sama biasanya dengan orang berbaju biru, hitam, kuning, batik atau kaos oblong. Yang dilarang adalah tidak mengenakan baju alias telanjang, tapi itu melanggar undang-undang tentang pornografi. Namun, begitu baju putih dianjurkan dan dijadikan sebuah gerakan, maka putih tidak sekadar warna tetapi simbol sebuah dukungan. Lantas di mana kerahasiaan sebagai asas dari pemilihan umum? Di mana kemerdekaan dan suka cita rakyat melaksanakan demokrasi seperti yang diharapkan? Berbaju putih atau biru sudah jadi pertanda memilih calon presiden tertentu. Mengenakan baju lain dicap plintat-plintut –kata ini sudah kedaluwarsa, sekarang setara golput.

Tahapan pemilu ada minggu tenang sebelum pencoblosan. Di situ seharusnya semua simbol-simbol peserta pemilu termasuk alat peraga dinyatakan selesai berfungsi. Rakyat disuruh mencerna lebih dalam siapa yang akan dipilih. Ketika hari pencoblosan tiba, rakyat bersuka ria memilih apa yang ada di hatinya, tanpa berhitung baju apa yang dikenakan. Selesai mencoblos bolehlah menyerbu restoran siap saji untuk minta diskon dengan tunjukkan jari bertinta. Itu tradisi baik yang seharusnya dipertahankan.

Kenapa rakyat harus dikotak-kotak sampai ke bilik suara. Dapur umum pun harusnya dibuat oleh masyarakat secara swadaya jika diperlukan. Sehingga siapa pun yang haus dan mau minum silakan sepanjang persediaan ada, jangan dibedakan warna bajunya.

Sayang sekali sudah terlanjur Rabu Putih dan Rabu Biru dideklarasikan. Tinggal mengharapkan rakyat yang lebih waras dari pemimpinnya, mari berbusana warna warni. Kemeja batik di pasar banyak yang lebih murah dari baju putih.

(Dari Koran Tempo 6 April 2019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar