Umat sedharma yang berbahagia. Kita lanjutkan pembahasan Kitab Sarasamuscaya, kitab yang berisi himpunan etika dalam meniti kehidupan ini himpunan Bhagawan Wawaruci. Saya tidak menyertakan bahasa Jawa Kuno atau di Bali disebut bahasa Kawi, mau pun bahasa Sansekerta, karena pembahasan yang lengkap termasuk sloka dalam kedua bahasa itu nanti ada di buku saya. Pada seri ini temanya adalah Perbuatan yang Terpuji. Cukup ringkas, hanya terdiri dari 10 sloka, mulai dari sloka 251 sampai sloka 260. Baiklah, saya mulai dengan sloka ke 251.
Adapun yang harus
diingatkan adalah pertumbuhan jasmani. Masa kanak-kanak, masa dewasa, dan masa
berumur tua. Kemudian disesuaikan lagi dengan harta benda kepunyaan kita dari hasil
perbuatan yang sudah dilakukan. Setelah itu sesuaikan dengan penampilan, cara
kita berpakaian, berhias, berbicara dan berprilaku. Jika kita sudah melakukan
penyesuaian yang berimbang maka itulah yang disebut dengan bisa mengendalikan
diri.
Orang yang santun adalah orang yang
menyesuaikan diri dengan aturan norma dan etika yang berlaku di masyarakatnya.
Demikian juga hendaknya prilaku disesuaikan dengan umur, perilaku dan umur
disesuaikan dengan harta kepunyaan, disesuaikan dengan pakaian dan perhiasan
yang dipergunakan. Jika kita sudah mampu menyesuaikan semuanya itulah yang
dimaksud bisa mengendalikan diri. Jangan kita berpenampilan nyeleneh, sudah tua
berlagak seperti anak-anak muda. Sudah berumur suka menggoda para remaja,
mabuk-mabukan di jalanan, naik motor ugal-ugalan. Apalagi kita memakai hiasan
dengan meminjam di sana sini, bukan dari harta kita sendiri. Intinya adalah pengendalian
diri ini disesuaikan juga dengan usia dan keadaan kita. Saya lanjut ke sloka
252.
Adapun orang yang harus dihibur hatinya
adalah orang lelah, orang sakit, orang miskin, orang yang ketakutan, orang yang
lapar, orang susah, orang yang hartanya habis dicuri atau dirampok, orang yang
berduka cita. Semua orang ini patut dibesarkan hatinya.
Inti dari sloka ini adalah hendaknya
manusia senantiasa berusaha untuk menyenangkan hati dari semua orang, terutama
orang-orang yang sedang kelelahan, orang yang sedang sakit, orang yang terhina
dan dikucilkan, orang yang hidup miskin, orang yang sedang ketakutan, orang yang
kelaparan, serta orang yang sedang menderita bencana, musibah atau nasib malang.
Janganlah penderitaan mereka itu kita jadikan bahan tertawaan. Atau kita
syukuri karena kita tahu kesalahan ada pada mereka kenapa sampai menderita
begini. Misalnya, ada orang yang rumahnya kebakaran, lalu mereka menderita.
Kita justru mencela mereka karena ceroboh tidak mematikan kompor selama
ditinggal pergi. Jangan bebani penderitaan mereka pada saat masih dalam
kesusahan. Nanti kalau kesusahannya sudah dilupakan, barulah kita ingatkan
mereka agar lebih berhati-hati. Saya lanjut ke sloka 253.
Tenangkan hati
orang yang sedang kebingungan. Marilah sebarkan ajaran agama dan kesopan-santunan
terhadap empat golongan masyarakat. Berbuatlah kebajikan untuk umum dan
ajarkanlah kesusilaan.
Sloka ini menekankan pada kita
untuk menyebarkan ajaran agama dan kebaikan dengan memperhatikan empat tahapan
dalam kehidupan manusia. Itu yang dimaksudkan golongan di sini. Tahap orang
masih muda dan sedang belajar menuntut ilmu, saat orang sudah berumah tangga, saat
orang sudah bersiap meninggalkan kenikmatan duniawi, dan terakhir saat orang
sudah lepas dari segala nafsu dan menjadi sanyasin. Jadi, ajaran agama yang
mana pantas diberikan kepada orang pada tahap-tahap kehidupan itu, kesusilaan
macam apa yang harus diberikan pada tahap itu. Semua tahapan itu ada bedanya.
Orang yang masih muda diberikan pengetahuan agama yang tinggi tentulah tak bisa
diresapinya. Sementara itu kita pun harus menghilangkan segala kemalasan dan terus
belajar tentang kebajikan dan kebenaran dari kitab suci. Karena belajar tak
mengenal usia. Saya lanjut ke sloka 254.
Karena jika orang
menyeleweng dari kesusilaan, percumalah kebajikan yang telah diperbuatnya, tak
akan ada pahalanya kelak. Ada pun orang yang teguh iman dan berprilaku susila,
sempurnalah kebajikan yang diperbuatnya dan sempurnakan pahala yang diterimanya
kelak.
Sloka ini membedakan antara
kesusilaan dan kebajikan. Susila lebih pada tingkah laku, prilaku kita dalam
kehidupan di masyarakat. Kebajikan adalah niat atau usaha baik kita sesuai
dengan ajaran agama. Misalnya, kita suka bersedekah, membantu orang yang kesusahan.
Namun kita sering melanggar kesusilaan, misalnya, mabuk-mabukan, mondar-mandir
di jalanan dengan motor yang knalpotnya memekakkan, suka berjudi dan seterusnya.
Antara kesusilaan dan kebajikan itu harusnya seriring agar kita mendapat pahala
dalam kehidupan kelak. Saya lanjut ke sloka 255.
Beginilah
seharusnya tingkah laku seseorang yang sudah berkeluarga. Harus bisa
mengendalikan hubungan suami istri pada saat-saat tertentu terutama pada
hari-hari suci.
Sloka ini dalam bahasa Sansekerta
berlaku umum, tidak ada penjelasan apa pun. Namun Bhagawan Wararuci dalam terjemahan
bahasa Jawa Kuno memberikan rincian kapan hubungan suami istri itu tak boleh
dilakukan. Disebutkan di situ agar pasangan suami istri hidup langgeng dalam
berumah tangga, menghindari untuk melakukan senggama pada bulan mati atau tilem,
pada penanggal ke 14 atau sehari sebelum bulan purnama atau di Bali disebut
purwani, pada pengelong ke delapan. Pangelong ini adalah hitungan peredaran
bulan menuju bulan mati, jadi pengelong ke delapan sama dengan seminggu sebelum
bulan mati. Pengendalian diri dalam berhubungan suami istri ini disebut dengan
brata amertha snataka.
Saya lanjut ke sloka 256.
Jika ingin
memperoleh surga hendaknya janganlah minum-minuman keras, jangan berbohong, jangan
berzinah, jangan mencuri, membunuh dan menyiksa makluk hidup.
Sloka ini sudah jelas. Kalau dikaitkan
dengan sloka sebelumnya, penekanannya adalah jangan melakukan hubungan suami
istri kepada orang yang bukan suami istri. Misalnya memperkosa orang atau
berselingkuh. Ini perbuatan yang sangat tidak baik. Saya lanjut ke sloka 257.
Batasi apa yang
dimakan, atur caranya makan dan sesuaikan dengan waktu yang tepat untuk makan.
Jangan mengumbar nafsu untuk bersolek dan menghias diri. Jangan berfoya-foya
dan malas-malasan jika ingin mendapatkan sorga.
Sloka ini juga sudah jelas dan
gamblang. Soal mengatur makanan dimaksudkan supaya kita tidak rakus, ada
saat-saat tertentu untuk makan dan ada batasannya. Yang jelas makanan yang
memabukkan harus dihindari. Saya lanjut ke sloka 258.
Hendaknya
selalu melakukan ajaran yama. Ada pun
ajaran niyama bolehlah tidak secara tetap dilakukan. Karena orang yang terlalu
mengikatkan diri pada ajaran niyama,
tanpa ada dasar dan menyiapkan diri
untuk melakukan yama, ia akan terjerumus ke jurang sengsara.
Yama itu adalah ajaran
mengendalikan nafsu. Sedangkan niyama adalah meneguhkan diri secara mental.
Berlatih mengendalikan nafsu itu harus terus menerus dilakukan. Kalau dasarnya
ini tidak kuat, bagaimana kita bisa meneguhkan mental kita. Karena itu mengendalikan
nafsu (yama) itu yang harus diperkuat sebelum kita dengan yakin bisa meneguhkan
mental kita. Pada akhirnya hanya orang yang bisa mengendalikan nafsu indrawinya
yang memiliki keteguhan mental. Jika tidak niscaya akan gagal dalam usahanya.
Saya lanjut ke sloka 259.
Adapun brata yang
disebut yama ada sepuluh banyaknya. Yaitu anresangsya, ksama, satia, ahimsa,
dama, arjawa, priti, prasada, madurya, mandawa. Demikianlah ke sepuluh brata
itu harus ditaati dengan ketat.
Sloka ini adalah penjelasan tentang
ajaran Yama. Dalam bahasa Sansekerta tidak ada rincian penjelasan ajaran yama,
pengendalian nafsu yang sepuluh itu. Dalam bahasa Jawa Kuno, Bhagawan Wararuci
menjelaskan dengan rinci. Anresangsya adalah orang yang menenggang perasaan
orang lain dan jangan mementingkan diri sendiri. Ksama adalah orang yang tahan menghadapi
cobaan suka duka hidup dan bisa memaafkan. Satia adalah orang yang tidak ingkar
akan kata-kata atau tidak berdusta. Ahimsa adalah menyenangkan segala makhluk
hidup atau tidak menyiksa dan membunuhnya. Dama adalah orang yang sopan santun
dan mampu menasehati diri sendiri, arjawa adalah orang yang jujur dan selalu
berterusterang. Priti adalah orang yang punya perasaan kasih sayang dan
berbelaskasih melihat penderitaan manusia dan makhluk hidup lainnya. Prasada
adalah orang yang berhati bersih dan berpikir jernih. Madurya adalah orang yang
tutur katanya halus dan sopan. Mardawa adalah orang yang berbudi halus dan
lebut hatinya. Saya lanjut ke sloka 260.
Adapun brata yang
bernama Niyama ada sepuluh. Yaitu dana, ijiya, tapa, dhyana, swadhyaya, upasthanigraha,
brata, upawasa, mona, snana. Inilah rincian niyama yang harus dikerjakan.
Seperti sloka sebelumnya, Bhagawan
Warasuci menjelaskan arti setiap kata dalam ajaran Niyama ini. Dana adalah bersedekah
dengan tulus ikhlas. Ijaya yaitu pemujaan terhadap Tuhan dan leluhur. Tapa
artinya pengekangan hawa nafsu. Dhyana
memusatkan pikiran kepada Tuhan saat perenungan. Swadhyaya mempelajari kitab
suci. Upasthanigraha mengendalikan nafsu birahi atau seksual. Brata mengikuti
pantangan yang telah ditetapkan. Upawasa artinya berpuasa. ; Mona artinya mengendalian
kata-kata. Snana artinya penyucian diri lahir batin. Kalau kita mempelajari
meditasi, tahap-tahap dalam Niyama ini banyak dipraktekkan.
Nah umat sedharma yang berbahagia.
Tema tentang Perbuatan yang Terpuji beserta uraian Yama dan Niyama ini sudah
berakhir di sini. Pada seri selanjutnya kita akan bertemu tema tentang Artha yaitu
harta kekayaan yang berupa harta benda. Bagaimana kita mengumpulkan harta
dengan baik, bagaimana memanfaatkannya, apakah kita terikat dengan harta dan
seterusnya akan dibahas nanti. Jangan lupa untuk mengikuti terus seri
pembahasan kitab Sarasamuscaya. Sampai jumpa. Rahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar