Putu Setia | @mpujayaprema
Hari ini, kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak dimulai. Ada 9 daerah yang memilih gubernur, 224 yang memilih bupati dan 37 yang memilih walikota. Tentu beserta wakil-wakilnya. Bayangkan, betapa banyaknya orang yang kampanye.
Namun lebih baik kita lupakan kampanye pilkada di masa
pandemi Covid-19 ini. Ada kampanye yang tak kalah pentingnya. Kampanye
menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Kampanye remeh temeh, yakni urusan
memakai masker scuba.
Ada seseorang yang berkampanye lewat video pendek tentang
masker scuba yang masih dijajakan di pinggir jalan. Bahwa pemerintah mulai
melarang pemakaian masker scuba dengan alasan tak efektif menangkal virus
corona, itu karena pemerintah panik. Juga sering kurang akal melawan Covid-19. Rakyat
selalu disalahkan, padahal para menteri yang menjadi bagian pemerintah sering
juga salah. Rakyat sudah patuh, disuruh memakai masker, ya, beli masker di
pinggir jalan.
Masker scuba itu tak perlu dibuang hanya karena
disebut kurang efektif oleh pemerintah. Asal memakainya dengan benar. Ambil
satu masker dan pasang dengan baik. Ambil selembar tisu wajah, tempelkan di
masker itu. Ambil lagi satu masker untuk menutup tisu itu. Nah, sudah teruji
lebih baik dibanding masker kain dua lapis. Repot? Ya jelas, tapi kan sudah
terlanjur hanya punya jenis masker itu.
https://youtu.be/VygY02KdzFc
Inilah kampanye lebih bermutu ketimbang kampanye
pilkada. Urusan pilkada, bagi orang desa yang kebanyakan pemakai masker scuba,
sudah final. Tak ada pilkada-pilkadaan di masa pandemi yang masih mengganas. Mereka
sama sekali tak menentang keputusan pemerintah. Justru mereka konsisten dengan
ajakan Presiden Jokowi: “Kesehatan yang utama”.
Cara berpikir mereka pun polos saja. Jika Prof Azyumardi
Azra menyatakan golput sebagai bentuk solidaritas kepada para dokter yang
menjadi korban Covid-19, orang desa itu lugu saja menolak pilkada. Bagi mereka,
pilkada, seperti halnya pemilihan umum, adalah pesta demokrasi. Yang namanya
pesta itu penuh keceriaan. Petugas di tempat pemungutan suara berpakaian
aneh-aneh, ada yang berdandan ala pocong, wayang orang, busana adat dan
sebagainya. Orang pada girang. Lalu pemilih bawa makanan dan dibagi-bagi. Pas
penghitungan suara, ditandai canda saling meledek. Dangdut diputar sambil
berjoged.
Pilkada di masa pandemi ini sudah tak mungkin seperti
pesta. Kalau pun mereka memaksakan diri hadir untuk nyoblos, itu disertai ketakutan.
Tak ada berani salaman. Mau mencoblos harus membawa paku sendiri, takut jika
paku panitia sudah ketularan virus. Ragu mencelupkan jari ke tinta, sudah
berapa jari tercelup di sana. Mau lihat penghitungan suara, melanggar
keramaian.
Lagi pula orang-orang desa banyak yang masih percaya
simbol. Ketua Komisi Pemilihan Umum terpapar Covid-19. Ada banyak calon yang
juga terpapar, bahkan sampai meninggal dunia. Ormas keagamaan, seperti NU
dan Muhammadiyah, meminta pilkada
dibatalkan. Belum ada respons, Menteri Agama terpapar corona. Semua simbol itu menancap
di benak orang desa, yang menandakan pilkada sudah harus ditunda. Bahwa simbol
ini berbau takhayul, itu bisa diperdebatkan.
Kalau pilkada dipaksakan, sementara pandemi tak juga
melandai turun, berapa banyak yang akan mencoblos? Hasil pilkada akan jauh dari
legitimasi yang diharapkan, meski pun bisa saja itu dianggap sah. Aneh memang
jika pilkada seolah-olah menggiring masyarakat untuk beresiko tertular Covid-19.
Karena itu, kampanye terbaik dalam beberapa bulan ini, selain menggunakan
masker, adalah ikuti ajakan Jokowi: “Kesehatan yang utama.”
(Koran Tempo 26 September 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar