https://youtu.be/y5f9MSGabgw
Umat sedharma yang terkasih. Kita
lanjutkan pembacaan kitab Sarasamuscaya yang sudah menginjak ke sloka ke 300. Tema
kali ini masih tentang orang yang berilmu dan berbudi. Dalam tema ini juga
mengungkap bagaimana cara kita bergaul dan kepada siapa kita baiknya bergaul. Seperti
biasa, saya tak menyertakan sloka dalam versi bahasa Sansekerta maupun dalam
bahasa Jawa Kuno, karena sloka dalam kedua bahasa itu akan ada di dalam buku
saya, kalau sudah terbit. Oke saya mulai dengan sloka 300.
Setiap orang harus
terjun ke dalam pergaulan. Karena lewat pergaulanlah orang cepat memperoleh
kepandaian dan menularkan kepandaian. Karena itu bersungguh-sungguhlah bergaul
dengan orang pandai. Seperti halnya membuat minyak wangi dari bau bunga, maka
bau bunga itu akan meresap kepada kain, air, minyak karena persentuhannya.
Sloka ini menekankan pada pergaulan
yang sehat. Ilmu akan banyak kita peroleh dari cara kita bergaul. Orang moderen
pun seringkali berkata bahwa ilmu begitu banyak di masyarakat dan alam ini
adalah guru yang hebat. Ilmu tak hanya didapat di bangku sekolah saja, tetapi
ilmu bertebaran di alam. Syaratnya adalah kita pandai-pandai bergaul dan
memilih siapa yang layak diajak bergaul. Bergaul dengan orang pandai adalah hal
yang utama. Bergaul dengan orang jahat tentu harus dihindari. Wanginya
persahabatan dengan orang-orang bijak ibarat wangi bunga yang segera meresap
dan menyebar lewat pergaulan. Saya lanjut ke sloka 301.
Oleh karenanya, akan
menjadi rendahlah budi seseorang jika ia bergaul dengan orang yang hina budi. Jika
mereka bergaul dengan yang madya budi maka seperti itu pulalah budi mereka, sedang-sedang
saja. Namun jika seseorang bergaul dengan orang yang utama budi, maka utama
budilah yang akan diperolehnya.
Hampir sama dengan ilmu yang kita
dapatkan dalam pergaulan, budi atau kelakuan kita pun akan terpengaruh oleh
kelakuan teman bergaul. Kalau kita berteman dengan maling maka kita bisa saja
menjadi maling, kalau teman-teman kita penjudi semuanya, maka kita pun bisa kdetularan
sebagai penjudi. Maka dianjurkan untuk meningkatkan budi kita maka bergaullah
dengan orang yang berbudi baik. Sloka ini terlalu umum jadi tak perlu kita
bahas lagi. Lanjut ke sloka 302.
Mesikipun sedikit
kepandaian seseorang, apabila bergaul dengan orang yang bijaksana maka
kepandaian itu akan semakin bertambah, bagaikan setetes minyak yang jatuh di air, akan menyebar
dan meluaskan minyak itu di dalam air.
Sloka ini sudah gamblang sekali dan
saya kira terjemahan yang saya buat ini sudah memakai bahasa yang sederhana
tanpa kehilangan konteks perumpamaannya. Saya lanjut ke sloka 303.
Betapa pun kita
punya keahlian dan kepandaian namun jika bergaul dengan orang yang tak punya
dasar kebijakan, maka terpendamlah keahlian itu, tidak kelihatan manfaatnya.
Tak beda dengan bayangan gajah pada cermin kecil, menjadi kecil pulalah
bayangan gajah itu sebesar cerminnya.
Sloka ini pun juga sudah jelas.
Kita harus benar-benar memperhatikan pergaulan kita, usahakan selevel.
Sesungguhnya ini juga bukan soal bergaul secara phisik, juga dalam melakukan
diskusi-diskusi atau perdebatan dalam berbagai masalah. Kalau kita larut berdebat
dengan orang yang levelnya lebih rendah maka ilmu yang kita punyai tak ada
artinya. Dalam dunia moderen sekarang ini di mana banyak perdebatan lewat media
sosial, maka kita harus hati-hati meladeni orang-orang yang ilmu, wawasan, dan
perilakunya tidak seimbang dengan kita. Capek kita meladeninya dan ilmu kita
pun jadi sia-sia, boro-boro menambah ilmu. Saya lanjut ke sloka 304.
Janganlah kita
sampai tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Siapkan diri dan kejarlah ilmu,
janganlah sampai terlibat pada perbuatan yang menimbulkan dosa. Tanpa punya ilmu
orang akan menemui musuh dalam dirinya sendiri.
Apapun alasannya janganlah membenci
ilmu pengetahuan, dan tidak mengejarnya. Ilmu pengetahuan tak harus dicari di
bangku sekolah dengan membayar mahal, kita bisa mengejar ilmu itu lewat pergaulan
yang benar. Pengetahuan akan membuka wawasan dan menjauhkan kita dari dosa-dosa;
sebab orang yang bodoh tidak akan pernah sadar, bahwa yang terlebih dahulu
harus diperangi dan ditundukkan adalah sisi pribadi yang bodoh itu. Sangat
ringkas dan gamblang sloka ini memberikan nasehat. Saya lanjut ke sloka 305.
Yang patut diusahakan
dalam bergaul, bergaullah dengan para sadhu. Kalau menjalin hubungan kekeluargaan
jalin pulalah dengan sang sadhu. Begitu pula dalam berdebat, berdebatlah dengan
sang sadhu karena akibatnya tak mungkin akan merendahkan budi.
Sadhu dalam sloka ini artinya orang
yang berbudi tinggi. Hanya dengan orang seperti itulah layak kita pilih sebagai
sahabat, tempat menjalin kekeluargaam. Bahkan dalam berdebat atau berdiskusi
usahakan bersama para orang yang berbudi luhur, karena betapa pun perdebatan
itu memanas tidak akan saling mengejek dan saling merendahkan. Dengan bergaul
seperti itu mustahil anda tidak akan kelimpahan budi luhur itu jika selalu
berinteraksi dengan orang-orang yang berbudi luhur. Saya teruskan ke sloka 306.
Adapun tingkah
laku sang sadhu adalah tidak sombong waktu dipuji, tidak kecil hati kalau
dicela, tidak mudah terpengaruh oleh rasa marah, tidak akan berkata-kata kasar,
tetap teguh iman dan suci hatinya.
Nah sloka ini hanya menjelaskan
ciri-ciri orang sadhu atau orang yang berbudi mulia, sehingga mudah untuk
dicari diajak bergaul. Kalau ciri-cirinya seperti itu maka kepada dialah kita
banyak bergaul dan bertimbang rasa agar kita mendapatkan percikan dari
kesadhuannya. Saya lanjut ke sloka 307.
Seorang sadhu tak
akan memikirkan kesalahan orang lain, tidak akan mempercakapkan kejelekan orang,
tak akan mengeluarkan kata-kata kasar dalam menanggapi celaan dan hinaan orang.
Dalam hatinya yang dilihat hanyalah kebajikan dan perbuatan baik orang dan
selalu berpikiran positif. Demikianlah perilaku orang sadhu yang juga disebut
purusottama.
Kata purusottama arti sebenarnya
adalah manusia utama bagaikan dewa wisnu. Kita tahu Dewa Wisnu adalah dewa
pemelihara, jadi orang sadhu atau orang berbudi mulia penuh belas kasih dan
penyayang. Tidak ada kemungkinan apapun yang dapat membuatnya menyimpang dari kebajikan
dan kebijaksanaan, ia selalu berkeadaan teguh pada susila, etika, dan sopan santun.
Saya lanjut ke sloka 308.
Sang sadhu juga
disebut upasama. Seperti halnya padi, ia merunduk karena beratnya buah. Atau
seperti dahan kayu yang juga merunduk karena lebatnya buah.
Sloka ini menjelaskan lebih jauh
tentang sang sadhu ini. Upasama artinya orang yang selalu merendahkan diri
karena banyaknya kepandaian dan pengetahuannya. Jadi benarlah ada pepatah dalam
sastra pujangga lama yang menyebutkan: ibarat padi yang merunduk karena berisi.
Merendahkan diri tentu beda dengan rendah diri. Kalau rendah diri artinya orang
yang tidak percaya kemampuan dirinya. Kalau merendahkan diri dia tidak berlaku
sombong dengan kepandaian yang dimilikinya. Saya lanjut ke sloka 309.
Orang sadhu tak akan
menceritakan keburukan orang lain apalagi dibelakang orang tersebut, selalu berusaha
untuk menolong orang-orang yang kesusahan, tidak diliputi kemarahan dan kebencian.
Sangat pantaslah orang bijaksana itu untuk dihormati.
Sloka ini masih tentang penjelasan
orang sadhu atau orang yang berbudi luhur. Sudah gamblang apa yang disebutkan
dan orang seperti itulah yang patut diajak bergaul. Saya lanjut ke sloka 310.
Ada pun manusia berbudi
seperti ini adalah mereka yang punya wibawa karena dipenuhi kebijaksanaan,
terpelajar dan berpengetahuan, tidak sombong, berbudi lembut, tidak kasar dan
tidak diliputi amarah, ia dihormati dan dituruti perintahnya.
Sloka ini masih menjabarkan tentang
ciri-ciri orang sadhu. Saya kira tak perlu dibahas lagi. Saya lanjut ke sloka
311.
Kalau pun tidak
mampu mengikuti tingkah laku sang sadhu seluruhnya, karena memang sangat berat
dan banyak syaratnya, sebagian diikuti sudah baik. Sesuaikan dengan kemampuan
diri sendiri, walau pun sedikit pastilah akan banyak menolong.
Sloka ini menekankan kepada
kemampuan diri kita sendiri. Mungkin tak seluruh teladan orang berbudi luhur
itu bisa kita ikuti, atau hanya sebagian saja ilmu yang mereka miliki meresap ke
dalam diri kita. Namun percayalah, yang sedikit itu tetap akan menolong kita
dalam kehidupan ini. Jadi intinya adalah jangan kecewa jika ilmu xdari orang
bijak itu tak semua bisa kita laksanakan karena setiap manusia ada
keterbatasannya. Saya lanjut ke sloka 312.
Lagi pula bukan
saja manusia dan makhluk hidup lain yang mencintai sang sadhu, bahkan sang
hyang atma pun cinta kasih kepada sang sadhu.
Penekanan sloka ini terletak kepada
roh-roh suci yang juga sangat sayang kepada orang yang berbudi luhur. Artinya,
kemampuan sang sadhu dalam membawa diri dalam kehidupan ini juga diterima
dengan baik oleh roh-roh suci di alam yang lain. Ini pertanda betapa vibrasi
sang sadhu itu luar biasa. Jadilah kita sebagai sang sadhu dengan segala upaya
yang kita miliki. Lanjut ke sloka 313.
Orang yang berbuat
bajik kepada orang lain, bukan karena hasrat akan pahala namun lebih sebagai kewajiban
diri sang sadhu. Prilaku bajik yang jauh dari motif-motif pahala seperti ini merupakan
tindakan cerdas, terpelajar dan bijaksana. Itulah sifat seorang maha purusa.
Maha purusa dalam sloka ini artinya
orang yang berjiwa besar. Orang seperti ini tak lagi memandang apakah kebajikan
yang dia lakukan mendapat balasan atau tidak. Dia tak pernah memandang dan menghitung
pahala atau balasan dari kebajikan yang dilakukannya itu. Semuanya dilakukan
dengan ikhlas dan tanpa beban sama sekali. Saya lanjut ke sloka 314.
Kesimpulannya
usahakan dengan sebaiknya meniru perbuatan orang sadhu itu dengan tekun dan
teguh. Harta kekayaan tidak selayaknya dipegang teguh jika bertentangan dengan
kebajikan, sebab ia dapat datang atau pergi dan sulit untuk dijaga. Lagi pula
bukannya orang yang tidak berharta dinamakan miskin. Walau tanpa harta, jika
kaya moralitas, bajik dan susila, inilah sesungguhnya yang dinamakan kaya. Meskipun
ada orang yang kaya harta namun jahat, amoral dan asusila, mereka inilah yang disebut
miskin.
Ini sloka penutup dalam tema ini.
Bhagawan Wararuci ketika menulis pembahasan dalam bahasa Jawa Kuno mengulang
kembali inti sloka-sloka sebelumnya. Disinggung kembali soal posisi harta
kekayaan, arti dari kemiskinan dan seterusnya. Dalam sloka bahasa Sansekerta
pengulangan inti itu tidak ada.
Nah umat sedharma, kita sudah
selesai membahas tema tentang orang yang berilmu dan berbudi, sehingga kita
bisa memilih siapa yang layak dijadikan teman pergaulan dalam kehidupan ini.
Selanjutnya kita akan mengancik kepada tema tentang Orang Durjana, yakni orang
yang selalu berbuat jahat yang tak patut dijadikan teladan. Tetaplah mengikuti
pembahasan kitab Sarasamuscaya, kitab etika kehidupan warisan masa lalu. Rahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar