Putu Setia @mpujayaprema
Pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) serentak sudah memasuki tahap pendaftaran calon. Meski Covid-19 terus menanjak naik, nampaknya kepastian pilkada pada 9 Desember tak bisa lagi diundur. Mungkin karena pilkada akan menggerakkan sektor ekonomi. Para calon akan datang mengunjungi masyarakat, dan tentu membawa sembako. Setidaknya membawa masker, karena kalau ketahuan menyerahkan uang disebut money politic.
Apakah masyarakat menyambut gairah pilkada kali ini?
Di berbagai daerah, nampaknya lesu. Masyarakat rada cuek. Pandemi corona membawa
pengaruh, orang lebih suka mengais rejeki setelah ladang kehidupan tertutup
gara-gara Covid-19. Tapi itu bukan penyebab utama. Ada yang bilang karena calon
yang bertarung di pilkada tak sesuai harapan masyarakat. Calon lebih ditentukan
oleh pimpinan pusat partai dan cenderung mengabaikan suara di akar rumput.
“Rumputnya lagi diinjak-injak petinggi partai di Jakarta,” begitu ada yang
menulis keluhan.
Sederet contoh bisa disebutkan, meski benar atau
tidaknya, bisa diperdebatkan. Calon Walikota Surabaya, misalnya. Di akar rumput,
Whisnu Sakti Buana, yang kini menjabat Wakil Walikota, dijagokan masyarakat.
Dia kader PDI Perjuangan yang mengakar. Pernah jadi ketua PDIP di kota
Surabaya. Tetapi yang dipilih oleh Ketua Umum PDIP Megawati, seorang birokrat
yang bukan kader partai, Eri Cahyadi. Eri didukung Walikota Surabaya Tri
Rismaharini.
Calon Walikota Solo yang digadang sejak lama adalah Achmad
Purnomo, juga dalam posisi wakil walikota Solo. Purnomo resmi dicalonkan oleh Dewan
Pimpinan Cabang (DPC) PDIP Solo. Tak ada calon lain lagi. Tapi anak Presiden
Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menikung dengan mendaftarkan diri sebagai
calon walikota ke Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Jawa Tengah. Dan Dewan Pimpinan
Pusat (DPP) PDIP akhirnya memilih Gibran. Siapa yang berani menolak putra Presiden?
Menolak calon yang didukung Risma saja tak berani. Kalau Risma ngambek, bisa
barabe.
Bukan cuma partai banteng begitu. Partai lainnya juga,
termasuk Golkar. Di Kabupaten Badung, Bali, partai beringin sudah mengajukan
kadernya sebagai calon bupati. Resmi didukung DPC dan DPD Golkar. Tapi apa yang
terjadi? DPP Golkar memilih mendukung calon PDIP. Ambyarlah harapan kader
Golkar Bali.
Begitulah aturan pilkada, pengajuan setiap calon harus
mendapat dukungan resmi dari partai. Dan yang resmi itu adalah DPP partai.
Karena itu ada usul rekomendasi calon disesuaikan dengan tingkat pemilihan.
Kalau yang dipilih adalah bupati atau walikota, dukungan resmi cukup oleh DPC.
Jika yang dipilih gubernur, dukungan resmi oleh DPD. Kalau pemilihan presiden
barulah dukungan resmi dari DPP. Kalau ini terjadi maka pimpinan partai di
daerah punya kepastian memilih kadernya yang benar-benar mengakar.
Alternatif lain, menghapus ketentuan jumlah kursi legislatif untuk syarat mengajukan calon. Semua partai politik yang punya kursi di DPRD bisa mengajukan calon, berapa pun jumlah kursinya. Kalau itu terjadi maka Gibran di Solo punya saingan berat karena PKS bisa mengajukan calon. Begitu pula di daerah-daerah lainnya. Lebih bagus lagi jika aturan ini melebar sampai ke pemilihan presiden sesuai konstitusi. Konstitusi menyebutkan calon presiden diajukan oleh partai peserta pemilu, tanpa disebut jumlah kursi di parlemen. Sayang ada aturan lain yang berupa undang-undang yang membatasi hal itu. Undang-undang dibuat oleh politisi partai dan partai besar tentu leluasa menentukan apa yang terbaik untuk partainya, bukan terbaik untuk rakyat.
(Koran Tempo 5 September 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar