Sabtu, 14 November 2020

Pesan Ibu

Putu Setia | @mpujayaprema

 

Masih ingat pesan ibu? Pertanyaan ini membuat ibu-ibu rumah tangga yang bergerombol di tukang sayur keliling itu pada ketawa. Salah satu menjawab: “Itu kan lagu grup band Padi, tiap hari di televisi. Jangan lupa memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan,” jawab seorang ibu sambil bergoyang. Di tangannya ada seikat kangkung.

 

Tapi mereka, enam ibu dan dua anak kecil, tak ada yang jaga jarak. Hanya dua ibu memakai masker, itu pun cuma menutup dagu. Yang lainnya tanpa masker, begitu pula anak-anak kecil. Ada pun tukang sayur maskernya ada di saku baju. “Saya baru pakai masker kalau berkeliling di jalan besar,” katanya.

 

Gang ini tidak besar. Tapi selalu ramai. Pagi dengan tukang sayur plus pemulung barang bekas. Sore lebih ramai lagi dengan pedagang nasi goreng dan kue putu. Penghuninya, sebagian besar tidak memakai masker, kecuali yang jualan. “Mana ada razia masker sampai masuk gang,” kata seorang ibu.

 


Suasana seperti ini mungkin ada di mana-mana. Jangankan di sebuah gang dalam kota yang dipenuhi rumah petak dan rumah kos. Di banyak tempat yang ada kerumunan, dari tiga “pesan ibu” hanya satu yang dipatuhi, memakai masker. Menjaga jarak sudah diabaikan, apalagi mencuci tangan.

 

Kenapa disiplin masyarakat begitu rendah? Mungkin “pesan ibu” ini terlalu syahdu. Maklum diambil dari penggalan lagu. Sementara itu, di lapangan tak ada upaya lebih keras untuk memberlakukan “pesan ibu” ini. Ada aksi demo di berbagai kota menggugat Undang Undang Cipta Kerja. Di Bali aksi demo undang-undang ini masih ditambah dengan demo menggugat anggota Dewan Perwakilan Daerah yang diduga melecehkan umat Hindu. Cobalah telisik, apa ada massa aksi ini menjaga jarak dan mencuci tangan? Tidak, pemakaian masker pun ada yang dilalaikan.

 

Aparat tak berdaya. Berfokus menjaga keamanan dari para perusuh yang mendompleng demo ketimbang mengurusi masker dan jaga jarak. Bahkan ketika Rizieq Shihab pulang ke tanah air, yang disambut ribuan pengikutnya bak pahlawan – memang saat itu Hari Pahlawan – Bandara Soekarno Hatta tak dijaga ketat aparat keamanan. Kalau kursi bandara saja bisa hancur karena orang berdesakan, bagaimana pula mengharap penjemput bisa menjaga jarak dan cuci tangan?

 

Banyak orang seperti melupakan pandemi ini. Bahkan mulai percaya, gerakan orang tak perlu dibatasi sepanjang menjaga protokol kesehatan yang satu itu: memakai masker. Lihatlah saat liburan panjang Maulid Nabi, tempat wisata penuh sesak. Tak hanya di Ancol, Puncak, Lembang, Yogya, Pasuruhan, di pantai Bali Selatan juga mulai ramai.

 

Orang dibelenggu delapan bulan tak boleh piknik, kini ada pelampiasan untuk bepergian. Usai liburan ada pernyataan, “Tak ada kenaikan kasus positif corona di Bali, malah angkanya turun.” Komponen pariwisata semakin yakin Covid-19 sudah berlalu. Tapi para dokter mengingatkan, “Kan harus menunggu masa inkubasi dua minggu, baru ketahuan”.

 

Apa sesungguhnya target pemerintah? Bernafsu menggerakkan sektor ekonomi dengan mengendurkan kewaspadaan, tentu resikonya besar. Harus ada kajian yang jelas, kapan masyarakat diberi kelonggaran. Berkaca pada kasus-kasus di luar negeri, pelonggaran itu malah memunculkan gelombang baru pandermi Covid-19, seperti di Italia. Kalau memang suatu daerah masih berstatus merah, tegaskan saja masyarakat jangan dulu keluyuran. Lakukan tindakan keras. Kalau kerumunan orang dilarang, demo juga jangan diizinkan. Yang berbondong-bondong ke rumah Rizieq Shihab juga dibatasi. Tak bisa dengan slogan mendayu-dayu sambil bernyanyi ingat pesan ibu.


(Koran Tempo 14 November 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar