Sabtu, 07 November 2020

Vaksin

Putu Setia | @mpujayaprema

Harapan dan kegembiraan itu tiba-tiba surut. Kembali muncul ketidak-pastian, kapan Covid-19 akan berakhir. Program pemerintah untuk mengadakan vaksinasi virus corona semakin tak jelas.

Rencana awal vaksinasi akan dilakukan di bulan November ini. Masyarakat terlanjur senang. Mereka tak peduli apa beda vaksin dengan obat. Yang terbayang adalah Covid-19 sudah akan hilang begitu vaksinasi berjalan. Orang bebas bergerak ke mana maunya. Masker pun, yang bikin sesak bagi sebagian orang, bisa dicopot. Anak-anak kembali bersekolah. Harapan yang begitu tinggi setelah sejak Maret lalu semua orang seolah menjadi tahanan rumah.

Begitu banyak pejabat memberi keterangan soal vaksin ini. Informasi justru semakin simpang siur. Masyarakat malah tambah bingung. Kabarnya, Presiden Jokowi pun kesal karena komunikasi soal pengadaan vaksin dan rencana vaksinasi begitu buruknya.

Semakin hari semakin tidak jelas, vaksin dari negara mana yang akan didatangkan. Apakah vaksin itu sudah melewati uji klinis fase 3, sebagaimana yang disyaratkan. Bahkan vaksin Sinovac yang uji klinis fase 3 dilakukan di Bandung oleh Biofarma tidak jelas kapan selesai uji cobanya. Muncul masalah lain, soal kehalalan vaksin itu. Ternyata urusan vaksin masih panjang. Ada lagi soal berapa banyak vaksin harus dibutuhkan dan apakah vaksin itu – dari negara mana pun didatangkan – sudah memenuhi syarat untuk disuntikkan.

Kabar terbaru vaksinasi akan dilakukan minggu ketiga bulan Desember. Yang menyampaikan kabar itu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Beliau adalah Wakil Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Dijelaskan bahwa mundurnya jadwal vaksinasi bukan karena tidak adanya pasokan vaksin, tetapi vaksinasi ini harus mengikuti prosedur. Apa itu?  Penggunaan vaksin harus mendapatkan persetujuan dari lembaga yang berkompeten, yakni Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).



Sayangnya, persetujuan ini tak mudah. Sebab, uji coba fase 3 belum selesai untuk vaksin yang diproduksi di berbagai negara. Masih menunggu lama. Di situ masyarakat mulai kecewa. Kegembiraan ternyata terlalu dini untuk diumbar. Namun lagi-lagi, untuk sebuah target, pemerintah mencoba menyiasati agar masyarakat tidak kesal, yakni meminta BPOM memberikan persetujuan vaksinasi dengan status penggunaan darurat atau dikenal dengan emergency use authorization (EUA). Apakah ini sebuah berita gembira?

Ternyata tidak. Justru ini membuat orang semakin was-was untuk divaksin. Apalagi para pakar wabah mengkritik rencana pemerintah melakukan vaksinasi Covid-19 dengan status EUA itu. Menurut pakar wabah, imunisasi dengan keadaan darurat tidak seharusnya dilakukan kepada khalayak ramai. Seharusnya tindakan itu hanya dilakukan untuk kalangan terbatas. Resikonya terlalu tinggi.

Kekhawatiran masyarakat tercermin lewat survei yang dilakukan Koalisi Warga LaporCovid19.org. Hasil survei mengenai vaksinasi ini adalah 60 persen masyarakat ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima vaksin Sinovac jika terinfeksi Covid-19. Hanya 23 persen masyarakat yang menyatakan bersedia menerima vaksin itu. Sisanya tak memberikan jawaban. Bagaimana dengan vaksin Merah Putih yang dikembangkan Lembaga Eijkman? Ada 56 persen masyarakat Indonesia ragu-ragu hingga tidak bersedia menerima vaksin Merah Putih itu. Sementara 35 persen menyatakan setuju dan sisanya tak menjawab.

Apa yang salah? Perencanaan yang tidak matang dan kordinasi yang amburadul atau sekadar komunikasi yang buruk? Bisa jadi semuanya.

(Koran Tempo 7 November 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar