Sabtu, 31 Oktober 2020

Bunuh Diri

Putu Setia | @mpujayaprema

Seorang siswi Sekolah Menengah Atas di Gowa, Sulawesi Selatan, bunuh diri. Dia merekam saat-saat minum racun itu di handphone-nya. Dia depresi karena kewalahan mengerjakan tugas sekolahnya lewat pembelajaran jarak jauh. Tidak disebutkan apakah dia anak cerdas. Tapi secerdas-cerdasnya anak bagaimana bisa mengerjakan tugas sekolahnya dengan tepat waktu, kalau akses internet kadang ada dan tidak.

Di Tarakan, Kalimantan Utara, ada juga siswa Sekolah Menengah Pertama yang tewas gantung diri di kamar mandi. Penyebabnya sama dengan di Gowa, tugas sekolah yang menumpuk. Kepolisian Resort Kota Tarakan menyebutkan dari keterangan beberapa saksi, korban sering mengeluh karena banyaknya tugas dari sekolah.

Pembelajaran jarak jauh – sebelumnya disebut belajar dalam jaringan –program dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang berlaku seragam di seluruh Nusantara. Padahal negeri ini begitu luas dengan kemakmuran penduduk yang tidak merata. Sebagian siswa bisa dengan mudah gonta-ganti handphone. Di pedalaman anak-anak petani harus berjuang keras untuk mendapatkan handphone meski yang bekas. Itu baru soal perangkat. Belum lagi bagaimana membeli paket data agar bisa berjaringan.

Belakangan ada subsidi pulsa untuk paket data, meski pun mendapatkannya dengan ribet dan tak merata. Bagaimana dengan akses internet? Ini persoalan besar bagi siswa di pelosok, berjuang untuk mendapatkan sinyal. Ada jalan lebih mudah dengan nongkrong di emperan “toko modern” (sebutan untuk Alfamart dan Indomaret yang bertebaran di penjuru desa) yang punya jaringan wifi. Tapi tak semua pengelolanya ramah memberi akses gratis. Ada yang mewajibkan belanja dalam jumlah tertentu untuk bisa mendapatkan password.



Apa kesulitan ini diketahui oleh pejabat-pejabat Kementrian Pendidikan? Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia, Muhammad Ramli Rahim, meminta pemerintah mengevaluasi sistem belajar jarak jauh ini. Tak ada pedoman baku bagaimana sistem ini harus dijalankan. Ramli menyebut standar penugasan oleh guru tidak diatur, baik oleh Kemendikbud, Dinas Pendidikan Provinsi maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Jika setiap guru memberi satu tugas dalam seminggu, siswa SMA bisa mendapatkan 14 sampai 16 tugas dalam seminggunya. Bayangkan tugas itu harus dikerjakan dan dikirim dengan akses internet yang tak mudah didapat. Siapa yang tak stress?

Program pembelajaran jarak jauh memang gara-gara Covid-19. Sekolah tetap ditutup karena kasus positif Covid-19 belum turun. Tapi apakah pandemi masih mengganas di seluruh negeri? Ada banyak kawasan yang pandeminya sudah menurun, bahkan banyak desa yang dari awal tak ada kasus. Sekolah mereka tetap ditutup dan anak-anak desa itu memanfaatkan “libur pandemi” untuk membantu orangtuanya bekerja atau bermain layang-layang. Mereka berkerumun tanpa masker tanpa jarak dan mereka yakin sesama orang desa aman-aman saja. Kenapa sekolah harus ditutup di kawasan seperti itu. Belajar tatap muka semestinya aman, guru bisa mengawasi anak didik untuk menggunakan masker, jaga jarak dan cuci tangan. Dibandingkan anak-anak berkerumun main layangan yang justru lebih berbahaya. Banyak ada desa yang sebenarnya bebas dari pandemi Covid-19, meski pun catatan per kabupaten semua terpapar.

Program pembelajaran jarak jauh harusnya memperhatikan kondisi setempat. Janganlah anak-anak desa itu dipaksa membeli gadged lalu menjawab soal-soal guru lewat WashApp dengan bersusah-payah nebeng jaringan internet. Jangan sampai korban bunuh diri bertambah.

(Koran Tempo 31 Oktober 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar