Putu Setia | @mpujayaprema
Seorang siswi Sekolah Menengah Atas di Gowa, Sulawesi Selatan, bunuh diri. Dia merekam saat-saat minum racun itu di handphone-nya. Dia depresi karena kewalahan mengerjakan tugas sekolahnya lewat pembelajaran jarak jauh. Tidak disebutkan apakah dia anak cerdas. Tapi secerdas-cerdasnya anak bagaimana bisa mengerjakan tugas sekolahnya dengan tepat waktu, kalau akses internet kadang ada dan tidak.
Di Tarakan, Kalimantan Utara, ada juga
siswa Sekolah Menengah Pertama yang tewas gantung diri di kamar mandi. Penyebabnya
sama dengan di Gowa, tugas sekolah yang menumpuk. Kepolisian Resort Kota
Tarakan menyebutkan dari keterangan beberapa saksi, korban sering mengeluh karena
banyaknya tugas dari sekolah.
Pembelajaran jarak jauh – sebelumnya
disebut belajar dalam jaringan –program dari Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan yang berlaku seragam di seluruh Nusantara. Padahal negeri ini begitu
luas dengan kemakmuran penduduk yang tidak merata. Sebagian siswa bisa dengan
mudah gonta-ganti handphone. Di pedalaman anak-anak petani harus
berjuang keras untuk mendapatkan handphone meski yang bekas. Itu baru
soal perangkat. Belum lagi bagaimana membeli paket data agar bisa berjaringan.
Belakangan ada subsidi pulsa untuk paket
data, meski pun mendapatkannya dengan ribet dan tak merata. Bagaimana dengan
akses internet? Ini persoalan besar bagi siswa di pelosok, berjuang untuk
mendapatkan sinyal. Ada jalan lebih mudah dengan nongkrong di emperan “toko
modern” (sebutan untuk Alfamart dan Indomaret yang bertebaran di penjuru desa)
yang punya jaringan wifi. Tapi tak semua pengelolanya ramah memberi
akses gratis. Ada yang mewajibkan belanja dalam jumlah tertentu untuk bisa mendapatkan
password.
Apa kesulitan ini diketahui oleh
pejabat-pejabat Kementrian Pendidikan? Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital
Indonesia, Muhammad Ramli Rahim, meminta pemerintah mengevaluasi sistem belajar
jarak jauh ini. Tak ada pedoman baku bagaimana sistem ini harus dijalankan. Ramli
menyebut standar penugasan oleh guru tidak diatur, baik oleh Kemendikbud, Dinas
Pendidikan Provinsi maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Jika setiap guru
memberi satu tugas dalam seminggu, siswa SMA bisa mendapatkan 14 sampai 16
tugas dalam seminggunya. Bayangkan tugas itu harus dikerjakan dan dikirim
dengan akses internet yang tak mudah didapat. Siapa yang tak stress?
Program pembelajaran jarak jauh memang
gara-gara Covid-19. Sekolah tetap ditutup karena kasus positif Covid-19 belum turun.
Tapi apakah pandemi masih mengganas di seluruh negeri? Ada banyak kawasan yang
pandeminya sudah menurun, bahkan banyak desa yang dari awal tak ada kasus. Sekolah
mereka tetap ditutup dan anak-anak desa itu memanfaatkan “libur pandemi” untuk
membantu orangtuanya bekerja atau bermain layang-layang. Mereka berkerumun
tanpa masker tanpa jarak dan mereka yakin sesama orang desa aman-aman saja. Kenapa
sekolah harus ditutup di kawasan seperti itu. Belajar tatap muka semestinya
aman, guru bisa mengawasi anak didik untuk menggunakan masker, jaga jarak dan
cuci tangan. Dibandingkan anak-anak berkerumun main layangan yang justru lebih
berbahaya. Banyak ada desa yang sebenarnya bebas dari pandemi Covid-19, meski
pun catatan per kabupaten semua terpapar.
Program pembelajaran jarak jauh harusnya
memperhatikan kondisi setempat. Janganlah anak-anak desa itu dipaksa membeli
gadged lalu menjawab soal-soal guru lewat WashApp dengan bersusah-payah nebeng
jaringan internet. Jangan sampai korban bunuh diri bertambah.
(Koran Tempo 31 Oktober 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar