Minggu, 25 Oktober 2020

Tersangka - Cari Angin Koran Tempo

Putu Setia | @mpujayaprema

Seorang mahasiswa hukum bertanya, “Apakah tersangka bisa diumumkan identitasnya secara terbuka oleh media massa?” Saya menjawab sekenanya sambil meminta dia mencari informasi yang lebih valid. “Tidak boleh. Seorang tersangka belum tentu bersalah sebelum dia dijadikan terdakwa di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Namanya harus memakai inisial. Polisi dan penegak hukum lainnya sampai sekarang taat pada aturan itu. Teroris paling berbahaya pun jika tertangkap, nama yang diumumkan inisial saja. Koruptor kelas kakap yang tertangkap tangan juga hanya diumumkan inisialnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Aparat hukum ini taat asas,” begitu jawaban saya.

Mahasiswa ini makin bersemangat. Dia lanjutkan, “Saya tahu. Tapi pada saat kepolisian mengumumkan dalam jumpa pers, tersangka dihadirkan tanpa ada yang ditutupi. Lengkap dengan baju tahanan. Bahkan tersangka, baik oleh polisi mau pun penyidik KPK, tangannya diborgol. Lalu untuk apa nama inisial itu kalau semuanya terang benderang?”

Untuk sementara saya tak mampu menjawab. Pertanyaan diteruskan, “Termasuk aktivis KAMI yang baru saja ditangkap polisi, semuanya diborgol dan dipamerkan ke media. Apa maksudnya?” Saya sedang berpikir untuk menjawab, tapi mahasiswa ini terus bertanya, “Apa untuk maksud mempermalukan dan membunuh karakter mereka? Kata Prof Jimly, mereka tak perlu ditahan, apalagi diborgol.”

https://youtu.be/eVpmljAdws0

Saya kemudian menjelaskan, mungkin polisi dan aparat hukum lainnya punya kriteria sendiri yang dianggapnya benar. Tak peduli apakah bertabrakan dengan etika hukum yang selama ini disepakati, yang penting kebenaran mutlak ada pada mereka. Ini juga menjadi kebiasaan banyak pejabat termasuk para politikus. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menyebutkan, jika pemerintah memberikan pernyataan tak mungkin hoaks. Tapi kalau pemerintah bilang hoaks, ya, pasti hoaks. Ini diucapkan dalam kaitan penolakan terhadap Undang-undang Cipta Kerja. Bahaya sekali pemerintah memonopoli kebenaran.

Cobalah ikuti debat terbuka para politikus. Pendukung pemerintah pasti dengan segala upaya membenarkan apa pun yang dikatakan pejabat pemerintah, termasuk Presiden. Kalau ada pejabat yang jelas salah ucap, tetap dicari pembenarannya. Setidaknya digunakan teknik ngeles. UU Cipta Kerja yang disahkan DPR berbeda jumlah halamannya dengan yang diserahkan ke Presiden.  Selalu disebutkan tak ada penyelundupan pasal. Juga “penyesuaian pasal” setelah ada aksi penolakan. Caranya ngeles adalah menyalahkan format kertas yang berbeda. Anak SD pun terbahak-bahak. Dokumen resmi kenegaraan seharusnya disahkan dalam format PDF (portable document format). Bukankah format ini sulit diedit? Kalau dokumen mudah diubah formatnya, rentan terjadi pemalsuan. Bisa-bisa soal ulangan umum di masa “belajar dalam jaringan” ini diedit dulu sebelum dijawab para siswa.

Kembali ke soal tersangka yang dipamerkan dengan tangan diborgol, apakah itu untuk mempermalukan? Tergantung kebenaran siapa yang digunakan. Juga berkaitan dengan sangkaan. Kalau masalahnya perbedaan pendapat, cara mengkritisi kebijakan, dan menyatakan kebenaran yang lain – karena kebenaran bisa datang dari mana-mana– para tersangka tak perlu malu. Bisa saja yang berniat mempermalukan jadi malu jika kebenarannya nanti salah. Apalagi tidak konsisten menjalankan hukum dan keadilan, harus dilihat dulu siapa kawan dan lawan.

Padahal, jika dikotomi lawan dan kawan dipakai acuan, kita semuanya sama-sama tersangka, karena kebenaran mutlak ada di kuasaNya.

(Koran Tempo 24 Oktober 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar