Kita lanjutkan terus pembahasan
mengenai kitab Sarasamuscaya, kitab etika warisan leluhur yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Jawa Kuno oleh Bhagawan Wararuci. Kali ini kita sudah menginjak ke
sloka 315 dengan tema: orang durjana. Saya tak menyertakan sloka asli dalam
bahasa Sansekerta mau pun sloka terjemahan bebasnya dalam bahasa Jawa Kuno di
channel ini. Nanti dalam buku, kedua jenis sloka itu akan saya cantumkan dengan
lengkap. Saya mulai dengan sloka ke 315.
Hendaknya selalu
mempertimbangkan pikiran dan perbuatan kita sehari-hari. Salah atau bernarkah
perbuatan kita sehari-hari? Samakah tingkah laku kita dengan hewan? Ataukah tingkah
laku kita sudah seperti pendeta? Demikianlah cara kita merenungkan perbuatan
kita sehari-hari dan senantiasalah menasehati diri sendiri.
Sloka ini kalau kita memakai wacana
moderen saat ini, kita diajarkan untuk senantiasa introspeksi diri. Mulat sarira
dalam bahasa Balinya. Segala perbuatan kita harus dianalisa setiap hari kalau
ada yang keliru, apakah kita berbuat yang jahat yang dalam sloka ini disebutkan
sebagai perilaku hewan, atau kita sudah berbuat baik dan bijak sebagaimana
prilaku para pendeta pada umumnya. Dari instrospeksi ini kita diharapkan bisa
menasehati diri kita sendiri agar tidak terjerumus ke prilaku kurang baik. Saya
lanjut ke sloka 316.
Mereka yang akan
menerima pahala dari perbuatan itu adalah mereka yang berbuat, yang menyuruh
berbuat, serta mereka yang membenarkan perbuatan itu. Ketiganya sama-sama akan
memperoleh pahala dari perbuatan itu, apapun macamnya, apakah buruk ataukah
baik.
Nah, di sloka ini disebutkan pahala
dari sebuah perbuatan. Siapa yang menerima akibat dari perbuatan itu, baik
perbuatan yang benar mau pun perbuatan yang salah. Yang pertama mendapatkan
pahala adalah orang yang melakukan perbuatan itu, kemudian orang yang menyuruh
berbuat, dan mereka yang membenarkan perbuatan itu. Sloka ini akan menjadi
jelas kalau disebutkan contohnya. Misalnya, orang melakukan korupsi, sebuah
perbuatan yang jahat. Tentu yang akan berdosa dan menerima pahal buruk adalah
orang yang korupsi itu, ini dalam arti jika korupsinya terbongkar. Lalu siapa
yang menyuruh dia korupsi? Orang itu akan menerima hukuman pula. Dan jika ada orang
yang membenarkan perbuatan korup itu maka orang itu pun akan menerima getah
buruk pula. Begitu pula perbuatan yang baik, yang melakukan, yang menyuruh dan
yang membenarkan sama-sama berpahala baik. Jadi etika di masa lalu ini masih
relevan untuk masa sekarang. Saya lanjut ke sloka 317.
Oleh karenanya
perbuatan baiklah yang harus dilakukan dan terus diusahakan. Meskipun orang
berbuat jahat kepada kita, hendaklah dibalas dengan perbuatan bajik. Kejahatan jangan
dibalas dengan kejahatan, sebab kita akan terjebak dalam kejahatan dan menjadi sama
saja dengan mereka yang jahat. Siapa yang berbuat akan memperoleh karmanya.
Dalam kata-kata bijak tetua kita di
Bali, ada ungkapan yang bagus. Kalau kita dilempar dengan tahi, balaslah dengan
melempar bunga. Artinya, kalau orang
berbuat buruk kepada diri kita sendiri, janganlah dibalas dengan perbuatan
buruk pula, balaslah dengan kebaikan. Kejahatan tak akan berkurang jika dibalas
dengan kejahatan. Saya lanjut ke sloka 318.
Tetaplah
berhati-hati, jagalah diri baik-baik karena telah dapat menjelma sebagai
manusia. Apapun yang menyebabkan penjelmaan itu bertambah baik, lakukanlah
karena akan sangat berat meningkatkan penjelmaan itu, akan tetapi untuk
menurunkannya sangatlah mudah. Ibarat batu yang dinaikkan ke puncak gunung, ketika
ada gangguan maka batu pun bisa jatuh tanpa kesulitan sama sekali.
Sloka ini mengajarkan kepada kita
untuk terus-menerus menabung kebaikan setiap saat. Kebaikan itu tentu saja akan
meningkatkan kualitas kepribadian kita dan itu harus terus diupayakan dengan
susah payah. Jangan berputus ada. Sekali kita lalai dan terjerumus ke arah yang
tak baik, maka dengan mudah apa yang kita capai itu akan sia-sia. Bagaikan bongkahan
batu besar yang kita naikkan ke gunung dengan sangat sulitnya, namun ketika kita
lalai menjaga diri dapat jatuh dengan cara yang sangat mudah. Saya lanjut ke
sloka 319.
Perbuatan bajik
akan dibicarakan sampai ke alam surga, sementara di muka bumi akan menjadi
kirti. Oleh karenanya selalulah berbuat kebajikan, inilah hakekat dan tujuan dari
penjelmaan.
Kirti artinya kemasyuran. Perbuatan
yang selalu dikenang orang karena bajiknya. Kirti itulah yang harus dikejar
oleh semua manusia yang hidup di bumi ini. Sloka ini sudah jelas apa maksudnya.
Saya lanjut ke sloka 320.
Kirti itu sama dengan
seorang ibu, andaikata dia lina akan dianggap sebagai orang yang masih hidup
karena karma baiknya tidak ikut hilang. Akan tetapi orang duryasa, sekalipun
dia masih hidup, karena yang dibicarakan orang adalah keburukannya sama saja
seperti orang mati.
Lina artinya mati. Jadi orang-orang
yang termasyur karena kebaikannya diibaratkan seorang ibu, selalu dibicarakan
kebaikannya meski pun telah tiada. Karena sifat bajik itu abadi. Sementara
orang duryasa, yaitu orang yang prilakunya sangat buruk, yang berlawanan dengan
kirti, akan selalu dibicarakan kejahatannya, orang pun akan mengingatnya
sebagai orang hina, ini berkeadaan lebih buruk dari mati. Jelas sekali. Saya
teruskan ke sloka 321.
Jika ingin menjaga
nama baik inilah yang hendaknya dilakukan: jangan menghianati sahabat, jangan
menghianati kepercayaan yang diberikan, jangan menghianati orang yang membiayai
dan menghidupi kita, dan jangan menghianati orang yang memberi perlindungan
kepada kita. Mereka yang berbuat nista adalah orang yang tidak berterima kasih
dan membalas kebajikan-kebajikan orang dengan kejahatan.
Sloka ini sudah jelas karena hanya
mengingatkan saja bagaimana kita harus menjaga nama baik kita. Tidak berkhianat
kepada orang yang sudah berjasa dalam meningkatkan hidup kita di dunia ini.
Saya lanjut ke sloka 322.
Menghina para
brahmana, berprilaku mabuk-mabukan, dan melakukan perbuatan jahat yang
menimbulkan dosa, bagaimanapun juga ia masih dapat ditebus dengan penyucian.
Akan tetapi dosa yang diakibatkan oleh perbuatan tidak tahu berterimakasih akan
kebajikan orang, ia tidak akan dapat ditebus dengan apapun juga.
Sloka ini mengajarkan pada kita
betapa pentingnya berterimakasih kepada orang yang sudah berjasa kepada kita. Kalau
kita melakukan perbuatan dosa kepada orang suci, mabuk dan mencuri, itu bisa
ditebus dengan berbagai cara, seperti menerima hukuman, penyesalan dengan
permintaan maaf dan sebagainya. Tetapi kalau kita tidak berterimakasih kepada
orang yang membantu kita itu dianggap kesalahan yang sangat luar biasa. Dalam sloka
bahasa Sansekerta digunakan kata kretagana (krtghna) yang artinya tidak tahu
berterimakasih atas pertolongan orang lain. Saya lanjut ke sloka 323.
Orang yang berbudi
papa, yang berkehendak berbuat jahat kepada orang yang tidak berniat jahat
terhadapnya, dengan pasti dan tanpa ampun orang itu akan masuk ke jurang
neraka.
Sloka pendek ini sudah jelas, akan
berdosa besar dan dihukum di kawah neraka jika ada orang yang berbuat jahat
kepada orang lain yang tidak pernah berniat jahat kepadanya. Mungkin lantaran terpapar
fitnah orang lain atau karena soal iri hati dan sebagainya. Janganlah lakukan
hal itu. Saya teruskan ke sloka 324.
Orang yang
melakukan pekerjaan jahat sesungguhnya tidak pernah sayang kepada dirinya
sendiri, sebab membiarkan dirinya berbuat jahat, dan kemudian dirinya
sendirilah yang akan mengalami siksa dari kejahatan yang diperbuatnya.
Sloka ini lebih pada memberi
nasehat yang terlalu umum. Tidak perlu kita ulas lagi. Saya lanjut ke sloka
325.
Inilah orang yang
tidak pantas dipakai sahabat. Mereka yang selalu berusaha menyakiti orang lain.
Mereka yang suka membuat orang lain bersedih hati. Mereka yang tidak memiliki kesopanan,
etika dan susila. Mereka yang tidak suka menepati janjinya. Mereka yang suka
berkata bohong dan dusta. Mereka yang suka mabuk-mabukan. Keenam sifat buruk orang
inilah yang hendaknya dijauhi.
Sloka ini memerinci siapa saja yang
layak dijadikan sahabat. Semuanya sudah jelas, sehingga kita perlu berhati-hati
dalam memilih sahabat. Saya lanjut ke sloka 326.
Jika bergaul dengan
orang yang papa karma, niscaya dan tidak mungkin dihindari akan menular juga noda
kejahatan mereka itu. Bagaikan pohon kayu yang masih subur, ia akan ikut
terbakar jika bercampur dengan kayu-kayuan kering, oleh karenanya jangan berkawan
dan bersahabat dengan orang yang jahat perbuatannya.
Sloka ini memakai istilah papa
karma dalam bahasa Jawa Kuno. Dalam bahasa Sansekerta istilah yang dipakai
papakrtamapapan. Artinya kurang lebih orang yang bertabiat jahat. Kalau kita
bergaul dengan mereka yang karma atau perilakunya sudah papa atau buruk, maka
lambat laun kita bisa ketularan. Ibarat pohon yang masih subur tetapi tumbuh di
lingkungan pohon kering, jika ada kebakaran maka ikutlah pohon subur itu terbakar.
Jadi hindari orang yang papa karma ini. Saya lanjut ke sloka 327.
Sebaiknya hindari
saja untuk bersahabat dengan orang jahat. Termasuk pula bertengkar dengannya,
karena tidak ada orang suka dijilati anjing, apalagi bila sampai digigitnya.
Ini hanya mempertegas sloka
sebelumnya dengan perumpamaan dijilat anjing. Sesuatu yang patut dihindari
karena jilatan anjing itu suatu saat akan menjadi gigitan anjing. Saya teruskan
ke sloka 328.
Si durjana itu tak
bedanya dengan duri. Ada dua jalan untuk menghadapi si durjana sehingga tidak mencelakakan
kita. Terhadap duri injak-injaklah dengan kaki. Sedang terhadap durjana
sebaiknya tundukkan dia atau menjauhlah.
Bhagawan Wawaruci memakai istilah
durjana dalam sloka ini. Durjana adalah orang yang sudah sangat jahat yang bisa
jadi tak bisa berubah menjadi orang baik. Nah terhadap mereka sebaiknya memang
menghindar kalau kita tidak bisa menundukkannya. Lanjut ke sloka 329.
Janganlah gembira
dan percaya kepada para durjana yang seolah-olah sudah terlihat tunduk dan
menurut. Bagaikan ular berbisa, meski pun sudah lama diajak bergaul tak ayal
suatu saat akan menggigit juga.
Sloka ini mengajarkan tentang kewaspadaan.
Kalau pun kita bisa berhasil menundukkan sang durjana itu, kita jangan
sekali-kali lengah. Kalau kita lengah bisa berakibat buruk kalau sang durjana itu
kambuh lagi sifatnya sementara kita sudah terlanjur percaya dia berubah. Jadi
sikap waspada harus kita miliki. Lanjut ke sloka 330.
Tabiat sang
durjana akan bertambah tinggi manakala dilihatnya seorang budiman
membungkuk-bungkuk dengan sopan dan hormat karena keluhuran budi. Sang durjana
akan semakin ingin mengungguli sang budiman yang dianggapnya seperti gajah yang
merunduk ketika melihat tuannya.
Sloka ini memaparkan kesombongan
sang durjana akan semakin bertambah jika lawannya sudah merunduk, padahal
lawannya itu hanya lantaran punya susila yang tinggi dan berbudi luhur. Tidak mempunyai
malu si durjana itu dengan angkuhnya menatap sang budiman ketika berpapasan, misalnya.
Sang durjana selalu berpikir bahwa sang budiman itu telah tunduk padanya, bagaikan
gajah tunggangan yang merunduk di hadapan tuannya. Ini hanya menggambarkan
keangkuhan sang durjana yang tetap kita waspadai. Lanjut ke sloka 331.
Oleh karena itu
orang yang bijaksana hendaknya jangan cepat percaya kepada sang durjana meski
terlihat dia menundukkan wajah dan sujud menyatakan hormat. Sebab mereka yang
dilekati kejahatan dapat melakukan segala cara untuk meraih tujuannya. Bagaikan
timba yang sudah jatuh disumur, niscaya timba itu akan mengambil airnya juga.
Seorang durjana memang harus selalu
diwaspadai. Suatu ketika mungkin dia seperti orang yang sudah baik, menyatakan
diri hormat kepada sesamanya. Namun semasih sifatnya itu melekat dan dia
benar-benar tidak berubah karena tidak mendapatkan hukuman sebagai efek jera,
bisa jadi dia tetap melakukan kejahatan dengan mengambil kesempatan yang baik.
Di sini diibaratkan sebagai timba air dalam sumur, kalau timbanya sudah jatuh ke
air, maka secara otomatis timba itu akan mengangkat air pula. Lagi-lagi
kewaspadaan itu diperlukan. Lanjut ke sloka 332.
Jangan bergembira
dulu jika tidak diganggu oleh si durjana dan menjadikan dia sahabat. Sebab
banyak orang merasa beruntung tidak digigit ular, walaupun tubuhnya nyata-nyata
telah kena belitan ular.
Nah sloka ini lagi-lagi memberikan
nasehat tentang kewaspadaan menjadikan sang durjana sebagai sahabat. Kita
mungkin benar tidak diganggunya, tidak disakiti dan tidak dijahati. Namun
dengan berkawan kepadanya, kita seolah sudah berada dalam pengaruhnya sehingga
teman-teman yang lain akan menjadi curiga dengan kita. Ibarat menghadapi ular,
kita mungkin tak digigitnya tetapi kita sudah dibelitnya. Lanjut ke sloka 333.
Biarpun manis dan lemah
lembut tuturkata si durjana, tidak ada salahnya untuk waspada, sebab bunga yang
bermekaran tidak pada musimnya adalah sebuah pertanda bencana.
Sloka ini mengingatkan tentang
keanehan yang perlu dicurigai. Bunga yang mekar bukan pada musimnya, tentu
harus dilihat sebagai sesuatu yang aneh. Begitu pula sang durjana, kalau suatu
saat tutur katanya lembut, lihatlah terlebih dahulu sebagai sebuah keanehan.
Kalau ternyata tidak ada yang aneh bisa jadi sifat sang durjana ini sudah
membaik dan bisa dijadikan kawan. Namun semuanya perlu proses dan waktu untuk
mengujinya. Lanjut ke sloka 334.
Tidak akan
dijumpai kewelas asihan pada tindakan yang kejam, demikian juga tidak akan dijumpai
kekejaman pada tindakan welas asih. Demikian kebajikan tidak akan dijumpai pada
kejahatan, demikian juga pada kejahatan tidak akan dijumpai adanya kebajikan.
Sloka ini menjadi kesimpulan sementara
bahwa pada tindakan yang nyata-nyata jahat tidak akan ditemui unsur welas asih
di sana. Demikian pula sebaliknya. Maka kita perlu berhati-hati dalam bergaul
dan memilih siapa yang pantas dijadikan teman.
Nah kita jeda pada kesimpulan
sementara ini, nanti kita lanjutkan pada seri lainnya, tetap pada tema ini.
Jangan lupa terus mengikuti pembahasan kitab Sarasamuscaya yang sudah menginjak
pada bagian-bagian terakhir. Sampai jumpa, rahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar