Belakangan ini kalau saya amati perbincangan di media sosial, banyak sekali postingan atau status yang mempermasalahkan sampradaya. Seolah-olah semua sampradaya itu merusak tatanan keagamaan kita, setidaknya bagi kita yang melaksanakan tata cara agama Hindu dengan budaya Bali. Bahkan seolah-olah apa yang disebut ashram itu sepertinya harus dihindari oleh masyarakat Bali yang beragama Hindu. Semua ini gara-gara kita diusik oleh aliran Hare Krishna yang sudah berkembang di Bali. Kita tahu kelompok Hare Krishna mempergunakan juga istilah ashram dan sampradaya.
Mari kita lebih bijak. Penolakan umat Hindu atau
katakanlah sebagian umat Hindu terhadap Hare Krishna itu ada dasarnya. Pertama
karena Hare Krishna menyebut sebagai bagian dari agama Hindu, bahkan mendapat
surat resmi pengayoman dari majelis agama Hindu, yakni PHDI. Sementara pimpinan
mereka menyebutnya bukan sebuah agama karena kelompok mereka ada pula yang
beragama bukan Hindu. Kedua, tata cara keagamaan mereka yang berbeda dengan
tata cara keagamaan orang Hindu di Bali, disertai dengan unsur penghinaan
kepada tata cara umat Hindu melaksanakan ritual budaya Bali. Kalau tanpa ada
penghinaan itu barangkali tak akan ada masalah, karena keyakinan seseorang atau
kelompok tak perlu kita campuri. Yang ketiga, buku-buku ajaran mereka mengacaukan
buku pelajaran agama Hindu karena seolah-olah itu buku berlaku untuk seluruh
pemeluk Hindu. Termasuk Bhagawad Gita versi mereka seolah-olah yang paling benar
sehingga disebut Bhagawad Gita Menurut Aslinya.
Padahal semua BG sepanjang konsiten memuat sloka apa
adanya, semuanya asli. Yang berbeda itu cara penafsirannya. Ada puluhan kitab
Bhagawad Gita dengan penafsiran yang berbeda-beda, tak ada masalah. Okelah soal
kitab Bhagawad Gita ini, nanti saya perbincangkan tersendiri.
Nah, kembali ke istilah sampradaya dan ashram. Sampradaya
itu kalau disederhanakan adalah sebuah kumpulan dari orang-orang yang berminat
kepada sesuatu ajaran dan ada guru spiritual yang membina ajaran itu.
Sampradaya itu adalah doktrin tradisional tentang pengetahuan yang berkaitan
dengan ajaran agama. Istilah sampradaya itu berasal dari kata samprada yang
artinya begitu luas, yakni memberi, menghadiahi, menyerahkan, menganugrahkan,
menurunkan, yang semuanya lewat tradisi. Jadi sampradaya itu adalah satu
filosofi yang diturunkan dengan penyampaian baik secara lisan mau pun kemudian
yang tertulis oleh seorang yang disebut guru. Sampradaya lebih luas dibandingkan
parampara atau di Bali biasa disebut aguron-guron. Karena parampara atau
aguron-guron filosofi itu langsung diterima oleh guru sucinya, sedang
sampradaya sudah bisa diterima oleh para pengikut guru suci, tak harus diterima
langsung oleh guru sucinya.
Begitu banyak ada sampradaya. Dari kelompok Waisnawa
saja ada beberapa. Misalnya ada Ramanuja sampradaya didirikan oleh Ramanuja,
ada rahma sampradaya didirikan oleh Madya, ada rudra sampradaya didirikan oleh
Vallabha, Sri Sampradaya didirikan oleh Swami Ramananda. Banyak lagi, tak usahlah
kita sebutkan lagi.
Kalau kita perkecil sampradaya ini menjadi parampara
atau aguron-aguron kita di Bali pun bisa terdiri dari berbagai parampara. Ya,
saya sebagai sulinggih dari Mahagotra Pasek bisa disebut parampara dari Sapta
Rsi, tujuh Pandita Mpu yang suci. Kelompok pendeta lainnya bisa parampara dari
pandita suci lainnya lagi. Kalau lama-lama berkembang dan semakin banyak ada
pandita, parampara atau aguron-guron itu pun bisa diperkecil lagi dengan misalnya
disebut garis penabean. Misalnya, ada pandita Mpu garis penabean Mpu A, pandita
Mpu garis penabean Mpu B, dan seterusnya. Sumber pokok ajarannya semuanya
ajaran Hindu, tetapi praktek ritual atau sering disebut budaya ritualnya bisa
ada perbedaan.
Tetapi perbedaan ini tidak disertai dengan mencela
pihak lain yang berbeda. Nah di sini bedanya dengan sampradaya Hare Krishna
karena mereka mencela budaya ritual yang lain sementara Hare Krishna dalam
pengayoman majelis Hindu. Ini yang jadi masalah.
Sekarang coba kita perhatikan langsung di masyarakat Bali
saat ini. Ada berbagai kelompok yang bisa disebut parampara dan bisa pula
dikatagorikan sampradaya. Tetapi kalau mereka berbaur di masyarakat secara
umum, tradisi atau ajaran kelompok itu ditinggalkan. Misalnya, Sai Baba. Kelompok
ini sudah bisa disebut sampradaya karena mereka menghormati guru sucinya Sai
Baba. Pengikutnya banyak di berbagai daerah. Mereka sering menyebut sebagai
kelompok pembelajar Weda dan menghayati wejangan-wejangan guru sucinya, Sai
Baba. Foto Sai Baba pun dipajang oleh pengikutnya. Mereka juga punya tempat
berkumpul yang disebut ashram atau belakangan disebut centre, kalau di
lingkungan mereka panganjalinya bisa secara khas, misalnya; Om Sai Ram atau Sai
Ram. Mereka juga punya buku Bagawad Gita yang merupakan inti sari wejangan Sai
Baba, namun tak menyebutkan buku itu yang harus dibaca, BG lain tak boleh. Namun
kalau berbaur di masyarakat adat, mereka tetap mengikuti ritual Hindu budaya
Bali. Tak ada yang mencela ritual budaya Bali itu.
Ada banyak lagi contoh-contohnya, mungkin karena berskala
kecil dan tak banyak dipublikasikan. Misalnya, kelompok yang diasuh Made
Darmayasa yang tak memberi nama untuk kelompoknya itu. Mereka punya ashram yang
besar dan selalu ramai setiap hari di Padanggalak. Kelompok ini bermula dari
praktek meditasi yang dipelajari Darmayasa dari gurunya ketika bertahun-tahun
belajar di India. Teknik meditasi itu disebut Meditasi Angka, karena memang
kunci pembukanya dari sebuah angka. Setelah lama berkembang Darmayasa
mendirikan ashram di Kawasan Padanggalak dan Teknik Meditasi Angka diteruskan
oleh pengikutnya di sana yang ditambah dengan mempelajari Weda dengan
ritual-ritual yang sejalan dengan Weda. Misalnya ada berbagai pemujaan Istadewata,
melakukan agni hotra dan seterusnya. Namun, pengikutnya termasuk Made Darmayasa
sendiri tetap aktif dengan ritual dalam budaya Bali. Agni hotra di ashramnya
itu didahului dengan pengelukatan oleh pemangku kepada seluruh peserta dengan
banten budaya Bali, ada byakaon, prayascita dan sebagainya. Merajan keluarga
dan padmasana untuk umum pun didirikan di ashram itu.
Dalam setiap ritual ada pembacaan sloka Bhagawad Gita.
Bahkan Guru Darmayasa selalu menganjurkan kepada pengikutnya agar setiap hari
upayakan membaca satu sloka Bhagawad Gita. Tapi tak pernah Darmayasa meminta
agar sloka BG yang dibaca harus dari buku karyanya sendiri. Dari buku BG
terjemahan siapa pun sama saja, toh sloka yang dibaca, berbahasa Sansekerta
sama saja teksnya di setiap buku BG. Semuanya asli, kalau berbeda berarti bukan
BG. Padahal Darmayasa membuat terjemahan BG yang begitu tebal karena
menguraikan sejarah turunnya BG itu, ini buku BG paling tebal yang pernah saya
temui saat ini. Sudah ratusan ribu buku ini dicetak dan ada program “sejuta BG”
yang dibagikan gratis oleh pengikut Darmayasa. Ini jelas beda dengan kelompok HK
yang menyebut harus membaca buku karya guru sucinya karena itu BG yang asli dan
judul bukunya juga BG Menurut Aslinya.
Di desa saya juga ada banyak ashram. Ada kelompok Sai
Baba, Bairawa, juga ada pengikut Hare Krishna. Gde Gatot mendirikan ashram
dengan ajaran Bairawa setelah pulang dari belajar di India dengan anggota inti
pengikut meditasi TM, maklum almarhum orangtuanya, Ketut Sukrata adalah guru TM
tersohor di Bali. Kini kalau ada agni hotra di ashramnya banyak para dokter dari
seluruh Bali yang datang.
Pasraman Manikgeni tempat saya tinggal di desa,
dulunya juga bernama Ashram Manikgeni ketika saya dirikan 1994. Bahkan orang
desa semua masih menyebutnya ashram sampai saat ini, meski pun sudah saya resmikan
namanya menjadi Pasraman sesuai dengan keputusan Menteri Agama. Karena saya
sulinggih pasek, tentu saya punya merajan khusus yang memuja kawitan pasek, tergolong
besar. Namun karena yang datang tak cuma warga pasek, di halaman aula saya
dirikan Padmasana untuk pemujaan Tuhan yang biasa diikuti oleh seluruh umat
Hindu tanpa membedakan soroh.
Bahkan umat Hindu luar Bali yang tak mengenal soroh
melakukan pemujaan di sini. Di sini juga saya dirikan lingga Siwa untuk melukat
siapa saja yang datang, lalu ada pelataran untuk tempat agni hotra. Sering ada agni
hotra dan bahkan hampir sebagian besar upacara sudiwadani, upacara masuk Hindu,
dilaksanakan dengan ritual agni hotra. Maklum mereka orang non-Bali, kalau
sepenuhnya memakai banten Bali, bisa jadi mereka bingung.
Karena orang yang baru masuk Hindu tak harus masuk
Hindu budaya Bali. Tapi pengelukatan tetap saya memakai byakawon, prayascita
dan sebagainya. Pemujaan atau mantram dalam agni hotra pun hampir sebagian sama
dengan mantram saat memuja sebagai pendeta tradisional Bali. Bukankah pendeta
Hindu Bali memuja selalu pula dengan jotir atau disebut pedupan dan pedamaran
yang sama mantramnya untuk memuja dewa agni sebagai pesaksi?
Nah, apa yang mau saya katakan dalam wacana kali ini?
Dalam hal menuntut dikeluarkannya Hare Krishna dari pengayoman Majelis Hindu,
karena kelompok ini jelas menyalahi tradisi Hindu budaya Bali karena ada unsur
penghinaan pada budaya Bali, jangan gebyah uyah dengan sampradaya lainnya.
Jangan pula langsung menyebut ashram itu sebagai tempat ritual yang melecehkan
budaya Bali. Ashram itu kan artinya asrama, tempat belajar dan berkumpul.
Memang dengan keluarnya peraturan Menteri Agama yang
jelas mencantumkan istilah Pasraman, sebaiknya kata ashram itu mulai diganti
Pasraman. Di kalangan pandita Mpu hal ini sudah dilakukan. Tapi karena sudah
kebiasaan, masyarakat sering masih menyebut ashram saja.
Mari kita focus meminta agar Majelis Hindu yakni PHDI
mengeluarkan HK dalam pengayoman, karena jelas mereka bersalah. Tapi untuk
sampradaya atau parampara atau aguron-aguron atau kelompok lain yang mungkin
punya sebutan beda, jangan diganggu, karena mereka tidak ada salahnya. Dan PHDI
pun dalam anggaran dasarnya, Bab X Pasal 41 jelas menyebutkan mengayomi setiap
sampradaya yang berbentuk organisasi, forum, Lembaga, badan, dan yayasan.
Pengayoman itu tak ada disebutkan harus lewat surat khusus. Makanya berkali-kali
saya sebutkan, adanya surat pengayoman khusus ke HK adalah kesalahan individual
Ketua Umum PHDI waktu itu tanpa diketahui pengurus lainnya. Saat itu saya juga
pengurus PHDI Pusat duduk sebagai Sabha Pandita. Tak tahu menahu ada surat
pengayoman itu.
Di desa saya kelompok-kelompok yang bisa disebut sampradaya
ini justru menjadi pemrakarsa upacara ngenteg linggih di Pura Puseh tahun lalu,
yang sejak berdirinya desa itu tak pernah ada ritual ngenteg linggih. Kelompok
itu sesungguhnya lebih sebagai sekehe demen, seperti halnya sekehe demen mesantian,
dan kini mereka mendirikan sekehe demen mebajan, apa yang salah? Makan babi
guling yang katanya enak setiap hari, tapi saya sudah tak makan daging, tentu
bosan dan kepingin ikan bakar. Jadi, setiap hari metembang dan mewargasari,
sesekali ingin melantunkan irama lain dalam bajan, kan tidak ada salahnya.
Demikian sahabat yang baik, jangan kebablasan menuntut
sampradaya yang lainnya harus keluar dari Hindu. Fokus pada Hare Krihsna saja. Karena
mereka tak ada yang salah, lagi pula sebutan Hindu itu adalah sebutan agama
milik dunia, bukan cuma milik orang Bali
Salam sehat. Rahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar