Rabu, 21 Oktober 2020

Fokus Pada HK, Sampradaya Lain Jangan Diobok-Obok


Mpu Jaya Prema

Belakangan ini kalau saya amati perbincangan di media sosial, banyak sekali postingan atau status yang mempermasalahkan sampradaya. Seolah-olah semua sampradaya itu merusak tatanan keagamaan kita, setidaknya bagi kita yang melaksanakan tata cara agama Hindu dengan budaya Bali. Bahkan seolah-olah apa yang disebut ashram itu sepertinya harus dihindari oleh masyarakat Bali yang beragama Hindu. Semua ini gara-gara kita diusik oleh aliran Hare Krishna yang sudah berkembang di Bali. Kita tahu kelompok Hare Krishna mempergunakan juga istilah ashram dan sampradaya.

Mari kita lebih bijak. Penolakan umat Hindu atau katakanlah sebagian umat Hindu terhadap Hare Krishna itu ada dasarnya. Pertama karena Hare Krishna menyebut sebagai bagian dari agama Hindu, bahkan mendapat surat resmi pengayoman dari majelis agama Hindu, yakni PHDI. Sementara pimpinan mereka menyebutnya bukan sebuah agama karena kelompok mereka ada pula yang beragama bukan Hindu. Kedua, tata cara keagamaan mereka yang berbeda dengan tata cara keagamaan orang Hindu di Bali, disertai dengan unsur penghinaan kepada tata cara umat Hindu melaksanakan ritual budaya Bali. Kalau tanpa ada penghinaan itu barangkali tak akan ada masalah, karena keyakinan seseorang atau kelompok tak perlu kita campuri. Yang ketiga, buku-buku ajaran mereka mengacaukan buku pelajaran agama Hindu karena seolah-olah itu buku berlaku untuk seluruh pemeluk Hindu. Termasuk Bhagawad Gita versi mereka seolah-olah yang paling benar sehingga disebut Bhagawad Gita Menurut Aslinya.

Padahal semua BG sepanjang konsiten memuat sloka apa adanya, semuanya asli. Yang berbeda itu cara penafsirannya. Ada puluhan kitab Bhagawad Gita dengan penafsiran yang berbeda-beda, tak ada masalah. Okelah soal kitab Bhagawad Gita ini, nanti saya perbincangkan tersendiri.

Nah, kembali ke istilah sampradaya dan ashram. Sampradaya itu kalau disederhanakan adalah sebuah kumpulan dari orang-orang yang berminat kepada sesuatu ajaran dan ada guru spiritual yang membina ajaran itu. Sampradaya itu adalah doktrin tradisional tentang pengetahuan yang berkaitan dengan ajaran agama. Istilah sampradaya itu berasal dari kata samprada yang artinya begitu luas, yakni memberi, menghadiahi, menyerahkan, menganugrahkan, menurunkan, yang semuanya lewat tradisi. Jadi sampradaya itu adalah satu filosofi yang diturunkan dengan penyampaian baik secara lisan mau pun kemudian yang tertulis oleh seorang yang disebut guru. Sampradaya lebih luas dibandingkan parampara atau di Bali biasa disebut aguron-guron. Karena parampara atau aguron-guron filosofi itu langsung diterima oleh guru sucinya, sedang sampradaya sudah bisa diterima oleh para pengikut guru suci, tak harus diterima langsung oleh guru sucinya.

Begitu banyak ada sampradaya. Dari kelompok Waisnawa saja ada beberapa. Misalnya ada Ramanuja sampradaya didirikan oleh Ramanuja, ada rahma sampradaya didirikan oleh Madya, ada rudra sampradaya didirikan oleh Vallabha, Sri Sampradaya didirikan oleh Swami Ramananda. Banyak lagi, tak usahlah kita sebutkan lagi.

Kalau kita perkecil sampradaya ini menjadi parampara atau aguron-aguron kita di Bali pun bisa terdiri dari berbagai parampara. Ya, saya sebagai sulinggih dari Mahagotra Pasek bisa disebut parampara dari Sapta Rsi, tujuh Pandita Mpu yang suci. Kelompok pendeta lainnya bisa parampara dari pandita suci lainnya lagi. Kalau lama-lama berkembang dan semakin banyak ada pandita, parampara atau aguron-guron itu pun bisa diperkecil lagi dengan misalnya disebut garis penabean. Misalnya, ada pandita Mpu garis penabean Mpu A, pandita Mpu garis penabean Mpu B, dan seterusnya. Sumber pokok ajarannya semuanya ajaran Hindu, tetapi praktek ritual atau sering disebut budaya ritualnya bisa ada perbedaan.

Tetapi perbedaan ini tidak disertai dengan mencela pihak lain yang berbeda. Nah di sini bedanya dengan sampradaya Hare Krishna karena mereka mencela budaya ritual yang lain sementara Hare Krishna dalam pengayoman majelis Hindu. Ini yang jadi masalah.

Sekarang coba kita perhatikan langsung di masyarakat Bali saat ini. Ada berbagai kelompok yang bisa disebut parampara dan bisa pula dikatagorikan sampradaya. Tetapi kalau mereka berbaur di masyarakat secara umum, tradisi atau ajaran kelompok itu ditinggalkan. Misalnya, Sai Baba. Kelompok ini sudah bisa disebut sampradaya karena mereka menghormati guru sucinya Sai Baba. Pengikutnya banyak di berbagai daerah. Mereka sering menyebut sebagai kelompok pembelajar Weda dan menghayati wejangan-wejangan guru sucinya, Sai Baba. Foto Sai Baba pun dipajang oleh pengikutnya. Mereka juga punya tempat berkumpul yang disebut ashram atau belakangan disebut centre, kalau di lingkungan mereka panganjalinya bisa secara khas, misalnya; Om Sai Ram atau Sai Ram. Mereka juga punya buku Bagawad Gita yang merupakan inti sari wejangan Sai Baba, namun tak menyebutkan buku itu yang harus dibaca, BG lain tak boleh. Namun kalau berbaur di masyarakat adat, mereka tetap mengikuti ritual Hindu budaya Bali. Tak ada yang mencela ritual budaya Bali itu.

Ada banyak lagi contoh-contohnya, mungkin karena berskala kecil dan tak banyak dipublikasikan. Misalnya, kelompok yang diasuh Made Darmayasa yang tak memberi nama untuk kelompoknya itu. Mereka punya ashram yang besar dan selalu ramai setiap hari di Padanggalak. Kelompok ini bermula dari praktek meditasi yang dipelajari Darmayasa dari gurunya ketika bertahun-tahun belajar di India. Teknik meditasi itu disebut Meditasi Angka, karena memang kunci pembukanya dari sebuah angka. Setelah lama berkembang Darmayasa mendirikan ashram di Kawasan Padanggalak dan Teknik Meditasi Angka diteruskan oleh pengikutnya di sana yang ditambah dengan mempelajari Weda dengan ritual-ritual yang sejalan dengan Weda. Misalnya ada berbagai pemujaan Istadewata, melakukan agni hotra dan seterusnya. Namun, pengikutnya termasuk Made Darmayasa sendiri tetap aktif dengan ritual dalam budaya Bali. Agni hotra di ashramnya itu didahului dengan pengelukatan oleh pemangku kepada seluruh peserta dengan banten budaya Bali, ada byakaon, prayascita dan sebagainya. Merajan keluarga dan padmasana untuk umum pun didirikan di ashram itu.

Dalam setiap ritual ada pembacaan sloka Bhagawad Gita. Bahkan Guru Darmayasa selalu menganjurkan kepada pengikutnya agar setiap hari upayakan membaca satu sloka Bhagawad Gita. Tapi tak pernah Darmayasa meminta agar sloka BG yang dibaca harus dari buku karyanya sendiri. Dari buku BG terjemahan siapa pun sama saja, toh sloka yang dibaca, berbahasa Sansekerta sama saja teksnya di setiap buku BG. Semuanya asli, kalau berbeda berarti bukan BG. Padahal Darmayasa membuat terjemahan BG yang begitu tebal karena menguraikan sejarah turunnya BG itu, ini buku BG paling tebal yang pernah saya temui saat ini. Sudah ratusan ribu buku ini dicetak dan ada program “sejuta BG” yang dibagikan gratis oleh pengikut Darmayasa. Ini jelas beda dengan kelompok HK yang menyebut harus membaca buku karya guru sucinya karena itu BG yang asli dan judul bukunya juga BG Menurut Aslinya.

Di desa saya juga ada banyak ashram. Ada kelompok Sai Baba, Bairawa, juga ada pengikut Hare Krishna. Gde Gatot mendirikan ashram dengan ajaran Bairawa setelah pulang dari belajar di India dengan anggota inti pengikut meditasi TM, maklum almarhum orangtuanya, Ketut Sukrata adalah guru TM tersohor di Bali. Kini kalau ada agni hotra di ashramnya banyak para dokter dari seluruh Bali yang datang.

Pasraman Manikgeni tempat saya tinggal di desa, dulunya juga bernama Ashram Manikgeni ketika saya dirikan 1994. Bahkan orang desa semua masih menyebutnya ashram sampai saat ini, meski pun sudah saya resmikan namanya menjadi Pasraman sesuai dengan keputusan Menteri Agama. Karena saya sulinggih pasek, tentu saya punya merajan khusus yang memuja kawitan pasek, tergolong besar. Namun karena yang datang tak cuma warga pasek, di halaman aula saya dirikan Padmasana untuk pemujaan Tuhan yang biasa diikuti oleh seluruh umat Hindu tanpa membedakan soroh.

Bahkan umat Hindu luar Bali yang tak mengenal soroh melakukan pemujaan di sini. Di sini juga saya dirikan lingga Siwa untuk melukat siapa saja yang datang, lalu ada pelataran untuk tempat agni hotra. Sering ada agni hotra dan bahkan hampir sebagian besar upacara sudiwadani, upacara masuk Hindu, dilaksanakan dengan ritual agni hotra. Maklum mereka orang non-Bali, kalau sepenuhnya memakai banten Bali, bisa jadi mereka bingung.

Karena orang yang baru masuk Hindu tak harus masuk Hindu budaya Bali. Tapi pengelukatan tetap saya memakai byakawon, prayascita dan sebagainya. Pemujaan atau mantram dalam agni hotra pun hampir sebagian sama dengan mantram saat memuja sebagai pendeta tradisional Bali. Bukankah pendeta Hindu Bali memuja selalu pula dengan jotir atau disebut pedupan dan pedamaran yang sama mantramnya untuk memuja dewa agni sebagai pesaksi?

Nah, apa yang mau saya katakan dalam wacana kali ini? Dalam hal menuntut dikeluarkannya Hare Krishna dari pengayoman Majelis Hindu, karena kelompok ini jelas menyalahi tradisi Hindu budaya Bali karena ada unsur penghinaan pada budaya Bali, jangan gebyah uyah dengan sampradaya lainnya. Jangan pula langsung menyebut ashram itu sebagai tempat ritual yang melecehkan budaya Bali. Ashram itu kan artinya asrama, tempat belajar dan berkumpul.

Memang dengan keluarnya peraturan Menteri Agama yang jelas mencantumkan istilah Pasraman, sebaiknya kata ashram itu mulai diganti Pasraman. Di kalangan pandita Mpu hal ini sudah dilakukan. Tapi karena sudah kebiasaan, masyarakat sering masih menyebut ashram saja.

Mari kita focus meminta agar Majelis Hindu yakni PHDI mengeluarkan HK dalam pengayoman, karena jelas mereka bersalah. Tapi untuk sampradaya atau parampara atau aguron-aguron atau kelompok lain yang mungkin punya sebutan beda, jangan diganggu, karena mereka tidak ada salahnya. Dan PHDI pun dalam anggaran dasarnya, Bab X Pasal 41 jelas menyebutkan mengayomi setiap sampradaya yang berbentuk organisasi, forum, Lembaga, badan, dan yayasan. Pengayoman itu tak ada disebutkan harus lewat surat khusus. Makanya berkali-kali saya sebutkan, adanya surat pengayoman khusus ke HK adalah kesalahan individual Ketua Umum PHDI waktu itu tanpa diketahui pengurus lainnya. Saat itu saya juga pengurus PHDI Pusat duduk sebagai Sabha Pandita. Tak tahu menahu ada surat pengayoman itu.

Di desa saya kelompok-kelompok yang bisa disebut sampradaya ini justru menjadi pemrakarsa upacara ngenteg linggih di Pura Puseh tahun lalu, yang sejak berdirinya desa itu tak pernah ada ritual ngenteg linggih. Kelompok itu sesungguhnya lebih sebagai sekehe demen, seperti halnya sekehe demen mesantian, dan kini mereka mendirikan sekehe demen mebajan, apa yang salah? Makan babi guling yang katanya enak setiap hari, tapi saya sudah tak makan daging, tentu bosan dan kepingin ikan bakar. Jadi, setiap hari metembang dan mewargasari, sesekali ingin melantunkan irama lain dalam bajan, kan tidak ada salahnya.

Demikian sahabat yang baik, jangan kebablasan menuntut sampradaya yang lainnya harus keluar dari Hindu. Fokus pada Hare Krihsna saja. Karena mereka tak ada yang salah, lagi pula sebutan Hindu itu adalah sebutan agama milik dunia, bukan cuma milik orang Bali

Salam sehat. Rahayu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar