Mpu Prema Jaya
Sekarang ini banyak sekali ada postingan di media sosial orang-orang yang mencela bahkan menghujat suatu kelompok yang memajang patung atau cuma foto orang suci yang menyebarkan dharma keagamaan. Mereka dihujat bahkan dianggap aliran sesat karena seolah-olah menduakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka dituduh tidak memuja Tuhan, tetapi memuja guru spiritual yang adalah manusia biasa. Lalu buntutnya disela sebagai kelompok sampradaya Hindu yang aliran yang merusak adat dan tradisi Hindu. Kemudian bahkan disambung ungkapan kebablasan: bubarkan...
Mari kita tenang, jangan grasa-grusu. Seolah-olah
agama Hindu itu cuma milik kita. Ini agama milik dunia dengan segala perbedaan
budaya, tetapi inti ajarannya bersumber dari kitab yang sama, Kitab Suci Weda.
Ada tiga pemujaan dalam ajaran Hindu. Yang pertama
memuja Tuhan di Bali disebut Hyang Widhi Wasa. Di budaya lain beda lagi
sebutannya. Dalam Kitab Weda disebut dengan Brahman.
Yang kedua memuja Istadewata, yaitu para dewa-dewa.
Dewa-dewi ini adalah sinar-sinar suci Tuhan. Kenapa kita memuja Istadewata
tertentu karena kita ingin fokus. Misalnya, ketika kita memohon tuntunan ilmu
pengetahuan kita memuja Dewi Saraswati. Ketika kita memohon kebijakan dalam
bersikap dan berprilaku, kita memuja Dewa Ganesha. Ketika kita mensyukuri telah
diberi kesejahtraan, kita memuja Dewi Laksmi yang di Bali disebut dengan nama
Bethari Rambut Sedana. Dan seterusnya. Jadi intinya ya memuja Tuhan juga lewat
sinar beliau.
Yang ketiga memuja leluhur kita yang sudah lama tiada.
Ini dulunya adalah manusia biasa, seperti kita ini. Kita harus tetap sujud
kepada leluhur itu dengan mengenang jasa beliau. Karena leluhur kita amor ing Achintya,
artinya menyatu di alam Tuhan, maka tentu saja kita memuja semua yang berada di
alam Tuhan itu, termasuk Tuhan itu sendiri. Karena itu dalam Panca Sembah
selalu ada pemujaan kepada leluhur yang dilanjutkan dengan pemujaan kepada
Tuhan.\
https://youtu.be/fjuyya-nJSs
Nah, leluhur itu ada 2 hal dilihat dari posisi mereka
di alam Tuhan. Yang pertama leluhur yang sudah moksha, artinya mendapatkan
kedamaian abadi di alam Tuhan. Dalam kepercayaan Hindu, leluhur yang bisa
moksha ini adalah mereka yang sudah suci. Bagaimana mengukur kesucian orang
itu? Tentu ini sulit karena masalah kesucian hanya Tuhan yang tahu. Tetapi
menjadi mudah jika kita sudah menetapkan aturan secara duniawi. Apa itu? Dalam
tradisi beragama Hindu, terutama di masyarakat Bali, kesucian itu diukur dari
status seseorang, apakah mereka sudah dwijati atau belum. Dwijati adalah
kelahiran kedua, dalam hal ini biasa disebut sudah menjadi pandita atau
sulinggih dalam bahasa Bali. Mereka inilah yang disebut moksha ketika sudah
meninggal duna. Moksha itu adalah kepercayaan tertinggi dalam Panca Srada yang
menjadi dasar dari ajaran Hindu.
Lalu leluhur kita yang meninggal dunia tidak dalam
status suci atau bukan dwijati atau bukan sulinggih, dalam keyakinan Panca
Srada termasuk akan melakukan Punarbhawa atau reinkarnasi. Mereka setelah
menjalani penebusan karma di alam Tuhan sesuai dengan prilakunya semasa hidup,
akan reinkarnasi kembali menjadi manusia. Karena itu dalam tradisi di Bali,
jika ada anak yang baru lahir, keluarganya biasa menanyakan kepada balian
dasaran (orang yang berprofesi menurunkan roh), siapa yang reinkarnasi kepada
anak yang baru lahir itu. Istilah di pedesaan, sire sane turun ngidih nasi... Umumnya jawabannya adalah: oh kakek
itu... atau nini itu... Ini terserah percaya atau tidak, tetapi masih banyak
yang melakukannya. Tapi banyak pula yang tak melakukan. Ini kan bukan wajib
tergantung keluarga bersangkutan.
Nah, orang-orang suci yang dianggap sudah moksha tak
akan reinkarnasi. Leluhur jenis inilah yang dibuatkan pura tempat pemujaan.
Misalnya, Mpu Gni Jaya dibuatkan pura di Lempuyang Madya, Mpu Kuturan di Pura Silayukti,
Mpu Semeru di Besakih, Mpu Gana di Punduk Dawa dan seterusnya. Dnaghyang
Nirartha malah dipuja di banyak pura tempat-tempat di mana beliau dulu pernah
menetap.
Leluhur yang saya sebutkan itu adalah para pandita
suci di masa lalu yang jasanya demikian besar. Sedangkan para pendeta generasi
baru, katakanlah setelah kemerdekaan, cukup distanakan atau dipuja di merajan
keluarganya dengan mendirikan meru. Nah, akan halnya leluhur kita yang bukan
orang suci atau bukan berstatus pendeta, kita puja di sebuah sanggah atau
pelinggih yang disebut Rong Tiga. Jadi secara sederhana bisa dikatakan, yang
dipuja di meru itu adalah leluhur yang moksha dan yang dipuja di Rong Tiga itu
leluhur yang bisa punarbhawa. Moksha dan Punarbhawa ini semuanya harus kita
percayai sebagai bagian dari Panca Srada.
Sekarang kalau ada kelompok atau aliran atau bisa
disebut sampradaya yang membawa patung guru sucinya dan dipuja dalam konsep
pemujaan leluhur, ya, apa yang salah? Tidak ada yang salah. Karena guru suci
itu masih pada abad ke 20 ini tentu fotonya masih ada untuk dibuatkan
patungnya. Gurusuci saya pun saya puja di kamar suci ini dan saya pajang
fotonya. Mereka ini orang-orang suci karena statusnya pendeta, tak mungkin
reinkarnasi dalam keyakinan Hindu. Sama seperti guru suci masa lalu seperti Mpu
Gni Jaya, Mpu Kuturan dan sebagainya, tak mungkin reinkarnasi.
Kenapa pendeta Mpu di masa lalu itu tidak dibuatkani
patungnya? Karena tidak ada yang tahu wajah beliau seperti apa, beliau sudah
tiada berabad-abad yang lalu. Sekarang paling dibuatkan simbulnya saja yang
disebut pratima. Dan pratima itu yang diusung-usung kalau ada ritual.
Nah, seperti itulah yang dilakukan oleh kelompok yang
membawa-bawa patung guru sucinya, semua itu bentuk penghormatan dan memang
wajib dipuja sesuai dengan konsep memuja Tuhan, Istadewata dan Leluhur. Jadi
janganlah mereka dianggap sesat seolah-olah kita yang benar semua.
Jangan-jangan kita yang sesat tidak menghormati guru suci.
Jangan pula dituduh mereka bukan Hindu, seolah-olah
kita yang berhak memberi label Hindu pada orang lain, sementara Hindu adalah
milik dunia, bukan milik orang Bali yang cuma empat atau lima juta ini.
Sebaliknya, kelompok yang nyata-nyata bukan
berkeyakinan Hindu, jangan pula mencampur adukkan ritual Hindu dengan ritual
agama atau keyakinan lain. Tetaplah dengan agama kalian, jangan merecoki Hindu.
Agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku. Dalam
hal keyakinan janganlah kita mencampuri urusan orang lain, itu hak asasi setiap
orang.
Semoga semuanya dalam suasana damai.
Belajar disekolah saja ada guru, apalagi hal spiritual mestinya hal ini hrs sgt harus dipahami. Semoga orang orang bisa dituntun ke jalan yg benar. Suksma.
BalasHapus