Om Swastyastu. Umat sedharma yang dikasihi Tuhan. Kita lanjutkan lagi pembahasan kitab Sarasamuscaya, kitab etika warisan leluhur yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh Bhagawan Wararuci. Kita sudah menginjak ke sloka 335 dengan melanjutkan tema sebelumnya, bagaimana kita bergaul terutama jika menghadapi sang durjana, orang yang berprilaku jahat. Saya tak menyertakan sloka asli dalam bahasa Sansekerta mau pun sloka terjemahan bebasnya dalam bahasa Jawa Kuno di sini. Nanti dalam buku, kedua jenis sloka itu akan saya cantumkan dengan lengkap. Mari saya baca sloka ke 335.
Sebagaimana halnya kayu intaran meski berkali-kali dahannya ditebang, ketika bertunas lagi rasanya tetap akan pahit. Meskipun orang telah berkali-kali mencucinya, atau bahkan melumurinya dengan madu, rasanya tetap akan pahit. Walaupun diluluri dengan bumbu-bumbuan, rasanya tetap juga pahit. Demikianlah keadaan dari manusia durjana, tidak dapat diubah menjadi bajik walaupun telah dihukum dengan keras, pun juga tidak dapat diperbaiki prilakunya dengan cara disanjung-sanjung.
Sloka ini masih berbicara tentang sang durjana yang sudah karatan, tak bisa diperbaiki lagi tabiatnya. Dia sudah kebal dengan hukuman, apalagi nasehat untuk memperbaiki diri. Apa solusinya? Pengawasan yang terus menerus dan kalau kita berbicara tentang tatanan hukum masa kini, pembinaan yang berkelanjutan itu misalnya dihukum seumur hidup. Dengan begitu dia terhindar dari pergaulan orang banyak. Saya lanjutnya ke sloka 336.
https://youtu.be/qghv8skzIvg
Bagi orang yang berbudi, pengetahuan itu gunanya untuk menghilangkan keangkuhan, namun bagi mereka yang tidak berbudi, pengetahuan itu justru semakin membangkitkan keangkuhannya. Pengetahuan bagi orang berbudi, bagaikan sinar matahari yang tujuannya untuk menghilangkan kegelapan. Bagi sang durjana, sinar matahari itu justru bagai burung hantu yang membuatnya silau dan bisa membuat pengelihatannya semakin kabur.
Sloka ini memberi perbandingan bagaimana sang durjana dan orang berbudi baik dalam menyikapi ilmu pengetahuan. Bisa bertolak belakang padahal ilmu yang diperoleh itu sama saja. Misalnya, ilmu tentang merakit bom. Jika di tangan orang berbudi, bom yang dihasilkan bisa digunakan untuk meledakkan tebing dalam proyek pertambangan, misalnya.Namun bagi sang durjana, bom bisa diledakkan di tempat keramaian untuk tujuan terror. Ilmu pengetahuan bisa dipakai untuk kesejahtraan umat, tetapi bisa dipakai untuk kejahatan seperti korupsi. Jadi tergantung siapa pemakai ilmu pengetahuan itu. Saya lanjut ke sloka 337.
Inilah yang menyebabkan munculnya kesombongan bagi si papa budi dan sang durjana. Widyamada, dhanamada, dan abhijanamada. Widyamada adalah mabuk keangkuhan karena merasa diri punya pengetahuan. Dhanamada mabuk karena merasa dirinya kaya. Abhijanamada mabuk atau angkuh karena merasa dirinya tergolong bangsawan. Demikianlah ketiga hal ini menyebabkan sang papa budi sombong, sedang bagi yang berbudi, pengetahuan, kekayaan dan kebangsawanan justru menjadikan dirinya penuh pengertian.
Sloka ini sudah jelas bagaimana ilmu pengetahuan, kekayaan dan kebangsawanan bisa dipergunakan dengan baik atau buruk tergantung siapa yang menggunakannya. Di tangan orang jahat hasilnya akan buruk, di tangan orang baik hasilnya pun bermanfaat. Saya lanjutkan ke sloka 338.
Kalau diperbandingkan, besi itu lebih baik dari seorang durjana. Karena besi dapat dibengkokkan, dapat dilipat dan dapat disambung, bisa meleleh, jika hal itu dipanaskan. Tidaklah demikian hati seorang durjana itu, sifatnya keras, kaku dan kasar.
Sloka ini masih berbicara tentang orang durjana yang sudah karatan kejahatannya yang sulit sekali diperbaiki. Karena itu pengawasan berkesinambungan harus dikenakan kepada mereka itu agar tidak meresahkan masyarakat. Saya lanjut ke sloka 339.
Mereka yang durjana akan sangat pandai menyembunyikan maksud jahatnya, bagaikan keberadaan api dalam sekam, apinya tidak tampak namun dengan tiba-tiba menghanguskan apapun yang tersedia.
Nah sloka ini hanya menunjukkan bagaimana orang yang sudah karatan sifat jahatnya perlu berada dalam pengawasan yang Panjang. Karena kalua dibiarkan tetap berada di tengah-tengah masyarakat mereka diibaratkan api dalam sekam. Bisa tidak kelihatan gelagat jahatnya tetapi tiba-tiba bisa berbuat onar yang sulit ditanggulangi. Saya lanjut ke sloka 340.
Sang durjana bisa saja membuat orang-orang berbudi berada di dalam cengkeramannya kalau saja mereka bebas keberadannya. Kalau itu terjadi sangatlah sedih tetapi membahagiakan sang durjana.
Sloka ini lagi-lagi mengingatkan orang betapa perlunya sang durjana, orang yang sifat jahatnya itu keterlaluan, untuk diawasi terus menerus. Karena kalua dibiarkan bebas, bisa jadi orang baik-baik pun akan mengalami celaka oleh sifat buruk sang durjana ini. Saya lanjut ke sloka 341.
Tabiat sang durjana adalah walau pun sekecil biji sawi kesalahan sang sadhu pasti akan dilihatnya juga, padahal kalau kesalahan dirinya sebesar buah maja tak akan terlihat olehnya.
Sloka ini menjelaskan tentang taktik sang durjana jika masih bebas berkeliaran di masyarakat. Dia bisa memprovokasi orang agar sang sadhu, yaitu orang yang berbudi, bisa Nampak buruk dengan memperbesar kesalahan kecil sang sadhu. Sementara kesalahan dia sendiri, meski pun lebih besar, tak akan dipermasalahkan. Ini salah satu alas an lagi bagaimana sang durjana itu agar selalu dalam pengawasan. Saya teruskan ke sloka 342.
Mereka yang berbudi baik akan sangat senang hatinya dapat menghormati orang-orang bajik, sedangkan sang durjana, menjadi sangat bangga apabila dapat menistakan, mengejek, dan berlaku kurang ajar kepada orang yang berbudi baik.
Sloka ini menyebutkan sifat-sifat dari orang baik dan orang jahat secara umum, bahwa kesenangan itu berbeda antara orang baik dan orang jahat. Saya tak perlu ulas lagi. Lanjut ke sloka 343.
Puncak orang-orang yang disebut bodoh adalah: orang kaya tetapi tidak melakukan sedekah, orang miskin tetapi sombong dan orang yang tak berilmu tetapi angkuh.
Sloka pendek ini mengalihkan pembicaraan tentang sang durjana atau orang yang punya sifat jahat akut. Kini dijelaskan soal siapakah orang bodoh itu. Secara umum itulah tiga kriterianya, orang yang kikir kareba kaya tetapu tak bersedekah, orang yang miskin tetapi tetap saja sombong dan orang yang tak berilmu tetapi angkuh. Rupanya sesederhana itu kriteria orang bodoh. Saya lanjut ke sloka 344.
Orang yang mencela dan marah kepada mereka yang berbuat salah, sedangkan ia sendiri dengan sengaja melakukan juga kesalahan itu, dia adalah orang bodoh. Dan orang yang suka marah-marah kepada orang yang dibawah kekuasaannya sementara dia tak menguasai kemarahannya sendiri, orang yang demikian juga disebut bodoh.
Kriteria orang yang disebut bodoh itu ternyata berlanjut. Intinya kemarahan yang tidak pada tempatnya, atau memarahi orang lain sementara kita melakukan kesalahan yang sama, itu artinya kita juga bodoh. Jelas sudah. Ayo lanjut ke sloka 345.
Bagi orang berhati jahat, kata-kata manis dan lemah lembut, dianggap sebagai pertanda kelemahan dari seseorang. Karena dia tidak sadar untuk membuktikan kemurnian emas adalah dengan menggosoknya terlebih dahulu. Orang yang berhati halus, walaupun dikasari tetap akan menunjukkan kelembutannya.
Sloka ini sudah jelas. Kelembutan seseorang bukan berarti tanda kelemahan padanya. Walau orang lembut itu dikasari tetap saja kelembutannya tidak berkurang. Perumpaan emas di sini terletak pada cara pengujian kadar karatnya, justru dengan menggosok berkali-kali akan ketahuan kadarnya itu. Saya lanjut ke sloka 346.
Apabila seseorang yang sadhu meminta bantuan kepada orang yang tidak sadhu dan ini bisa jadi membuat orang tak sadhu merasa dirinya besar. Mestinya orang yang tidak sadhu itu segera meniru prilaku sang sadhu agar benar-benar menjadi orang besar.
Sloka ini harus diperjelas lagi. Tidak semua orang tahu segala hal. Ada kalanya orang yang berbudi luhur, yang disebut sang sadhu ini, meminta bantuan kepada orang yang dikenal tidak baik. Mungkin ada hal-hal yang bisa dilakukan oleh orang yang dikenal tak baik itu. Nah, sebaiknya inilah kesempatan orang yang dikenal tidak baik ini melakukan perubahan pada prilaku dan tabiatnya. Mumpung ia dimintai tolong oleh orang baik. Tetapi akan percuma saja kalau kesempatan itu disia-siakan dan justru orang yang dikenal tak baik itu menjadi angkuh dan besar kepala. Tetap saja dia dicap orang yang tidak baik. Lanjut ke sloka 347.
Adapun orang yang bijaksana dan suci hati, biarpun ia dikasari dan dipuji, namun yang bermanfaat saja yang akan di pilihnya. Seperti keadaan angsa, walapun mencari makanan di lumpur, tidak akan ikut lumpur itu dimakannya.
Sloka ini menjelaskan salah satu sifat orang yang bijaksana atau sering kali dalam berbagai sloka di kitab ini disebut sang sadhu. Mereka tahu cara menyaring sesuatu yang dihadapi dalam kehidupan ini, antara baik dan buruk. Hanya yang bermanfaat dan sesuatu yang baik saja mendapat perhatiannya. Yang buruk dibuang seperti angsa atau bebek yang mencari makanan di lumpur, taka da lumpur yang masuk ke perutnya. Lanjut ke sloka 349.
Walaupun sempurna ilmu pengetahuan seseorang, jika ia hina budi, tiada gunanya semua itu. Begitu pula mempelajari kitab suci yang mengarahkan manusia menuju kebajikan, menjadi tanpa guna jika prilakunya papa budi. Demikian juga orang kaya namun kikir serta orang yang berkuasa namun tidak melindungi orang yang pantas dilindungi, akan menjadi tanpa guna.
Sloka ini sudah jelas dan menuju kepada kesimpulan dari tema ini bahwa semua ilmu dan kekayaan kalau tidak dipergunakan dengan baik akan menjadi sia-sia. Saya lanjut ke sloka 350.
Tegasnya adalah ilmu pengetahuan jika dikuasai oleh orang yang hina budi atau orang jahat, apalagi sang durjana, akan menjadi sia-sia keutamaannya; bagaikan hilangnya kesucian air jika ditempatkan pada tengkorak, pun hilangnya kejernihan air jika ditempatkan pada bejana yang penuh debu dan kotoran.
Sloka ini hampir sama dengan sloka sebelumnya menuju kepada kesimpulan bahwa bahwa setiap ilmu yang diperoleh haruslah digunakan dengan tujuan yang baik. Saya lanjut ke sloka 351.
Meski pun ilmu pengetahuan itu bersifat ilmu kebatinan yang utama namun dipelajari oleh orang yang hina budi, ilmu itu tidak akan pernah sempurna, sebab dapat dipastikan tidak didasari oleh prilaku yang utama. Bagaikan ekor srigala tidak akan mampu dengan sempurna mengusir lalat yang mengerubungi sekujur tubuhnya.
Tiga sloka terakhir ini menjadi penutup dari tema tentang kedurjanaan atau orang yang bersifat durjana, sifat jahat yang sudah sulit diperbaiki. Semua ilmu termasuk ilmu kebatinan yang di sloka ini disebut ilmu utama, tetap tak akan bisa dijalankan jika pemilik ilmu itu tidak bersih hatinya, masih dilingkupi sifat-sifat jahat. Jadi kebersihan hati adalah yang utama.
Umat sedharma, kita jeda di sini dan selanjutnya kita bertemu dengan tema tentang Hukum Karma. Ini tema yang menarik karena sering dijadikan perbincangan. Sampai jumpa, rahayu, Om shanti-shanti-shanti Om.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar