Umat sedharma yang dikasihi Tuhan. Kita lanjutkan lagi pembahasan kitab Sarasamuscaya, kitab etika warisan leluhur yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh Bhagawan Wararuci. Kita memasuki sloka 352 dengan tema tentang karma phala atau hukum karma. Saya tak menyertakan sloka asli dalam bahasa Sansekerta mau pun sloka terjemahan bebasnya dalam bahasa Jawa Kuno. Nanti dalam buku, kedua jenis sloka itu akan saya cantumkan dengan lengkap. Mari saya mulai sloka ke 352.
Sesungguhnya kehidupan manusia di dunia ini adalah hasil dari karmanya. Baik atau buruk kehidupan sekarang ini adalah hasil dari perbuatan di masa lalu. Pada hakikatnya kita terikat oleh baik buruknya perbuatan di masa lalu.
Sloka ini masih memberi pengertian secara umum tentang hukum karma atau juga disebut karma phala. Bahwa segala yang kita terima dalam kehidupan yang sekarang ini adalah buah karma atau pahala dari apa yang kita perbuat di masa lalu. Masa lalu itu bisa berarti dalam siklus kehidupan yang sekarang, tetapi bisa juga berarti kehidupan di saat kelahiran terdahulu. Saya lanjut ke sloka 353.
Purwakarma itu mau tak mau pasti dipetik setiap pahalanya oleh orang yang melakukan karma. Dan karmaphala itu tak bingung dalam menentukan kemana dia harus menuju dan berdiam. Seperti halnya anak sapi, tidak akan bingung dia mencari induknya untuk menyusui, meski pun ada ratusan sapi di sekitar itu yang juga menyusui anaknya. Walau bagaimana bercampur aduknya sapi-sapi yang menyusui, si anak sapi pasti bisa mengenali dan tak ragu dengan induknya.
Sloka dalam Bahasa Sansekerta sangat pendek. Namun Bhagawan Wararuci dalam terjemahan dan ulasan lewat Bahasa Jawa Kuno berpanjang-panjang. Bhagawan memperkenalkan kata purwakarma yang diartikan sebagai perbuatan masa lalu. Mau tidak mau, segala perbuatan masa lalu itu pasti akan dinikmati oleh yang berbuat saat ini. Dan hukum karma itu tak pernah keliru dalam mencari korbannya, betapa pun semerawutnya kehidupan ini. Dalam sloka versi Jawa Kuno ini diambil perumpamaan anak sapi di tengah-tengah ratusan sapi yang beranak lainnya. Seekor anak sapi tak akan sampai lupa dengan induknya tatkala mau menyusu. Seperti itulah hukum karma berjalan, tak pernah salah sasaran. Saya teruskan ke sloka 354.
Lagi pula pahala dari purwakarma itu pasti tahu kapan waktunya tiba. Pahala dari purwakarma itu tidak dapat dielakkan, tidak juga dapat ditolak, dan sia-sia pula untuk didesak-desak. Bagaikan mekarnya bunga pada musimnya, tidak bisa dihindari apabila sudah waktunya untuk mekar.
Di sini dijelaskan bahwa perbuatan di masa lalu pasti akan berpahala. Jika perbuatan itu buruk maka pahala buruk tak bisa dielakkan. Jika itu perbuatan baik, pahalanya pun tak bisa untuk didesak agar bisa dinikmati. Dipakailah di sini perumpamaan bunga dan buah, kalau sudah saatnya mekar dan berbuah, tak ada yang bisa menghalanginya. Jadi sudah jelas dan saya lanjutkan ke sloka 355.
Ketentuannya
adalah, kalau pada waktu anak-anak atau pada waktu remaja atau pada waktu tua
seseorang berbuat baik atau buruk pada kehidupannya di masa lalu, maka pada
waktu anak-anak atau remaja atau sudah tualah dirasakan hasil perbuatannya yang
lalu. Tegasnya, pada umur berapa seseorang melakukan perbuatan baik atau buruk dalam
hidupnya terdahulu, pada tahap usia kehidupan yang seperti itulah ia akan memetik
pahalanya.
Sloka ini menjelaskan tentang kapan pahala itu diterima. Ternyata harus disesuaikan dengan usia pada saat melakukan perbuatan di masa lalu. Misalnya, kalau di dalam kehidupan terdahulu perbuatan buruk itu dilakukan saat remaja, maka pahala buruk akan diterima di kehidupan sekarang pada saat usia remaja pula. Demikian seterusnya. Selalu disesuaikan dengan usia dan tentu pahala baik atau buruk juga disesuaikan dengan baik dan buruk pula. Seperti uraian sloka sebelumnya, karma phala tak pernah salah dalam memilih tempat yang akan dituju. Saya lanjut ke sloka 356.
Ada orang yang sangat rajin, bijaksana, giat berusaha, bisa mengendalikan nafsu, suka membantu dan menyenangkan orang lain, berwajah rupawan, namun ternyata dalam hidupnya ia menjadi budak dari orang yang berjiwa rendah, semua itu adalah buah dari karma masa lalunya.
Sloka ini menjelaskan tentang keadaan seseorang yang karmanya sudah baik dalam kehidupan sekarang. Dia tidak pernah jahat, suka membantu orang, pokoknya hidupnya sangat rajin untuk menabung karma, tetapi kenapa dia bisa bernasib kurang baik dalam kehidupan sekarang ini? Dia masih direndahkan lingkungannya. Itu disebabkan karmanya di masa kehidupan yang terdahulu yang buruk dan harus dia nikmati pahalanya sekarang ini. Bahwa dia sudah berlaku bijak dan hidup dengan giat membantu orang saat ini, itu memang harus dilakukan untuk menabung karma baik yang pahalanya nanti akan dinikmati dalam kehidupan mendatang. Lanjut ke sloka 357.
Sungguh berbeda pahala karma dari masing-masing orang, perhatikanlah! Ada orang yang memikul usungan dan ada yang dipikul oleh usungan.
Ini sloka yang umum saja, untuk menggambarkan bahwa nasib orang berbeda akibat pahala dari karmanya yang berbeda. Ada yang menikmati kebahagiaan dan ada yang menderita, ada yang pandai dan ada yang bodoh, ada yang memikul usungan dan ada yang dipikul oleh usungan. Tak perlu dijelaskan lagi. Lanjut ke sloka 358.
Semua orang menginginkan kebahagiaan yang tanpa banding. Tetapi mereka hanya dapat melakukan dharma sesuai dengan kemampuannya, maka yang diterimanya adalah apa yang sudah ditentukan oleh purwakarmanya.
Pada hakekatnya semua makhluk berharap memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya, namun karena semua terangkai dari karma masa lalu, tidak semuanya akan dapat meraih harapan dan cita-cita hidupnya. Ini sloka sangat umum. Saya lanjutkan ke sloka 359.
Kemuliaan, celaan, kebahagiaan, kesengsaraan, dan semua pasang surut kehidupan, semuanya datang dan pergi dalam kehidupan manusia di dunia ini. Kehidupan di masa lampau dilanjutkan dengan memperoleh karma di kehidupan sekarang ini.
Ada orang yang rendah hati dan ada orang yang tinggi hati; ada yang bahagia ada juga yang bersedih; ada yang kaya dan ada yang miskin; semuanya dapat datang dan pergi serta berkeadaan tidak tetap. Semua ini adalah karma penyebabnya. Ini juga sudah jelas dan terlalu umum. Saya lanjut ke skola 360.
Orang yang serakah terhadap harta benda orang lain dalam hidupnya terdahulu, akan menjelma menjadi orang miskin di kehidupan nanti. Singkatnya setiap bibit perbuatan yang dahulu ditanam, harus diterima pahalanya di kemudian hari.
Ini juga sloka yang terlalu umum. Apa pun yang kita perbuat di masa lalu, maka pahalanya akan dinikmati di kemudian hari. Dalam berbagai nasehat para tetua di Bali sering sekali memakai perumpaan yang sama dengan sloka ini, yakni menanam. Apa pun yang ditanam, itu yang dipetik. Jika kita menanam padi, maka padi yang dipetik. Jika kita menanam rumput maka hanya rumput yang dipetik. Saya lanjut ke sloka 361.
Dan segala apapun yang ditanam mustahillah dari padanya tumbuh sesuatu yang berbeda dari apa yang ditanam. Demikian pula purwakarma itu, akan diikuti oleh pahala yang sesuai.
Seperti sloka sebelumnya, sloka ini hanya kembali mengulang perumpamaan karma phala dan menanam tanaman itu. Apapun yang ditabur dan dibiakkan diwaktu lalu, di kemudian hari akan dipanen sesuai bibitnya, demikian juga karma apapun yang ditabur, maka karma seperti itulah yang akan dihasilkannya. Saya lanjut ke sloka 362.
Di alam sorga hanya kesenangan yang akan dinikmati, sedangkan di dunia fana ini suka dan duka harus dirasakan. Ada pun di neraka hanya kesengsaraan yang akan diderita, sedangkan pada alam moksa parama suka akan dinikmati.
Paramasuka dalam sloka ini dimaksudkan kedamaian yang abadi dan itu adalah cita-cita utama dari pemeluk Hindu. Parama suka hanya bisa dicapai dengan moksa, kehidupan yang sangat utama yang tidak lagi dipengaruhi oleh karma phala. Saya teruskan dulu dengan sloka penutup dari tema ini, sloka 363, dan setelah itu saya akan memberikan uraian tambahan tentang karma phala.
Ada beberapa perbuatan yang berguna yang akan membawa ke alam sorga. Yaitu menggali sumur, balai tempat tontonan dan balai musyawarah, jalan-jalan raya, pasar, bendungan, gedung bertembok sekelilingnya, balai masyarakat. Demikianlah bermacam kebajikan yang mengantarkan ke alam sorga.
Ini semua simbol-simbol saja. Perbuatan yang mengantar pada perbuatan baik yang dipastikan akan mengantar manusia kelak memasuki alam surga, di antaranya dengan tulus menyumbangkan sarana dan prasarana yang mendukung ketersediaan pangan, sarana untuk hidup bermasyarakat, sistem transportasi, pengairan dan irigasi, soal kepemerintahan dan kepemimpinan yang adil. Kenapa sloka penutup tema karma phala ini diakhiri dengan arah menuju sorga, karena diharapkan orang selalu berkarma yang baik sehingga kelak mendapatkan tempat di alam sorga. Dengan karma baik dan berada di alam sorga itu maka kelak ketika melangsungkan punarbawa atau reinkarnasi dia tidak dibebani pahala yang buruk. Dan jika pahala buruk itu terus dihindari sementara karma baiknya terus ditabung bisa saja tujuan mulia dari kehidupan manusia itu diraihnya, yakni moksa.
Umat sedharma yang dimuliakan Hyang Widhi. Tema karma phala ini selesai. Rupanya kitab Sarasamuscaya hanya membahas karma phala pada satu sisi saja, yakni karma masa lalu yang pahalanya dinikmati pada masa kini. Padahal ajaran karma phala jauh lebih luas lagi. Ada bermacam-macam jenis karma phala.
Seperti kita ketahui, karma phala itu adalah dasar dari agama Hindu yang disebut Panca Srada. Lima keyakinan seseorang dalam Hindu yang disebut Panca Srada itu terdiri dari,
(1) Percaya adanya Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), (2) Percaya adanya Atman (jiwa/roh), (3) Percaya adanya karma phala (hasil dari perbuatan), (4) Percaya adanya phunarbawa (reinkarnasi atau kelahiran berulang-ulang), (5) Percaya adanya moksa (bersatunya Brahman dan Atman atau kedamaian yang abadi).
Kelima dasar (panca srada) ini tak berdiri sendiri. Kelimanya menjadi satu kesatuan. Jika berbicara soal karma phala, bagaimana mungkin seseorang akan meyakini hal itu, jika dia tidak yakin adanya phunarbawa? Kelima dasar ajaran itu tak bisa dipisahkan. Hukum karma berkaitan dengan reinkarnasi, karena karma itu melekat pada jiwa atau roh seseorang yang selalu dibawa dalam kehidupannya yang berulang.
Ada bermacam jenis karma phala. Ada disebut Sancita Karma Phala. Yakni hasil perbuatan orang dalam kehidupan terdahulu yang belum habis pahalanya dinikmati dan masih merupakan sisa yang menentukan kehidupan sekarang. Contoh, di kehidupan yang lalu, mungkin orang itu korupsi milyaran rupiah, namun karena sedang berkuasa atau pinter berkelit, pahalanya belum sempat dinikmati. Sekaranglah orang itu mendapatkan buahnya, misalnya, hidup jadi sengsara. Dan hanya bagian ini yang dimasukkan dalam sloka-sloka kitab Sarasamuscaya.
Kemudian ada Prarabda Karma Phala, hasil perbuatan pada kehidupan
sekarang yang pahalanya diterima habis dalam kehidupan sekarang juga. Sekarang
korupsi, kemudian tertangkap, diadili dan dihukum bertahun-tahun. Lunas
dalam satu kehidupan.
Lalu ada Kriyamana Karma Phala, hasil perbuatan yang tidak sempat
dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan
datang. Misalnya, dalam kehidupan sekarang seseorang korupsi, tapi entah
bagaimana tak berhasil dibuktikan karena kelicikan orang itu, lalu dia
meninggal dunia. Dalam kehidupan yang akan datang pahalanya baru diterima.
Orang itu lahir sengsara. Sebaliknya, dalam kehidupan sekarang seseorang
berbuat baik, santun, suka menolong, namun saat meninggal dunia orang itu tetap
dalam kesederhanaan. Dalam kehidupan yang akan datang, dia dilahirkan menjadi
orang yang bahagia, di mana tak ada penderitaan yang dialami.
Demikianlah umat sedharma, kita jeda di sini dan kita lanjutnya dengan tema baru tentang Kekuasaan Maut atau masalah kematian. Sampai jumpa. Rahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar