Putu Setia | @mpujayaprema
Undang-undang Cipta Kerja dilahirkan dengan konsep “manajemen gaduh”. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat sangat sadar hal itu. Karena mau cepat-cepat selesai. Pemerintah dan DPR yakin kegaduhan bisa diredam.
Bagi pemerintah, undang-undang ini harus ada. Ekonomi
terpuruk menjurus resesi. Tak ada jalan lagi selain menarik investasi untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi. Investor harus diberi kemudahan. Izin yang
berbelit dan tumpang-tindih harus dipangkas.
Presiden Joko Widodo sudah antisipasi. Beberapa hari
sebelum rapat pengesahan rancangan undang-undang, Jokowi tampil di televisi meminta
agar selama pandemi Covid-19 jangan membuat gaduh dan polemik. Banyak orang
mengira fokusnya pada penanganan virus corona.
DPR pun tak kalah akal. Rapat mengambil kesepakatan
dilakukan Sabtu malam, saat orang santai dengan hari liburnya. Dimunculkan
jadwal pengesahan undang-undang dilakukan Kamis, 8 Oktober. Serikat buruh pun
siap-siap menggeruduk gedung DPR pada hari itu. Ternyata jadwal pun
bohong-bohongan. DPR membuat rapat paripurna pada Senin sore 5 Oktober. Naskah
rancangan undang-undang yang belum final pun disahkan. Belum ada bentuk
phisiknya di tangan anggota dewan. Benny K Harman, politisi Partai Demokrat,
sampai berkomentar: “Yang disahkan itu undang-undang hantu.” Sampai Jumat
kemarin, naskah UU Cipta Kerja itu masih berstatus “hantu”, belum berwujud
final.
Kegaduhan memang terjadi. Menkopolhukam Mahfud MD memberi
komentar. Intinya, tak ada undang-undang yang seratus persen disetujui
masyarakat. Kalau tidak puas ada mekanisme hukum: uji materi ke Mahkamah
Konstitusi. Mahfud MD, memang spesialis untuk meredam kegaduhan. Ketika UU
Revisi KPK disahkan tempo hari dan banyak yang protes, Mahfud dipanggil ke
Istana. Keluar Istana dia bilang, Presiden Jokowi akan melahirkan perppu.
Sedikit adem karena orang menunggu perppu. Ternyata tak ada apa-apa.
Kini, lagi-lagi pemerintah meminta tak usah ribut. Silakan
gugat ke MK. Rupanya DPR pun sudah “mendekati Mahkamah” dengan memberi hadiah
tak terduga. DPR mensahkan revisi UU MK, suatu hal yang luput dari perhatian
orang, karena tak ada masalah di Mahkamah. Ternyata, undang-undang revisi itu
poin pentingnya adalah memperpanjang masa jabatan MK dari 10 tahun menjadi 15
tahun. Istilah pujangga lama, hakim MK mendapat durian runtuh.
Dengan hadiah masa jabatan yang diperpanjang, apakah
MK akan membatalkan UU Cipta Kerja? Orang boleh berseru bahwa hakim Mahkamah independen
dan kepentingan bangsa adalah yang utama. Itu teori di zaman normal. Namun, di
era yang masih dikuasai virus ini, orang boleh berprasangka semua itu sudah
dirancang.
Gaduh berubah menjadi rusuh. Biasalah ada kekecewaan
lain yang menunggangi setiap aksi. Namun para buruh ngotot akan terus
melancarkan demo sebelum UU Cipta Kerja dibatalkan. Bagaimana membatalkannya?
Tanpa diteken Presiden Jokowi pun, 30 hari setelah disahkan, otomatis
undang-undang berlaku. Kecuali, Presiden mengeluarkan perppu yang isinya
menunda UU Cipta Kerja dengan alasan dikembalikan ke DPR untuk dibahas lagi.
Menunda bukan berati membatalkan. Menurut para pakar, Presiden Soeharto pernah
menempuh cara itu dalam kasus UU Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya.
Mungkin itu cara terbaik meredam kegaduhan. Kembalikan
pembahasan UU Cipta Kerja dengan konsep “manajemen terbuka” dan libatkan lebih
banyak pakar. Untuk apa sih grasa-grusu jika tujuannya untuk kebaikan? Bagi
DPR, dalam komposisi saat ini, pasti menurut apa kata pemerintah. Masalahnya,
apa Jokowi mau?
(Koran Tempo 10 Oktober 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar