Putu Setia | @mpujayaprema
Negeri kita hanya punya dua musim, kemarau dan hujan.
Tidak seperti negeri lain yang punya empat musim. Namun, jika musim yang tak berkaitan
iklim, kita punya banyak. Ada musim durian, rambutan, mangga dan lainnya.
Di luar itu, ada musim yang tak berkaitan dengan alam dan pohon. Bukankah dalam kamus bahasa Indonesia ada arti musim yang lain, yakni kegiatan atau sesuatu yang hampir berulang terjadi? Misalnya, musim layang-layang, musim haji, musim kawin.
Di bulan September sampai awal Oktober ini, ada musim “mengenang
komunisme”. Ini berkaitan dengan tanggal 30 September, yang dijadikan
peringatan oleh warga bangsa ini bahwa pernah terjadi pertumpahan darah dengan
sebutan Gerakan 30 September. Pada tanggal itu di tahun 1965, Partai Komunis
Indonesia melakukan pemberontakan dengan membantai tujuh jenderal.
Sudah 55 tahun kejadian itu berlangsung. Setiap tahun
kita peringati sebagai Hari Berkabung dengan menaikkan bendera Merah Putih
setengah tiang. Tapi, seperti halnya musim layang-layang, setiap tahun ada dinamika
cara merayakannya. Suatu masa dengan cara menonton bareng film yang dibuat
untuk itu, Penghianatan G-30-S PKI. Televisi Republik Indonesia, sebagai
stasiun tunggal televisi waktu itu, menyiarkannya secara utuh. Tak ada pilihan
lain: menonton atau tidur.
Lalu, di masa lain, ketika terjadi perubahan pimpinan
nasional, tontonan itu dihentikan. Alasannya, kisah yang diceritakan dalam film
tidak sesuai kenyataannya. Terutama kekejamannya. Bagaimana kenyataan yang benar?
Tak ada titik temu. Maka tidak ada lagi kewajiban nonton bareng, apalagi
televisi swasta bermunculan. Banyak ada tontonan lain.
https://youtu.be/nRnBO_-wkss
Tiba-tiba Jenderal Gatot Nurmantyo, menjelang habis
masa jabatannya sebagai Panglima TNI, meminta kembali prajuritnya untuk menonton
bareng film G30S/PKI itu. Agar prajurit TNI tahu bagaimana kejamnya PKI yang –
diprediksi oleh sang jenderal – mencoba bangkit kembali. Pro dan kontra pun
muncul, sampai-sampai dikaitkan dengan digantinya Jenderal Gatot sebagai
panglima.
Pernak-pernik “musim komunisme” bukan saja soal pro
kontra film yang dibuat almarhum Arifin C. Noor (almarhum) itu, tetapi
bertambah dengan isu bangkitnya PKI. Padahal tak jelas bagaimana PKI bisa
bangkit kalau sudah diibaratkan berada di liang kubur. Atau rohnya (bisa dibaca:
ideologinya) yang bangkit? Sulit juga dijelaskan karena, di tanah asalnya,
ideologi itu sendiri sudah tak laku. Namun, karena pengaruh “musim”, cerita pun
bak pentas wayang yang penuh dengan carangan. Ada upaya nonton bareng
yang digugat, ada tabur bunga di makam pahlawan yang coba dihalangi. Jenderal
Gatot, tokoh utama dalam “musim komunisme” ini, jadi repot – tapi bisa pula
senang karena tambah populer. Sampai-sampai, saat deklarasi KAMI di berbagai
daerah pun, Jenderal Gatot dibuntuti pro-kontra.
Kenapa tidak “biarkan musim berlalu” seperti lagunya
Chrisye? Mau nonton bareng kek, mau deklarasi KAMI atau KAMU kek,
biarkan saja. Kalau dibubarkan, cari alasan lain, misalnya, karena berkerumun disaat
pandemi corona. Tapi yang kontra kelompok Sang Jenderal juga dibubarkan
dengan alasan yang sama. Jangan-jangan tak ada heboh.
Seperti halnya musim durian, “musim komunisme” ini
pasti berlalu. Bulan depan akan berganti dengan “musim pahlawan”. Pro kontra
lagi, kenapa Soeharto dan Gus Dur belum jadi pahlawan nasional, kenapa suku
bangsa itu tak ada pahlawannya. Lalu bulan depannya ada “musim ucapan Natal
haram”.
Bangsa kita tak pernah selesai dengan urusan begini,
padahal slogannya: Indonesia Maju. Memang maju ke mana?
(Koran Tempo 3 Oktober 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar