Putu Setia |
@mpujayaprema
BANYAK yang ambles
di ujung tahun ini. Ada calon presiden yang pernyataannya ambles, kalau dia tak
terpilih bangsa ini jadi punah, kayak badak bercula satu. Ada habib yang
perilakunya ambles, bukannya menebar kebaikan tetapi menganiaya anak-anak.
Mari kita soroti
amblesnya jalan raya Gubeng di Surabaya saja, supaya lebih waras. Jalan raya
nan ramai itu tiba-tiba ambles sedalam 20 meter dan sepanjang 50 meter.
Kejadian Selasa malam lalu itu terlalu mudah untuk dicari sebabnya. Ada
pengerjaan penggalian untuk proyek parkir bawah tanah Rumah Sakit Siloam.
Tembok penahan tanah pada proyek basement gedung itu runtuh tak kuat menahan
beban jalan di atasnya. Kesimpulannya ada kesalahan konstruksi.
Lalu, apa pelajaran
dari musibah ini? Siapa yang harus bertanggungjawab dan siapa yang bisa
disalahkan untuk diberi sanksi? Mungkin tidak ada. Apalagi pihak pemerintah
kota Surabaya sudah menyatakan tidak ada masalah soal izin proyek. Kalau pun
ada yang keliru itu cuma soal pengerjaan proyek. Selebihnya urusan teknis dan
segera diperbaiki. Lalu dilupakan.
Kecerobohan dalam
hal pengerjaan proyek infrastruktur bukan barang baru. Ambruknya konstruksi
jalan tol bahkan berkali-kali dan memakan korban jiwa. Balok beton penyambung tiang yang
menopang proyek tol Pasuruan-Probolinggo ambruk saat proses pembangunan.
Seorang pekerja PT Waskita Karya tewas. Itu musibah tahun lalu.
Di proyek jalan tol Manado-Bitung, Kabupaten Minahasa
Utara, juga ada kecelakaan kerja di bulan April tahun ini. Pada saat
pengecoran, salah satu slab runtuh dan 21 pekerja tertimbun material bangunan.
Beberapa bisa diselamatkan tapi ada yang jadi korban.
Masih mau contoh lain? Ada kecelakaan di proyek tol
Bocimi alias Bogor-Ciawai-Sukabumi, lalu di proyek tol Becakayu, Jakarta Timur,
juga di proyek jalan tol Pemalang-Batang. Semuanya hanya menjadi catatan sesaat
untuk kemudian dilupakan. Kita sedang asyik eforia dengan pertumbuhan jalan tol
yang sedemikian besar di berbagai daerah. Presiden Jokowi lagi suka-sukanya
meresmikan proyek infrastruktur itu.
Pernahkah kita berpikir bahwa proyek itu dikerjakan
dengan penyimpangan? Misalnya, kualitas bahan yang digunakan mutunya tidak
memadai atau volumenya dikurangi. Motifnya bisa macam-macam, antara lain,
anggarannya disunat untuk “melancarkan proyek”. Belum terdengar kabar seperti
itu di proyek infrastruktur yang besar-besar. Kalau gedung Sekolah Dasar yang
baru setahun dibangun plafonnya sudah ambruk dan ternyata ada penyunatan
anggaran, lebih sering terkuak.
Barangkali benar, pengawasan untuk proyek pemerintah
ketat karena memakai anggaran negara. Entahlah kalau yang dimaksudkan ketat itu
berarti sama-sama menahan diri untuk tidak saling membocorkan penyimpangan.
Tetapi untuk proyek swasta semacam pembangunan basement RS Siloam tak ada
pengawasan dari pemerintah kota Surabaya. Yang mengawasi konsultan proyek itu
sendiri. Pemerintah hanya mengeluarkan izin setelah berbagai persyaratan
dipenuhi. Apakah tiadanya pengawasan dari pemerintah merupakan kelemahan,
mungkin bisa dipikirkan lagi. Karena kalau terjadi kecelakaan seperti amblesnya
Jalan Gubeng itu yang dirugikan juga pemerintah.
Oke, jadi kita tak usah khawatir dengan proyek
infrastruktur yang gencar di era Presiden Jokowi? Syukurlah, walau ada yang
khawatir proyek infrastruktur dikerjakan grasa-grusu untuk mengejar tenggat
waktu, pemilu April nanti. Sebaiknya pemerintah tetap waspada jangan sampai
nafsu besar membangun insfrastruktur membuat ambles bangsa besar ini.
(Koran Tempo 22 Desember 2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar