Sabtu, 29 Desember 2018

Menerima Waranugraha di Pemaridan Guru

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

HARI Sabtu Pon wuku Dungulan hari ini, jika dikaitkan dengan rangkaian Hari Raya Galungan disebut sebagai Pemaridan Guru. Pemaridan kata dasarnya adalah marid, ini sudah diserap ke dalam bahasa Bali. Marid berarti selesainya sebuah yadnya dan kita ngelungsur waranugraha. Bisa dalam bentuk non-phisik seperti keselamatan, kerahayuan, kesehatan, ketenangan dan hal-hal yang bersifat positif dari para leluhur yang sudah menyatu (amor) dengan Hyang Widhi. Namun waranugraha itu bisa saja secara phisik, misalnya, mengumpulkan makanan dan jajajan yang tadinya dipakai bahan persembahan.
 
Jika ngelungsur waranugraha secara phisik maka itu artinya kita mendapatkan prasadam atau dalam bahasa Bali disebut paridan. Apa yang dihaturkan itu yang menjadi prasadamnya. Dalam bahasa Bali, paridan itu bisa pula disebut sebagai lungsuran. Jadi kalau kita mempersembahkan buah apel pada saat Galungan maka buah apel itu yang dijadikan prasadam. Jika minuman kaleng yang dipersembahkan maka minuman kaleng pula yang jadi lungsuran.

Kenapa hari itu kita baru mendapatkan waranugraha? Karena para leluhur kita yang dipuja sejak Hari Raya Galungan balik kembali ke alam sunia, alam yang penuh ketenangan dan kedamaian. Mereka tak bisa berlama-lama di bumi yang fana itu. Saatnya mereka untuk balik dan kita menjadikan hari balik itu sebagai Hari Pemaridan Guru. Guru yang dimaksudkan ini semasa hidupnya bisa Guru Rupaka yaitu bapak dan ibu kita sendiri, bisa pula Guru Swadaya, leluhur yang sudah menjadi Hyang Guru. Artinya sudah ada upacara pitra yadnya dan beliau secara rohani sudah ada di Rong Tiga menyatu dengan Guru Sejati yakni Tuhan Yang Maha Esa. Karena kepada semuanya kita punya utang, maka wajibnya kita mengantar Hyang Pitara itu kembali ke alamnya, alam sunia.

Kita tak bisa hidup tanpa guru. Guru adalah pembimbing kita agar kehidupan kita tak salah arah, baik secara sekala mau pun niskala. Untuk Guru Sejati yaitu Hyang Widhi sebagai Sang Hyang Pramesti Guru, memang kita tak bisa berguru langsung. Kita tak bisa dibimbingnya secara langsung. Namun di kalangan spiritual, Guru Sejati itu bisa membimbing setiap manusia dalam kehidupannya lewat berbagai pantangan yang ada dalam ajaran agama. Melakukan yoga tapa brata adalah salah satu sarana yang bisa dianggap membimbing seseorang dalam kehidupannya di dunia ini.


Terlepas dari apakah kita pernah dibimbing secara langsung atau tidak, wajib hukumnya kita sujud bhakti kepada Sang Pramesti Guru dan di hari Pemaridan Guru inilah kita memohon anugrahnya sebelum Beliau kembali ke alam yang penuh kedamaian. Kapan ritual itu dilangsungkan ini berkaitan erat dengan kebiasaan setempat atau desa, kala, patra. Ada yang mengantarkan Hyang Pramesti Guru itu pada tengah malam atau bahkan dini hari menjelang hari Minggu, ada yang sebelumnya ketika menjelang malam hari Sabtu, tak akan mengurangi makna Hari Pemaridan Guru. Karena dalam tradisi ritual keagamaan di Bali, hari berganti ketika matahari terbit dini hari. Jadi, siang atau malam atau dini hari sebelum matahari terbit tetap saja hari itu termasuk hari Sabtu dan bukan hari Minggu.

Di desa-desa tua pegunungan, umumnya Hyang Pramesti Guru “diantar ke alam sunia” selepas tengah malam atau dini hari. Umat menyediakan makanan khusus dengan dua versi, makanan matah lebeng. Artinya ada makanan yang sudah matang dan ada makanan yang baru berupa bahan. Di antara makanan yang sudah matang ada yang disebut entil, yakni semacam ketupat tetapi dibungkus dengan daun khusus. Bukan daun janur atau daun pisang. Tetapi apa pun suguhannya secara tradisi yang diharapkan adalah tetap sebagai perwujudan dari meminta berkah berupa lungsuran atau prasadam itu nantinya.

Tradisi semacam ini memang harus dilestarikan. Namun, jauh lebih penting dari melestarikan tradisi adalah pengertian dari filsafat Hari Pemaridan Guru itu haruslah diketahui oleh umat. Kita sudah merayakan Galungan dengan kemenangan dharma yang didahului oleh melawan nafsu-nafsu buruk lewat simbol Sang Bhuta Tiga Galungan. Kita sudah melakukan puji syukur pada Hari Galungan yang kemudian disambung dengan mesilakrama (saling berkunjung) ke sanak keluarga di Hari Manis Galungan. Saatnya lantas kita menerima waranugraha dari para leluhur yang sudah menyatu di alam Tuhan (amor ring Achintya) pada Pemaridan Guru. (*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar