Senin, 31 Desember 2018

Wajah Bali 2019

Mpu Jaya Prema

INI bukan ramalan tentang Pulau Bali tahun 2019. Apalagi ramalan yang bersifat klenik atau berdasarkan perhitungan tahun Cina di mana 2019 adalah Tahun Babi Tanah. Ini hanya ulasan sekitar apa yang sudah bisa dibayangkan dengan Bali di tahun nanti. Tentu berdasarkan keadaan nyata yang gejalanya sudah terlihat di tahun 2018 yang akan kita lewati.

Banyak orang yang memuji  Gubernur Bali Dr. Ir. Wayan Koster, MM yang telah menyelesaikan empat Peraturan Gubernur (Pergub), dan dua Peraturan Daerah padahal baru bekerja beberapa bulan saja. Pergub itu adalah Pergub tentang Busana Adat Bali, Pergub Tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa Bali, Pergub Tentang Sampah Plastik serta Pergub Tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Lokal Bali. Untuk Perda sendiri memang belum disahkan, yakni Rancangan Perda Desa Adat, dan Rancangan Perda Kontribusi Wisatawan untuk Pelestarian Lingkungan, Alam, dan Budaya Bali.

Lalu bagaimana kira-kira wajah Bali setelah ada Pergub dan Perda itu? Masih perlu dilihat praktek apa yang ada di lapangan dan sejauh mana respon orang Bali sendiri. Apakah betul semuanya untuk memperkuat adat dan budaya Bali.

Pergub tentang Busana Adat Bali memang sudah dilaksanakan oleh masyarakat Bali. Bukan hanya murid dan guru-guru di sekolah semuanya berbusana adat, namun seluruh pegawai negeri, swasta termasuk pelayan di pasar-pasar moderen semuanya berbusana adat.

Ini respon yang bagus, tentu saja. Tetapi kalau kita perhatikan busana adat itu, timbul pertanyaan, busana adat mana yang dipakai? Adakah busana adat yang khusus untuk bekerja sehari-hari dan busana adat khusus untuk menjalankan ritual keagamaan? Tentu saja ada karena adat Bali mengatur semuanya itu jika kita rajin menelisik bagaimana para tetua kita di masa lalu dalam mengenakan busananya. Pakaian adat untuk mengantar jenazah ke kuburan, pakaian adat untuk ngayah di banjar, tentu saja berbeda dengan pakaian adat untuk bersembahyang di pura.

Mari lihat busana adat yang dipakai oleh kaum perempuan Bali saat ini. Ada kebaya berlengan buntut di atas siku. Lalu kainnya sudah mulai terangkat ke atas sehingga mata kaki kelihatan. Ini terpengaruh dengan busana joged yang mulai jaruh. Bukankah itu busana moderen yang sudah tak asing lagi di dunia mode di berbagai belahan bumi ini? Apalagi jika itu dikaitkan dengan busana adat untuk persembahyangan. Ditambah lagi rambut yang terurai (bahasa Bali disebut megambahan), maka sesungguhnya itu sudah bertentangan dengan prinsip dasar mengenakan busana adat di Bali.
Busana adat untuk ritual keagamaan Hindu sejak dulu kala mengacu kepada konsep pengendalian diri dalam kaitan dengan Tri Kaya Parisudha. Pikiran dikendalikan dengan simbol mengikat rambut bagi wanita yang disebut mepusungan. Memakai destar untuk lelaki, bahkan dibedakan lelaki yang masih welaka dengan lelaki yang sudah ekajati (pemangku) mau pun yang sudah dwijati (sulinggih). Perkataan dikendalikan dengan kalung di leher sedangkan perbuatan dikendalikan dengan gelang di lengan. Bagaimana bisa mengenakan kebaya berlengan buntut kalau pengendalian perbuatan itu tidak lagi bersimbol ketertutupan?

Pergub Tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa Bali bagaimana praktek yang ada di tengah masyarakat? Cobalah kita perhatikan percakapan yang nyata di masyarakat Bali saat ini. Anak-anak milenial, bukan hanya di kota saja tetapi sudah masuk ke pedesaan, jarang sekali menyebut kata mbok untuk memanggil kakaknya. Yang digunakan kata mbak. Bahasa Bali sudah dijajah oleh bahasa Jawa. Alasannya adalah kalau dipanggil mbok maka itu bisa keliru dengan ibu, karena mbok dalam bahasa Jawa berarti ibu.

Cobalah kita ke pasar-pasar tradisional. Untuk membeli pepaya, kita tak bisa lagi menyebutnya gedang karena gedang itu artinya pisang dalam bahasa Jawa. Lalu menyebut apa? Kates, karena itulah yang dimaksudkan dengan pepaya. Ini berarti bukan saja bahasa Bali tak terlindungi namun ekonomi orang Bali pun sudah dijajah oleh orang luar. Di Pasar Kreneng pedagang non-Bali sudah lebih banyak dari pedagang orang Bali.

Dua pergub yang sudah jalan itu saja belum punya dampak siginifikan di masyarakat, apalagi pergub tentang pengurangan sampah plastik. Semula gerakan pengurangan sampah plastik ini datang dari Walikota Denpasar, kemudian menjelang tutup tahun diperluas oleh peraturan gubernur. Jadi akan berlaku di seluruh Bali. Dapatkah dibayangkan bagaimana peraturan ini bisa jalan kalau pengawasannya tidak efektif? Siapa yang bertugas melakukan sweeping di pasar-pasar tradisional untuk melarang penggunaan kantong plastik?

Berbelanja di pasar moderen baik swalayan besar mau pun mini market kecil yang bertebaran di penjuru desa, bisa saja pengunjung membawa tas ramah lingkungan dari rumah. Beberapa pasar swalayan besar sudah menerapkan itu sejak lama. Tetapi bagaimana di pasar tradisional? Belanjaan yang kita beli tetap dibungkus plastik karena barangnya belum dikemas. Kalau gerakan ini nyata dan diawasi, tentu pedagang harus mulai dengan membungkus dagangan yang dijualnya dengan daun pisang atau kertas koran bekas. Tetapi bukankah itu lebih mahal dari harga tas kresek? Lagi pula kenapa pemerintah mengizinkan toko-toko khusus yang menjual plastik? Toko plastik ini tumbuh pesat di kota seperti Denpasar. Intinya adalah kalau gerakan ini berjalan dengan baik harus ada pengawasan dengan ketat. Dan itu berkesinambungan, tak bisa hangat-hangat tahi ayam untuk kemudian dilupakan.

Sementara itu wajah Bali 2019 dan ke depannya lagi, tak cuma urusan bagaimana orang berbusana adat, bagaimana penggunaan bahasa dan aksara Bali, bagaimana menghapus ajang seni yang bernama Bali Mandara Nawanatya dan Bali Mandara Mahalango diganti menjadi Festival Seni Bali Jani. Urusan besar Bali nanti adalah pulau kecil ini akan mengalami kemacetan yang luar biasa karena tidak ada peningkatan infrastruktur jalan sementara kebijakan transportasi yang berbasis angkutan umum tidak ada. Kota-kota besar di luar Bali sudah merancang dengan baik karena perbaikan infrastruktur itu baru berdampak positif setelah 20 tahun. Malah yang terjadi di Bali adalah anomali, pendapatan asli daerah (PAD) yang dikebut adalah pajak kendaraan bermotor termasuk bea balik nama. Artinya orang Bali digenjot untuk membeli mobil dan sepeda motor agar pajak semakin banyak. Bali akhirnya jadi surga penjualan mobil bekas dan pasar terbesar untuk sepeda motor, mengalahkan Provinsi Jawa Tengah yang punya 35 kabupaten/kota.

Mari kita kaji lagi kebijakan di Bali, jangan hanya berdalih memperkuat budaya dan adat sementara lingkungan yang membuat budaya dan adat itu bergerak justru makin terkekang. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar