Senin, 24 Desember 2018

Galungan Memperbaiki Moral

Mpu Jaya Prema

SELAMAT menyongsong (nyanggra) Hari Raya Galungan kepada seluruh umat Hindu di mana saja berada, baik yang merayakannya maupun yang tidak. Semoga dharma, kebenaran yang sejati, bisa singgah di hati kita semua. Semoga adharma, kegelapan pikiran akibat nafsu serakah, surut ke titik yang paling rendah.

Sulit memenangkan dharma, karena itu sulit pulalah bisa merayakan Galungan dengan benar. Baik bagi mereka yang paham betul apa arti dan makna Galungan, maupun bagi mereka yang tidak paham akan arti dan makna Galungan. Antara yang paham dan tidak, merayakan Galungan juga berbeda, namun kesulitannya tetap sama karena pengaruh lingkungan.

Mereka yang tak paham dengan makna Galungan, merayakan hari itu dengan kebiasaan yang sering kita lihat di masyarakat Bali belakangan ini. Sebelum Galungan mereka sibuk menyiapkan berbagai hal. Perlengkapan upacara, misalnya, mulai dari membuat penjor Galungan sampai mendapatkan buah-buah untuk sesajen, semuanya bisa dibeli secara bebas. Buah pun tersedia di berbagai supermarket dan “toko-toko modern” yang sudah bertebaran di desa-desa. Padahal Galungan mesti dirayakan dengan mempersembahkan hasil bumi dari alam di lingkungan sendiri, sebagai rasa terimakasih kepada ibu pertiwi yang telah memberi karunia kehidupan kepada manusia. Bukankah 25 hari sebelum Galungan ada yang disebut Tumpek Pengarah atau Tumpek Uduh, di mana orang-orang mendatangi pohon yang akan menghasilkan buah untuk persembahan Galungan?

Begitu pula perlengkapan “pesta hari raya”. Babi dan berbagai hewan disembelih untuk memaknai Hari Penampahan, padahal sejatinya yang justru “disembelih” adalah sifat-sifat binatang yang ada di dalam diri kita. Pesta pun berlanjut dengan arak dan tuak, dan di banjar-banjar juga ada “bar Galungan”, tentu dengan minuman beralkohol sejenis bir. Lalu berjudi, main ceki atau domino. Bagaimana bisa memenangkan dharma kalau situasinya sudah seperti ini? Perayaan Galungan justru bisa merusak moral padahal Galungan dimaksudkan untuk memperbaiki moral.

Bagi yang paham arti dan makna Galungan, tentu sudah terbebas dari kebiasaan seperti itu. Mereka berusaha mengekang diri untuk bertekad mengalahkan adharma demi kemenangan dharma. Sejak enam hari sebelum Galungan, mereka sudah membersihkan lingkungannya sendiri termasuk alat-alat yang dipakai untuk upacara Galungan. Itu disebut Sugihan Jawa. Esoknya, pada Sugihan Bali mereka membersihkan diri sendiri – tentu selain phisik adalah pembersihan rohani. Setelah itu mereka berusaha melakukan pengekangan diri untuk menghindari “cengkeraman” Sang Bhuta (Kala) Tiga yang terdiri dari Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat.
Persoalannya, apa semudah itu melakoninya dalam situasi yang begitu banyak godaan ini? Di tengah-tengah lingkungan kita telah terjadi perubahan yang menggambarkan betapa semakin merosotnya moralitas masyarakat. Dan orang Bali sendiri banyak yang khawatir akan masa depan Bali, seperti tidak ada cetak biru (blue print) ke mana Bali dibawa. Berbagai masalah terjadi di Bali yang justru menggerus identitas masyarakat Bali. Warung muslim bertebaran di mana-mana, ekonomi rakyat Bali mulai diambil pendatang. Lalu lintas semakin semerawut dan di mana-mana macet.

Namun, orang tetap berlomba-loma menjadi pemimpin dengan sebutan calon wakil rakyat atau calon Dewan Perwakilan Daerah. Balihonya sudah menyebar di Bali, memohon dukungan sambil mencakupkan tangan menyampaikan selamat Hari Galungan. Banyak yang sudah duduk di jabatan itu lima tahun ini, tetapi apa yang mereka kerjakan untuk Bali? Tak pernah ada suaranya, kok masih mau minta jabatan? Orang-orang seperti ini nantinya hanya mengandalkan kekuatan uang agar terpilih. Sekali ini rakyat Bali mestinya sadar memilih wakil rakyat, jangan tergoda oleh uang itu, karena jelas uang dan polah mereka tak sesuai dengan dharma.

Sementara itu pola hidup konsumtif dan bergesernya nilai-nilai kegotong-royongan membuat orang asyik dengan  kesendiriannya dan cuek dengan sesama. Lihatlah situasi lalu lintas di Bali saat ini, pengendara sepeda motor seenaknya di jalanan, tak lagi di jalur kiri sebagai mana aturan berlalu-lintas. Sepeda motor sudah berada di tengah-tengah jalan bahkan menyalip mobil dari kanan, padahal itu jalur kendaraan roda empat atau lebih. Ini cermin ego keblablasan karena mereka merasa berhak karena sudah membayar pajak, tetapi mereka lupa akan kewajiban menegakkan aturan berlalu-lintas.
Moralitas di era ini sudah memprihatinkan. Mungkin karena ini tahun politik yang puncaknya pada pemilu bulan April nanti. Namun, beberapa orang mengkaitkan dengan zaman yang disebut Kali Yuga, zaman penuh kegelapan. Itu hanya dalih pembenaran saja. Kalau kita telusuri perjalanan zaman, Kali Yuga itu sudah dalam rentang waktu yang sangat panjang, ada yang menyebut dimulai pada saat penobatan Raja Parikesit, cucu Raden Arjuna. Kalau sepanjang itu zaman kegelapan, kenapa di masa lalu pada saat Kerajaan Singosari, Majapahit, Kerajaan Gelgel dan seterusnya, moralitas masyarakat masih tinggi dan kejujuran masih dipelihara dengan baik? Bukankah sama-sama di zaman Kali Yuga?

Kegelapan selalu menyelimuti manusia. Karena itu agama Hindu memiliki hari yang punya siklus tertentu untuk berperang melawan kegelapan, berperang melawan adharma, yang di masing-masing wilayah diberi nama berbeda. Di India dirayakan dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Lalu di bulan Oktober (Kartika) dirayakan dengan nama Nawa Ratri. Umat Hindu etnis Bali menamainya Hari Galungan – warisan yang sejatinya sudah dibawa dari Jawa, yang siklusnya juga dua kali setahun, jika dihitung dengan tahun Masehi.
Kalau saja umat Hindu konsisten dalam setiap siklus itu mengalahkan adharma untuk kemenangan dharma, maka seharusnya moralitas umat semakin membaik. Kalau saja semakin banyak umat merayakan Galungan dengan benar sesuai tatwanya, kita tak khawatir akan kemerosotan moral. Mari kita perbaiki moral kita lewat perayaan Galungan, mulai dari pribadi, lingkungan keluarga dan menular ke tetangga sampai desa dan seterusnya. Selamat merayakan Galungan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar