Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Hari ini umat Hindu, khususnya di Bali, merayakan Hari Raya Galungan. Kapan istilah Galungan muncul, kapan perayaan Galungan dimulai, dan leluhur kita yang mana memperkenalkan rangkaian perayaan Galungan, tetap jadi misteri sampai sekarang. Tak ada bahan otentik yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dalam hal ini.
Dalam pustaka-pustaka kita hanya tahu kalau di abad ke 11 hari raya Galungan sudah dirayakan di zaman Kerajaan Jenggala. Ini dimuat dalam Kidung Panji Amalat Rasmi. Begitu pula kalau kita menyimak Pararaton, disebutkan pada akhir Kerajaan Majapahit, Galungan sudah dirayakan dengan besar-besaran. Apakah perayaan itu sama dengan di Bali tak ada bahan pembanding, karena di Bali sendiri perayaan Galungan pernah ada dan tiada.
Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan di Bali pada tahun 804 Saka, persis saat itu adalah Purnama Kapat. Tapi perayaan ini berhenti pada tahun 1103 Saka. Tidak diketahui kenapa setelah tiga abad Galungan dirayakan tiba-tiba berhenti begitu saja. Baru di tahun 1126 Saka perayaan Galungan diadakan kembali, yakni pada pemerintahan Raja Sri Jaya Kesunu. Untung absennya tidak begitu lama. Tapi, apa yang terjadi selama 23 tahun Galungan tidak dirayakan? Apakah ada perubahan tafsir dalam menentukan perayaan kemenangan dharma itu atau hanya masalah “politik kerajaan” terkait dengan perselihan di antara raja-raja? Tak ada yang bisa menjawabnya.
Yang bisa diperkirakan adalah perayaan Galungan mengalami perubahan yang disesuaikan dengan zaman dan situasi sosial masyarakat. Kearifan lokal leluhur orang Bali dikenal sangat tinggi dan adaptasi agama dengan budaya demikian kentalnya. Perayaan Galungan sebagai wujud dari perayaan kemenangan dharma melawan adharma, inti awalnya adalah “pembersihan diri” dan “menegakkan kembali jati diri”. Ini disimbolkan dengan datangnya Sang Kala (Bhuta) Tiga yang terdiri Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat.
Tiga bhuta ini adalah simbol-simbol kejahatan. Bhuta Galungan muncul pada Minggu (Redite) Wuku Dungulan, Bhuta Dungulan pada Senin (Soma) esok harinya, sedangkan Bhuta Amangkurat muncul pada Selasa Wuku Dungulan, esok harinya lagi, sehari sebelum Galungan. Jadi ketiga bhuta (simbol kejahatan) ini datang tiga hari berturut-turut menjelang Galungan dan itu yang harus kita kalahkan sehingga pada Rabu Wuku Dungulan kita merayakan kemenangan. Pada hari Rabu itu jasmani kita sudah bersih oleh nafsu-nafsu jahat dan menemukan kembali jati diri kita sebagai manusia yang suci.
Pada perkembangan kemudian dengan diserapnya budaya lokal, Galungan menjadi “otonan gumi” dan di situlah berbagai sesajen diperkenalkan termasuk pemujaan kepada leluhur. Galungan sebagai kemenangan dharma mendapat tambahan sebagai hari raya untuk berterimakasih dan bersyukur (angayubagia) kepada Hyang Widhi atas terwujudnya bumi yang makmur subur (gemah ripah loh jinawi). Kita bisa lihat saat ini berbagai ornamen sesajen memunculkan lambang kemakmuran, seperti penjor yang dihiasi hasil alam dari padi, jagung, kelapa, buah-buahan dan berbagai jajan. Begitu pula persembahyangan ke pura.
Kemungkinan dari sini leluhur kita menciptakan rentetan perayaan Galungan begitu panjang, dimulai dari Tumpek Pengarah, 25 hari sebelum Galungan. Nama Tumpek (Sabtu Kliwon) ini beragam, ada yang menyebutnya Tumpek Bubuh dan juga Tumpek Wariga, sesuai nama wukunya. Di sini umat memuja Sang Hyang Sangkara, dewa tumbuh-tumbuhan. Orang datang ke kebun memberi sesajen kepada segala pohon yang berbuah, dari pisang, kelapa, pepaya, durian, nangka, jambu, dan sebagainya. Inilah bentuk adaptasi ajaran agama dan budaya Bali yang dipengaruhi oleh budaya agraris. Umat datang dengan doa-doa yang intinya, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah: “Hai pohon-pohon, berbuahlah segera, 25 hari lagi Galungan, kami mempersembahkan semua hasil alam untuk kesejahtraan bumi”.
Pertanyaan besar sekarang, ketika masyarakat Bali mulai berpaling dari budaya agraris ke budaya industri, sejauh mana Galungan dimaknai? Apakah tetap terjebak dengan ritual yang sudah diwariskan leluhur kita, tetapi dilakukan dengan segenap kepalsuan? Lihatlah kenyataan saat ini. Orang Bali pada Tumpek Pengarah masih membawa sesajen ke kebun, semua pohon buah diberi sesajen. Tetapi ketika Galungan tiba, mana ada buah Bali yang dijadikan sesajen? Mana ada buah pepaya, nangka, durian, jambu, nanas dan sebagainya untuk sesajen? Orang Bali sudah membeli apel, peer, jeruk yang datang dari luar negeri di pasar swalayan. Di pedesaan hanya pisang yang masih diambil dari kebun, sementara diperkotaan orang mendapatkan pisang dari luar Bali. Kalau begitu, untuk apa pada Tumpek Pengarah membawa sesajen ke kebun, toh buahnya dianggap kalah gengsi dengan buah impor?
Penjor orang Bali saat ini, isinya memang masih hasil bumi. Tapi, itu bukan hasil bumi dari lingkungan terdekat, bahkan bukan dari tanah Bali. Lihatlah di sepanjang jalan di Desa Kapal, seluruh ornamen penjor sudah dijajakan, termasuk padi. Di tanah Bali sudah ditanam padi yang langsung jadi gabah di sawah, mana mungkin untuk digantung di penjor. Hiasan penjor lainnya, busung dari Sulawesi, kelapa dan telornya dari Banyuwangi. Jajan orang Bali juga mulai berubah. Kaliadrem, gipang, apem, dan sebagainya berubah menjadi roti, dunkin, kue bulu yang dibeli di pasar swalayan yang sudah bertebaran di pedesaan Bali dalam bentuk “mini market”. Konsep merayakan Galungan versi ini saja sudah salah kaprah sekarang.
Kemudian, jika Galungan dirayakan dalam konsep awal-awalnya, “berperang” melawan Sang Kala (Bhuta) Tiga, apa yang terlihat? Simbolisasinya sudah meleset. Memerangi nafsu jahat disimbolkan dengan menyembelih babi, bukan “menyembelih nafsu hewani” dengan melakukan pengendalian diri atau meditasi, misalnya. Yang terjadi pesta pora dengan makanan berlimpah dan bau arak, justru ini adalah “sahabatnya” para bhuta.
Jadi, Galungan hanya soal rutinitas, hampir tak memberi pengaruh apa-apa untuk kemuliaan orang Bali masa kini, yang berada di persimpangan jalan. Kasus adat tetap merebak, judi mulai mengganas, kriminalitas meningkat, orang mabuk bertambah apalagi pemerintah mengijinkan pabrik miras. Ironis, sementara itu Galungan semakin meriah secara phisik.
Saatnya orang Bali harus introspeksi diri, bagaimana mengembalikan esensi perayaan Galungan sesuai konsep para leluhur. Sekarang, orang yang betul-betul memaknai Galungan dengan perang melawan adharma hanya sebagian kecil. Dan orang yang mempersembahkan hasil bumi di kebunnya sendiri pada Galungan – betapa pun kalah mewah dibanding buah impor – pun sedikit jumlahnya. Tetapi merekalah Sang Pemenang yang sejati dan kepada merekalah sesungguhnya Selamat Hari Raya Galungan layak disampaikan.***
(Dimuat Harian Radar Bali 14 Oktober 2009 menyambut Hari Raya Galungan)
Untuk kedamaian dari Rumah Budaya Pasraman Manikgeni, Pujungan, Tabanan, Bali
Kamis, 15 Oktober 2009
Senin, 12 Oktober 2009
Merayakan Galungan dengan Benar
Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Galungan artinya kemenangan. Dungulan juga berarti kemenangan. Umat Hindu memiliki ajaran yang luhur untuk merayakan kemenangan. Menang di mana dan menang melawan apa? Apakah menang di meja judi atau di sabungan ayam? Atau di pertandingan sepakbola yang rusuh dan penuh pelanggaran? Atau menang di Pemilu yang penuh kecurangan dengan menyisakan korban rakyat-rakyat yang terkapar karena membela simbol partai?
Tidak sembarang kemenangan, tentu saja. Yang dirayakan adalah kemenangan dharma. Dharma kalau disederhanakan artinya kebenaran. Jadi, menangnya kebenaran itulah yang dirayakan oleh umat Hindu. Sepintas seperti aneh, bukankah kebenaran itu semestinya selalu menang? Kalau kita hidup di zaman Satya Yuga atau Treta Yuga, barangkali betul. Tetapi ini era Kali Yuga, zaman penuh kegelapan, yang menang itu belum tentu yang benar. Para “penentu kebenaran” sudah direcoki oleh virus-virus angkara murka, kelobaan, kedengkian, iri hati, dan sifat buruk lainnya yang bertentangan dengan dharma. Itulah sifat-sifat adharma. Wasit bisa memihak, hakim dan jaksa bisa disuap. Bahkan pada diri kita sendiri bersemayam sifat-sifat adharma. Ketika anak kita belum mendapat pelayanan yang baik di rumah sakit, kita menempeleng perawat. Ketika seorang calon legislatif merasa disaingi calon lain, ia menyuruh orang untuk membakar baliho lawan, jika perlu membawa pedang terhunus, main tebas. Adharma bercokol dalam diri kita sendiri, besar dan kecilnya bervariasi.
Nah, sifat adharma itulah yang harus kita kalahkan. Kita awali dengan niat yang suci, melakukan pembersihan diri, baik dengan tapa, japa, brata yang dalam bahasa sekarang bisa kita sebut “tekad untuk berbuat suci”. Umat Hindu di Bali menyediakan hari yang disebut Sugian Bali dan Sugian Jawa, itulah hakekat pensucian diri.
Ketika segala yang kotor itu bisa kita bersihkan, mari kita belenggu keingingan jahat (adharma) kita. Leluhur kita di Bali mengenal Hari Penyekeban dilanjutkan Hari Penyajaan (di beberapa tempat disebut Pengejukan), itulah saatnya kita membelenggu nafsu jahat kita. Pada akhirnya segala yang jahat dan kotor kita musnahkan, kita “sembelih” sifat-sifat hewani buruk yang ada pada diri kita. Itu disebut Hari Penampahan. Jika semua tahap itu bisa kita lakoni dengan baik, pada Rabu Keliwon Wuku Dungulan semuanya itu kita syukuri sebagai kemenangan dharma. Inilah Galungan yang sejatinya.
Kita selalu memaknai Galungan tanpa pernah mencari apa arti di balik simbol-simbol yang diciptakan oleh leluhur kita ini. Kita sudah letih “jalan di tempat” dan tak pernah maju-maju dari jebakan ritual. Ritual memang perlu, tetapi bukan berhenti di sana. Ribuan babi disembelih orang Bali pada saat Penampahan Galungan, ribuan penjor berdiri di pinggir jalan, ratusan pura dikunjungi dan dihaturkan sesajen saat Galungan, tetapi apakah dharma sudah menang, apakah sifat-sifat adharma sudah berkurang? Lihat di sekeliling kita, umat Hindu bertengkar soal kuburan, alam Bali diperkosa dari pantai sampai gunung, berbeda partai saling bacok. Lalu apa arti merayakan Galungan kalau adharma tak pernah berkurang?
Galungan memang tak ada dalam kitab suci Weda. Namun, merayakan kemenangan dharma melawan adharma, yang pada hakekatnya adalah ajaran untuk selalu berbuat yang “benar”, menghiasai banyak sloka-sloka suci Weda. Karena Hindu menyebar di dunia dengan memberi keleluasaan untuk menyerap budaya lokal, maka “perayaan dharma” ini berbeda bentuknya. Perayaan itu pun kemudian dicarikan simbol-simbol lokal untuk lebih membumi, sehingga masyarakat yang awam mudah untuk menghayatinya.
Di India, misalnya, kemenangan dharma itu dirayakan dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Simbol yang diambil adalah kemenangan Dewi Parwati mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura. Hari raya ini juga disebut Durga Nawa Ratri. Kemudian di bulan Oktober (Kartika) simbol yang diambil adalah kisah kemenangan Rama atas Rahwana. Perayaan ini disebut Rama Nawa Ratri. Inti dari kedua perayaan itu sama, bersyukur dan bersukaria atas kalahnya adharma, dan dirayakan sepuluh hari.
Barangkali untuk “menyesuaikan” dengan India di mana agama Hindu lahir, leluhur kita di Bali juga merayakan kemenangan dharma dua kali setahun, meski tak persis dengan tahun Masehi, karena perhitungan yang dipakai adalah wariga, bukan sasih. Dan perayaan yang disebut Galungan ini dijatuhkan pada Rabu Kliwon Dungulan, lalu ditutup dengan Hari Raya Kuningan, yang juga berjarak 10 hari.
Umat Hindu di Jawa sebaiknya juga merayakan Galungan. Dalam Kidung Panji Amalat Rasmi dan Kidung Pararaton, disebutkan pernah ada perayaan kemenangan dharma di zaman Majapahit pada wuku Dungulan. Seperti diketahui, wariga yang ada di Bali sumbernya adalah di Jawa, semuanya sama. Masalahnya mungkin – ini perlu dikaji—leluhur kita di Bali mengkaitkan perayaan Galungan itu dengan mitos Mayadenawa. Sampai saat ini, masyarakat Bali terjebak pada mitos itu. Padahal tak ada prasasti apapun tentang Mayadenawa yang dikaitkan dengan Galungan, kecuali karya sastra yang sifatnya fiksi. Yang ada adalah prasasti yang menyebutkan, orang Bali “lama sekali” tak merayakan Galungan, dan perayaan itu baru dibuat rutin kembali sejak tahun 1126 ketika Bali diperintah Sri Jayakusunu. Dikaitkannya Galungan dengan legenda Mayadenawa membuat Galungan menjadi “bali sentris” dan barangkali ini membuat umat Hindu non-Bali kurang sreg merayakan kemenangan dharma pada saat Galungan ini.
Ke depan kita harus lebih banyak lagi menelaah ajaran Hindu berdasarkan sastra dan tatwa. Bagi umat Hindu non-Bali, kalau memang tak sreg merayakan kemenangan dharma bersama-sama orang Bali, silakan membuat perayaan sendiri pada hari yang berbeda. Seperti halnya di India, ini menunjukkan Hindu begitu universal, ibarat taman dengan beragam bunga yang indah. Adapun bagi umat Hindu di Bali, mari kita rayakan Galungan dengan mencari inti filsafahnya, membunuh sifat-sifat adharma untuk kemenangan dharma, dan mensyukuri kemenangan itu.
Suksesnya perayaan Galungan seharusnya bisa dilihat dari masyarakat yang lebih tentram dan damai, bukan banyaknya orang mabuk di balai banjar yang disulap jadi bar. Lebih-lebih Galungan di tengah-tengah masa kampanye Pemilu. Kalau ketenangan masyarakat Bali terusik menjelang dan setelah Pemilu ini, maka Galungan sudah gagal total, tak ada gunanya penjor dan sesajen itu, karena adharma yang tetap menang. Selamat Hari Raya Galungan, untuk Anda yang bisa mengalahkan adharma.***
Galungan artinya kemenangan. Dungulan juga berarti kemenangan. Umat Hindu memiliki ajaran yang luhur untuk merayakan kemenangan. Menang di mana dan menang melawan apa? Apakah menang di meja judi atau di sabungan ayam? Atau di pertandingan sepakbola yang rusuh dan penuh pelanggaran? Atau menang di Pemilu yang penuh kecurangan dengan menyisakan korban rakyat-rakyat yang terkapar karena membela simbol partai?
Tidak sembarang kemenangan, tentu saja. Yang dirayakan adalah kemenangan dharma. Dharma kalau disederhanakan artinya kebenaran. Jadi, menangnya kebenaran itulah yang dirayakan oleh umat Hindu. Sepintas seperti aneh, bukankah kebenaran itu semestinya selalu menang? Kalau kita hidup di zaman Satya Yuga atau Treta Yuga, barangkali betul. Tetapi ini era Kali Yuga, zaman penuh kegelapan, yang menang itu belum tentu yang benar. Para “penentu kebenaran” sudah direcoki oleh virus-virus angkara murka, kelobaan, kedengkian, iri hati, dan sifat buruk lainnya yang bertentangan dengan dharma. Itulah sifat-sifat adharma. Wasit bisa memihak, hakim dan jaksa bisa disuap. Bahkan pada diri kita sendiri bersemayam sifat-sifat adharma. Ketika anak kita belum mendapat pelayanan yang baik di rumah sakit, kita menempeleng perawat. Ketika seorang calon legislatif merasa disaingi calon lain, ia menyuruh orang untuk membakar baliho lawan, jika perlu membawa pedang terhunus, main tebas. Adharma bercokol dalam diri kita sendiri, besar dan kecilnya bervariasi.
Nah, sifat adharma itulah yang harus kita kalahkan. Kita awali dengan niat yang suci, melakukan pembersihan diri, baik dengan tapa, japa, brata yang dalam bahasa sekarang bisa kita sebut “tekad untuk berbuat suci”. Umat Hindu di Bali menyediakan hari yang disebut Sugian Bali dan Sugian Jawa, itulah hakekat pensucian diri.
Ketika segala yang kotor itu bisa kita bersihkan, mari kita belenggu keingingan jahat (adharma) kita. Leluhur kita di Bali mengenal Hari Penyekeban dilanjutkan Hari Penyajaan (di beberapa tempat disebut Pengejukan), itulah saatnya kita membelenggu nafsu jahat kita. Pada akhirnya segala yang jahat dan kotor kita musnahkan, kita “sembelih” sifat-sifat hewani buruk yang ada pada diri kita. Itu disebut Hari Penampahan. Jika semua tahap itu bisa kita lakoni dengan baik, pada Rabu Keliwon Wuku Dungulan semuanya itu kita syukuri sebagai kemenangan dharma. Inilah Galungan yang sejatinya.
Kita selalu memaknai Galungan tanpa pernah mencari apa arti di balik simbol-simbol yang diciptakan oleh leluhur kita ini. Kita sudah letih “jalan di tempat” dan tak pernah maju-maju dari jebakan ritual. Ritual memang perlu, tetapi bukan berhenti di sana. Ribuan babi disembelih orang Bali pada saat Penampahan Galungan, ribuan penjor berdiri di pinggir jalan, ratusan pura dikunjungi dan dihaturkan sesajen saat Galungan, tetapi apakah dharma sudah menang, apakah sifat-sifat adharma sudah berkurang? Lihat di sekeliling kita, umat Hindu bertengkar soal kuburan, alam Bali diperkosa dari pantai sampai gunung, berbeda partai saling bacok. Lalu apa arti merayakan Galungan kalau adharma tak pernah berkurang?
Galungan memang tak ada dalam kitab suci Weda. Namun, merayakan kemenangan dharma melawan adharma, yang pada hakekatnya adalah ajaran untuk selalu berbuat yang “benar”, menghiasai banyak sloka-sloka suci Weda. Karena Hindu menyebar di dunia dengan memberi keleluasaan untuk menyerap budaya lokal, maka “perayaan dharma” ini berbeda bentuknya. Perayaan itu pun kemudian dicarikan simbol-simbol lokal untuk lebih membumi, sehingga masyarakat yang awam mudah untuk menghayatinya.
Di India, misalnya, kemenangan dharma itu dirayakan dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Simbol yang diambil adalah kemenangan Dewi Parwati mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura. Hari raya ini juga disebut Durga Nawa Ratri. Kemudian di bulan Oktober (Kartika) simbol yang diambil adalah kisah kemenangan Rama atas Rahwana. Perayaan ini disebut Rama Nawa Ratri. Inti dari kedua perayaan itu sama, bersyukur dan bersukaria atas kalahnya adharma, dan dirayakan sepuluh hari.
Barangkali untuk “menyesuaikan” dengan India di mana agama Hindu lahir, leluhur kita di Bali juga merayakan kemenangan dharma dua kali setahun, meski tak persis dengan tahun Masehi, karena perhitungan yang dipakai adalah wariga, bukan sasih. Dan perayaan yang disebut Galungan ini dijatuhkan pada Rabu Kliwon Dungulan, lalu ditutup dengan Hari Raya Kuningan, yang juga berjarak 10 hari.
Umat Hindu di Jawa sebaiknya juga merayakan Galungan. Dalam Kidung Panji Amalat Rasmi dan Kidung Pararaton, disebutkan pernah ada perayaan kemenangan dharma di zaman Majapahit pada wuku Dungulan. Seperti diketahui, wariga yang ada di Bali sumbernya adalah di Jawa, semuanya sama. Masalahnya mungkin – ini perlu dikaji—leluhur kita di Bali mengkaitkan perayaan Galungan itu dengan mitos Mayadenawa. Sampai saat ini, masyarakat Bali terjebak pada mitos itu. Padahal tak ada prasasti apapun tentang Mayadenawa yang dikaitkan dengan Galungan, kecuali karya sastra yang sifatnya fiksi. Yang ada adalah prasasti yang menyebutkan, orang Bali “lama sekali” tak merayakan Galungan, dan perayaan itu baru dibuat rutin kembali sejak tahun 1126 ketika Bali diperintah Sri Jayakusunu. Dikaitkannya Galungan dengan legenda Mayadenawa membuat Galungan menjadi “bali sentris” dan barangkali ini membuat umat Hindu non-Bali kurang sreg merayakan kemenangan dharma pada saat Galungan ini.
Ke depan kita harus lebih banyak lagi menelaah ajaran Hindu berdasarkan sastra dan tatwa. Bagi umat Hindu non-Bali, kalau memang tak sreg merayakan kemenangan dharma bersama-sama orang Bali, silakan membuat perayaan sendiri pada hari yang berbeda. Seperti halnya di India, ini menunjukkan Hindu begitu universal, ibarat taman dengan beragam bunga yang indah. Adapun bagi umat Hindu di Bali, mari kita rayakan Galungan dengan mencari inti filsafahnya, membunuh sifat-sifat adharma untuk kemenangan dharma, dan mensyukuri kemenangan itu.
Suksesnya perayaan Galungan seharusnya bisa dilihat dari masyarakat yang lebih tentram dan damai, bukan banyaknya orang mabuk di balai banjar yang disulap jadi bar. Lebih-lebih Galungan di tengah-tengah masa kampanye Pemilu. Kalau ketenangan masyarakat Bali terusik menjelang dan setelah Pemilu ini, maka Galungan sudah gagal total, tak ada gunanya penjor dan sesajen itu, karena adharma yang tetap menang. Selamat Hari Raya Galungan, untuk Anda yang bisa mengalahkan adharma.***
Minggu, 11 Oktober 2009
Buaya
Oleh Putu Setia
Saya hampir bertepuk tangan ketika menyaksikan di televisi, polisi Detasemen Khusus 88 Antiteror berhasil menembak mati dua gembong teroris, Syaifudin dan Syahrir, di Ciputat, Jumat lalu. Hal yang sama hampir saya lakukan, dulu, saat Kepala Polri memberi penjelasan kepada wartawan tentang tewasnya Noor Din M. Top. Saya ulangi: hampir bertepuk tangan
Kenapa cuma hampir? Belakangan ini, selalu ada ganjalan dalam otak saya untuk memuji polisi. Otak enggan memerintahkan tangan bertepuk-tepuk. Ganjalan itu adalah kasus perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian, yang dalam hal ini diwakili Kepala Bareskrim Susno Duadji. Apalagi muncul istilah buaya dan cicak, yang diciptakan Pak Susno. Saya amat tidak tega polisi diumpamakan sebagai buaya.
Sebelumnya, saya kira Pak Susno hanya "keseleo lidah". Kenyataannya, polisi benar memposisikan dirinya sebagai buaya dalam perseteruan ini. Kuat, perkasa, tak peduli apa kata "binatang" lain. Dua cicak--ah, maksudnya dua pimpinan Komisi--dijadikan tersangka, diminta wajib lapor. Keduanya juga memposisikan dirinya sebagai cicak yang lemah, tak bisa berkutik.
Seandainya yang berseteru bukan buaya dengan cicak, melainkan buaya dengan buaya atau cicak dengan cicak (atau kadal dengan kadal), itu baru adil. Katakanlah Bareskrim itu buaya sungai, Komisi buaya rawa, perseteruan lebih imbang. Pada saat buaya rawa diperiksa dan dijadikan tersangka oleh buaya sungai, buaya sungai pun harus diperiksa dan dijadikan tersangka oleh buaya rawa. Pak Susno membantah (akan) menerima komisi dari pencairan uang di Bank Century dan beliau menyebut tindakannya itu "kontra-intelijen". Mestinya Komisi berpendapat: "Itu kan kata dia, makanya kita periksa." Seperti dua pemimpin Komisi, yang juga membantah tudingan menerima suap dari Anggoro, toh tetap diperiksa polisi.
Jika mau lebih adil sedikit, seharusnya Pak Susno dinonaktifkan. Bagaimana mungkin dia menjadi komandan tim pemeriksa untuk lawan tarungnya? Bahwa dia sudah diperiksa secara internal, anak kecil pun bisa menduga hasilnya, masak polisi pangkat lebih rendah menyalahkan polisi pangkat lebih tinggi, rikuhlah.
Demi kehormatan polisi, demi datangnya pujian atas keberhasilan polisi dalam berbagai langkahnya, penting sekali menonaktifkan Pak Susno sebelum kasus dua pemimpin Komisi tersebut tuntas. Tuntas itu bisa dua, kasusnya P18 atau P21--pembaca koran ini pasti sudah paham, ini bukan kode bus patas di Jakarta. Jika P18, polisi bisa mengeluarkan SP3 (surat penghentian penyidikan perkara) dan dua pemimpin Komisi direhabilitasi. Disertai maaf atau tidak, jangan dipermasalahkan, tugas polisi kan tidak semuanya harus sesuai dengan target. Kalau P21, artinya, kasus dilimpahkan ke pengadilan, dan tugas polisi beralih ke jaksa. Polisi bisa tenang. Dua pemimpin Komisi itu dihukum atau tidak, ya, urusan hakim dan jaksalah.
Maaf, meski saya mengusulkan Pak Susno nonaktif, tak berarti saya memihak. Saya membela keadilan (mohon doa restu), kalau kedua pemimpin Komisi itu salah, ya, hukumlah. Kalau tak salah, ya, lepaskan. Begitu juga kalau Pak Susno salah, hukumlah. Kalau tidak, jangan dihukum--tapi untuk tahu salah tidaknya, kan diperiksa dulu? Jika perlu, yang memeriksa instansi yang netral.
Makin cepat kasus ini tuntas makin bagus, dan setelah itu istilah buaya, cicak, kadal, tokek, dilupakan saja. Pakailah perumpamaan yang lebih berbudaya. Apalagi kita sudah sepakat mendirikan NKRI, bukan mendirikan NKBRI (Negara Kebun Binatang Republik Indonesia).
(Dari Koran Tempo Minggu 11 Oktober 2009)
Saya hampir bertepuk tangan ketika menyaksikan di televisi, polisi Detasemen Khusus 88 Antiteror berhasil menembak mati dua gembong teroris, Syaifudin dan Syahrir, di Ciputat, Jumat lalu. Hal yang sama hampir saya lakukan, dulu, saat Kepala Polri memberi penjelasan kepada wartawan tentang tewasnya Noor Din M. Top. Saya ulangi: hampir bertepuk tangan
Kenapa cuma hampir? Belakangan ini, selalu ada ganjalan dalam otak saya untuk memuji polisi. Otak enggan memerintahkan tangan bertepuk-tepuk. Ganjalan itu adalah kasus perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian, yang dalam hal ini diwakili Kepala Bareskrim Susno Duadji. Apalagi muncul istilah buaya dan cicak, yang diciptakan Pak Susno. Saya amat tidak tega polisi diumpamakan sebagai buaya.
Sebelumnya, saya kira Pak Susno hanya "keseleo lidah". Kenyataannya, polisi benar memposisikan dirinya sebagai buaya dalam perseteruan ini. Kuat, perkasa, tak peduli apa kata "binatang" lain. Dua cicak--ah, maksudnya dua pimpinan Komisi--dijadikan tersangka, diminta wajib lapor. Keduanya juga memposisikan dirinya sebagai cicak yang lemah, tak bisa berkutik.
Seandainya yang berseteru bukan buaya dengan cicak, melainkan buaya dengan buaya atau cicak dengan cicak (atau kadal dengan kadal), itu baru adil. Katakanlah Bareskrim itu buaya sungai, Komisi buaya rawa, perseteruan lebih imbang. Pada saat buaya rawa diperiksa dan dijadikan tersangka oleh buaya sungai, buaya sungai pun harus diperiksa dan dijadikan tersangka oleh buaya rawa. Pak Susno membantah (akan) menerima komisi dari pencairan uang di Bank Century dan beliau menyebut tindakannya itu "kontra-intelijen". Mestinya Komisi berpendapat: "Itu kan kata dia, makanya kita periksa." Seperti dua pemimpin Komisi, yang juga membantah tudingan menerima suap dari Anggoro, toh tetap diperiksa polisi.
Jika mau lebih adil sedikit, seharusnya Pak Susno dinonaktifkan. Bagaimana mungkin dia menjadi komandan tim pemeriksa untuk lawan tarungnya? Bahwa dia sudah diperiksa secara internal, anak kecil pun bisa menduga hasilnya, masak polisi pangkat lebih rendah menyalahkan polisi pangkat lebih tinggi, rikuhlah.
Demi kehormatan polisi, demi datangnya pujian atas keberhasilan polisi dalam berbagai langkahnya, penting sekali menonaktifkan Pak Susno sebelum kasus dua pemimpin Komisi tersebut tuntas. Tuntas itu bisa dua, kasusnya P18 atau P21--pembaca koran ini pasti sudah paham, ini bukan kode bus patas di Jakarta. Jika P18, polisi bisa mengeluarkan SP3 (surat penghentian penyidikan perkara) dan dua pemimpin Komisi direhabilitasi. Disertai maaf atau tidak, jangan dipermasalahkan, tugas polisi kan tidak semuanya harus sesuai dengan target. Kalau P21, artinya, kasus dilimpahkan ke pengadilan, dan tugas polisi beralih ke jaksa. Polisi bisa tenang. Dua pemimpin Komisi itu dihukum atau tidak, ya, urusan hakim dan jaksalah.
Maaf, meski saya mengusulkan Pak Susno nonaktif, tak berarti saya memihak. Saya membela keadilan (mohon doa restu), kalau kedua pemimpin Komisi itu salah, ya, hukumlah. Kalau tak salah, ya, lepaskan. Begitu juga kalau Pak Susno salah, hukumlah. Kalau tidak, jangan dihukum--tapi untuk tahu salah tidaknya, kan diperiksa dulu? Jika perlu, yang memeriksa instansi yang netral.
Makin cepat kasus ini tuntas makin bagus, dan setelah itu istilah buaya, cicak, kadal, tokek, dilupakan saja. Pakailah perumpamaan yang lebih berbudaya. Apalagi kita sudah sepakat mendirikan NKRI, bukan mendirikan NKBRI (Negara Kebun Binatang Republik Indonesia).
(Dari Koran Tempo Minggu 11 Oktober 2009)
Mensosialisasikan Bhisama Kawitan untuk Generasi Muda Pasek
Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
(Om awignam astu. Nunas lugra ring Ida Bethara Kawitan seantukan titiyang purun ngojah Ida Bethara, dumadak-dumanik titiyang tak keni sodsod upradrawa, nunas pangampura banget tur nunas panugrahan Ida Bethara mangde sami damuh Ida Bethara manggihin kerahajengan. Om, namo namah swaha).
Sesungguhnya kita tak tahu pasti, karena tak ada catatan sejarah yang otentik, kapan para leluhur kita menginjakkan kakinya di Bali. Leluhur yang dimaksud adalah para Pandita Mpu yang berjasa dalam membangun Bali, baik menata masalah sosial kemasyarakatan, maupun meletakkan dasar-dasar ritual keagamaan di Bali.
Leluhur itu dikenal dengan sebutan Catur Sanak, karena memang terdiri dari empat bersaudara. Mereka adalah putra dari Mpu Lampita, yakni Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana dan Mpu Kuturan. Satu lagi putra dari Mpu Lampita, yaitu Mpu Bradah, namun beliau tak ikut ke Bali. Kelima putra Mpu Lampita ini disebut juga Sang Panca Tirtha. Seperti diketahui, Mpu Lampita adalah putra dari Mpu Wiradharma, sedangkan Mpu Wiradharma putra dari Mpu Withadarma. Akan halnya Mpu Withadarma adalah putra Hyang Gnijaya yang sudah jauh sebelumnya datang ke Bali dan membangun tempat yoga samadi di puncak Gunung Lempuyang yang kini dikenal dengan Pura Lempuyang Luhur.
“Empat Sekawan” Sang Catur Sanak menjadi penting bagi orang Bali, bukan saja karena mereka meletakkan dasar-dasar adat, budaya dan agama, tetapi juga membangun dasar parahyangan yang kini kita jadikan sungsungan bersama. Kedatangan mereka di Bali juga tak sekedar mengikuti jejak leluhur beliau yang sudah mondar-mandir ke Bali dari Jawa (Timur), namun keempat Mpu ini sebenarnya juga diundang oleh raja Bali saat itu, Udayana Warmadewa. Jadi, kalau memakai bahasa saat ini, tugas beliau adalah mengemban “dharma negara” dan “dharma agama”.
Meski catatan otentik tak ditemukan, dalam buku Babad Pasek karya sesepuh kita yang sudah tiada, Jero Mangku Soebandi, disebutkan Mpu Semeru datang pertamakali pada tahun Caka 921 atau 999 Masehi. Beliau menetap di Besakih dan kini parhyangan itu dikenal dengan Pura Catur Lawa Ratu Pasek, Pedharman Warga Pasek Sanak Sapta Rsi.
Menyusul datang Mpu Ghana pada tahun Caka 923 atau 1001 Masehi dan menetap di Gelgel. Parhyangan beliau kini dikenal dengan Pura Dasar Bhuwana Gelgel.
Lalu datang Mpu Kuturan pada tahun yang sama (1001 Masehi) dan menetap di Padang yang kini parhyangan beliau dikenal dengan Pura Silayukti.
Dan terakhir datang Mpu Gnijaya pada tahun Caka 971 atau 1049 Masehi dan beliau menetap di Bukit Bisbis dan parhyangan itu kini dikenal dengan Pura Lempuyang Madya. Jadi sebenarnya, kalau kita mengacu kepada temuan Guru Soebandi ini, belum tepat benar kita memperingati seribu tahun kedatangan Mpu Gnijaya. Tapi apalah artinya waktu, yang penting ini sudah kejadian yang sangat lama dan perlu kita kenang kembali, dan dikenang seterusnya.
Relevansi Bhisama Kawitan Saat ini
Apa yang dikenang dari keempat Mpu itu? Semua parhyangan beliau kini sudah dalam bentuk pura dan dijadikan pura kawitan oleh semeton Warga Pasek. Dalam Bhisama Kawitan jelas-jelas disebutkan, mereka yang lalai dengan Catur Parhyangan warisan Mpu Catur Sanak itu, tak akan menemukan kehidupan yang baik.
Baca penggalan Bhisama Kawitan ini: Kamung Pasek, Gelgel, Bandesa, Tangkas, Kubayan, Salahin, Tohjiya, Gaduh, Dangka, Pasek makabehan, maka Santana nira Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anak-anak Mpu Gnijaya ring giri Lempuyang Madhya, haywa ta kita lupa ring kahyangan nira Bhatara, mekadi ring Lempuyang Madhya, ring Bhasukih, ring Gelgel Dalem Dasar, ring Silayukti. Yan kita lupa ring kahyangan nira Bhatara Kawitan tan abhakti sanisthanya dasa temuan sapisan, wastu kita tan anut ring apasanakan, setata anemu rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan.
Jadi, kalau kita lupa kahyangan Bethara Kawitan sampai sepuluh kali odalan, kehidupan kita tak tenteram. Tidak pernah cocok (anut) di pesemetonan, selalu menemui kebingungan, bertengkar sesama semeton, banyak kerja kurang makan – artinya rejeki tak bagus.
Bagaimana kita menghayati atau membaca Bhisama Kawitan ini jika dihadapkan kepada generani muda Pasek? Kita tak perlu lagi menekankan kata “wastu” yang artinya kira-kira “semoga” atau “dumadak” (bhs Bali). Penekanan seperti ini bisa menimbulkan salah persepsi bahwa Bethara Kawitan itu ternyata sangat pemarah, dendam, main kutuk, bukan bersifat welas asih sebagai mana Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Bhisama ini kita kembalikan kepada sastra Hindu yakni Weda, dan betapa luas pengetahuan leluhur kita di masa lalu dengan ajaran Hindu – meski kita tak tahu dengan cara apa leluhur kira mempelajari Weda.
Ajaran Hindu mengenal pemujaan kepada leluhur, selain kepada Tuhan dalam hal ini Brahman. Leluhur yang dipuja menyatu dalam sinar Tuhan – bukan berada di sisi-Nya seperti kepercayaan Muslim – namun leluhur yang sudah menjadi Pitara, Hyang Pitara, Ida Bethara tetap saja bisa kita pisahkan dengan Tuhan itu sendiri. Karena itu hendaknya selalu ditekankan kepada anak-anak muda, memuja leluhur (kawitan) beda dengan memuja Tuhan, namun bisa dilakukan dalam ritual berurutan. Itu yang membuat orang akan datang ke pura-pura kawitan.
Jika kita hanya menyebutkan, “mari bersembahyang ke Lempuyang Madya”, anak-anak muda akan bertanya: sembahyang di rumah juga bisa, Tuhan ada di mana-mana, untuk apa jauh naik gunung segala? Tetapi jika kita sebutkan, mari kita memuja Bethara Gnijaya ditempat beliau dulu melaksanakan yoga semadi. Orang mungkin akan tertarik, apalagi kalau kita jelaskan kembali bagaimana kisah leluhur itu di masa lalu dan vibrasi seperti apa yang didapatkan di Lempuyang Madya.
Jangan melupakan kahyangan kawitan selama sepuluh odalan – artinya antara enam sampai sepuluh tahun tergantung tegak odalan, apakah memakai hitungan sasih atau wariga— sebenarnya sesuai dengan konsep keagungan tirthayatra. Umat Hindu wajib melaksanakan tirthayatra disesuaikan dengan kemampuan yang ada. Kini banyak orang melakukan tirthayatra dengan agak ngawur, melukat ke pura-pura yang dianggap keramat, padahal sekali pun tak pernah ke Lempuyang Madya, Silayukti dan sebagainya. Kalau mengunjungi pura saja sampai lupa bertahun-tahun, bagaimana bisa mengenal para semeton, lalu semeton saja tak dikenal bagaimana bisa rukun dan guyub?
Salah satu fungsi pura adalah sosialisasi, interaksi antara pemedek, dan akhirnya banyak teman. Banyak teman bisa saja mendatangkan banyak rejeki, bagaimana melakukan bisnis kalau tak punya teman?
Inilah cara-cara kita membaca bhisama dalam kehidupan yang sangat modern ini, sehingga bhisama tidak semata-mata menjadi catatan yang usang dan ketinggalan jaman.
Apalagi jika isi bhisama itu mengenai hal yang paling mendasar, tentang hak-hak kita yang lahir sebagai pewaris leluhur yang maha mulia. Saya kutip isi bhisama dari Ida Bethara Mpu Gnijaya: Kamung Pasek mwang Bandesa, kita padha wenang Mbhujanggain, apan kita witning Brahmana jati, treh Arya Tatar, mwah rikalaning kapejahanta wenang winungkusan rwaning Gedang Kaikik, mangkan kita prasanakku haywa lupa ring piteketku, maka cihna kita parati santananku. Apan ring kuna duk kita wawu metu ginelar rwaning gedang Kaikik, mangkana kauttamaning Wangsanta, haywa lupa, haywa lali ring kawangsanta, wenang kita hanyisyani, apan kita treh aku, Mpu Withadharma.
Jelas di sini disebutkan, “Kalian Pasek dan Bandesa, kalian sama-sama berhak menjadi Pandhita, sebab kalian adalah keturunan Brahmana sejati, turunan Arya Tatar….” Kalau sampai sekarang masih ada yang menyebutkan orang Pasek tak berhak menjadi Pandhita, apalagi disebutkan orang Pasek bukan keturunan Brahmana, itu pasti orang yang tak kenal leluhurnya sama sekali. Bagaimana bisa menjadi Hindu yang baik kalau leluhur saja tak diketahui?
Begitu pula kalau orang Pasek ngaben dipuput Sulinggih non-Pasek, jangan mau dikibuli bahwa jenasah orang Pasek tak boleh beralaskan biu Kaikik. Bhisama jelas mengatakan begitu, bahkan dalam Bhisama Mpu Withadharma hal ini dikatakan lebih lengkap lagi.
Dalam pergaulan modern, Bhisama Mpu Ketek harus disosialisasikan lebih luas kepada generasi muda warga Pasek. Begini petikan bhisamanya: Putungku Ki Pasek makabehan, yan hana wang angangken asanak ring Ki Pasek mwang Bandesa, haywa ta kita tan paryangken asanak ri sira, anghing pratyaksa rumuhun, yan wus anut ring katattwanta, kadi linging pujara kanda, munggwing prasasti kang piyagem, mwang wehana pramodo pajanji, saha upasaksi, yanya tan anut, dudu ya asanak ri kita. Yan wus manut ring panjanji ubaya upasaksi, ya tuhu asanak ri kita Pasek sedaya, wenang kita aweha ring apasanakan, haywa kita sandeha.
Bhisama ini menegaskan, kita sebagai warga Pasek dan Bandesa, harus mau mengakui dengan tulus setiap orang yang mengaku dirinya Pasek dan Bandesa. Jadikan mereka semeton. Tapi hati-hati, cek dulu kebenarannya, tentu dalam hal ini tingkah laku dan kesehariannya. Kalau dia mengaku Pasek tetapi tak mengakui keberadaan Pandita Mpu, malah Pandita Mpu disepelekan pandita lain diutamakan, ya, mikir dululah. Jangan cuma mengaku Pasek kalau ada pemilihan gubernur atau bupati, setelah menjabat diajak tangkil ke pura kawitan saja tak mau, apalagi medana-punia untuk warga Pasek.
Kalau dipikir-pikir Pandita Mpu kita di masa lalu sudah “betel tingal” melihat kejadian masa sekarang. Ida Mpu Ketek saja sudah memberi peringatan ratusan tahun yang lalu agar kita waspada, namun tak boleh curiga.
Semua bhisama, tak satupun mengajurkan kita untuk pecah berantakan, ini inti yang harus terus didengungkan. Semoga semangat yang sudah diwariskan seribu tahun ini tetap bergema di hati setiap semeton pasek.
(Dari Seminar 1000 Tahun Mpu Gni Jaya ke Bali, 1 Oktober 2009 di Amlapura)
(Om awignam astu. Nunas lugra ring Ida Bethara Kawitan seantukan titiyang purun ngojah Ida Bethara, dumadak-dumanik titiyang tak keni sodsod upradrawa, nunas pangampura banget tur nunas panugrahan Ida Bethara mangde sami damuh Ida Bethara manggihin kerahajengan. Om, namo namah swaha).
Sesungguhnya kita tak tahu pasti, karena tak ada catatan sejarah yang otentik, kapan para leluhur kita menginjakkan kakinya di Bali. Leluhur yang dimaksud adalah para Pandita Mpu yang berjasa dalam membangun Bali, baik menata masalah sosial kemasyarakatan, maupun meletakkan dasar-dasar ritual keagamaan di Bali.
Leluhur itu dikenal dengan sebutan Catur Sanak, karena memang terdiri dari empat bersaudara. Mereka adalah putra dari Mpu Lampita, yakni Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana dan Mpu Kuturan. Satu lagi putra dari Mpu Lampita, yaitu Mpu Bradah, namun beliau tak ikut ke Bali. Kelima putra Mpu Lampita ini disebut juga Sang Panca Tirtha. Seperti diketahui, Mpu Lampita adalah putra dari Mpu Wiradharma, sedangkan Mpu Wiradharma putra dari Mpu Withadarma. Akan halnya Mpu Withadarma adalah putra Hyang Gnijaya yang sudah jauh sebelumnya datang ke Bali dan membangun tempat yoga samadi di puncak Gunung Lempuyang yang kini dikenal dengan Pura Lempuyang Luhur.
“Empat Sekawan” Sang Catur Sanak menjadi penting bagi orang Bali, bukan saja karena mereka meletakkan dasar-dasar adat, budaya dan agama, tetapi juga membangun dasar parahyangan yang kini kita jadikan sungsungan bersama. Kedatangan mereka di Bali juga tak sekedar mengikuti jejak leluhur beliau yang sudah mondar-mandir ke Bali dari Jawa (Timur), namun keempat Mpu ini sebenarnya juga diundang oleh raja Bali saat itu, Udayana Warmadewa. Jadi, kalau memakai bahasa saat ini, tugas beliau adalah mengemban “dharma negara” dan “dharma agama”.
Meski catatan otentik tak ditemukan, dalam buku Babad Pasek karya sesepuh kita yang sudah tiada, Jero Mangku Soebandi, disebutkan Mpu Semeru datang pertamakali pada tahun Caka 921 atau 999 Masehi. Beliau menetap di Besakih dan kini parhyangan itu dikenal dengan Pura Catur Lawa Ratu Pasek, Pedharman Warga Pasek Sanak Sapta Rsi.
Menyusul datang Mpu Ghana pada tahun Caka 923 atau 1001 Masehi dan menetap di Gelgel. Parhyangan beliau kini dikenal dengan Pura Dasar Bhuwana Gelgel.
Lalu datang Mpu Kuturan pada tahun yang sama (1001 Masehi) dan menetap di Padang yang kini parhyangan beliau dikenal dengan Pura Silayukti.
Dan terakhir datang Mpu Gnijaya pada tahun Caka 971 atau 1049 Masehi dan beliau menetap di Bukit Bisbis dan parhyangan itu kini dikenal dengan Pura Lempuyang Madya. Jadi sebenarnya, kalau kita mengacu kepada temuan Guru Soebandi ini, belum tepat benar kita memperingati seribu tahun kedatangan Mpu Gnijaya. Tapi apalah artinya waktu, yang penting ini sudah kejadian yang sangat lama dan perlu kita kenang kembali, dan dikenang seterusnya.
Relevansi Bhisama Kawitan Saat ini
Apa yang dikenang dari keempat Mpu itu? Semua parhyangan beliau kini sudah dalam bentuk pura dan dijadikan pura kawitan oleh semeton Warga Pasek. Dalam Bhisama Kawitan jelas-jelas disebutkan, mereka yang lalai dengan Catur Parhyangan warisan Mpu Catur Sanak itu, tak akan menemukan kehidupan yang baik.
Baca penggalan Bhisama Kawitan ini: Kamung Pasek, Gelgel, Bandesa, Tangkas, Kubayan, Salahin, Tohjiya, Gaduh, Dangka, Pasek makabehan, maka Santana nira Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anak-anak Mpu Gnijaya ring giri Lempuyang Madhya, haywa ta kita lupa ring kahyangan nira Bhatara, mekadi ring Lempuyang Madhya, ring Bhasukih, ring Gelgel Dalem Dasar, ring Silayukti. Yan kita lupa ring kahyangan nira Bhatara Kawitan tan abhakti sanisthanya dasa temuan sapisan, wastu kita tan anut ring apasanakan, setata anemu rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan.
Jadi, kalau kita lupa kahyangan Bethara Kawitan sampai sepuluh kali odalan, kehidupan kita tak tenteram. Tidak pernah cocok (anut) di pesemetonan, selalu menemui kebingungan, bertengkar sesama semeton, banyak kerja kurang makan – artinya rejeki tak bagus.
Bagaimana kita menghayati atau membaca Bhisama Kawitan ini jika dihadapkan kepada generani muda Pasek? Kita tak perlu lagi menekankan kata “wastu” yang artinya kira-kira “semoga” atau “dumadak” (bhs Bali). Penekanan seperti ini bisa menimbulkan salah persepsi bahwa Bethara Kawitan itu ternyata sangat pemarah, dendam, main kutuk, bukan bersifat welas asih sebagai mana Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Bhisama ini kita kembalikan kepada sastra Hindu yakni Weda, dan betapa luas pengetahuan leluhur kita di masa lalu dengan ajaran Hindu – meski kita tak tahu dengan cara apa leluhur kira mempelajari Weda.
Ajaran Hindu mengenal pemujaan kepada leluhur, selain kepada Tuhan dalam hal ini Brahman. Leluhur yang dipuja menyatu dalam sinar Tuhan – bukan berada di sisi-Nya seperti kepercayaan Muslim – namun leluhur yang sudah menjadi Pitara, Hyang Pitara, Ida Bethara tetap saja bisa kita pisahkan dengan Tuhan itu sendiri. Karena itu hendaknya selalu ditekankan kepada anak-anak muda, memuja leluhur (kawitan) beda dengan memuja Tuhan, namun bisa dilakukan dalam ritual berurutan. Itu yang membuat orang akan datang ke pura-pura kawitan.
Jika kita hanya menyebutkan, “mari bersembahyang ke Lempuyang Madya”, anak-anak muda akan bertanya: sembahyang di rumah juga bisa, Tuhan ada di mana-mana, untuk apa jauh naik gunung segala? Tetapi jika kita sebutkan, mari kita memuja Bethara Gnijaya ditempat beliau dulu melaksanakan yoga semadi. Orang mungkin akan tertarik, apalagi kalau kita jelaskan kembali bagaimana kisah leluhur itu di masa lalu dan vibrasi seperti apa yang didapatkan di Lempuyang Madya.
Jangan melupakan kahyangan kawitan selama sepuluh odalan – artinya antara enam sampai sepuluh tahun tergantung tegak odalan, apakah memakai hitungan sasih atau wariga— sebenarnya sesuai dengan konsep keagungan tirthayatra. Umat Hindu wajib melaksanakan tirthayatra disesuaikan dengan kemampuan yang ada. Kini banyak orang melakukan tirthayatra dengan agak ngawur, melukat ke pura-pura yang dianggap keramat, padahal sekali pun tak pernah ke Lempuyang Madya, Silayukti dan sebagainya. Kalau mengunjungi pura saja sampai lupa bertahun-tahun, bagaimana bisa mengenal para semeton, lalu semeton saja tak dikenal bagaimana bisa rukun dan guyub?
Salah satu fungsi pura adalah sosialisasi, interaksi antara pemedek, dan akhirnya banyak teman. Banyak teman bisa saja mendatangkan banyak rejeki, bagaimana melakukan bisnis kalau tak punya teman?
Inilah cara-cara kita membaca bhisama dalam kehidupan yang sangat modern ini, sehingga bhisama tidak semata-mata menjadi catatan yang usang dan ketinggalan jaman.
Apalagi jika isi bhisama itu mengenai hal yang paling mendasar, tentang hak-hak kita yang lahir sebagai pewaris leluhur yang maha mulia. Saya kutip isi bhisama dari Ida Bethara Mpu Gnijaya: Kamung Pasek mwang Bandesa, kita padha wenang Mbhujanggain, apan kita witning Brahmana jati, treh Arya Tatar, mwah rikalaning kapejahanta wenang winungkusan rwaning Gedang Kaikik, mangkan kita prasanakku haywa lupa ring piteketku, maka cihna kita parati santananku. Apan ring kuna duk kita wawu metu ginelar rwaning gedang Kaikik, mangkana kauttamaning Wangsanta, haywa lupa, haywa lali ring kawangsanta, wenang kita hanyisyani, apan kita treh aku, Mpu Withadharma.
Jelas di sini disebutkan, “Kalian Pasek dan Bandesa, kalian sama-sama berhak menjadi Pandhita, sebab kalian adalah keturunan Brahmana sejati, turunan Arya Tatar….” Kalau sampai sekarang masih ada yang menyebutkan orang Pasek tak berhak menjadi Pandhita, apalagi disebutkan orang Pasek bukan keturunan Brahmana, itu pasti orang yang tak kenal leluhurnya sama sekali. Bagaimana bisa menjadi Hindu yang baik kalau leluhur saja tak diketahui?
Begitu pula kalau orang Pasek ngaben dipuput Sulinggih non-Pasek, jangan mau dikibuli bahwa jenasah orang Pasek tak boleh beralaskan biu Kaikik. Bhisama jelas mengatakan begitu, bahkan dalam Bhisama Mpu Withadharma hal ini dikatakan lebih lengkap lagi.
Dalam pergaulan modern, Bhisama Mpu Ketek harus disosialisasikan lebih luas kepada generasi muda warga Pasek. Begini petikan bhisamanya: Putungku Ki Pasek makabehan, yan hana wang angangken asanak ring Ki Pasek mwang Bandesa, haywa ta kita tan paryangken asanak ri sira, anghing pratyaksa rumuhun, yan wus anut ring katattwanta, kadi linging pujara kanda, munggwing prasasti kang piyagem, mwang wehana pramodo pajanji, saha upasaksi, yanya tan anut, dudu ya asanak ri kita. Yan wus manut ring panjanji ubaya upasaksi, ya tuhu asanak ri kita Pasek sedaya, wenang kita aweha ring apasanakan, haywa kita sandeha.
Bhisama ini menegaskan, kita sebagai warga Pasek dan Bandesa, harus mau mengakui dengan tulus setiap orang yang mengaku dirinya Pasek dan Bandesa. Jadikan mereka semeton. Tapi hati-hati, cek dulu kebenarannya, tentu dalam hal ini tingkah laku dan kesehariannya. Kalau dia mengaku Pasek tetapi tak mengakui keberadaan Pandita Mpu, malah Pandita Mpu disepelekan pandita lain diutamakan, ya, mikir dululah. Jangan cuma mengaku Pasek kalau ada pemilihan gubernur atau bupati, setelah menjabat diajak tangkil ke pura kawitan saja tak mau, apalagi medana-punia untuk warga Pasek.
Kalau dipikir-pikir Pandita Mpu kita di masa lalu sudah “betel tingal” melihat kejadian masa sekarang. Ida Mpu Ketek saja sudah memberi peringatan ratusan tahun yang lalu agar kita waspada, namun tak boleh curiga.
Semua bhisama, tak satupun mengajurkan kita untuk pecah berantakan, ini inti yang harus terus didengungkan. Semoga semangat yang sudah diwariskan seribu tahun ini tetap bergema di hati setiap semeton pasek.
(Dari Seminar 1000 Tahun Mpu Gni Jaya ke Bali, 1 Oktober 2009 di Amlapura)
Langganan:
Postingan (Atom)