Putu Setia
(Tulisan ini versi panjang dari yang dimuat Koran Tempo Minggu 30 Januari 2011)
Kita sudah lama kehilangan humor. Humor yang tidak menyakiti, humor yang membuat kita tersenyum lepas, syukur-syukur ada bunyi tawa. Humor yang membuat kita tidak dendam, apakah itu dendam kepada sesama manusia atau dendam kepada keadaan yang semakin tak bisa kita mengerti.
Srimulat dan Ketoprak Humor sudah lama hilang di televise. Jika pun kini ada tayangan humor seperti Opera van Java, Extravagansa dan sejenisnya, ini adalah humor gedebak-gedebuk, adegan saling gebrak dan saling memukul – meski di layar ada teks: proferti menggunakan bahan liunak yang tak membahayakan.
Seperti diwakili oleh media televise, di dunia politik pun humor sudah lenyap. Pemerintah dikelola oleh orang-orang yang tegang, petinggi negeri ini diisi oleh orang-orang yang cemberut tanpa senyum. Semua masalah, dari yang besar sampai yang sekccil-kecilnya, ditanggapi dengan ketegangan yang serius atau keseriusan yang menegangkan.
Bagaimana menghadirkan humor kalau bencana silih berganti datang? Ini kata teman saya. Ada benarnya, tsunami meluluhkan sebagian negeri, awan panas dan lahar muntah dari gunung menghancurkan pertanian, kereta api tak hentinya bertabrakan, kapal laut terbakar. Belum lagi hakim, jaksa dan polisi begitu mudahnya disogok oleh seorang pegawai rendahan yang bernama Gayus Tambunan. Sulit mencoba melucu di negeri yang penuh perdebatan ini.
Namun, saya tetap percaya, humor adalah bagian terpenting dari keseimbangan jiwa dan lewat humor kita bisa membangun negeri ini dari keterpurukan moral – iye he he.. keren benar kalimat ini. Mau mengikuti analisis saya berikut ini?
Presiden Yudhoyono di depan rapat pimpinan TNI dan Polri menyebutkan akan memperhatikan nasib prajurit bangsa ini dengan menaikkan gaji mereka. Tekad dan niat luhur presiden itu dinyatakan dengan sungguh, sampai-sampai presiden memberikan ilustrasi bahwa gaji beliau selama enam tahun dan memasuki tahun ke tujuh tidak naik-naik. Ini adalah bukti, presiden ingin memperhatikan “rakyatnya” ketimbang memperhatikan diri dan keluarganya.
Hadirin sebenarnya sudah tertawa menanggapi “satu kalimat” dari “puluhan kalimat” yang terucap, pertanda humor masih menjadi jiwa dari pernyataan itu. Sayangnya, tertawa para hadirin itu tidak direspon oleh presiden. SBY tetap serius, tetap tegang, bahkan berkata: “betul….” Seolah mempertegas keseriusannya.
Apa yang terjadi? Jelas, niat baik di balik pernyataan itu seketika berubah makna. Presiden mengeluh soal gaji di depan umum. “Satu kalimat” akhirnya berbuntut ribuan kalimat celaan. Lawan politik presiden, dari “anak baru gede” sampai “mantan petinggi” rame bersitegang dengan “lingkaran dalam” presiden. Semuanya serba serius, saling menyindir dan mengobral kebusukan –yang sejatinya adalah kebusukan diri pengobralnya juga.
Humor sudah tewas. Andaikan saya Gayus, eh, SBY, dalam situasi yang khilaf karena keblablasan menyebut gaji tak naik dengan muka tegang, saya akan banting setir kembali untuk menghidupkan humor. Caranya, saya akan menerima dana “koin untuk presiden” dan sejenisnya dengan penuh kegembiraan, termasuk koin dari para wakil rakyat di Senayan yang memang senang menyindir meski marah kena sindir. Setelah uang diterima, saya akan memanggil Tukul. Tarsan, Doyok yang tengah menghimpun dana untuk mengembalikan para TKI dari Arab Saudi, menyerahkan uang itu dalam suasana riang penuh senyum. Saya yakin kesalah-pahaman akan hilang, ketegangan berhari-hari lenyap, karena humor sudah dihidupkan kembali.
Yang ada saat ini adalah lelucon yang tak lucu karena lahir dari saling memukul – persis di televisi. Contoh lain, tokoh agama membuat Rumah Kebohongan untuk menghimpun kebohongan pemerintah. Bahasa kaum agamawan ini “lucu yang memprihatinkan”, kebohongan tokoh agama siapa yang memungut? Mari kita hidupkan kembali humor dalam setiap denyut nadi mengelola negeri ini. Wassalam.