Tampilkan postingan dengan label Dharmawacana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dharmawacana. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Oktober 2020

Fokus Pada HK, Sampradaya Lain Jangan Diobok-Obok


Mpu Jaya Prema

Belakangan ini kalau saya amati perbincangan di media sosial, banyak sekali postingan atau status yang mempermasalahkan sampradaya. Seolah-olah semua sampradaya itu merusak tatanan keagamaan kita, setidaknya bagi kita yang melaksanakan tata cara agama Hindu dengan budaya Bali. Bahkan seolah-olah apa yang disebut ashram itu sepertinya harus dihindari oleh masyarakat Bali yang beragama Hindu. Semua ini gara-gara kita diusik oleh aliran Hare Krishna yang sudah berkembang di Bali. Kita tahu kelompok Hare Krishna mempergunakan juga istilah ashram dan sampradaya.

Sabtu, 26 September 2020

Pernak Pernik Hari Raya Kuningan

Mpu Jaya Prema 

Kita memasuki hari raya Kuningan, sebagai penutup hari Galungan. Karena itu banyak orang kalau ingin mengucapkan selamat pastilah Galungan dan Kuningan selalu dikaitkan. Jadinya Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan.

Sabtu, 27 Juli 2019

Sudahkah Perbaiki Moral Saat Galungan

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

HARI Raya Galungan disebut sebagai hari kemenangan dharma mengalahkan adharma. Hari kemenangan itu sudah berlalu. Apakah Anda merasa sudah menang melawan adharma? Apakah pikiran Anda sudah menjadi terang dan tidak lagi dipenuhi nafsu serakah sebagai simbol masih bersemayamkan adharma? Semoga hal itu yang terjadi.

Sabtu, 20 Juli 2019

Bersih di Luar dan di Dalam

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

UMAT Hindu etnis Bali sudah memasuki rangkaian Hari Raya Galungan dan Kuningan. Tahap-tahap pelaksanaan hari suci ini pun sudah dimulai.  Kemarin disebut Sugian Bali sebagai kelanjutan dari Sugian Jawa. Besok sudah hari penyekeban. Berlanjut penyajajaan, lalu penampahan, dan ahirnya Rabu Kliwon nanti tibalah Galungan.

Sabtu, 13 Juli 2019

Pura dengan Beragam yang Dipuja

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

ADA pembangunan pura yang cukup besar di luar Bali. Panitia pembangunan mengunggah rencana itu lengkap dengan desainnya. Lalu ada permintaan kepada umat Hindu untuk menyisihkan dana punia agar pembangunan pura itu berjalan lancar. Sambutan umat bagus. Namun ada umat dari Bali yang bertanya: Siapa yang distanakan (melinggih) di pura itu?

Sabtu, 06 Juli 2019

Jangan Pertentangkan Tradisi dengan Weda

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

AGAR penerapan dharma sebagai kebenaran  Weda berjalan baik harus berdasarkan lima pertimbangan. Yakni, Iksa, Sakti, Desa, Kala dan Tattva.  Itu disebut dalam kitab Dharmasastra Sloka VII. 10.

Sabtu, 29 Juni 2019

Agama Bukan untuk Dipamerkan

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

ADA presenter kondang di sebuah acara televisi yang berpindah agama. Sebelumnya dia penganut Katolik lalu pindah menjadi penganut Islam. Istilah di kalangan umat muslim adalah menjadi mualaf. Karena dia seorang pesohor maka berita itu pun menjadi viral. Ya, namanya saja artis, apa pun kegiatan kesehariannya selalu menjadi berita. Apalagi urusan pindah agama, sesuatu yang selalu menjadi berita menarik di tengah-tengah orang yang kini gemar “menjual agama”.

Sabtu, 22 Juni 2019

Busana Persembahyangan ke Pura

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

PROGRAM  Nangun Sad Kerthi Loka Bali yang dikumandangkan Gubernur Bali Wayan Koster juga mencakup urusan berbusana. Bahkan sudah ada pergub yang mewajibkan umat Hindu di Bali mengenakan busana adat pada hari Kamis. Terutama untuk anak-anak didik di sekolah dan pegawai negeri dan swasta. Meski pun tak dirinci busana adat dengan peruntukannya, apakah untuk bekerja, untuk bergotong-royong atau malah untuk bersembahyang, umat umumnya tahu busana seperti apa yang dikenakannya.

Sabtu, 09 Februari 2019

Hari Kasih Sayang dalam Hindu

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
PEKAN depan, tepatnya pada 14 Februari 2019, sudah dipastikan akan menjadi hari yang heboh untuk kalangan remaja di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Itu adalah Hari Valentine yang di dunia barat dikenal sebagai Valentine Day. Sebuah hari di mana para kekasih yang sedang dimabuk cinta saling memberikan kado atau hadiah istimewa. Umumnya berupa karangan bunga. Valentine Day lebih dekat dengan umat Kristiani karena melibatkan gereja sebagai tempat kegiatan perayaan.

Sabtu, 02 Februari 2019

Bertobat dan Makin Dekat PadaNya

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
RENUNGAN ini perlu diwacanakan terus-menerus dalam situasi politik yang dipenuhi dengan berbagai kebencian dan saling menjegal atau saling melaporkan. Pertentangan begitu tajam dan masalah pun sering berakhir di pengadilan, bukan lagi lewat perdamaian yang penuh musyawarah. Padahal pengadilan duniawi tak selamanya adil, bahkan sering terkesan sebagai ajang balas dendam.

Sabtu, 12 Januari 2019

Larangan Berkaitan Panca Wali Krama

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

PERLU disosialisasikan kepada umat Hindu di seluruh Bali. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali sudah menyelenggarakan paruman madya berkaitan dengan upacara besar Panca Wali Krama yang digelar di Pura Besakih pada 6 Maret 2019 mendatang. Ini upacara besar sepuluh tahun sekali, upacara penting untuk “menyucikan alam Bali” dan memohon kerahayuan jagat. Karena itu pantangannya pun sangat berat untuk penduduk Bali terutama berkaitan dengan upacara kematian, dalam hal ini ritual ngaben.

Sabtu, 05 Januari 2019

Pilih Kuningan atau Siwaratri

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

KEMBALI dua hari raya Hindu bertabrakan dalam satu hari. Pada hari Sabtu ini, dikenal sebagai Tumpek Kuningan, di mana umat Hindu merayakan sebuah hari sebagai penutup dari Hari Raya Galungan. Sementara itu pada Sabtu ini pula ada hari Siwaratri di mana umat Hindu merayakan “malam pemujaan Siwa” yang rangkaian ritualnya sudah dimulai sejak pagi. Maka timbul permasalahan, pilih mana yang harus dirayakan yang sesuai dengan konsep hari raya itu?

Sabtu, 29 Desember 2018

Menerima Waranugraha di Pemaridan Guru

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

HARI Sabtu Pon wuku Dungulan hari ini, jika dikaitkan dengan rangkaian Hari Raya Galungan disebut sebagai Pemaridan Guru. Pemaridan kata dasarnya adalah marid, ini sudah diserap ke dalam bahasa Bali. Marid berarti selesainya sebuah yadnya dan kita ngelungsur waranugraha. Bisa dalam bentuk non-phisik seperti keselamatan, kerahayuan, kesehatan, ketenangan dan hal-hal yang bersifat positif dari para leluhur yang sudah menyatu (amor) dengan Hyang Widhi. Namun waranugraha itu bisa saja secara phisik, misalnya, mengumpulkan makanan dan jajajan yang tadinya dipakai bahan persembahan.

Senin, 24 Desember 2018

Galungan Memperbaiki Moral

Mpu Jaya Prema

SELAMAT menyongsong (nyanggra) Hari Raya Galungan kepada seluruh umat Hindu di mana saja berada, baik yang merayakannya maupun yang tidak. Semoga dharma, kebenaran yang sejati, bisa singgah di hati kita semua. Semoga adharma, kegelapan pikiran akibat nafsu serakah, surut ke titik yang paling rendah.

Sabtu, 22 Desember 2018

Bersihkan Hati Sambut Hari Suci

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

RANGKAIAN Hari Raya Galungan kali ini tergolong istimewa. Orang selalu menyebutkan Galungan digandengkan dengan Hari Raya Kuningan, karena memang tak bisa dilepaskan. Ada kaitan di kedua hari raya itu. Uniknya kali ini, Galungan dan Kuningan dipisahkan oleh tahun masehi. Galungan pada tahun 2018 dan Kuningan pada tahun 2019.

Sabtu, 15 Desember 2018

Sehat Badan Saja Tak Cukup

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

ANDA sehat? Pertanyaan itu sering muncul di media sosial. Pertanyaan ini sesungguhnya bukanlah betul-betul menanyakan kesehatan seseorang, tetapi lebih banyak menyindir. Mungkin orang yang ditanya itu menulis kata-kata yang cenderung tidak sehat. Misalnya nyinyir. Atau suka menulis hal-hal yang tidak pantas dikatakan. Sehingga orang pun bereaksi dengan menanyakan kesehatannya. Yang sejatinya ditanya bukan sehat badan dan raga, tetapi pikirannya, sehat atau tidak?

Sabtu, 29 September 2018

Karma Phala Bukan Produk Budaya

Oleh Mpu Jaya Prema


BANYAK orang yang dengan gampangnya menyebutkan istilah karma. Dan itu pun disebut dengan sebuah kata saja, tanpa ada embel-embel apa pun. Misalnya, ketika seorang pejabat penting tiba-tiba kena operasi tangkap tangan oleh KPK maka orang segera menghujat: karma tak akan bisa dihindari. Atau seseorang melakukan fitnah dan kebohongan maka orang akan memberikan komentar: awas karma.

Senin, 23 Mei 2011

Jika Griya Berbisnis Banten

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda


(Tulisan ini dimuat Majalah Hindu Raditya edisi Mei 2011)


Pertanyaan pertama yang diajukan oleh warga dadya di mana saya meminta dukungan untuk meningkatkan kesucian diri dengan menjadi Sulinggih (pendeta Hindu) adalah apa tujuan yang ingin dicapai? Jawaban saya spontan saja: ingin mengabdi pada umat dan menjadi pelayan umat, mengabdi kepada Bethara Kawitan, mengabdi dalam dunia spiritual dan tentu saja untuk penyucian diri.

Pertanyaan seperti ini ternyata terus muncul pada tahap-tahap berikutnya, ketika menentukan Guru Nabe, ketika diperiksa masalah administrasinya oleh Parisada, ketika Diksa Pariksa yang dilakukan oleh pesemetonan kawitan. Bahkan pertanyaan itu nampaknya menjadi pertanyaan wajib untuk semua orang yang ingin meningkatkan dirinya menjadi Sulinggih lewat upacara Diksa. Jawaban saya -- dan begitu pula jawaban orang lain yang pernah saya dengar -- tetap sama, meski pun dengan berbagai bunga-bunga dan kembang-kembang supaya kelihatan lebih meyakinkan dan mungkin juga lebih seram.

Tapi apakah kenyataannya semua Sulinggih melaksanakan apa yang telah dikatakan sebagai “jawaban atas pertanyaan” itu? Kenapa ada griya yang berbisnis banten, bukankah seorang pendeta tak boleh berjualan, tan wenang adol atuku? Bahkan ada griya yang sudah memposisikan diri sebagai “pabrik banten” dengan mempekerjakan tenaga-tanaga upahan (karyawan).

Fenomena ini tak bisa ditutup-tutupi karena sudah terang benderang. Bahkan beberapa griya sudah menerapkan tabel banten, Untuk upacara ini sekian juta, untuk upacara itu sekian juta. Sampai-sampai ada tabel: daksina linggih harganya sekian ribu, banten prayascita sekian ribu. Mirip super market. Kalau begitu kenapa harus menjadi Sulinggih, kenapa tidak menjadi makelar banten saja?

Di perguruan kami, sangat ketat larangan untuk menjual banten itu. Bahkan dibujuk bagaimana pun oleh umat, tetap tak bisa melayani penjualan banten. Ada cara untuk menyiasati hal itu, yakni dengan menghubungkan umat yang akan melakukan yadnya dengan tukang banten yang memang profesinya menjual banten. Umat yang beryadnya akhirnya berhubungan dengan tukang banten, dan pilihan tukang banten yang dituju diberikan alternatif, bukan cuma satu. Kalau terjadi tawar-menawar, lakukan di sana, bukan tawar-menawar di griya karena griya bukan supermarket banten. Griya adalah tempat memberikan pencerahan kepada umat, tempat bertanya dan menuntun umat dalam kegelapan di bidang agama.

Memang harus diakui, dalam era globalisasi sekarang ini ada proses tertentu yang membuat tak semua orang bisa membuat banten dan mau membuat banten sendiri untuk keperluan ritualnya. Mereka lebih praktis membeli. Tetapi mari tempatkan “sesana kewikon”, janganlah seorang wiku atau sulinggih atau pendeta yang menjual banten, nanti malah upacara yang mestinya kecil dibuat besar supaya bantennya lebih banyak laku.. Begitu seorang sulinggih menjanjikan menjual banten, maka di otaknya sudah ada pikiran tentang berapa keuntungan. Bisa jadi, ia akan berhitung melulu, berapa sekarang harga telur, berapa harga kelapa, berapa harga janur. Kalau itu yang dipikirkan, bagaimana memikirkan kesucian diri, dan kalau dirinya tidak suci bagaimana melaksanakan yadnya yang suci?

Sulinggih adalah pelayan umat. Suatu kali seseorang datang ke sulinggih, minta dibuatkan kajang (perlengkapan pitra yadnya). Ini memang harus dikerjakan sulinggih karena menyangkut kesucian, misalnya, merajah dan sebagainya. Tetapi sulinggih tak berhak menentukan berapa harga kajang itu. Terserah berapa “punia” yang diberikan umat.

Ada contoh menarik dalam hal ini. Seseorang meminta kajang ke sulinggih yang akan muput. Selesai kajang itu, umat memberi uang Rp 50 ribu. Si pemberi merasa uang itu sudah banyak. Sulinggih menerima begitu saja dengan tersenyum, karena memang tugasnya melayani umat. Padahal apa arti uang Rp 50 ribu? Bahan yang dibutuhkan delapan meter kain putih, dua spidol anti air (agar tak melobor jika kena tirtha), dan butuh sehari semalam untuk menggambar dan membuat rerajahan. Umat tak tahu kerepotan dan berapa bahan yang dihabiskan, jadi belum tentu pelit. Namun sang sulinggih tak etis menyebutkan berapa uang yang dihabiskan untuk membuat kajang. Seorang sulinggih yakin, pengorbanannya dalam melayani umat, akan dibalas berlebihan oleh Hyang Widhi, barangkali di kesempatan lain ada umat me-”resi yadnya” lebih banyak.

Suatu kali ada wartawan -- teman lama -- yang bertanya pada saya: kalau tak menjual banten, tak mengejar “proyek muput” dan hanya menunggu yang datang, dari mana memperoleh penghasilan? Jawab saya: “Saya menjadi sulinggih bukan untuk mencari penghasilan, bukan untuk memperoleh kekayaan. Kalau mau penghasilan besar dan kaya, lebih baik menjadi pedagang atau meneruskan karir wartawan dan politik. Untuk apa menjadi sulinggih kalau yang dipikirkan masih materi?” Artinya, menjadi sulinggih bukan untuk mencari pekerjaan baru, bukan untuk job.

Karena itu seorang sulinggih seharusnya punya “tabungan” untuk mengisi hari-harinya melayani umat. Tabungan tak harus materi, bisa berupa anak yang sudah punya pekerjaan mapan dan mendukung sepenuhnya griya yang diasuh sulinggih.

Ya, sulinggih adalah manusia. Seperti halnya pemimpin ada yang korupsi, tokoh agama ada yang berbuat onar, bisa jadi ada sulinggih yang masih memanfaatkan kesulinggihannya untuk menimbun materi. Tapi itu tak banyak, jauh lebih banyak sulinggih yang memegang “sesana kewikon”.

Jumat, 11 Maret 2011

Menyoroti Perda RTRW Bali tentang Kawasan Suci

Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Perda RTRW Bali 2009 memiliki 19 bab serta 153 pasal. Perda ini mengatur banyak hal, dari hal-hal yang berada di bawah tanah (sumber mata air dan tambang, misalnya) sampai di atas tanah bahkan di awang-awang (soal tower dan penerbangan pesawat). Namanya saja mengatur soal ruang, tak ada ruang yang tak diatur sampai alam bawah tanah yang sejatinya tak ada ruangnya juga diatur.
Begitu luas cakupan perda ini, dari hutan lindung sampai terminal bus, dari laut sampai gunung, begitu rinci, termasuk mengatur masalah kendaraan bermotor dalam kaitan dengan kepadatan lalu lintas.

Tapi, yang jadi polemik hanyalah sebagian kecil saja, yaitu menyangkut kawasan suci pura. Dengan energi yang demikian besar memperbincangkan hal ini, seolah-olah isi perda hanya mengatur masalah kawasan suci pura. Apalagi Bhisama PHDI Pusat dijadikan landasan.

Kenapa ini jadi polemik? Karena kita terjebak pada kata-kata suci. Mendengar kata suci kita seperti emosional, karena kata itu begitu bertuah dan harus kita bela mati-matian. Siapa yang mempermasalahkan kata suci ini seolah-olah menjadi tidak suci. Dan lawan suci adalah kotor.

Apa sebenarnya kesucian itu? Kalau dalam ajaran Hindu semua alam ciptaan Tuhan ini adalah suci. Dari laut sampai ke puncak gunung suci. Tanah sebagai ibu pertiwi adalah suci. Bahkan dalam perda pun sudah dijelaskan secara gamblang mengenai kesucian itu. Dari laut, pantai, campuhan, danau, mata air, gunung semuanya suci

Dalam Perda, kesucian dipilah-pilah menurut tempat dan fungsinya. Ada kawasan suci di gunung (pasal 44 ayat 2 huruf.a.), mencakup kawasan dengan kemiringan sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) derajat dari lereng kaki gunung menuju ke puncak gunung. Kawasan suci danau (pasal 44.2 b), Batur, Beratan, Buyan, Tamblingan. Kawasan suci campuhan, di mana ada campuhan diseluruh Bali. (ps 44.c). Kawasan suci pantai (ps 44.2 d). Kawasan suci laut (ps 44. 2 e). Kawasan suci mata air (ps 44.2 f)

Selain kawasan suci ada lagi kawasan tempat suci, dan ini mengacu ke Bhisama PHDI Pusat. Ini dituangkan dalam Pasal 50 (2) yang melengkapi pasal 44.1 b sebelumnya. Rinciannya, kawasan tempat suci di sekitar Pura Sad Kahyangan dengan radius sekurang kurangnya apeneleng agung setara 5.000 (lima ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura. Kawasan tempat suci di sekitar Pura Dang Kahyangan dengan radius sekurangkurangnya apeneleng alit setara dengan 2.000 (dua ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura. Kawasan tempat suci di sekitar Pura Kahyangan Tiga dan pura lainnya, dengan radius sekurang-kurangnya Apenimpug atau Apenyengker.

Penetapan status Pura-pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan dilakukan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari PHDI Bali dan MUDP. Pura Sad Kahyangan ada 10 buah, Pura Dang Kahyangan 252 buah dan ribuan pura Tri Kahyangan. Sebaran lokasi radius kesucian kawasan Pura Sad Kahyangan didasarkan pada konsepsi Rwa Bhineda, Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, mencakup:
1. Pura Lempuyang Luhur (Puncak Gunung Lempuyang di Kabupaten Karangasem).
2. Pura Andakasa (Puncak Gunung Andakasa di Kabupaten Karangasem).
3. Pura Batukaru (lereng gunung Batukaru di Kabupaten Tabanan).
4. Pura Batur (tepi kawah Gunung Batur di Kabupaten Bangli).
5. Pura Goa Lawah (di Kabupaten Klungkung).
6. Pura Luhur Uluwatu (Bukit Pecatu di Kabupaten Badung).
7. Pura Pucak Mangu (di Kabupaten Badung).
8. Pura Agung Besakih (lereng Gunung Agung di Kabupaten Karangasem).
9. Pura Pusering Jagat (Pejeng di Kabupaten Gianyar).
10. Pura Kentel Gumi (di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung).

Dalam penjelasan Perda ini, yang dimaksud kawasan tempat suci adalah kawasan di sekitar tempat suci/bangunan suci yang ada di Bali yang disebut Pura atau Kahyangan yang berwujud bangunan yang disakralkan sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, terdiri dari Kahyangan Tiga, Dhang Kahyangan, Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan dan pura lainnya.

Bhisama Parisadha Hindu Dharma Indonesia mengenai Kesucian Pura Nomor 11/Kep/I/PHDI/1994 tertanggal 25 Januari 1994, menyatakan bahwa tempat-tempat suci tersebut memiliki radius kesucian yang disebut daerah Kekeran, dengan ukuran Apeneleng, Apenimpug, dan Apenyengker.

Bhisama ini mengatur pemanfaatan ruang di sekitar pura yang berbunyi sebagai berikut. Di daerah radius kesucian pura (daerah Kekeran) hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan keagamaan Hindu, misalnya didirikan Darmasala, Pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan (misalnya Tirtayatra, Dharmawacana, Dharmagitha, Dharmasadana dan lain-lain). Artinya, dalam radius kesucian pura hanya diperbolehkan untuk: pembangunan fasilitas keagamaan, dan ruang terbuka yang dapat berupa ruang terbuka hijau maupun budidaya pertanian.

Kalau mengacu kepada ketentuan ini, dari kawasan tempat suci yang bernama Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan, tercatat 35 % dari luas Pulau Bali yang hanya 563.666 Ha. Ditambah lagi Tri Kahyangan, prosentase itu akan bertambah besar. Nah, bagaimana kalau kemudian dihitung kawasan suci gunung, danau, campuhan, mata air dan sebagainya. Maka, seluruh tanah Bali ini tak ada tersisa, dan semuanya suci. Ini sebenarnya pas betul dengan konsep ajaran Hindu bahwa semua tanah itu (ibu pertiwi) adalah suci.

Muncul pertanyaan, apakah kesucian itu berkaitan dengan suci dalam pengertian ritual keagamaan? Suci yang menjadi lawan dari kotor, dan kotor dalam pengertian yang lebih khusus lagi: leteh, cuntaka, dan seterusnya. Yang kemudian kekotoran ini harus dibuatkan pembersihan. Tidak ada kaitannya sama sekali. Karena pura itu sendiri sudah punya aturan, yang mana suci, yang mana setengah suci, yang mana kotor.

Pura punya mandala, ada utama mandala atau disebut jeroan, ada madya mandala, ada nistha mandala. Itu kalau pura dalam bentuk Trimandala, kalau Dwi Mandala hanya ada Utama Mandala dan Nistha Mandala. Kesucian yang tertinggi itu ada di Utama Mandala, di Madya Mandala vibrasi kesuciannya sudah memudar. Itu sebabnya kalau ada piodalan, umumnya orang mebhakti dan nunas tirtha di Utama Mandala. Kalau tirtha sampai dibawa ke madya Mandala karena melewati kori (apakah itu kori agung atau kori gelung) vibrasinya sudah memudar. Kalau terpaksa, pemangku yang membawa pura itu harus mngucapkan mantram pengurip tirtha lagi. Namun umumnya, tirtha tak sampai di bawa ke madya mandala. Kita bisa saksikan di pura seperti Uluwatu, Sakenan, Gelgel, dan banyak lagi, pemedek yang mebhakti dan nunas wasuh pada Ida Bethara semuanya di jeroan. Jika saja vibrasi kesucian itu sama antara utama mandala dan madya mandala, apalagi sama dengan nista mandala, untuk apa orang berdesak-desakan dan ngantre sampai pingsan mebhakti di Sakenan atau Gelgel. Atau di Uluwatu sampai diberlakukan sistem karcis. Kan tinggal membawa saja tirtha itu ke luar jeroan.

Inilah kesucian dalam hubungan ritual. Adapun kawasan tempat suci yang dimaksudkan bhisama yang diadopsi oleh Perda ini, menurut saya, adalah wilayah kekeran pura yang ideal. Apa itu kekeran pura? Kekeran, keker, itu artinya kita sudah bisa melihat pura itu dari tempat kita berada. Seorang pemedek yang datang ke sebuah pura, diharapkan sudah membawa pikiran yang suci ketika sudah melihat wujud phisik pura itu. Dengan pikiran yang sudah distel ke arah kesucian maka sampai di pura apalagi di jeroan tinggal menyempurnakan kesucian itu. Inilah konsep leluhur kita di masa lalu dalam memilih lokasi pura yang diperuntukan umat secara umum (Kahyangan Jagat), sengaja diadakan area kekeran dan luasnya menyesuaikan dengan pura itu sendiri.
Tidak bisa hal ini diseragamkan. Adapun pura Tri Kahyangan karena letaknya di dalam pemukiman desa (Tri Kahyangan adalah syarat dari pembentukan desa adat, jadi memang di pemukiman atau diwilayah desa adat itu sendiri) tidak diperlukan wilayah kekeran. Cukup apenyengker (batas tembok pura).

Oleh pengempon pura atau penduduk terdekat di tempat pura itu, kekeran bisa diwujudkan dengan menanam pepohonan, jika wilayah kekeran itu sangat luas. Maka muncul kemudian istilah alas kekeran. Di banyak tempat wilayah kekeran ini dimasukkan dalam awig-awig untuk dijaga kelestariannya. Saya memakai kata lestari dan bukan suci, karena memang dalam konsep mebhakti ke pura, ini belum tempat suci. Bagaimana disebut suci, nistha mandala pura saja belum ada, masih jauh kesucian itu.

Kejanggalan Bhisama PHDI

Saya mau cerita latar belakang bhisama ini, sepanjang yang saya ikuti. Mahasabha PHDI VI yang diadakan di TMII Jakarta diwarnai oleh kasus yang mencuat di Bali akibat akan dibangunnya Bali Nirwana Resort di kawasan Tanah Lot. Penentangan proyek itu terjadi di Bali. Lalu dalam Mahasabha ini keluar Keputusan Maha Sabha PHDI No. I/TAP/M. SABHA/1991 Tentang Tata Keagamaan.

Bagian II ketetapan ini bertajuk Tempat Suci Ibadah. Dalam huruf 2.a berbunyi: PHDI Pusat hendaknya mengeluarkan peraturan atau ketentuan tentang Tata Keagamaan terutama mengenai sila sesana atau aturan-aturan di dalam menjaga kesucian tempat sembahyang.

Huruf 2.b berbunyi: Asta Kosala, Asta Kosali, Asta Dewa, Asta Gumi serta ketentuan yang ada pada satu daerah dijadikan dasar untuk membuat bangunan tempat pemujaan dengan segala perlengkapannya.

Keputusan inilah, antara lain, mendasari dirancangnya Bhisama Kesucian Pura. Sejak itu lalu diadakan diskusi-diskusi. Pura harus dibuat kawasan suci yang mengacu kepada Asta Kosala Kosali, Asta Dewa dan Aasta Gumi seperti huruf 2.b di atas.

Ide bhisama itu pun mengacu kepala wilayah kekeran. Bagaimana mengukur wilayah kekeran itu? Dalam diskusi awal yang diadakan para Sulinggih yang tergabung dalam Paruman Sulinggih (kini nama itu sudah menjadi Sabha Pandita), ditemukan 3 istilah, yakni: apeneleng, apenimpug dan apenyengker.

Apeneleng adalah wilayah yang bisa diteleng (dilihat) dari pura, artinya dalam batas mana kita bisa memandang dari pura sehingga yang dipandang bisa kita ketahui wujudnya. Ini untuk pura Kahyangan Jagat (kelompok ini dibagi dua: Sad Kahyangan dan Dhang Kahyangan). Apenimpug adalah wilayah yang bisa diukur sejauh seseorang bisa melemparkan sesuatu dari pura. Ini agak sulit batasannya, karena tergantung sesuatu itu dan siapa yang melempar. Tapi umumnya tak jauh amat, karena sesuatu itu dipastikan alat-alat upacara. Ini untuk pura yang umumnya ada di lereng gunung, yang tak ada penyengkernya. Umumnya pura berbentuk bebaturan, di lereng Gunung Batukaru banyak ada; Pura Turus Gunung, Pura Gunung Tengah, Pura Geria, Pura Kamoksan, dllnya. Terakhir: apenyengker, ini paling jelas ukurannya karena sudah dinyatakan dengan membangun tembok pura. Pura Tri Kahyangan semuanya ber-penyengker.

Pada saat bhisama digodok saya mengikuti selintas dalam status saya sebagai wartawan dan orang yang peduli sama perkembangan Hindu. Tapi menjelang bhisama lahir di UNHI (Januari 1994), saya kembali lagi ke Jakarta karena disibukkan sebagai Ketua Forum Cendekiawan Hindu Indonesia yang akan mengadakan proyek besar kerja sama dengan ICMI, PIKI, KCBI dan ISKI. Apalagi kemudian ada musibah, dibredelnya Majalah Tempo tempat saya bekerja, saya harus menyelamatkan banyak teman-teman karyawan. Jadi perhatian saya lepas sama sekali dari kelahiran bhisama itu.

Setelah beberapa tahun kemudian baru saya sadar, kenapa bhisama yang kemudian disebut Bhisama Kesucian Pura (bukan bhisama wilayah kekeran – salah satu ide sebelumnya) istilah apeneleng, apenimpug dan apenyengker itu diberi penjelasan dalam kurung dengan ukuran eksakta. Bahkan apeneleng dibagi dua: apeneleng agung dan apeneleng alit. Apa yang membedakan kedua jenis apeneleng itu, apakah apeneleng agung memakai keker (teropong) dan sebagainya. Kita tahu dalam bhisama apeneleng agung diberi dalam kurung 5 km untuk jarak Sad Kahyangan, apeneleng alit jarak 2 km untuk Dhang Kahyangan, apenimpug jarak 25 meter.

Ini agak janggal, karena itu perlu dipertanyakan agar umat paham dan jelas. Keputusan PHDI sebelumnya jelas menyebutkan dasar kesucian itu didasarkan pada Asta Kosala Kosali, Asa Gumi dan sebagainya. Asta Kosala Kosali tak mengenal ukuran eksak, centimeter, meter, kilometer. Atapak tangan ngandang, atapak pada…. Ajari, alangkat, asiku, adepa, dan seterusnya. Ini untuk membuat bangunan dan pemelahan bangunan. Untuk kawasan memakai Asta Gumi, pun dalam Asta Bumi tak ada ukuran kilometer dan sebagainya. Untuk ukuran kawasan ada apeneleng. Ini warisan leluhur kita yang patut dilestarikan karena memiliki konsep, setiap apapun yang dibangun haruslah menyesuaikan dengan siapa yang akan menggunakan bangunan itu.

Lalu dari mana datangnya apeneleng itu menjadi 5 km? Apeneleng disamakan dengan jarak tertentu, menurut saya salah besar. Dari arti kata saja sudah tak tepat.
Apeneleng itu artinya batas jarak pandang kita pada suatu obyek dari pura. Kalau kita sudah dibatasi oleh pandangan dan sesuatu itu sudah di luar batas pandang (tak bisa diteleng), maka itu sudah di luar apeneleng. Contoh yang pernah saya dapatkan; Pura Pulaki, dibangun di pilah-pilah tebing. Jika kita berada di pura, batas pandang kita dibatasi oleh tebing sekelilingnya. Wilayah di balik tebing itu, tak bisa diteleng. Jadi, Dodik Gerokgak yang jaraknya kurang dari 200 meter dari Pura Pulaki di luar kawasan kekeran atau dalam istilah bhisama di luar wilayah apeneleng. Kalau sekarang menurut bhisama, Dodik itu harus “ditertibkan” karena Pulaki termasuk Dang Kahyangan yang wilayah kesuciannya harus 2 km.

Contoh lain, Pura Goa Gajah. Dari komplek pura, kita tak bisa meneleng tempat parkir di atas dengan segala kesibukannya. Jadi tak ada pengaruhnya, kecuali masalah keamanan/ketahanan pura, tempat parkir dipindah menjauh. Tapi tidak sejauh 2 km. Nah, ini kan sudah beda sekali antara apeneleng tanpa unsur jarak dan apeneleng memakai unsur jarak.

Konsep menambah aturan jarak untuk apaneleng ini patut dipertanyakan kepada para penyusun bhisama. Mumpung ada Pansus RTRW, supaya ada tugasnya, cobalah ini ditanya. Mungkin benar aturan jarak itu sudah dengan pertimbangan matang, sudah berdasar sastra, sudah didiskusikan panjang lebar, tapi apa dasarnya, jelaskan dengan tuntas. Yang saya khawatirkan, tapi saya tak boleh menuduh, jarak 5 km dan 2 km ini ditambahkan belakangan di luar Paruman Sulinggih, apalagi bhisama itu ditandatangi oleh Pengurus PHDI Pusat, bukan oleh Paruman Sulinggih.

Ini mungkin terjadi –sekali lagi mungkin, tapi belum tentu, karena itu perlu diselidiki—karena PHDI saat itu masih didominasi oleh para walaka. Paruman Sulinggih bisa disetir oleh pengurus harian, meskipun pengurus hariannya dipimpin oleh pandita. AD-ART PHDI yang berlaku saat itu, Pasal 12 menyebutkan: Paruman Sulinggih diangkat oleh pengurus pusat dan pasal 15 menyebutkan: Hasil musyawarah Pesamuan Sulinggih disampaikan kepada Pengurus Pusat untuk selanjutnya diumumkan dalam bentuk keputusan Parisada Pusat. Jumlah Paruman Sulinggih hanya 11 orang.

Karena itu bhisama yang digodok Pesamuan Sulinggih harus disampaikan ke pengurus pusat dan kita lihat Bhisama Kesucian Pura ini bukan bhisama Pesamuan Sulinggih tetapi Bhisama PHDI Pusat. Yang menandatangani Ketua Umum dan Sekjen yang walaka. Apakah dalam perjalanan bhisama ini dari sulinggih ke pengurus pusat ada koreksi dan penambahan jarak 5 km danb 2 km itu, saya tak tahu, tapi bisa kita lacak.
Pada Mahasabha PHDI setelah itu, yakni 1996 yang diadakan di Solo, ketika itu saya sudah jadi peserta aktif, struktur PHDI mengalami perubahan sedikit. Mulai diperkenalkan Sabha Pandita pengganti Paruman Sulinggih dan Sabha Pandita berjumlah 33 orang dipilih dan diangkat oleh Mahasabha. Jadi kedudukannya tinggi sekali, tapi selama kepengurusan ini – yang memang ada masalah saat pembentukannya – tak ada melahirkan bhisama.

Sampailah pada Mahasabha PHDI 2001 di Hotel Radisson Bali yang dikenal dengan reformasi PHDI. Di sana dikukuhkan bahwa organ tertinggi di PHDI itu adalah Sabha Pandita yang dipimpin oleh Dharma Adyaksa. Pengurus PHDI hanya mengurusi masalah administrasi. Kepengurusan ini paling banyak menghasilkan bhisama. Pada tahun 2002 di Pesamuan Agung Mataram lahir bhisama dana punia, bhisama catur warna dan bhisama sadhaka. Pada 2005 lahir bhisama soal pediksan. Semua bhisama itu ditandatangani Dharma Adhyaksa dan wakilnya, karena memang sejak awal digodok Sabha Pandita. Sabha Walaka hanya memberikan masukan.

Mahasabha PHDI 2006 di Jakarta tak ada perubahan. Kepengurusan ini akan segera berakhir tahun ini dan Mahasabha 2011 akan digelar lagi di Bali.

Nah, Bhisama Kesucian Pura tahun 1994 itu tentu terbuka kemungkinan (meskipun ini baru dugaan yang harus ditelusuri), hasil Pesamuhan Sulinggih mendapat koreksi atau apalah namanya oleh Pengurus Harian.

Kalau misalnya Pansus RTRW menemukan kejanggalan dalam bhisama kesucian pura, seperti yang saya rasakan, ini kesempatan berharga untuk dibawa ke Mahasabha PHDI di Bali, beberapa bulan lagi.

Kejanggalan Perda terkait Bhisama
Sekarang saya cerita kejanggalan Perda RTRW ini terkait bhisama kesucian pura yang dijadikan acuan. Terutama dalam menentukan apa itu Sad Kahyangan.
Pasal 50 ayat 3 berbunyi: Penetapan status Pura-pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan dilakukan oleh Gubernur setelah mendapat rekomendasi dari PHDI Bali dan MUDP.

Pasal 83
(1) Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan sosial budaya Bali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf c, mencakup:
a. kawasan radius kesucian Pura Sad Kahyangan berdasarkan konsepsi Rwa Bhineda, Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, mencakup: Pura Lempuyang Luhur (Puncak Gunung Lempuyang di Kabupaten Karangasem), Pura Andakasa (Puncak Gunung Andakasa di Kabupaten Karangasem), Pura Batukaru (lereng gunung Batukaru di Kabupaten Tabanan), Pura Batur (tepi kawah Gunung Batur di Kabupaten Bangli), Pura Goa Lawah (di Kabupaten Klungkung), Pura Luhur Uluwatu (Bukit Pecatu di Kabupaten Badung), Pura Pucak Mangu (di Kabupaten Badung), Pura Agung Besakih (lereng Gunung Agung di Kabupaten Karangasem), Pura Pusering Jagat (Pejeng di Kabupaten Gianyar), Pura Kentel Gumi (di Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung); dan

b. kawasan warisan budaya, terdiri dari: kawasan Warisan Budaya Jatiluwih, Kawasan Warisan Budaya Taman Ayun, dan Kawasan DAS Tukad Pekerisan.

Kejanggalannya:
Bhisama PHDI Pusat 1994 itu tak ada mengatur Sad Kahyangan berdasarkan konsep Rwa Bhineda, Tri Guna, Catur Lokapala, Sad Winayaka/Padma Bhuana, Dari mana Perda ini dapat masukan konsep itu? Kalau melihat pasal 50 ayat 3 di atas, logikanya masukan konsep itu dari PHDI Bali dan MUDP. Pertanyaannya, kapan rekomendasi itu diberikan dan apa dasar rekomendasi PHDI Bali dan/atau keputusan MUDP Bali? Ini perlu dijelaskan agar masyarakat terang benderang.

Padahal penggolongan Sad Kahyangan sudah ditetapkan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek2 Agama Hindu. Seminar ini dihadiri para sulinggih dan pemuka agama Hindu, saya siang malam meliputnya sebagai wartawan. Dalam keputusan seminar ini jelas disebutkan landasan dasar Kahyangan Jagat yang digolongkan Sad Kahyangan adalah:
1. Landasan filosofis: Konsep Sad Winayaka menurut lontar Dewa Purana Bangsul.
2. Landasan Historis: sudah ada sebelum kedatangan Gajah Mada ke Bali tahun 1343 Masehi.

Berdasarkan landasan ini Sad Kahyangan itu adalah Pura Besakih, Pura Lempuyang Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, Pura Pusering Jagat. Betul-betul enam, tak ada Sad berarti sepuluh.

Jadi, Pura Andakasa, Pura Puncak Mangu, Pura Batur, dan Pura Kentel Gumi, tidak tergolong Sad Kahyangan menurut hasil Seminar Kesatuan Tafir itu. Kalau mengikuti konsep Padma Bhuwana maupun Catur Lokapala (tapi ini bukan keputusan seminar) barulah Andakasa dan Puncak Mangu masuk. Sedangkan Pura Batur masuk dalam konsep Rwa Bhineda sebagai Pradhana dari Besakih yang berstatus Purusha.

Karena Perda ini produk hukum, jangan rancu antara Kahyangan Jagat dengan Sad Kahyangan seperti masyarakat umumnya. Kahyangan Jagat menganut konsep Rwa Bhineda, Catur Lokapala dan Sad Winayaka, sedang Sad Kahyangan hanya memakai konsep Sad Winayaka ditambah landasan historis tadi.

Ini biar jelas, karena masyarakat kian kritis, nanti anak-anak bertanya: lo katanya sad itu artinya enam, dalam perda ini kok sad kahyangan menjadi sepuluh kahyangan, kenapa tak disebut Dasa Kahyangan. Lagi pula kita menghormati Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir. Kecuali memang diubah oleh keputusan lembaga yang sama kuatnya.

***
Akhirnya, sekarang kita berasumsi bahwa jarak-jarak itu sudah benar dan Sad Kahyangan itu pun benar ada 10 kahyangan, lalu bhisama harus ditegakkan. Menurut saya kita pun tak perlu ribut, demo sana demo sini, kita perlu duduk bersama antara yang pro dan kontra Perda ini.

Pasal penutup Perda ini (Pasal 153) berbunyi; Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Kemudian pada akhir Perda tercantum: Diundangkan di Denpasar pada tanggal 28 Desember 2009. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI BALI, I NYOMAN YASA.

Kalau pasal ini kita pakai, maka persoalan sebenarnya tak begitu ruwet. Pelabuhan Padangbai tak harus dipindahkan, Penelokan tak harus digusur, warga di Pejeng dan Banjarangkan tak harus resah. Saya tak tahu bagaimana dengan Pecatu, berapa banyak bangunan yang didirikan setelah tahun 2009 itu.

Namun, Perda ini juga menyimpan pasal yang sedikit bertentangan, yakni pada BAB XVIII. KETENTUAN PERALIHAN Pasal 150. Isinya:
(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang harus segera disesuaikan dengan rencana tata ruang melalui kegiatan penyesuaian pemanfaatan ruang berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2) Untuk pemanfaatan ruang yang izinnya diterbitkan sebelum penetapan rencana tata ruang dan dapat dibuktikan bahwa izin tersebut diperoleh sesuai dengan prosedur yang benar, kepada pemegang izin diberikan penggantian yang layak.

Kalau pasal 150 (1) ini yang diikuti, ada kata “harus” di sana, maka semua bangunan (pemanfaatan ruang) yang tak sesuai Perda harus disesuaikan. Kata “harus” menegaskan bahwa ada penataan, sementara kata “penyesuaian” masih bisa dirembugkan. Kalau di wilayah kesucian pura itu berdiri hotel, villa atau penginapan, kan pemiliknya tinggal menyesuaikan dengan memberi pengumuman; “Para tamu dilarang melakukan perbuatan yang menodai ajaran agama Hindu seperti : ini…ini…ini.” Kalau kita sering melancong ke daerah lain, banyak hotel yang mencantumkan peringatan ini. Tak perlu rebut-ribut buang energi, apalagi mempermasalahnya nama hotel, villa, darmasala dan sebagainya. Tak semua hotel dipakai untuk mesum, dan tak semua rumah-rumah penduduk di sekitar pura bebas dari perselingkuhan.

Atau kalau bangunan itu tak bisa “disesuaikan”, ya, serahkan ke pemerintah dan minta ganti rugi yang layak, sebagai mana diatur padal 150 (2). Bahkan sebelumnya di BAB XII HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT pada Pasal 138 c. disebutkan, masyarakat berhak memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;

Catat itu, pergantian yang layak. Rakyat jangan dikorbankan, kalau pemerintah tak punya uang ganti rugi yang layak, ya sudahlah, Perda tak bisa dijalankan. Penataan Candi Borobudur-Parmbanan bisa dijadikan teladan di sini.

Jadi, kenapa kita ribut-ribut membuang energi? Bagi saya, yang diributkan saat ini persoalan yang kecil jika kita melihat cakupan Perda yang begitu luas. Saya terbatas menyoroti dari sosial budaya – sesuai permintaan panitia. Dasar pembuatan Perda ini sudah menyebutkan begini:

Dalam konteks nasional, Bali merupakan sebuah pulau kecil yang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah, namun memiliki keunggulan komparatif dari segi keunikan budaya dan keindahan alam, yang merupakan modal dasar bagi Bali dalam menyelenggarakan pembangunan wilayahnya. Keunikan budaya dan alam tersebut telah menempatkan Bali sebagai salah satu destinasi wisata terkemuka di Indonesia dan Dunia dan dinyatakan sebagai pulau terindah di dunia.

Menjaga keindahan Bali ini tak harus mengobok-obok bangunan wisata, bahkan bangunan wisata itu kalau ditata dengan baik, memperkuat keindahan. Tapi bagaimana dengan keunikan? Kenapa ini tidak menjadi prioritas dan malah terkesan dinomor sekiankan. Banyaknya pendatang ke Bali menimbulkan masalah dalam keunikan, rumah-rumah bedeng bertebaran, budaya yang tak dikenal dalam keunikan Bali mulai datang. Pengemis di jalanan, pengamen dan pedagang acung di perempatan jalan, itu keunikan Jakarta yang tak cocok dengan keunikan Bali. Cobalah iseng lihat tulisan di warung pinggir jalan, ada ratusan warung yang sudah bertuliskan Warung Muslim. Di daerah lain dari Sabang sampai Merauke tak ada warung berlabel agama. Hanya di Bali ada Warung Muslim, sementara orang tahu, keunikan Bali adalah kuatnya agama Hindu dan simbul-simbul Hindu.

Saya pernah berdiskusi soal ini dengan tokoh Muslim, mereka pun risih, karena warung saja harus mencantumkan label agama. Harusnya cukup dengan tulisan “halal” atau kalau mau lebih jelas “tidak menjual makanan dari unsur babi”. Di Jakarta, pernah ada restoran bernama Bar Buddha, protes marak dan bar itu ditutup. Tapi di Bali, keunikan Bali digerogoti, dan orang Bali pada diam.

Pedagang kaki lima di Bali sudah memenuhi banyak tempat dan merusak keunikan Bali. Kenapa tak mencontoh Solo, ada penertiban sehingga keunikan Solo tetap bertahan.

Sepeda motor di Bali lebih banyak dari sepeda motor di Jawa Tengah yang terdiri dari 35 kabupaten. Keunikan dokar Bali sudah tergusur, padahal di Yogya sendiri keunikan andong itu dilestarikan. Perda ini mengatur soal lalu lintas, dari urusan terminal, transportasi antar kota dan sebagainya. Kenapa ini belum dilaksanakan dan tak ada yang mempermasalahkan. Jika transportasi umum diabaikan – dan itu pemerintah melanggar Perda – Bali suatu saat akan macet total oleh sepeda motor. Lihat saja tiap hari, ribuan sepeda motor masuk Bali. Tapi jangan salahkan penduduk. Kalau tak punya sepeda motor, mau pakai apa.

Banyak sekali yang semestinya sudah dikerjakan untuk memberlakukan Perda ini, kenapa urusan tanah rakyat di Pecatu yang selalu diobok-obok terus, seolah-olah pengempon pura Uluwatu sudah mulai mengotori kahyangannya sendiri, sementara kita yang mungkin setahun sekali ke sana teriak-teriak menyebut tak suci.

Mari kita berkepala dingin dan merajegkan Bali dengan tidak saling congkrah. Perda ini sudah sangat ideal, bahkan terlalu ideal sampai-sampai ada yang sangat mustahil untuk dilaksanakan, bukan hanya menyangkut kesucian pura versi bhisama, tetapi juga soal sosial budaya, soal lingkungan dan soal manusia Bali secara luas.

Sebagai penutup, ada baiknya kita statusquo sesaat, sambil memberi kesempatan Pansus bekerja siapa tahu ada yang memang diperbaiki, dan juga menunggu Mahasabha PHDI dalam beberapa bulan ini, siapa tahu masalah bhisama ini bisa dibahas lagi.

Sekian dan terimakasih.

Saran-saran
1. Beri kesempatan Pansus RTRW Bali bekerja dan beri tugas untuk menanyakan ke PHDI Pusat kenapa ada ukuran eksak di dalam bhisama, apa dasar hukumnya. Apakah ukuran itu sama untuk semua pura sejenis, tidakkah ada pertimbangan tentang pelemahan pura.
2. Ditanyakan pula, sebenarnya Sad Kahyangan itu enam pura sesuai Hasil Keputusan Seminar Tafsir atau 10 pura seperti dalam Perda. Kalau 10 pura, apa dasar hukumnya.
3. Pertanyaan 1 dan 2, bisa pula dibawa ke Mahasabha PHDI P yang akan digelar tahun ini di Bali, supaya dibahas oleh Sabha Pandita, mengingat bhisama tahun 1994 ini ditandatangani pengurus Parisada.
4. Jangan terburu-buru merevisi Perda, mengingat cakupannya begitu luas, lebih baik yang bermasalah seperti soal kawasan suci ini di-statusquo dulu, sampai ada kejelasan soal 1 dan 2. Selain itu, kalau kita taat hukum, revisi perda baru dibenarkan setelah 5 tahun berjalan. Tunggu saja saat itu.
5. Laksanakan Perda untuk hal-hal lainnya yang tidak bermasalah. Ide kawasan suci dalam Perda tentu sangat baik untuk Bali ke depan, cuma yang perlu dipertanyakan apakah jaraknya itu sudah patut dan seragam untuk semua pura, karena menyimpang dari konsep wilayah kekeran.

Biodata Penulis:
Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, nama walaka Putu Setia
1974-1978 Wartawan Bali Post, lebih banyak urusan agama dan kebudayaan.
1978-2006 Wartawan Tempo, pernah di Yogya dan lama di Jakarta
2006 pensiun dan persiapan mediksa pulang ke Bali, Diksa Dwijati 29 Agustus 2009

1991-1996 Ketua Umum Forum Cendekiawan Hindu Indonesia
2001-2003 Ketua Badan Penyiaran Hindu PHDI Pusat
2003-2007 Sabha Walaka PHDI Pusat, terakhir menjabat Wakil Ketua Sabha Walaka.
2009 Mengundurkan diri dari Sabha Walaka di Pesamuan Agung PHDI Denpasar karena sudah berstatus pandita.

Penulis buku trilogi soal budaya dan adat Bali: Menggugat Bali, Mendebat Bali, dan Bali yang Meradang. Menulis beberapa buku agama Hindu, selain buku sosial politik dan jurnalistik.


Sabtu, 25 Desember 2010

Diksa Pariksa PHDI: Apakah Berhak Tak Meluluskan Calon Pandita?

(Tulisan ini untuk urun rembug Pesamuan Agung MGPSSR 25 Desember 2010 yang dimuat Tabloid Suara Pasek)

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Pesamuan Agung Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) yang berlangsung 25-26 Desember 2010 ini membahas secara mendalam masalah diksa. Bagaimana pedoman diksa untuk kalangan warga Pasek, bagaimana persyaratan diksa, bagaimana menentukan Guru Nabe, semuanya akan dibahas secara mendalam. Sungguh materi yang sangat luas namun harus berhasil dirumuskan untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Ketentuan yang penting ini harus ada dasar hukumnya dan kemudian menjadi acuan dalam pelaksanaannya.


Saya tak ingin mengomentari masalah itu, biarlah hal ini menjadi perdebatan di antara Guru Nabe atau Pandita Mpu lain yang lebih senior dan punya wawasan yang luas, baik wawasan yang didapat dari penjelajahan tatwa maupun wawasan karena pengalaman sebagai pelayan umat di masyarakat. Saya menaruh hormat pada gagasan menyusun pedoman padiksan tersebut agar kelak bisa dipakai acuan bersama.

Saya hanya menyoroti satu hal kecil saja, ibarat sebutir pasir di sebuah lautan pasir. Mungkin hal ini tak ada artinya. Yakni, masalah keterlibatan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota/Kabupaten yang melakukan Diksa Pariksa terhadap calon sulinggih, dalam hal ini ketika calon sulinggih itu berstatus Ida Bhawati. Praktek di lapangan selama ini, Diksa Pariksa PHDI Kota/Kabupaten itu dilakukan dengan sistem ujian. Calon sulinggih diuji oleh pengurus PHDI atau yang ditunjuk. Calon sulinggih mendapat pertanyaan yang harus dijawab dan kemudian diberi nilai. Setelah semua pertanyaan dijawab, PHDI kemudian mengumpulkan nilai itu, lalu keluar keputusan; “Lulus”. Atau “Tak Lulus”.

Saya tak tahu, bagaimana kalau misalnya calon sulinggih itu “tak lulus”, apakah pediksan dibatalkan atau ditunda? Saya pernah mendengar selentingan -- tapi tak jelas di mana itu -- bahwa PHDI Kabupaten pernah tak meluluskan calon sulinggih, tetapi upacara pediksan tetap saja berlangsung karena banten dan rentetan upacara sudah disiapkan. Pertanyaannya, apa artinya kata “tak lulus”, lalu bukankah wibawa PHDI jadi dilecehkan karena tak ada arti apa-apa dari konsekwensi Diksa Pariksa itu?

Ketika saya menjalani Diksa Pariksa, tim dari PHDI Kabupaten Tabanan yang kebetulan tak ada warga Pasek (unsur warga Pasek seperti Wayan Tontra berhalangan), dalam hati kecil saya muncul pertanyaan: bagaimana kalau saya “dipermainkan” lalu dinyatakan tak lulus? Saya cuek saja, lulus atau tidak saya akan tetap mediksa. Alasan saya, apa yang dilakukan PHDI itu melanggar Bhisama PHDI Pusat. Syukurlah saya dinyatakan lulus dan ternyata ketua tim penguji itu -- Ida Pedanda dari Taman Sari, Tabanan-- adalah teman sekelas di sekolah menengah pertama.

Yang menarik, dalam pedoman Pediksan Pandita Mpu yang dirumuskan oleh Sabha Pandita MGPSSR, ternyata wewenang PHDI Kota/Kabupaten untuk meluluskan atau tak meluluskan calon sulinggih dibenarkan. Dalam alur “Prosedur Menjadi Pandita Mpu” disebutkan, setelah calon sulinggih lulus Diksa Pariksa yang diadakan Sabha Pandita MGPSSR dikeluarkan rekomendasi ke PHDI Kota/Kab untuk melakukan Diksa Pariksa. PHDI Kota/Kab setelah mendapat rekomendasi kelulusan itu, melakukan Diksa Pariksa, hasilnya adalah bisa lulus atau ditunda.

Ini yang saya sebutkan melanggar Bhisama PHDI Pusat. Pertanyaan saya, apakah Sabha Pandita MGPSSR tak tahu ada bhisama itu, apakah PHDI Kota/Kab juga tak tahu adanya bhisama itu, atau kita semua cuek dan tak taat pada apa yang sudah diatur sebelumnya?

Hak Penuh Aguron-Guron
Bhisama yang saya maksudkan berjudul lengkap: “Bhisama Sabha Pandita PHDI Pusat No. 04/BHISAMA Sabha Pandita Pusat/V/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dviyati” dikeluarkan pada 7 Mei 2005. Bhisama ditandatangani oleh Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pedanda G.K. Sebali Tianyar Arimbawa dan Wakil Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pandita Mpu Jaya Suta Reka.

Setiap bhisama di PHDI Pusat dibahas dan disiapkan oleh Sabha Walaka yang merupakan pemikir majelis umat Hindu itu. Kebetulan saat itu saya sudah duduk di Sabha Walaka PHDI Pusat, jadi saya tahu masalahnya.

Pada bagian “Menimbang” disebutkan, bhisama ini adalah penyempurnaan dari Ketetapan Sabha II PHDI Pusat tahun 1968 tentang tata keagamaan/pendeta dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu ke XIV tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa. Kenapa disebut penyempurnaan? Karena dua ketetapan itu dianggap tak sesuai lagi dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Jadi kalau PHDI sudah menganggap ketetapan itu perlu disempurnakan, kenapa kita warga Pasek masih mengacu ke sana?

Inti dari Bhisama tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dwijati tahun 2005 ini adalah, diksa merupakan salah satu kewajiban umat Hindu yang sebaiknya dilaksanakan pada waktu kehidupan di dunia ini sebagai wujud tahapan hidup dan peningkatan kualitas sradha, bhakti dan yasa kerti. Jadi, tak ada diksa dilakukan pada saat orang itu sudah meninggal dunia.

Dalam lampiran bhisama ini dijelaskan dengan rinci tentang kedudukan dan fungsi diksa. Saya tak ingin memerinci masalah ini. Juga yang sangat penting diuraikan di sini adalah kedudukan Guru Nabe (acharya) dengan calon diksita atau murid atau sisya. Dikutip berbagai kitab suci, terutama Atharwa Weda yang menjelaskan hubungan spiritual antara Guru Nabe dan calon diksita.

Apa kesimpulannya? Saya kutip seutuhnya: “Dalam lembaga diksa dwijati, kedudukan Guru Nabe begitu sentralnya, yakni memiliki hak prerogatif terhadap sisya-nya agar tak terjadi pengingkaran terhadap sasana atau dharmaning kawikon”.

Hak prerogatif di sini mencakup kapan calon diksita itu akan didiksa. Kapan seorang Ida Bhawati -- kalau dalam sitem aguron-aguron warga pasek -- siap untuk diksa dwijati menjadi Pandita Mpu. Artinya, lulus dan tidaknya calon sulinggih itu tergantung Guru Nabe.

Nah, meski pun Guru Nabe punya hak prerogatif, dalam pelaksanaan diksa, PHDI Pusat menyerahkan sepenuhnya hak itu kepada sistem aguron-guron. Disebutkan dalam lampiran bhisama itu (lampiran ini merupakan penjelasan), segala persyaratan khusus dan mekanisme pelaksanaan diksa, atribut serta abhiseka kepanditaan sepenuhnya diserahkan kepada sistem aguron-guron yang diikuti oleh calon diksita.

Jadi, tak ada lembaga apapun yang bisa mencampuri pelaksanaan diksa ini, di luar aguron-guron itu. Jika seorang Guru Nabe merasa perlu seorang calon diksita diuji (diksa pariksa), maka yang berhak menguji dan meluluskan atau tidak adalah lembaga di dalam sistem aguron-guron itu. Di kalangan warga Pasek, Guru Nabe dengan rendah hati menyerahkan calon diksita untuk di-diksa pariksa, dan ini telah kita setujui bersama. Saya setuju hal ini dipertahankan, meski hak prerogatif itu ada pada Guru Nabe, sebagai lembaga aguron-guron MGPSSR melalui Sabha Pandita wajib melakukan seleksi atau menguji calon diksita. Bagaimana pun juga, seorang Guru Nabe adalah manusia biasa yang belum sempurna.

Lalu, apa peran PHDI? Saya kutip lengkap lampiran bhisama ini bagian peran PHDI itu. “Dalam proses pelaksanaan diksa dwijati, PHDI berkewajiban memberikan dukungan administrasi dalam rangka diksa pariksa dan rekomendasi setelah pelaksanaan diksa pariksa yang dipimpin oleh Guru Nabe atau yang ditunjuk, serta menerbitkan sertifikat setelah ada pernyataan dari Guru Nabe.”

Tidak ada disebutkan PHDI melakukan ujian atau test terhadap calon diksita. Diksa Pariksa yang dilakukan PHDI adalah dalam arti yang sebenarnya, “memeriksa kelengkapan diksa” dalam hal administrasi. Misalnya, apakah sudah ada keterangan dari kepolisian bahwa calon diksita tak pernah melakukan tindak pidana, apakah ada surat keterangan sehat, apakah pemberitahuan ke lembaga-lembaga adat dan agama sudah dilakukan. Jadi hanya sebatas administrasi dan kemudian jika itu sudah lengkap, PHDI memberikan rekomendasi bahwa pelaksanaan dwijati bisa dilakukan.

Jika perlu -- begitu ide awal bhisama ini -- kalau calon diksita kekurangan biaya untuk urusan pediksan, PHDI sebagai majelis dan pengayom umat akan mencarikan jalan keluar. Ini hal yang umum, karena PHDI satu-satunya majelis umat Hindu yang anggarannya bisa dimasukkan APBD dan APBN. Di luar Bali sudah umum dalam pelaksanaan diksa ini pemerintah kabupaten dan provinsi memberikan bantuan. Warga Pasek yang mau mediksa dwijati dan memenuhi syarat oleh Guru Nabe dan aguron-aguronnya, seharusnya jangan malu meminta bantuan biaya dari pemerintah melalui PHDI, karena tugas pemerintah dan PHDI adalah mengayomi umat. Cuma banyak yang rikuh. Ketika saya mediksa dwijati, saya pun juga rikuh dan saya tak pernah meminta bantuan kepada siapa pun, termasuk pemerintah. Tetapi, rupanya pemerintah (Bupati dan Gubernur) “tahu diri” juga, kalau saya adalah rakyat pembayar pajak, jadi saya tetap mendapat bantuan. Astungkara dan suksma -- ini hanya contoh selingan saja.

Demikianlah kedudukan bhisama PHDI Pusat yang digagas Sabha Walaka bersama Sabha Pandita PHDI di Denpasar pada tahun 2005 itu, yang sangat menghormati sekali sistem aguron-guron dan tak ingin mencampuri urusan diksa dwijati. Karena PHDI menyadari kalau urusan ini dicampuri akan menjadi masalah besar. Persoalannya, apakah bhisama ini sudah disosialisasikan di masyarakat? Kenapa PHDI Kota/Kab masih melakukan ujian (tes) dan kenapa Sabha Pandita MGPSSR juga mengakui keberadaan tes itu, sehingga masih dimasukkan dalam alur “Prosedutr Menjadi Pandita Mpu”? Kalau demikian, apa gunanya ada bhisama?

Mari kita hormati bhisama Parisada karena kita sebagai warga Pasek tak bisa lepas dari Parisada sebagai majelis umat. Apalagi bhisama itu juga ditandatangani oleh wakil Dharma Adhyaksa yang merupakan Pandita Mpu Nabe yang kita hormati di kalangan warga Pasek.

Tahun depan, PHDI Pusat menyelenggarakan Mahasabha, mari kita terlibat lebih jauh dalam Parisada. Kalau selama ini Pandita Mpu hanya “mampu sebatas’ Wakil Dharma Adyaksa, siapa tahu tahun 2011 kelak, kedudukan tertinggi di Parisada itu dipegang oleh Pandita Mpu. Kenapa tidak? Kita punya banyak Pandita Mpu yang cendekiawan sekaligus rohaniawan, ada profesor, ada doktor, kapan lagi tampil?