Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
PERLU disosialisasikan
kepada umat Hindu di seluruh Bali. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali
sudah menyelenggarakan paruman madya
berkaitan dengan upacara besar Panca Wali Krama yang digelar di Pura Besakih
pada 6 Maret 2019 mendatang. Ini upacara besar sepuluh tahun sekali, upacara
penting untuk “menyucikan alam Bali” dan memohon kerahayuan jagat. Karena itu
pantangannya pun sangat berat untuk penduduk Bali terutama berkaitan dengan
upacara kematian, dalam hal ini ritual ngaben.
Disebutkan dalam
pantangan itu, untuk kesucian dan
keberhasilan Yadnya Panca Wali Krama tidak diperkenankan umat melakukan ’’atiwa-tiwa” atau ngaben
dalam rentang waktu dari tanggal 20 Januari s/d 4 April 2019. Kenapa waktunya begitu panjang?
Persiapan karya sudah dimulai jauh lebih awal karena banyak yang harus
dikerjakan. Sedangkan usai Panca Wali Krama tentu masih ada runtutan upacara
seperti “ngaturang penganyar” dan memberi kesempatan umat seluas-luasnya
menghaturkan bakti.
Lalu
bagaimana kalau dalam rentang waktu itu ada umat Hindu yang meninggal dunia? Paruman madya memberikan solusi agar
penguburan jenazah tidak dilanjutkan dengan atiwa-tiwa
atau ngaben. Solusinya adalah jenazah cukup dikuburkan di setra dengan status
“mekingsan di pertiwi”. Sesuai dengan arti kata itu jenazah cukup “dtitipkan di
bumi” tetapi tidak disertai dengan tirta
pengentas. Kalau memakai bahasa sederhana, belum ada upacara “mengirim roh”
ke alam sunia, roh yang meninggal baru dititipkan saja. Penguburan itu pun
dilakukan pada sore hari. Istilah ini di beberapa desa disebut “ngemaling” dan
umumnya tidak ada bunyi kentongan sebagai pertanda warga adat ikut ke kuburan.
Namanya saja “ngemaling” artinya mencuri, secara formal boleh dikatakan warga
adat tak ada yang tahu.
Khusus bagi sulinggih dan pemangku ketentuan ini tak
berlaku. Apa sebabnya? Sulinggih tidak boleh jenazahnya dikubur. Jenazah
sulinggih harus dibakar. Bahkan sulinggih yang tinggal di desa-desa yang tak
boleh membakar jenazah, meminjam kuburan desa tetangga atau di era sekarang ini
dibawa ke krematorium. Lagi pula ada ketentuan bahwa sulinggih tidak terkena
cuntaka dalam hal kematian.
Dalam hal pemangku memang ada tradisi setempat. Ada desa
yang memperlakukan pemangku seperti sulinggih dalam ritual kematiannya. Kalau
seperti itu tentu tak masalah. Tetapi ada desa di mana memperlakukan pemangku
sama dengan walaka (orang kebanyakan)
dalam hal ritual kematian, bahkan diikutkan dalam program ngaben massal. Jika
ini yang diikuti tentu berlaku pula pantangan seperti masyarakat kebanyakan.
Bagaimana kalau ada jenazah yang belum diaben, termasuk
yang meninggal dunia pada rentang waktu pantangan ngaben itu? Hasil paruman madya memutuskan agar krama desa
setempat minta “tirta pemarisudha” di Pura Dalem Puri Besakih. Tirta itulah
dipercikkan ke kuburan atau di atas makam orang yang dikuburkan. Hal ini sudah
berlaku sejak dulu, begitu Panca Wali Krama berlangsung ada “pemarisudha” di
kuburan desa adat.
Keputusan yang dihasilkan
oleh paruman madya ini agaknya
mengacu kepada konsep cuntaka dalam
ritual agama Hindu di Bali. Cuntaka
kematian bisa membatalkan Dewa Yadnya karena dianggap mengotori pelemahan. Namun dalam perkembangan di
masyarakat, ada banyak desa yang membatasi cuntaka
hanya pada masalah keluarga, bukan menyangkut pelemahan. Bahkan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-Aspek Agama Hindu, konsep cuntaka merujuk pada Lontar Catur
Cuntaka. Di sana disebutkan, cuntaka kematian hanya berlaku untuk
keluarga yang kematian dan paling jauh pada tingkat mindon. Tidak ada suatu
wilayah di luar pekarangan rumah duka yang menjadi “kotor” hanya karena ada
kematian. Jadi, yang cuntaka hanyalah
rumah duka, tempat di mana jenazah disemayamkan dan keluarga yang meninggal sampai
pada garis mindon.
Kalau konsep ini
digunakan, seharusnya tidak ada pantangan atiwa-tiwa
(ngaben) selama Panca Wali Krama. Namun para sulinggih di PHDI Bali nampaknya
sepakat upacara besar 10 tahun sekali ini bolehlah dibuat pantangan. Biaya
ritual begitu besar, yang terlibat begitu banyak, Bali perlu “lebih suci” jika
larangan ngaben itu diberlakukan. Memang tujuannya baik, tapi mari kita lihat
apa yang terjadi nanti. Kalau terjadi perbedaan pendapat harus dicari jalan
tengah, toh keputusan ini ada klausul: Apabila dikemudian hari terdapat
kekeliruan akan dilakukan perbaikan sesuai ketentuan yang berlaku.
Yang penting tak perlu ada ribut-ribut jika ada perbedaan pendapat. Ini
ritual besar yang utama adalah ketulus-ikhlasan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar