Mpu Jaya Prema
TANAH Bali bakal habis. Berita yang menjadi headline di koran Pos Bali, Jumat pekan lalu,
nara sumbernya adalah Kapolda Bali Irjen Pol. Petrus Reinhard Golose. Pejabat
yang berurusan dengan keamanan di Bali ini ternyata punya perhatian besar
terhadap perubahan yang terjadi di Bali di luar sektor keamanan. Beliau kali
ini bukan bicara masalah premanisme atau narkoba, bukan pula mempermasalahkan
sabungan ayam yang makin marak. Tetapi soal tanah Bali yang bakal habis dibangun
untuk sarana wisata.
Kapolda Petrus Reinhard Golose mengamati lahan Bali
ini dalam penerbangan helikopter berkeliling Bali. Beliau melihat bagaimana
sawah-sawah yang indah, tebing pinggir sungai yang mempesona, tiba-tiba ada
bangunan villa atau perumahan. Kesimpulannya, tak lama lagi Bali akan
kehilangan sawah berundak yang indah itu dan generasi milenial nanti hanya akan
mendengar cerita saja bagaimana indahnya tanah Bali.
Keprihatinan Kapolda menyiratkan beberapa hal.
Pertama lahan di Bali sudah tak seimbang lagi antara peruntukan pertanian dan
lahan produktif dengan lahan pemukiman. Yang kedua, seolah-olah tidak ada
perhatian yang lebih tentang bagaimana mengatur tata ruang Bali sehingga
terjadi pembiaran seperti ini. Yang ketiga, keprihatinan ini justru dirasakan
oleh “orang luar” yang peduli pada Bali dan bukan oleh orang Bali.
Pertanyaannya lantas apakah tokoh-tokoh dan pemuka Bali memang tak prihatin
terhadap kasus ini?
Penyusutan lahan pertanian untuk dijadikan pemukiman
maupun sarana wisata memang mengkhawatirkan. Data dari kantor badan lingkungan
hidup menyebut pada tahun 2012 saja luas pertanian di Bali hanya tinggal 36
persen dari luas Bali. Padahal tahun 2009 atau 3 tahun sebelumnya luas
pertanian di Bali masih 62 persen dari luas Bali. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, menyebutkan lahan pertanian
produktif yang beralih fungsi menjadi lahan perumahan selama kurun waktu satu
tahun (2015-2016) luasnya 370 hektare. Jika pada 2015 luas lahan pertanian
produktif di Bali lebih dari 80 ribu hektar, pada 2016 tinggal sekitar 79 ribu
hektar.
Yang menarik, alih fungsi lahan itu merata di seluruh
kabupaten di Bali. Kabupaten Tabanan yang selama ini disebut sebagai lumbung
Bali, mengalami penyusutan yang paling besar sampai 158 hektar. Menyusul
Kabupaten Gianyar dengan 62, 4 hektar, Kabupaten Badung dengan 53,46 hektar,
Kabupaten Buleleng dengan 40 hektar.
Apa sebenarnya yang terjadi? Tidak dijalankannya
peraturan daerah (Perda) tentang tata ruang Bali di kabupaten-kabupaten.
Padahal dalam Perda Tata Ruang itu sudah diatur zona pemanfaatan wilayah lahan
untuk pertanian dan untuk perumahan.
Pembangunan sarana wisata dan pemukiman memang sangat
pesat di Bali. Ini tentu disebabkan oleh membanjirkan orang ke Bali, baik
banjir turis yang membutuhkan sarana wisata mau pun banjir pendatang yang
menyerbu Bali untuk mengisi tenaga kerja. Yang unik adalah di mana sarana
wisata itu dibangun dan daerahnya berkembang, di sekitar itu pula dibangun
perumahan-perumahan untuk para pekerja yang kebanyakan diisi oleh para
pendatang. Lihat saja jalur wisata Denpasar menuju Tanah Lot dan sekitarnya, banyak
perumahan dibangun oleh pengembang yang mengalih-fungsikan lahan pertanian
produktif.
Di perkotaan seperti Denpasar, alih fungsi lahan tak
selalu karena sektor pariwisata. Juga disebabkan kebutuhan akan perumahan
karena derasnya arus pendatang, apakah itu pendatang dari Bali sendiri, artinya
urbanisasi orang desa ke kota, mau pun pendatang dari luar Bali. Saat ini lahan
pertanian di Kota Denpasar hanya 2.693 hektar dari 12.778 hektar luas Denpasar.
Itu berarti lahan pertanian hanya tinggal 21 persen saja. Ini data per November
tahun lalu, jadi masih baru.
Akankah lahan pertanian di Bali tinggal kenangan?
Ini kekhawatiran yang sudah lama. Apalagi ditambah fenomena bahwa regenerasi
petani di Bali sudah hampir terputus. Anak-anak muda di Bali sudah tak sudi
menjadi petani. Kesan petani sebagai masyarakat yang terpinggirkan karena
miskin masih ada, padahal sarana pertanian sudah semakin maju dengan masuknya
teklonogi dan petani pun tak miskin-miskin amat. Namun tetap saja anak-anak
muda Bali lebih senang menjadi tukang antar makanan di restoran siap saji
dibandingkan berkotor-kotor sebagai petani.
Perubahan sosial ini memang tak bisa dihindarkan.
Hak memilih pekerjaan pun tak bisa dipaksakan. Sektor pertanian beralih ke
sektor industri termasuk industri “tanpa asap” seperti pariwisata barangkali
hal yang harus terjadi. Namun yang perlu dipikirkan adalah bukan sekadar lahan
pertanian hilang dari Bali, tetapi tanah Bali yang asri juga ikut hilang. Ini
sesungguhnya inti dari kekhawatiran Kapolda Bali. Bagaimana tebing sungai yang
indah berubah menjadi villa. Alam Bali yang selalu dipuji di masa lalu
tiba-tiba tak ada lagi. Kalau alam indah itu juga hilang, bagaimana turis di
kemudian hari menyebut Bali itu indah? Sulit dibayangkan turis akan senang
berlibur di Bali kalau isi pulau kecil ini hanyalah bangunan hotel dan villa
melulu tanpa ada lagi keindahan alamnya. Budaya Bali pun akan berangsur surut
karena sesungguhnya budaya Bali itu hanya bisa berkembang jika pelemahan (lingkungan) tetap mendukung.
Maka diperlukan ketegasan Pemda Provinsi Bali, yaitu
jalankan Perda Tata Ruang dengan baik, pertegas izin mendirikan bangunan,
lindungi subak dengan aturan yang lebih pasti untuk mengurangi alih lahan
pertanian. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar