Mpu Jaya Prema
MENARIK mengikuti
perkembangan hukum belakangan ini terutama jika dikaitkan dengan sisi
kemanusiaan. Semuanya mengandung azas keadilan di sana. Hukum tanpa keadilan
tentulah tak ada artinya, bukankah seseorang yang dihukum itu karena sebelumnya
diadili. Kemanusiaan tanpa rasa adil juga jadi aneh, bukankah sila dalam
Pancasila berbunyi: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil dan beradab itu
yang memang luar biasa sulitnya.
Kasus terbaru yang bikin
gaduh adalah batalnya pembebasan gembong teroris Abu Bakar Ba’asyir dari
penjara. Selain bikin gaduh kasus ini juga menunjukkan dengan gamblang kalau
pemerintah sepertinya tak satu suara dalam penegakan hukum. Atau yang tumpang
tindih dan mungkin pula ada yang memanfaatkan panggung dengan cara yang tak
benar.
Rencana pembebasan
Abu Bakar Ba’asyir diucapkan
pertama kali oleh Yusril Izha Mahendra, penasehat hukum pasangan
capres/cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin. Yusril menyebutkan Presiden Jokowi sudah
setuju pembebasan Ba’asyir karena alasan kemanusiaan. Kemudian Presiden Jokowi sendiri
menjelaskan hal itu, lagi-lagi kaitannya karena pertimbangan kemanusiaan. Usia
Ba’asyir sudah tua dan ustad perlu berkumpul dengan keluarganya untuk perawatan
kesehatan. Banyak yang memuji Jokowi karena sangat peka pada masalah
kemanusiaan.
Namun kritik
berdatangan apalagi video Ustad Ba’asyir ketika dijenguk Yusril Izha Mahendra muncul
di televisi dalam keadaan sehat. Timbul kegaduhan dan protes kenapa seorang
gembong teroris harus dibebaskan karena alasan kemanusiaan? Padahal 300 lebih
nyawa melayang akibat aksi terorisme di mana Ba’asyir sebagai pembawa idenya,
bahkan memerintahkan walau Ma’asyir tak mengakui hal itu. Bahkan pemerintah
Australia resmi memberikan protes.
Urusan pembebasan yang
dikaitkan dengan unsur kemanusiaan ternyata menjadi kabur ketika Menko
Polhumkam Wiranto menyebutkan keluarga Abu Bakar Ba’asyir memang sudah lama
mengajukan permohonan pembebasan dengan alasan usia dan kesehatan. Permohonan
itu memenuhi syarat karena Ba’asyir sudah menjalani 2/3 hukuman. Namun karena
namanya saja “bebas bersyarat” ada peraturan untuk narapidana teroris, yakni
menandatangani pernyataan setia kepada NKRI dan Pancasila. Nah, Ba’asyir harus
menandatangani hal itu sebagai syarat.
Lalu masalah pun
jadi jelas ketika Menteri
Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebutkan, Ba’asyir sudah berhak mendapatkan
predikat bebas bersyarat sejak
Desember lalu asalkan menandatangani pernyataan setia kepada NKRI dan
Pancasila. Jadi faktor kemanusiaan betul-betul tidak ada kaitannya dengan
pembebasan ustad sepuh ini. Belakangan pun Jokowi tak lagi mengkaitkan dengan
unsur kemanusiaan dan fokus pada istilah bebas bersyarat dengan pernyataan
setia kepada NKRI dan Pancasila.
Jika begitu halnya,
urusan kemanusiaan memang tak perlu dikaitkan dengan hukuman seseorang yang
sudah dinyatakan final oleh Mahkamah Agung. Hukum harus ditegakkan tak peduli dengan
alasan kemanusiaan, seperti usia sudah tua, sakit-sakitan dan seterusnya. Toh
fasilitas di penjara memungkinkan narapidana sakit mendapat pengobatan.
Sekarang beralih
ke kasus remisi yang diterima I Nyoman Susrama
terpidana seumur hidup. Susrama
adalah otak pembunuhan wartawan Radar Bali, AA Bagus Narendra Prabangsa.
Dulu tidak ada remisi apa pun untuk terpidana seumur hidup. Tapi ada peraturan
baru yang menyebutkan terpidana seumur hidup bisa dievaluasi untuk mendapatkan
apa yang disebut “remisi perubahan” setelah 5 tahun menjalani hukuman. Dengan
“remisi perubahan” itu maka penjaranya menjadi 20 tahun, hukuman tertinggi untuk
bilangan angka. Dengan hukuman berjangka tahunan ini harapan bisa bebas akan
ada, apalagi ada remisi hari raya keagamaan dan remisi hari ulang tahun
proklamasi. Namun dalam aturan ini ada syaratnya, yakni, berkelakuan baik
selama di tahan dan usia yang lanjut. Susrama usianya konon lebih dari 60 tahun
dan kelakuannya baik bahkan sangat baik dalam membantu usaha-usaha dalam
penjara. Karena itu permohonannya yang berkali-kali, dikabulkan pemerintah atas
nama kemanusiaan.
Jadi, ternyata ada juga faktor kemanusiaan
dalam kasus ini. Jika begitu, bagaimana kalau dibuat saja aturan yang rinci,
hukuman jenis apa saja dan terhukum kelas apa saja yang bisa dikaitkan dengan
kemanusiaan? Bagaimana dengan hukuman mati?
Ada cerita lama
yang menarik sebagai bahan renungan bagaimana unsur kemanusiaan diabaikan dalam
hukum. Ini menimpa Ibu Sumiarsih yang dieksekusi mati dengan menembaknya
setelah ibu sepuh ini menjalani hukuman 20 tahun. Sumiarsih ditembak mati pada
18 Juli 2008 untuk kejahatan pembunuhan yang dilakukan pada 13 Agustus 1988.
Sumiarsih
dieksekusi bersama anak kandungnya, Sugeng. Keluarga ini melakukan kesalahan
berat dengan membunuh keluarga Letkol (Mar) Purwanto di Surabaya. Keluarga
pembunuh selain Sumiarsih dan Sugeng adalah Djais Adi Prayitno (suami Sumiarsih), Adi Saputro
(menantu), Nano (keponakan Sumiarsih), dan Daim (orang kepercayaan). Keluarga
yang terbunuh selain Purwanto dan istrinya, juga kedua anaknya dan satu
keponakan. Pembunuhan dipicu oleh permasalahan utang-piutang dalam pengelolaan
bisnis penginapan di komplek prostitusi Dolly.
Kematian harus
ditebus dengan kematian. Semua keluarga Sumiarsih dihukum mati. Namun suami
Sumiarsih bisa “mati dengan wajar”, meninggal dunia di penjara karena sakit.
Sumiarsih lalu berdoa agar bisa meninggal dengan cara seperti itu. Doa yang
begitu panjang sampai 20 tahun. Pertobatan tak kenal waktu. Para sipir di LP
Medaeng, tempat Sumiarsih ditahan, sangat akrab dengan terpidana ini dan
dijadikan layaknya ibu teladan. Haryo Abrianto, satu-satunya anak Purwanto yang
masih hidup, juga sudah memaafkan Sumiarsih. Kemanusiaan yang beradab seperti
sila Pancasila nampaknya sudah hadir. Namun, hukum yang adil jadi alasan untuk
menembak mati Sumiarsih, di tengah malam sunyi.
Sudah menjalani 20
tahun sebagai tahanan dengan penantian bisa “mati dengan wajar” toh tak ada
unsur kemanusiaan yang disematkan pada Sumiarsih ketika ia akan ditembak. Tak
ada pertimbangan usia yang sudah sepuh. Tak ada pertimbangan kelakuan baik.
Bahkan hukuman yang dijalani selama 20 tahun, yang sesungguhnya bisa disebut
hukuman tambahan yang menyiksa batin, tak juga dipertimbangkan dari sisi
kemanusiaan.
Kematian adalah hak
Tuhan. Bagaimana kalau hukuman mati dihapus demi kemanusiaan, sebagaimana
banyak negara lain melakukannya?
(Edisi pendek tulisan ini dimuat Koran Tempo 26 Jan 2019 lihat judul Kemanusiaan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar