Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
DESA Pakraman dulu pernah disebut desa adat. Ini
membedakan dengan desa yang dibentuk negara sebagai pemerintahan yang paling
rendah. “Pemerintahan desa” oleh orang Bali lalu disebut Desa Dinas. Tapi kata
“dinas” itu tak ada secara formal, hanya supaya mudah menyebutnya. “Pemerintahan
desa” itu tentu saja tunduk pada aturan negara. Atasan terdekatnya camat, lalu
bupati atau walikota, gubernur dan seterusnya.
Desa adat itu sendiri tak ada urusan dengan
pemerintahan. Desa ini sudah berdiri jauh sebelum kemerdekaan. Pencetusnya
adalah Mpu Kuturan yang datang ke Bali tahun 1001 ketika Bali diperintah Prabu
Udayana. Mpu Kuturan yang dinobatkan sebagai penasehat kerajaan (purohito) prihatin melihat begitu
banyaknya aliran atau sekte keagamaan di Bali. Satu sama lain saling bersaing.
Mpu Kuturan lalu mengadakan pendekatan. Akhirnya
disepakati sekte dilebur dan diperkenalkan tiga Istadewata inti yang wajib
disembah. Dewa-dewa itu disesuaikan dengan siklus kehidupan, utpati, stiti, pralina. Maka Dewa Brahma
sebagai pencipta alam (utpati)
dibuatkan tempat pemujaan di Pura Bale Agung, belakangan banyak diubah menjadi
Pura Desa. Dewa Wisnu sebagai pemelihara kehidupan (stiti) tempat pemujaan di Pura Puseh. Kedua pura ini bisa di satu
komplek (pelemahan) karena kelahiran
dan kehidupan tak berbatas. Dewa satu lagi adalah Siwa dengan pemujaan di Pura
Dalem, simbol pralina (pengembalian
ke wujud asal). Tiga “dewa besar” itu disebut Trimurti dan tiga pura disebut
Tri Kahyangan.
Nah, setiap kawasan yang sanggup mendirikan Tri
Kahyangan untuk memuja Trimurti lalu disebut “sebuah desa” yang otonom dengan
aturan (awig-awig) tersendiri.
“Sebuah desa” itu kemudian disebut desa adat, karena adat-istiadat mereka belum
tentu sama dengan adat-istiadat di desa lainnya. Ini yang terus ajeg ratusan
tahun sampai sekarang dan kemudian kekhasan desa adat itu disebut Desa
Pakraman. Bahkan dilindungi dengan Perda Desa Pakraman. Apa artinya? Desa adat
yang kini menjadi Desa Pakraman adalah desa
berbasis Hindu. Tak boleh ada satu pun warga non-Hindu yang menjadi anggota krama
(warga) adat. Warga boleh datang dari klan
(asal-usul kelahiran) yang berbeda tetapi keyakinannya harus Hindu. Jadi Desa Pakraman
adalah Desa Hindu.
Pemerintah tentu harus melindungi seluruh warga
negara, tak boleh membedakan agama, apakah Hindu atau Islam atau Katolik dan
seterusnya. Maka, pemerintah mengadakan “desa lain” yang tak ada urusannya
dengan adat dan agama. “Desa lain” ini, seperti sudah disebutkan, di bawah
kordinasi kecamatan dan di Bali disebut Desa Dinas.
Jadi, di Bali ada dua desa, satu Desa Pakraman dan
satu desa dengan embel-embel tak resmi kata dinas. Belakangan diperkenalkan
Kelurahan sebagai ganti “Desa Dinas” untuk perkotaan supaya seragam dengan di
Jawa. Bedanya, pemimpinnya yang satu dipilih rakyat, yang satu diangkat
pemerintah.
Sekarang Gubernur Bali yang baru, I Wayan Koster,
merencanakan Perda tentang Desa Adat sebagai pengganti Desa Pekraman. Ranperda ini ternyata tidak
melibatkan Majelis Utama Desa Pakraman secara kelembagaan. Di Ranperda yang
baru itu disebutkan ada tiga jenis warga Desa Adat, yakni Krama Adat (penduduk
asli), Krama Tamiu (penduduk pendatang tetapi beragama Hindu), dan Tamiu
(penduduk pendatang yang non-Hindu). Ketiga jenis warga ini diatur hak dan
kewajibannya berdasarlan awig-awig
dan perarem yang dibuat.
Dengan adanya warga Tamiu ini, maka ciri khas Desa
Pakraman bisa hilang, karena ada warganya yang beragama bukan Hindu yang juga
diatur hak dan kewajibannya meski dengan keterbatasan. Warga Tamiu hanya berhak
atas pelemahan dan pawongan. Kalau begitu apakah dalam menyusun awig-awig dan pararem warga Tamiu juga
diikut-sertakan? Bukankah sudah pasti ada ketersinggungan warga Tamiu ini
dengan pelemahan dan pawongan? Lagi pula karena Ranperda Desa
Adat ini memakai istilah parahyangan
(selain pelemahan dan pawongan), dan bukan istilah Tri
Kahyangan, apakah masjid dan gereja di pelemahan
desa adat itu bukannya juga parahyangan?
Bukankah parahyangan artinya tempat
orang bersembahyang? Kalau tempat ibadah non-Hindu ini tidak diperhatikan oleh
desa adat, tentu hal ini melanggar Perda karena umat non-Hindu juga diatur hak
dan kewajibannya di dalam desa adat.
Yang jelas, di Bali tak akan lagi ada desa berbasis
Hindu, sama dengan di Jawa, Kalimantan dan sebagainya. Artinya, Desa Pakraman
akan lenyap, bagaimana menyebut ajegnya adat Bali dan agama Hindu. Sebaiknya
biarkan pendatang non-Hindu tak usah diatur dalam Perda Desa Adat dan mereka
diatur ketat oleh peraturan yang dimiliki Desa Dinas. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar