Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Dua remaja Hindu berlainan etnis berdiskusi sambil bercanda di wantilan Pura Kepasekan, Karanganyar, Jawa Tengah. Yang satu dari Bali, tetapi sudah lama di Jawa menjadi mahasiswi UNS Solo. Teman berdebatnya dari Masaran, Sragen, asli Jawa. Keduanya sama-sama membawa teman, namun teman-temannya tak banyak berkomentar.
“Kalau di Bali kamu bawa kuangen berisi uang logam lima ratusan begini, nggak bakalan diterima. Kuangen itu harus berisi uang kepeng, orang Bali menyebutnya pis bolong,” kata si cewek Bali sambil menunjuk kuangen yang dibawa lelaki di sebelahnya.
Pemuda Jawa itu tak mau kalah. “Itu kan bikin rumit, uang kepeng itu hanya laku ketika zaman Majapahit. Sekarang sudah langka, kenapa harus susah-susah mencari uang Majapahit hanya untuk bersembahyang?” jawab sang pemuda.
“Kalau nggak mau susah cari uang kepeng jangan bawa kuangen, pakai saja kembang,” sahut lagi si cewek.
“Memangnya uang kepeng harus ada? Memangnya uang kepeng itu simbol apa, ayo?” tanya sang pemuda. Si cewek diam sejenak, lalu balik bertanya: “Memangnya logam lima ratusan di kuangen-mu simbol apa?”
Sang pemuda Jawa langsung nyerocos. “Ini disebut unsur panca datu. Terbuat dari logam dan berbentuk bundar, lambang windu. Jadi bukan uang kepengnya yang penting, tetapi ada unsur logam yang bebentuk bundar itu.”
Satu nol, komentar teman-teman mereka. Soalnya, si cewek Bali mengaku tidak mengerti simbol apa uang kepeng yang ada di kuangen itu. Ia hanya menyebutkan, kebiasaan di Bali seperti itu, isi kuangen untuk bersembahyang adalah pis bolong, bukan uang logam biasa. Saya tak tahu apa ada diskusi lanjutan, karena saya meninggalkan wantilan.
Di Pura Jagatnatha Denpasar kalau ada persembahyangan bulan Purnama, pedagang banten berderet-deret di jaba pura. Kalau kita membeli canangsari di sana, pedagang banten biasanya menanyakan: “Pakai kuangen dan dupa?” Kalau kita bilang, ya, pakai kuangen, cobalah periksa apakah ada pis bolong atau uang logam di sana? Tidak ada. Jadi berkuranglah salah satu simbol yang ada pada sarana persembahyangan itu.
Simbol-simbol dalam urusan banten di Bali memang sangat rumit. Orang Hindu di luar Bali, seringkali menyebut hal ini sebagai suatu hambatan untuk menyesuaikan diri jika mengikuti ritual Hindu versi Bali. Anehnya, orang Bali sendiri tak pernah mempermasalahkan kerumitan itu meskipun mereka tak tahu juga apa arti simbol itu. Satu benda bisa berubah fungsi jika diletakkan dalam rangkaian yang lain. Telor yang ditaruh di daksina memberikan simbol yang berbeda dengan telor yang ada di rangkaian ketupat. Padahal telornya sama saja. Tapi, seberapa banyak yang tahu arti simbol-simbol itu?
Begitu pula uang kepeng atau pis bolong. Uang kepeng di kuangen dengan uang kepeng di canangsari berbeda maknanya, dan berbeda pula jika uang kepeng itu diikat dalam jumlah tertentu yang biasa disebut benang pipis (karena uang kepengnya diikat benang). Sangat berbeda pula artinya kalau uang kepeng itu dijadikan kalung atau gelang. Lalu ada uang kepeng yang dimasukkan keranjang kecil yang biasa disebut pis pocongan, dan maknanya pun beda. Padahal bendanya sama saja.
Seperti umumnya uang, uang kepeng punya arti sebagai sebuah nilai tukar yang dalam ilmu ekonomi disebut alat transaksi. Arti seperti itulah yang muncul ketika uang kepeng ditaruh di canang sari. Ia menjadi “sarin banten”, yang dipersembahkan secara tulus ikhlas oleh seseorang dan uang itu bisa diambil oleh “pemuput karya” atau oleh petugas upacara untuk dikumpulkan. Karena itu uang kepeng sebagai “sarin banten” sudah lazim diganti dengan uang logam atau uang kertas yang berlaku sebagai alat transaksi masa kini.
Uang kepeng di daksina, kuangen, atau saat ngereka jenazah dan pada beberapa banten khusus, tidak dicari maknanya dari nilai tukar sebagaimana lazimnya uang, tetapi dimaknai dari bentuknya yang bulat dan terbuat dari logam. Untuk membuat simbol adegan saat Pitra Yadnya misalnya, unsur mata disimbolkan dari uang kepeng. Karena itu uang kepeng tak bisa digantikan oleh uang kertas. Apakah bisa digantikan oleh uang logam masa kini? Menurut logika kalau kita bicara masalah simbol, saya cenderung sependapat, seperti yang dikatakan pemuda Hindu dari Sragen yang saya kutip di awal tulisan ini. Karena unsur yang dicari sebagai simbol itu adalah bulat dan logamnya. Masalahnya adalah apakah uang logam buatan Bank Indonesia itu memenuhi unsur-unsur panca datu. Saya kurang sependapat kalau dibuat uang kepeng palsu dari tanah liat, karena jelas ini bukan dari unsur logam.
Sekarang, sudah ada umat kita di Klungkung yang memproduksi uang kepeng untuk memenuhi keperluan ritual umat Hindu di Bali. Ada yang betul-betul memenuhi unsur logam panca datu, namun yang beredar di masyarakat banyak yang tidak memenuhi unsur itu. Tentu saja harganya berbeda. Di kalangan pedagang ini disebut pis bolong asli dan pis bolong palsu, padahal sejatinya kalau mengacu kepada uang kepeng di masa lalu, keduanya juga palsu.
Yang dipertanyakan saat ini, meski uang kepeng itu diproduksi baru dan nyata-nyata untuk keperluan ritual Hindu versi Bali, kenapa masih memakai ornamen huruf Cina? Seharusnya ini diganti, kalau pun menggunakan huruf mungkin aksara suci Omkara bisa dipertimbangkan. Namun yang jelas umat harus benar-benar tahu, mana uang kepeng yang berfungsi sebagai simbol dan mana uang kepeng yang berfungsi sebagai nilai tukar ekonomi dalam sebuah banten. Maklumlah, leluhur kita di masa lalu begitu praktisnya memakai uang yang berlaku saat itu untuk kedua-duanya, karena memang saat itu belum ada uang kertas. Kini ketika uang kertas sudah umum, maka sesari tentu lebih tepat memakai uang kertas, karena sesari diambil oleh pemangku dan pemangku tak bisa berbelanja memakai pis bolong. Demikian sebaliknya, kalau untuk sarana kuangen, jangan pakai uang kertas karena kertas tak ada unsur logamnya, apalagi yang komplit sebagai unsur panca datu. ***
(Ini versi yang sedikit diperbarui dari artikel sebelumnya: "Uang Kepeng....")
Untuk kedamaian dari Rumah Budaya Pasraman Manikgeni, Pujungan, Tabanan, Bali
Jumat, 08 Januari 2010
Lilin Gus Dur
Oleh Putu Setia
(Artikel ini diambil dari Koran Tempo Minggu 3 Januari 2010)
Ada lilin dinyalakan. Berpuluh-puluh jumlahnya, untuk mendoakan kepulangan Gus Dur – sapaan akrab Abdurrahman Wahid – ke alam maya yang sejati. Di sekitar lilin ada berbagai manusia dengan keyakinan yang berbeda, namun tak ada bisik-bisik di antara mereka: “Kamu beragama apa ya?”
Di pemakaman keluarga di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, masih mengalir orang-orang yang datang berziarah, ayat-ayat Quran berkumandang. Mereka kebanyakan orang-orang yang tak bisa melayat langsung pada saat Gus Dur wafat, atau juga tak bisa menghadiri pemakaman Gus Dur, karena pejabat dan tentara begitu banyaknya atas nama penghormatan negara kepada tokoh yang wafat.
Di wihara, foto Gus Dur dipajang dan orang-orang memegang segepok dupa menyala, di ketinggian patung Buddha menjadi saksi. Sementara umat Hindu di Bali – untuk menghindari kesan ritual identik dengan sesajen -- menggunakan upacara Agni Hotra untuk mendoakan Gus Dur.
Gus Dur adalah sebuah keajaiban, begitu sebuah kalimat yang muncul di “dunia maya kiasan” alias internet. Ajaib karena ia tak takut untuk melawan setiap usaha yang menindas kaum minoritas. Ia Bapak Pluralisme. Istilah ini tak hanya diucapkan para sahabat Gus Dus –baik yang bersaksi di televisi maupun tidak – tetapi juga diucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi inspektur upacara pemakaman.
Bapak pluralisme telah tiada. “Tak ada tokoh yang bisa menggantikannya,” kata Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. “Raja Yogya” ini tak sendirian berpandangan begitu. Kalau pernyataan ini dimaksudkan sebagai sebuah sanjungan buat Gus Dur, memang enak didengar, karena sudah semestinya Gus Dur memperoleh hak itu. Tetapi, jika pesimisme itu menyiratkan akan punahnya orang-orang yang berpaham pluralis, sungguh hal ini memprihatinkan..Kami, orang Bali, warga Tionghoa, umat Budha, Khong Hu Cu, Hindu dan entah siapa lagi, akan merasa was-was sebagai penghuni Nusantara yang berlandaskan Pancasila dan punya sesanti Bhineka Tunggal Ika ini.
Saya tahu banyak sekali tokoh – ulama, pengusaha, pejabat, budayawan – yang memiliki paham pluralis tinggi di negeri ini. Mereka sama sekali tak punya masalah dalam sekat-sekat primordial, baik agama, suku dan sebagainya. Di akhir dasawarsa 1970-an, ketika saya belum mengenal Gus Dur, saya menemukan Kiai Hamam Jafar di Pesantren Pabelan, Muntilan, sebagai ulama rakyat yang sederhana dan sangat toleran. Sambil berbincang soal lele jumbo di pesantrennya, saya pun sempat “berkenalan” dengan Islam beberapa hari di sana.
Di awal dasawarsa 1980-an, ketika saya bertemu dengan Gus Dur – saya orang yang kerap sibuk mencarikan mesin tik dan kertas begitu Gus Dur akan menulis kolom untuk Majalah Tempo – secara perlahan saya pun tahu orang-orang di sekitar Gus Dur yang sebagian besar berpaham pluralis.
Memang, Kiai Hamam Jafar sudah lama tiada. Gus Dur baru saja wafat. Apakah kita harus kehilangan “Bapak Pluralis”? Bukankah negeri ini masih punya Mustofa Bisri, Djohan Effendi, Komarudin Hidayat, Ulil – maaf, nama ini mendadak melintas, kalau sempat mengingat tentu masih banyak. Atau sejumlah orang yang tak diragukan kepluralisannya, tapi “label agamanya kurang” lantaran lebih dikenal sebagai budayawan, wartawan, pengusaha, pengajar dan sebagainya.
Atau biarkan predikat “bapak pluralis” itu hanya melekat pada Gus Dur – karena beliau yang lebih berani tampil tanpa takut. Namun mari kita bersama-sama menjaganya, jangan biarkan paham itu hilang meski pun tanpa “bapak”.
(Artikel ini diambil dari Koran Tempo Minggu 3 Januari 2010)
Ada lilin dinyalakan. Berpuluh-puluh jumlahnya, untuk mendoakan kepulangan Gus Dur – sapaan akrab Abdurrahman Wahid – ke alam maya yang sejati. Di sekitar lilin ada berbagai manusia dengan keyakinan yang berbeda, namun tak ada bisik-bisik di antara mereka: “Kamu beragama apa ya?”
Di pemakaman keluarga di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, masih mengalir orang-orang yang datang berziarah, ayat-ayat Quran berkumandang. Mereka kebanyakan orang-orang yang tak bisa melayat langsung pada saat Gus Dur wafat, atau juga tak bisa menghadiri pemakaman Gus Dur, karena pejabat dan tentara begitu banyaknya atas nama penghormatan negara kepada tokoh yang wafat.
Di wihara, foto Gus Dur dipajang dan orang-orang memegang segepok dupa menyala, di ketinggian patung Buddha menjadi saksi. Sementara umat Hindu di Bali – untuk menghindari kesan ritual identik dengan sesajen -- menggunakan upacara Agni Hotra untuk mendoakan Gus Dur.
Gus Dur adalah sebuah keajaiban, begitu sebuah kalimat yang muncul di “dunia maya kiasan” alias internet. Ajaib karena ia tak takut untuk melawan setiap usaha yang menindas kaum minoritas. Ia Bapak Pluralisme. Istilah ini tak hanya diucapkan para sahabat Gus Dus –baik yang bersaksi di televisi maupun tidak – tetapi juga diucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi inspektur upacara pemakaman.
Bapak pluralisme telah tiada. “Tak ada tokoh yang bisa menggantikannya,” kata Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. “Raja Yogya” ini tak sendirian berpandangan begitu. Kalau pernyataan ini dimaksudkan sebagai sebuah sanjungan buat Gus Dur, memang enak didengar, karena sudah semestinya Gus Dur memperoleh hak itu. Tetapi, jika pesimisme itu menyiratkan akan punahnya orang-orang yang berpaham pluralis, sungguh hal ini memprihatinkan..Kami, orang Bali, warga Tionghoa, umat Budha, Khong Hu Cu, Hindu dan entah siapa lagi, akan merasa was-was sebagai penghuni Nusantara yang berlandaskan Pancasila dan punya sesanti Bhineka Tunggal Ika ini.
Saya tahu banyak sekali tokoh – ulama, pengusaha, pejabat, budayawan – yang memiliki paham pluralis tinggi di negeri ini. Mereka sama sekali tak punya masalah dalam sekat-sekat primordial, baik agama, suku dan sebagainya. Di akhir dasawarsa 1970-an, ketika saya belum mengenal Gus Dur, saya menemukan Kiai Hamam Jafar di Pesantren Pabelan, Muntilan, sebagai ulama rakyat yang sederhana dan sangat toleran. Sambil berbincang soal lele jumbo di pesantrennya, saya pun sempat “berkenalan” dengan Islam beberapa hari di sana.
Di awal dasawarsa 1980-an, ketika saya bertemu dengan Gus Dur – saya orang yang kerap sibuk mencarikan mesin tik dan kertas begitu Gus Dur akan menulis kolom untuk Majalah Tempo – secara perlahan saya pun tahu orang-orang di sekitar Gus Dur yang sebagian besar berpaham pluralis.
Memang, Kiai Hamam Jafar sudah lama tiada. Gus Dur baru saja wafat. Apakah kita harus kehilangan “Bapak Pluralis”? Bukankah negeri ini masih punya Mustofa Bisri, Djohan Effendi, Komarudin Hidayat, Ulil – maaf, nama ini mendadak melintas, kalau sempat mengingat tentu masih banyak. Atau sejumlah orang yang tak diragukan kepluralisannya, tapi “label agamanya kurang” lantaran lebih dikenal sebagai budayawan, wartawan, pengusaha, pengajar dan sebagainya.
Atau biarkan predikat “bapak pluralis” itu hanya melekat pada Gus Dur – karena beliau yang lebih berani tampil tanpa takut. Namun mari kita bersama-sama menjaganya, jangan biarkan paham itu hilang meski pun tanpa “bapak”.
Damai
Oleh Putu Setia
(Artikel ini diambil dari Koran Tempo Minggu 27 Desember 2009)
Damai itu indah. Spanduk itu terpampang di depan kantor Komando Distrik Militer. Di sebelahnya ada gardu jaga dan seorang prajurit bersenjata lengkap – entah ada pelurunya atau hampa—berdiri tegak dengan wajah garang.
Damai itu ada di dalam hati, kita ciptakan kedamaian dalam diri kita sebelum mengajak orang lain berdamai, apalagi menginginkan dunia yang damai. Kata menyejukkan ini terdengar di sela-sela lagu Kristiani pada sebuah misa Natal – entah di mana, karena saya mendengarnya lewat radio.
Ingin merasakan Indonesia yang damai seperti dulu, ritual kebaktian Natal tidak dijaga polisi. Tulisan ini ada di Facebook, diposting oleh seorang budayawan, yang – agak relevan disebut –seorang Muslim.
Tetapi, kenapa damai yang indah itu begitu mahal, kenapa ritual keagamaan harus dijaga polisi? Ini pertanyaan batin saya yang jawabannya melebar ke mana-mana.
Setelah Amrozi meledakkan bom pertama di Bali, Oktober 2002, ada ide agar persembahyangan umat Hindu di pura yang besar, dijaga oleh aparat keamanan. Ide ini datang dari aparat keamanan sendiri, tentu dengan niat baik untuk antisipasi. Namun, ide itu ditentang. Alasan yang masuk akal adalah berbagai analisa bahwa sasaran teroris di Indonesia sesungguhnya untuk menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Bukan perang terhadap orang Bali, apalagi memerangi umat Hindu.
Tapi, masyarakat Bali penganut Hindu punya alasan lain, yang boleh diperdebatkan apakah masuk akal atau kurang masuk akal. Yakni, mereka percaya Tuhan tidak tidur. Karena Tuhan tidak tidur, apalagi saat diberikan persembahan, tak mungkin Tuhan membiarkan ada bom meledak. Segala niat jahat yang mendomplengi ritual kedamaian itu pastilah “dicegah oleh Tuhan”.
Saya setuju persembahyangan jangan dijaga polisi, apalagi sampai memakai alat dedektor logam di pintu masuk pura. Kalau pun ada polisi yang bertugas, biarlah hanya mengurus lalu lintas di jalanan. Tapi, saya tak menggunakan alasan seperti tadi: sasaran teroris adalah Amerika atau Tuhan pasti mencegah karena Beliau tidak tidur. Alasan saya hanya satu: kalau itu sampai terjadi – sembahyang dijaga polisi – akan menjadi trauma berkepanjangan bahwa bumi ini sangat tidak damai. Rasa takut kita tumbuh, bahkan dipupuk dengan teror ketakutan tanpa akhir, sehingga jika pada suatu saat kita bersembahyang tidak melihat ada polisi yang menjaga, sembahyang kita menjadi tidak khusuk. Bagaimana menciptakan damai dalam diri kalau batin kita bertanya-tanya: ada bom apa tidak ya?
Seribu Banser Ansor siap mengamankan malam Natal. Puluhan ribu polisi siap menjaga gereja. Pecalang – aparat keamanan milik adat di Bali – juga diminta menjaga sejumlah gereja di Bali. Adakah ini menimbulkan rasa aman untuk mereka yang menjalankan ritual Natal? Saya tak tahu karena saya tidak merayakan Natal. Namun seorang sahabat Kristiani mengatakan, ia justru merasakan ini sebagai “menebar ketakutan”, seolah-olah misa Natal itu sesuatu yang sangat berbahaya. Yang lebih parah lagi seolah-olah ada sekelompok orang yang tidak merayakan Natal ingin mengacaukan misa Natal.
Pada akhirnya, perlu tidaknya penjagaan – tidak bisakah menjaga keamanan dengan diam-diam -- tentu umat Kristiani yang paling tahu jawabannya. Barangkali benar ada ketakutan, karena sejumlah gereja pernah dirusak -- menjelang atau sesudah Natal-- tapi apa itu sepanjang tahun?
Natal tanpa dijaga polisi, bukan saja untuk menghindari kesan umat Kristiani punya musuh besar di Nusantara ini, tetapi memang kita ingin Indonesia yang damai -- seperti dulu.
(Artikel ini diambil dari Koran Tempo Minggu 27 Desember 2009)
Damai itu indah. Spanduk itu terpampang di depan kantor Komando Distrik Militer. Di sebelahnya ada gardu jaga dan seorang prajurit bersenjata lengkap – entah ada pelurunya atau hampa—berdiri tegak dengan wajah garang.
Damai itu ada di dalam hati, kita ciptakan kedamaian dalam diri kita sebelum mengajak orang lain berdamai, apalagi menginginkan dunia yang damai. Kata menyejukkan ini terdengar di sela-sela lagu Kristiani pada sebuah misa Natal – entah di mana, karena saya mendengarnya lewat radio.
Ingin merasakan Indonesia yang damai seperti dulu, ritual kebaktian Natal tidak dijaga polisi. Tulisan ini ada di Facebook, diposting oleh seorang budayawan, yang – agak relevan disebut –seorang Muslim.
Tetapi, kenapa damai yang indah itu begitu mahal, kenapa ritual keagamaan harus dijaga polisi? Ini pertanyaan batin saya yang jawabannya melebar ke mana-mana.
Setelah Amrozi meledakkan bom pertama di Bali, Oktober 2002, ada ide agar persembahyangan umat Hindu di pura yang besar, dijaga oleh aparat keamanan. Ide ini datang dari aparat keamanan sendiri, tentu dengan niat baik untuk antisipasi. Namun, ide itu ditentang. Alasan yang masuk akal adalah berbagai analisa bahwa sasaran teroris di Indonesia sesungguhnya untuk menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Bukan perang terhadap orang Bali, apalagi memerangi umat Hindu.
Tapi, masyarakat Bali penganut Hindu punya alasan lain, yang boleh diperdebatkan apakah masuk akal atau kurang masuk akal. Yakni, mereka percaya Tuhan tidak tidur. Karena Tuhan tidak tidur, apalagi saat diberikan persembahan, tak mungkin Tuhan membiarkan ada bom meledak. Segala niat jahat yang mendomplengi ritual kedamaian itu pastilah “dicegah oleh Tuhan”.
Saya setuju persembahyangan jangan dijaga polisi, apalagi sampai memakai alat dedektor logam di pintu masuk pura. Kalau pun ada polisi yang bertugas, biarlah hanya mengurus lalu lintas di jalanan. Tapi, saya tak menggunakan alasan seperti tadi: sasaran teroris adalah Amerika atau Tuhan pasti mencegah karena Beliau tidak tidur. Alasan saya hanya satu: kalau itu sampai terjadi – sembahyang dijaga polisi – akan menjadi trauma berkepanjangan bahwa bumi ini sangat tidak damai. Rasa takut kita tumbuh, bahkan dipupuk dengan teror ketakutan tanpa akhir, sehingga jika pada suatu saat kita bersembahyang tidak melihat ada polisi yang menjaga, sembahyang kita menjadi tidak khusuk. Bagaimana menciptakan damai dalam diri kalau batin kita bertanya-tanya: ada bom apa tidak ya?
Seribu Banser Ansor siap mengamankan malam Natal. Puluhan ribu polisi siap menjaga gereja. Pecalang – aparat keamanan milik adat di Bali – juga diminta menjaga sejumlah gereja di Bali. Adakah ini menimbulkan rasa aman untuk mereka yang menjalankan ritual Natal? Saya tak tahu karena saya tidak merayakan Natal. Namun seorang sahabat Kristiani mengatakan, ia justru merasakan ini sebagai “menebar ketakutan”, seolah-olah misa Natal itu sesuatu yang sangat berbahaya. Yang lebih parah lagi seolah-olah ada sekelompok orang yang tidak merayakan Natal ingin mengacaukan misa Natal.
Pada akhirnya, perlu tidaknya penjagaan – tidak bisakah menjaga keamanan dengan diam-diam -- tentu umat Kristiani yang paling tahu jawabannya. Barangkali benar ada ketakutan, karena sejumlah gereja pernah dirusak -- menjelang atau sesudah Natal-- tapi apa itu sepanjang tahun?
Natal tanpa dijaga polisi, bukan saja untuk menghindari kesan umat Kristiani punya musuh besar di Nusantara ini, tetapi memang kita ingin Indonesia yang damai -- seperti dulu.
Langganan:
Postingan (Atom)