Tampilkan postingan dengan label Majalah Raditya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Majalah Raditya. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Februari 2010

Ogoh-Ogoh

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Hari Raya Nyepi sudah datang. Hari yang ditunggu-tunggu. Tapi kebanyakan orang Bali, apalagi kaum mudanya, bukannya menunggu saat melangsungkan brata penyepian – amati geni, amati karya, amati lelungan, amati lelangunan – tetapi menunggu pawai ogoh-ogoh. Pesta ogoh-ogoh ini lebih penting ketimbang Nyepi itu sendiri. Jadi, yang ditunggu-tunggu sebenarnya bukan Nyepi tetapi pengerupukan alias sehari sebelum Nyepi. Itulah hari yang sering disebut sebagai Tawur Kesanga.


Tawur Kesanga ini adalah ritual untuk bhuta yadnya, kalau tingkatan rendah disebut caru, kalau tingkatan paling tinggi disebut tawur. Untuk gampang dihayati, inilah saatnya para bhuta diubah wujudnya menjadi dewa agar tidak mengganggu bumi sebelum umat Hindu melaksanakan brata penyepian. Mengubah wujud bhuta menjadi dewa ini dalam istilah agamanya: somya.

Agaknya istilah itu tak berarti bagi kaum remaja Hindu. Yang jelas, kawula muda di Bali merasakan hari ini hari yang tak bisa dilewatkan. Itu saatnya mereka menumpahkan kreasinya dalam acara mengarak ogoh-ogoh. Nyepi tanpa ogoh-ogoh sama dengan makan tanpa kerupuk, tak ada renyahnya meski kerupuk tidak membuat kenyang.

Namun di Bali, banyak yang salah kaprah memanfaatkan fungsi ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh dijadikan barang seni dan diarak sebagai sebuah bentuk kesenian dan menjadi dunia tontonan. Di luar Bali, khususnya di Jakarta dan kota-kota besar, anak-anak muda membuat ogoh-ogoh untuk kepentingan ritual. Ogoh-ogoh tak diarak, hanya untuk natab caru saja. Ketika tawur kesanga sudah selesai, bhuta sudah somya menjadi dewa, kenapa simbol bhuta diusung-usung lagi? Kenapa harus diarak ke jalanan? Ini kan sama saja dengan menghidupkan bhuta kembali, bagaimana bisa melaksanakan brata penyepian. Karena itu umat Hindu di luar Bali sering mengejek umat Hindu di Bali dengan menyebutkan: “Pantas saja selama ini bayak umat Hindu di Bali yang Nyepi sambil meceki dan main domino, karena bhuta masih gentayangan.”

Para remaja Hindu di luar Bali mengikuti upacara tawur dengan khikmad. Ketika Sulinggih muput tawur, mereka membunyikan musik keras dengan berbagai kreasi. Bisa gamelan baleganjur, bisa musik kentongan dari bambu (mirip tektekan di Tabanan) atau berbagai variasi lainnya. Saat itulah ogoh-ogoh sebagai symbol bhuta disuruh “makan caru”, selanjutnya dianggap sudah somya menjadi dewa. Jadi, ogoh-ogoh sudah dianggap tak ada lagi, lalu dipreteli di tempat.

Fenomena belakangan ini berkembang lagi ogoh-ogoh yang semakin jauh dari dunia ritual. Yakni, ogoh-ogoh kemasukan dunia bisnis dan membawa pesan sponsor. Kalau pun tidak ikut dimasuki virus bisnis, ogoh-ogoh jadi symbol untuk mengungkapkan perasaan. Bisa perasaan perorangan, bisa pula perasaan kelompok, maklum ogoh-ogoh dibuat oleh kelompok.

Misalnya, ada ogoh-ogoh yang menggambarkan perempuan berbadan sintal lagi merangkak dengan rok mini. Apa kaitannya dengan bhuta yadnya? Tapi, kalau kita tanya kaitannya, tentu saja ada jawabannya. Misalnya disebutkan, dunia ini sudah dikuasai oleh wanita-wanita binal yang merusak moral masyarakat khususnya anak-anak muda. Ini adalah bentuk bhuta yang baru, yang harus pula dibasmi atau disomya.

Ada ogoh-ogoh yang melambangkan pemuda bertubuh kurus sedang memegang botol minuman. Mudah ditebak, apa yang mau disampaikan oleh ogoh-ogoh itu. Yakni, mengajak masyarakat untuk waspada terhadap dampak minuman keras yang menyebabkan mabuk. Jadi, pemuda kurus pemabuk itu pun menjadi bhuta versi baru. Ada pula ogoh-ogoh \Anoman yang menunggang sepeda motor, ini jelas ada iklan sponsornya. Tapi orang bisa berdalih: sepeda motor yang terus bertambah di Bali dan memacetkan jalan adalah juga bentuk bhuta versi baru. Pertanyaannya adalah, apakah pesan “bhuta versi modern” itu sampai dicerna dan tak tenggelam dalam bentuk phisiknya?

Salahkah jika masyarakat Bali mengarak ogoh-ogoh dengan berbagai simbol untuk mengungkapkan perasaan atau fenomena yang ada dalam masyarakat? Ada yang salah dan ada yang tidak. Tidak salah karena uneg-uneg masyarakat bisa dicetuskan bersama dalam suasana pesta. Itu yang menjelaskan kenapa membuat ogoh-ogoh dengan biaya mahal mudah mendapatkan dana.

Yang salah adalah simbul bhuta dalam ogoh-ogoh itu harus jelas sesuai dengan sastra Hindu. Parisada pernah memberikan rincian tentang ini, apa saja ciri-ciri symbol bhuta. Salah satunya adalah symbol yang mempunyai sifat keraksasaan. Kalau ogoh-ogoh berbentuk Arjuna atau Krisna atau Anoman tentu tak dianjurkan, karena jauh dari sifat keraksasaan.

Kesalahan utama tentu saja karena ogoh-ogoh tidak dilibatkan dalam pecaruan atau tawur. Semestinya, ogoh-ogoh yang melambangkan bhutakala ini bagian inti dari ritual karena fungsinya untuk natab caru. Yang kita lihat di Bali, ogoh-ogohnya di arak di tempat lain, pelaksanaan tawur di tempat lain lagi. Jika pun berdekatan, ogoh-ogoh tidak diusung ke tempat banten tawur digelar.

Apa yang bisa dipetik dari kesalahan dalam menyikapi ogoh-ogoh Nyepi ini? Perlu dikembangkan adanya ogoh-ogoh nonritual atau ogoh-ogoh profan sebagai bentuk kesenian yang seratus persen tontonan. Hal ini sudah pernah dirintis oleh pemerintah kota Denpasar dengan menyelenggarakan pesta ogoh-ogoh non-ritual. Pesta ini diselenggarakan untuk menyambut HUT Kota Denpasar. Namun, pesta yang berlangsung di bulan Februari itu tetap saja tak mengurangi salah kaprah ogoh-ogoh ritual di saat Nyepi. Mungkin perlu waktu untuk “mengajarkan” umat Hindu di Bali, yang mana sakral yang mana profan.

Ide Walikota Denpasar untuk membuat karnaval ogoh-ogoh nonritual pada HUT Kota Denpasar sebenarnya patut disambut gembira. Banyak kota di dunia yang terkenal karena karnavalnya yang unik. Brasil, Lima, Meksiko, Paris, Napoli, Lisabon adalah contoh kota yang selalu kebanjiran wisatawan saat karnaval berlangsung. Kalau karnaval ogoh-ogoh profan ini dikelola dengan baik, ia bisa jadi obyek wisata baru di Bali, dan pada akhirnya masyarakat yang membuat ogoh-ogoh mendapatkan subsidi.

Namun, jika tidak dikelola dengan baik, beban masyarakat bertambah. Apalagi kalau ogoh-ogoh ritual tetap tak bisa dikontrol, maka penduduk Denpasar akan dua kali membuat ogoh-ogoh dalam setahun. Bayangkan, berapa juta uang yang habis untuk hura-hura seperti ini, padahal umat Hindu, menurut sensus BPS, adalah umat yang paling terbelakang dalam SDM. Bukankah lebih baik membangun sekolah, pasraman, atau membeli buku agama dibandingkan membuat ogoh-ogoh?


Kamis, 27 Agustus 2009

Putu Setia jadi Ida Pandita Mpu

Oleh Made Mustika

Malam itu langit di atas Desa Pujungan, Tabanan, gelap gulita. Maklum, Kamis 20 Agustus 2009 adalah Tilem (bulan mati). Malam itu dipilih oleh tuan rumah untuk menuntaskan niatnya menjadi sulinggih, tahapan tertinggi perjalanan manusia menurut Hindu. Malam itu Putu Setia resmi memperoleh gelar Ida Pandita Mpu. Lengkapnya adalah Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Menanggalkan gelar sebelumnya: Ida Bhawati. Ibarat dunia pendidikan, dulu Putu Setia baru bergelar sarjana muda, kini sudah sarjana strata satu. Istrinya, Ni Made Sukarnithi, tentu saja bergelar Ida Pandita Mpu Rai Istri Jaya Prema Ananda.

Tilem dipilih karena setelah itu bulan di langit akan nampak semakin membesar dari hari ke hari. Fenomena alam itu dimaknai semoga jalan spiritualnya dari hari ke hari semakin memuncak. Semakin memuncak? Bukankah posisi yang dicapai sekarang sudah merupakan “karir” puncak? Benar memang. Tapi ibarat sarjana, apalah artinya kalau hanya gelar saja sarjana, namun perilaku dan intelektual tidak mendukungnya? Ida Pandita berkomitmen akan terus berjuang menaklukkan “diri” serta memperdalam keilmuannya, baik dalam bidang agama maupun bidang-bidang lainnya. “Saya juga akan tetap menulis (di berbagai media),” ujarnya setelah upacara diksa selesai dijalani.

Semasih walaka, Putu Setia adalah seorang wartawan. Dia dikenal sebagai wartawan senior di Majalah dan Koran Tempo. “Beliau adalah seorang yang kritis. Kalau saja ada 30 sulinggih seperti beliau, maka akan sangat besar dampaknya dalam rangka pencerahan kepada umat Hindu,” komentar Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Dr. I Gusti Ngurah Sudiana menjelang pelaksanaan diksa malam itu. Selain Sudiana, sambutan juga diberikan oleh Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Prof. Dr. Made Titib.

Titib malam itu menguraikan makna diksa, yang antara lain di dalamnya ada prosesi sedaraga atau proses “meninggal” sebelum akan “dilahirkan” kembali. Prosesi sedaraga dimaksudkan agar indria-indria dan nafsu-nafsu buruk dikubur atau ditinggalkan. Dicontohkan, seorang sulinggih tak boleh mengkhayal yang bukan-bukan bila melihat gadis muda nan cantik. Demikian juga soal makanan, lidah dan perut hendaknya jangan dimanja, apalagi sampai memanjakan berlebihan. Di dalam ajaran Buddha, seorang biksu bahkan diharapkan hanya makan sekali sehari dengan menu sederhana hasil pemberian umat. Makanan itu hanya untuk mempertahankan badan. Jika lewat dari itu, maka hal itu dimaksud sebagai berlebihan. Kalau sudah berlebihan, jelas indria yang menikmatinya. Itulah antara lain perjuangan yang terus mesti ditaklukkan oleh Ida Pandita. Tegasnya, tidak boleh cepat marah dan emosi. Demikian antara lain standar moral seorang sulinggih. Berat memang, tapi sungguh mulia.

Ritual sedaraga berlangsung antara pukul 23.35 hingga 01.10 dini hari. Dalam prosesi tersebut, Putu Setia dan istri diupacarai layaknya sudah meninggal. Keduanya dibungkus dengan kain putih. Upacara dilakukan di balai pawedan dipimpin oleh tiga sulinggih. Mereka itu adalah Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda dari Kayumas Kelod, Denpasar, sebagai guru nabe; Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Prateka Tanaya dari Padangan, Pupuan, sebagai guru waktra, dan Ida Pandita Mpu Nabe Dharmika Tanaya dari Basangbe, Baturiti, sebagai guru saksi. Menurut pandangan Titib, saat-saat sedaraga merupakan masa kritis sekaligus akan memberikan pengalaman batin yang sifatnya ekslusif.

Setelah dibalut kain layaknya orang meninggal, mereka kemudian digotong ke balai gede, sekitar 12 meter dari balai pawedan. Di situ “mayat-mayat” itu diletakkan/ditidurkan kurang lebih 1,5 jam. Benar juga, saat itu Putu Setia tidak merasakan apa-apa. Yang didengar hanya orang mekidung (nyanyi). Sedangkan suara gamelan yang tentu jauh lebih keras tidak didengarnya. “Badan mulai dada ke bawah sampai ujung kaki tak sadar sama sekali. Bahkan saya sempat berpikir apa saya sudah mati beneran?” katanya. Selama sedaraga, atman Putu Setia seperti mengelana ke masa ribuan tahun silam. Dia mengaku tidak tahu ke mana ia “mengembara”. Yang jelas suasananya primitif sekali. Orang-orang yang ditemui tidak menggunakan pakaian seperti kita sekarang. Mereka tidak menggunakan alas kaki. Ukuran tubuh yang dilihatnya juga relatif lebih kecil dibanding manusia sekarang. Mereka ada yang mandi di sungai. Air-air sungai masih sangat jernih. Demikian juga hutannya masih sangat perawan. Putu Setia mengaku amat menikmati perjalanan itu. Namun tiba-tiba mukanya terasa kecipratan air. Hendak protes, tapi kata yang disiapkan sama sekali tidak bisa keluar. Lidahnya kelu, mulutnya tak bisa digerakkan. Seperti yang sering dialami orang ketika bermimpi. Tapi Putu Setia tidaklah bermimpi saat itu. Tapi sebuah pengalaman eksklusif yang tidak bisa dirasakan orang lain kalau tidak pernah menjalani.

Ketika waktu 1,5 jam dilampui, guru nabe memang meminta beberapa orang untuk memberikan tirta (air suci). Kecipratan air suci membuat “perjalanannya” atman Putu Setia tiba-tiba mandeg. Ia tak bisa melanjutkan perjalanannya batinnya. Padahal saat dia lagi senang-senangnya menikmati pengalaman itu. Saat kesadarannya mulai terjaga, bagian bawah badan masih tetap belum bisa digerakkan, walaupun beberapa orang telah memijat tangan dan kakinya. Baru ketika dibawa ke tempat permandian, Putu Setia sadar sepenuhnya. “Lebih-lebih setelah disiram dengan air hangat, kesadaran saya pulih sepenuhnya,” ujarnya. Pengalaman batin saat melakukan sedaraga tak sama pada setiap sulinggih.

Pemimpin Redaksi Majalah Raditya itu kemudian menjalani sejumlah ritual tambahan hingga pukul 03.30 Wita. Puncaknya dilakukan persembahyangan bersama di Pura Manikgeni. Subuh itu langit masih gelap, dan puncak dingin datang menyergap. Butuh perjuangan keras untuk melewatkan malam dalam kondisi seperti itu. Serangkaian ritual itu pastilah amat melelahkan. Apalagi, Jumat (21/8), pukul 09.00 dilanjutkan dengan acara resepsi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika tidak bisa hadir langsung, dan mengutus Asisten II Ketut Wija untuk membacakan sambutan tertulisnya. Sementara Ketua Pusat Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MPSSR) Prof. dr. Wita, Ketua PHDI Tabanan Wayan Tontra, tokoh Hindu Ketut Wiana hadir langsung dalam resepsi tersebut. Mereka, selain memberikan ucapan selamat atas suksesnya upacara diksa tersebut, sekaligus mengingatkan bahwa tantangan menjadi sulinggih sangat besar. Mereka berharap Ida Pandita Mpu tidak hanya mampu menampilkan diri sebagai sulinggih ritual semata. Tapi diharapakan pula menjadi sulinggih yang mampu menerangi kegelapan umat. Harapan lain yang tak kalah pentingnya adalah agar Ida Pandita Mpu tidak mengemas ritual sebagai kegiatan bisnis atau sumber nafkah keluarga.

Nama di belakang gelar yang disandangnya itu bermakna sangat dalam. Jaya Prema Ananda berarti bila kasih sayang berhasil dijalankan, maka kebahagiaan hidup pasti tercapai. Jaya artinya kemenangan, prema artinya kasih sayang, dan ananda artinya kebahagiaan. Sabtu (22/8) sore, di Griya Dharmasastra Manikgni Pujungan dilanjutkan dengan upacara agni hotra oleh sejumlah dokter dari Denpasar. Upacara tersebut sebagai penuntas serangkaian upacara diksa. Cita-citnya menjadi sulinggih yang terpendam sejak 2004 tercapai sudah. “Saya bercita-cita menjadi sulinggih ketika Tempo dibredel oleh penguasa Orde Baru tahun 2004,” jelasnya. Ketika niat itu diutarakan, beberapa temannya di Tempo tak memercayainya. Sebab, bagaimana mungkin seorang dari “kasta” biasa bisa menjadi pandita. Keraguan teman-temannya itu kini terjawab sudah. Dalam Hindu siapapun boleh menjadi pandita, asalkan bisa memersiapkan diri untuk mengambil tanggungjawab dan kedudukan itu. Selamat!

(Diambil dari Majalah Raditya)