Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

Senin, 23 Mei 2011

Pilkada Langsung di Hastinapura (Gugurnya Karna)

Cerita Pendek oleh Mpu Jaya Prema Ananda

(Cerpen ini adalah latihan pertama saya menulis fiksi setelah dinobatkan sebagai Pendeta Hindu. Barangkali lantaran itu tak ada satu pun koran yang mau mempublikasikannya, ya, terlalu dangkal mungkin atau gaya bertuturnya sudah ketinggalan. Tapi saya akan mencoba menulis lagi karena pendeta tetap boleh menulis...ha..ha...)

Sejarah baru dimulai di Provinsi Daerah Istimewa Hastinapura. Setelah bertahun-tahun provinsi itu dipimpin oleh kalangan bangsawan pewaris kerajaan, kini gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan, demikian slogan yang diusung pemerintah pusat, yang suka atau tak suka, harus diikuti oleh seluruh provinsi.

Awalnya sepuluh kandidat memperebutkan jabatan gubernur yang pertamakali dipilih itu. Tujuh dari kalangan darah biru. Para pengamat meramalkan, jabatan gubernur masih akan tetap dikuasai kalangan bangsawan. Ini bukan saja masalah feodalisme yang sudah menjadi budaya di provinsi itu, tetapi juga kenyataan bahwa kalangan bangsawan lebih siap dengan dana, calonnya lebih berpendidikan, dan kepopulerannya jauh di atas calon rakyat jelata. Maklum, di semua bidang kehidupan, kalangan darah biru menjadi penguasanya. Mereka menguasai sektor ekonomi, komunikasi, dan pendidikan.

Karena itu sangat mengejutkan, hasil pemilihan putaran pertama menempatkan calon dari kaum bangsawan bersaing dengan calon rakyat kebanyakan, hal yang menyimpang dari ramalan para pengamat. Radheya Suthaputra, anak seorang kusir dokar (sais andong) berhasil meraih suara terbanyak kedua dan berhak maju ke putaran final. Radheya menantang sang pengumpul suara terbanyak, Dr. Raden Partha Tenaya, pakar nuklir yang sangat tampan, dari kalangan bangsawan trah (clan) Pandu. Kandidat dari kalangan bangsawan trah Drestarata tidak masuk dalam dua besar.

Eforia pun muncul di kalangan masyarakat rendahan. “Dia pahlawan kita, saatnya kasta Sutha berani tampil untuk menghancurkan feodalisme yang sangat bertentangan dengan hak asasi manusia,” kata tim sukses Radheya. Sutha adalah kasta terendah dalam sistem sosial masyarakat warisan penjajah.

Televisi, koran, majalah dan situs berita online, terpecah. Tapi banyak yang berpihak ke Radheya. Media massa ini lahir di era reformasi, sebuah era yang memberi kesempatan kepada kaum bawah untuk bersuara. Namun, harus diakui eforia itu lebih banyak di perkotaan dan daerah kawasan wisata. Di pedesaan, pengaruh kaum bangsawan tak bisa dianggap enteng. Selain itu, penduduk pedesaan tak merasakan benar apa beda era reformasi dengan era sebelumnya, karena mereka tetap dihimpit kepahitan hidup.

Yang menarik, menjelang putaran final ini, kelompok bangsawan trah Drestarata mendukung Radheya. “Kami, para pangeran keturunan Drestarata mendukung Radheya. Dia menjanjikan perubahan,” kata Drs. Duryadana. M.Sc, pimpinan kelompok itu. Prof. Sakuni Hartawan, sesepuh kelompok itu, yang sikapnya sering mencla-mencle, juga mendukung Radheya. “Anak kusir dokar itu telah menjadi pembaru meskipun pendidikan formalnya tak mendukung. Untuk apa gelar kalau tak bisa diamalkan,” kata Prof. Sakuni.

Sayangnya, Radheya dihantam kampanye hitam. Masa lalunya selalu diungkit oleh media massa yang dikuasai bangsawan trah Pandu. Misalnya, dia disebut bukan anak tunggal kusir dokar itu, karena keluarga itu adalah pasangan yang mandul. Radheya adalah anak yang dipungut di sungai Yeh Gangga. Ada perempuan jahat yang membuang anak itu. “Radheya anak bebinjat, bagaimana mungkin provinsi ini dipinpim anak haram,” kata Yudhistira Adiwangsa, M.Ag, sesepuh bangsawan kelompok Pandu. Bebinjat adalah istilah yang sangat kasar di provinsi itu, berasal dari bahasa daerah yang artinya “anak yang lahir dari ibu jahat”. Yudhistira, master pendidikan agama lulusan Institut Agama Weda ini memang jarang berbicara, tetapi ucapannya yang pelit itu selalu diulang-ulang oleh jaringan televisi kelompok bangsawan.

“Kamu harus melawan kampanye hitam itu, jangan mundur selangkah pun,” kata Sakuni, memanas-manasi. “Ya Paman, pada debat terbuka nanti, saya akan akui hal itu, saya anak bebinjat, anak yang hina…”

“Memang kamu tahu, siapa dirimu?” Sakuni memotong. Radheya langsung menjawab: “Tentu, lebih dari yang orang lain tahu.”

***

Hidup dalam keluarga sederhana, membuat Radheya kecil bergulat keras mencapai cita-citanya: ahli nuklir. Selepas sekolah dasar ia membiayai sendiri pendidikannya di sekolah lanjutan pertama dan atas dengan berjualan koran. Kebetulan sekolah itu ada di lingkungannya, meski pun ia tetap diejek-ejek sebagai anak kusir dokar. Ia tak peduli. Justru ketika di SMA, Radheya menambahkan kata Suthaputra di belakang namanya. “Ini ciri kebanggaan saya sebagai anak kasta Sutha,” katanya.

Tamat SMA, Radheya pergi ke kota mendaftar di Sekolah Tinggi Teknik Nuklir. Sehari menjelang testing, ia dipanggil oleh rektor sekolah tinggi itu, Prof. Dr. Drona. “Siapa kamu, yang berani mendaftar di sekolah yang bergengsi ini?” tanya Drona.

Radheya menjawab dengan hormat: “Namaste Guru. Aku adalah putra Atiratha, kusir dokar di pinggiran kota. Ibuku Radha, perajut benang. Namaku Radheya Suthaputra.”

Prof. Drona menggebrak meja: “Engkau adalah seorang putra Sutha. Aku tak akan mengajarkan ilmu nuklir kepada orang dari kelahiran rendah.”

Radheya masih mampu menjawab: “Kelahiran adalah takdir Ilahi yang tak bisa diminta. Semua orang lahir dari rahim seorang ibu, dan Weda mengajarkan seorang ibu adalah mulia.”

Drona makin marah: “Jangan berkotbah di depanku. Sekolah ini hanya untuk para Kesatria. Apalagi kelahiranmu cacat, tak dikehendaki oleh ibu yang melahirkanmu. Keluar!”

Radheya diam. Drona memanggil seseorang. “Partha, usir anak ini,” teriak Drona, dan guru besar itu pergi. Seorang remaja tampan datang. Ia menegur Radheya dengan halus dan memintanya keluar dari ruang rektorat. Radheya tetap duduk. Tiba-tiba muncul remaja kekar dan langsung menyeret Radheya ke luar dengan paksa. Bahkan si kekar itu sempat memukul Radheya. Tak terjadi perkelahian karena Radheya dipeluk remaja tampan itu sementara yang kekar sudah menjauh. “Dia kakak kandung saya, namanya Bimasena, ia suka berkelahi. Nama saya Partha Tenaya, di rumah saya dipanggil Arjuna, saya murid pribadi Guru Drona. Guru memang hanya menerima murid para Kesatria.”

Kata-kata Partha masih panjang, suaranya sedikit lembut, tetapi Radheya sudah tak bisa menangkapnya karena hatinya sudah panas. Ia pulang dengan kepedihan yang menyayat.

Tiga hari setelah itu, di suatu malam yang dingin, Radheya menemui ibunya di beranda rumah. Saat itu Radheya persis berusia delapan belas tahun, tetapi keluarga ini memang tak pernah merayakan hari kelahiran. Ia segera bersujud di kaki ibunya, sementara perempuan itu asyik dengan benang yang dirajutnya.

“Ibu, apakah Ibu mau menceritakan sesuatu?” Radheya memeluk kaki ibunya dan melanjutkan; “Hari ini usiaku delapan belas tahun, aku mau pergi menuntut ilmu. Di kota ini, aku sudah ditolak. Karena aku pergi jauh, aku ingin tahu, siapa sejatinya aku ini.”

Perempuan itu menaruh benang yang sedang dirajutnya. Tiba-tiba ia menangis. Radheya kaget. “Ibu, apakah aku telah melukai hatimu? Maafkan aku. Mengapa ibu menangis seperti ini?”

Radha tetap menangis. Bahkan ketika ia mampu berbicara panjang tentang siapa Radheya, suaranya terbata-bata. Radheya pun sempat menitikkan air mata mendengar cerita ibunya, walau kemudian ia berusaha tenang.

“Cukup ibu,” ujar Radheya setelah ibunya berbicara lebih dari sejam. “Engkau adalah ibuku, hanya engkau ibuku. Ibu yang paling berharga dibandingkan ibu-ibu yang lain. Aku tak peduli, jika pun aku seorang Kesatria, aku tak ingin jadi orang lain, aku hanya ingin menjadi putramu.”

Radheya memeluk ibunya. Radha membalas pelukan itu dengan derai air mata. Esok harinya, Radheya berpamitan untuk menuntut ilmu ke kota yang jauh. Ia berguru ke Bhagawan Bhargawa.

***

Pendopo gubernuran sudah bersolek. Saatnya tiba, debat akhir calon gubernur. Dr. Partha Tenaya sudah duduk di posisi kiri podium. Ia didampingi ibunya, Dra. Sri Kunti Pandu. Di belakangnya duduk saudara-saudaranya, Yudhistira Adiwangsa, M.Ag, Bimasena yang mantan petinju, Nakula dan saudara kembarnya Sahadewa, keduanya baru saja lulus dari sekolah tinggi seni tari. Satu kursi kosong, tadinya diperuntukkan Pendeta Bhisma, tetapi kakek Partha ini tak datang. Padahal Bhisma diharapkan mewakili kepala keluarga karena ayah Partha, yakni Pandu Devata, sudah meninggal dunia.

Di sisi kanan podium, Radheya Suthaputra hanya didampingi ayah dan ibunya. Tak ada orang lain. Pendukung kedua kandidat ada di depan podium, di sana pula berbaur Duryodana, Sakuni, Aswatama dan – ini yang menarik— ada pula Prof. Drona.

Radheya tampil pertama. Ia maju dengan memberi salam hormat. “Sebelum saya menyampaikan visi dan missi, saya ingin menceritakan sedikit, siapa sebenarnya saya. Betul sekali, saya adalah anak seorang Sutha, ayah saya hanya kusir dokar dan ibu saya tukang rajut.”

Tepuk tangan bergemuruh. Radheya melanjutkan: “Selama ini media massa sering menyebut saya anak bebinjat. Itu tak salah, karena saya ternyata anak angkat yang dipungut oleh ayah saya yang ada di sini,” kata Radheya sambil menunjuk ayahnya.

Tepuk tangan kembali bergemuruh. Kunti membuka kacamatanya, seperti memperhatikan Radheya lebih seksama.

“Seorang ibu yang jahat telah membuang anaknya di aliran Yeh Gangga. Pasti anak itu lahir dari perzinahan, perbuatan terhina dalam Weda. Siapakah ibu itu? Kepolisian menemukan bukti-bukti berikut: bayi itu dibalut selimut mahal yang tak mungkin dibeli oleh rakyat kelas bawah, lalu ditaruh di kotak bekas kardus sepatu buatan luar negeri, benda yang asing di kalangan kasta Sutha. Besar kemungkinan bayi itu lahir dan dibuang oleh ibu dari kalangan bangsawan. Betapa rusaknya moral anak bangsa ini,” Radheya menghentikan pidatonya karena tepuk tangan kembali bergema. Sementara itu, banyak kaum ibu yang menitikkan air mata terharu, termasuk Kunti.

“Bunda jangan terpengaruh bualan Radheya, jangan larut,” bisik Partha ke arah ibunya. Kunti terlihat mengeluarkan sapu tangan.

“Kalau saja kepolisian berani mengusut kasus itu pada awalnya, semuanya tuntas. Karena di telinga bayi lelaki itu sudah ada anting-anting berlian dan masyarakat spontan berteriak: karna…karna… Bayi itu pun dipanggil Karna, artinya daun telinga.”

Sri Kunti Pandu rebah dan Partha tampak panik menyangga bahu ibunya. Radheya tak melihat kejadian itu dan melanjutkan: “Karena kepolisian menghentikan pengusutan, kusir dokar ini berhak atas bayi itu karena dia yang pertama menemukannya. Akulah bayi itu, Karna adalah Radheya. Saatnya Radheya tampil untuk mengembalikan moral yang tercabik-cabik oleh kaum ibu yang jahat…”

Kali ini, tepuk tangan gemuruh ditambah suara gaduh. Sri Kunti pingsan dan diusung keluar pendopo, diikuti putra-putranya. Debat ditunda.

***
Pantai Yeh Gangga setelah matahari tenggelam. Di kafe pinggir laut di hilir sungai itu, duduk seorang perempuan berkerudung ditemani seorang lelaki. Dia nampak gelisah mempermainkan kardus kecil yang diletakkan di atas meja.

“Widura, kau yakin dia datang?” tanya perempuan itu. Yang dipanggil menjawab: “Dia sudah SMS, sebentar lagi datang dengan taksi.”

Betul, terdengar suara mobil memasuki halaman kafe. Radheya memasuki kafe dengan langkah tenang. Ia disambut Widura dan berbasa-basi sejenak, lalu Radheya diarahkan ke meja tempat perempuan berkerudung. Setelah itu Widura pergi.

Suasana kaku. “Radheya, saya kagum dengan visi dan misi yang Anda sampaikan. Perbaikan moral harus jadi prioritas utama di negeri ini dan hanya ibu-ibu yang bermoral yang bisa memperbaiki bangsa. Weda mengatakan, di mana kehormatan seorang wanita terjaga, di sana ketentraman dan kemakmuran berada,” kata perempuan itu.

“Terimakasih,” sahut Radheya. Perempuan itu cepat melanjutkan: “Sebagai bukti saya mendukung perjuangan Anda, saya memberikan dana sekedarnya. Ambillah ini,” perempuan itu menyodorkan kardus kecil. “Tak banyak, hanya seratus ribu dolar.”

Radheya tercengang. “Maaf Ibu, sumbangan ini sebaiknya disampaikan setelah saya menjabat gubernur. Kalau sekarang saya terima ini tergolong money politic.”

“Radheya yang baik,” perempuan itu seperti memelas. “ Saya berpikir, perjuangan menegakkan moral tak mungkin dilakukan oleh pemerintah sekarang, apalagi hanya oleh gubernur. Perjuangan itu harus dilakukan di luar pemerintah, menggandeng ulama, masyarakat adat, budayawan dan sebagainya. Anda tepat melakukan ini.”

“Apa maksud Ibu, bisakah to the point?” tanya Radheya. “Saya ingin Anda mengundurkan diri sebagai kandidat gubernur. Biarkan jabatan itu dipegang Partha Tenaya,” jawab perempuan itu.

Radheya tersinggung. “Permainan apalagi ini? Ini kejahatan luar biasa, menyuap orang untuk mengundurkan diri. Anda siapa?”

“Nama saya Sri Kunti, ibunda Partha Tenaya.”

Radheya tertawa. “Terlalu dangkal ulahmu untuk menaklukkan saya. Kamu sama jahatnya dengan ibu yang melahirkan saya.”

“Karna… Karna…” teriak Kunti. “Nama saya Radheya, bukan Karna,” jawab Radheya tak kalah teriaknya.

“Kau anakku, Karna…”

Radheya tercengang, bibirnya gemeretak menahan marah. “Jadi, kau perempuan jahat yang membuang bayi itu di Yeh Gangga?”

“Ya, aku yang mengandungmu sembilan bulan dan melahirkannya dengan selamat. Kalau aku mau melakukannya, usia kandungan dua atau tiga bulan bisa kugugurkan dengan mudah, banyak dokter yang mau melakukannya. Tapi aku ingin lihat anak itu lahir dan selamat…”

“Dan dibuang…” Radheya memotong.

“Dibuang dengan menjamin keselamatannya, ditaruh di kardus kedap air, dibalut selimut tebal dan anting-anting sebagai pertanda kelak kemudian hari. Diletakkan saat air Yeh Gangga tenang, diawasi oleh banyak saudara-saudaraku sampai yakin ada orang yang memungutnya.”

“Kenapa kau lakukan kejahatan itu, Kunti?”

“Karena aku bangsawan dan kaumku sedang memerintah. Negeri bisa gonjang-ganjing hanya karena perzinahan yang tak kusengaja ini. Biarkan aku bercerita dulu, Karna. Ketika itu aku masih gadis, entah bagaimana aku ingin mempraktekkan ilmu kebatinan yang kuterima dari seorang Resi, Ketika aku melakukan hubungan intim dengan pacarku, yang kubayangkan bukan wajah pacarku, tetapi wajah Dewa Surya. Ternyata hubungan itu membuahkan janin, aku takut kena kutukan Dewa Surya, kupelihara janin itu dan setelah bayi itu lahir, kuselamatkan dengan bantuan Dewa Surya.”

“Itu dongeng konyol. Bukan bantuan Dewa Surya, tetapi bantuan kepolisian yang menutup kasus ini dengan memberikan surat penghentian penyidikan. Mau meneruskan dongeng konyol itu lagi?” Radheya menyindir.

“Ya, setelah semuanya aman, aku dinikahkan dengan Pandu. Dalam perkawinan inilah seharusnya ilmu kebatinan yang kuperoleh itu digunakan, bukan sebelum kawin. Pandu lelaki yang tak subur. Ketika melakukan hubungan suami istri, aku memuja Dewa Dharma dan lahirlah Yudhistira. Anak kedua, aku memuja Dewa Bayu, lahirlah Bimasena. Terakhir aku memuja Dewa Indra, lahir Partha. “

“Cerita konyol apalagi tentang kelahiran kembar Nakula dan Sahadewa?” Radheya terus mencibir.

Kunti melanjutkan: “Oo, itu anak-anak Madri, istri Pandu yang lain. Kuajari Mandri memuja Dewa Aswin dan lahirlah anak kembar itu. Nakula dan Sahadewa kuanggap anak sendiri karena Mandri mau melakukan upacara satya, menceburkan diri di api yang membakar Pandu ketika upacara pitra yadnya. Kini aku menjadi ibu dari kelima anak tanpa pilih kasih….”

“Dan kau sungguh ibu yang mulia kalau tidak membuang anak pertamamu hasil memuja Dewa Surya. …”

“Itu takdir dewata, Karna. Nyatanya, kau tetap tumbuh sebagai kesatria, karena kau memang anak yang lahir dari rahimku. Weda mengajarkan, seburuk-buruk ibu kandung, sejahat-jahat ibu yang melahirkan, seorang anak harus tetap berbhakti karena ibu kandung adalah pradana, pemegang kunci sorga…,”

Radheya mulai agak tenang, dan berkata: “Aku mengakuimu sebagai ibu, tetapi kejahatanmu harus dikuburkan dengan tobat. Mohon ampun kepada dewata malam ini, dan besok pagi kau buat jumpa pers, umumkan kepada semua rakyat yang punya hak pilih bahwa Kunti adalah ibu dari dua kandidat gubernur yang tidak pilih kasih. Siapa pun yang menang, apakah itu Partha alias Arjuna, atau Radheya alias Karna, Kunti adalah ibunya. Namaste….”

Radheya keluar dari kafe. Kunti memeluk kardus kecil berisi uang dolar itu sambil sesenggukan. Sekejap ia sempat menatap Karna, anaknya, yang dihadang dua lelaki dan memasukkan dengan paksa ke mobil. Selebihnya, suara ombak yang menderu, karena kawasan wisata ini memang sepi sejak ada cuaca ekstrim.

***
Radheya tewas. Radheya dirampok. Radheya gugur sebelum bertempur. Headline koran seragam di pagi ini dengan berita tewasnya kandidat gubernur di kawasan wisata Yeh Gangga. Televisi menyiarkan berita itu tak henti-hentinya, dari pagi sampai siang, dari siang sampai malam, dari malam sampai pagi esoknya.

Radheya tewas dengan tiga peluru ditubuhnya, dan sejumlah uang dolar yang tercecer. “Radheya mungkin melakukan perlawanan ketika dirampok,” kata seorang pengamat di televisi.

Semua televisi menyajikan breaking news. Polisi meminta semua orang waspada terhadap teroris yang mulai mencari dana dengan merampok. Pengamat lain meminta kepolisian menyelidiki juga motif politik, bukan hanya perampokan. “Siapa tamu yang ditemui Radheya di kafe Yeh Gangga? Kenapa saat kejadian, Kresna, Yudhistira, Bimasena menginap di vila di sebelah kafe itu? Orang tahu, Kresna berasal dari Provinsi Dwarawati yang diutus oleh pemerintah pusat untuk melaksanakan pemilihan langsung di Hastinapura. Dan orang juga tahu, Kresna adalah keponakan Kunti, siapa tahu dia sutradara dari huru-hara ini,” kata Tjipta Laksana, pengamat itu.

“Jadi, tewasnya Radheya sebagai permainan kotor politik?’ tanya penyiar, sok menyimpulkan. “Upaya itu harus digali dan yang lebih penting, ini adalah kesalahan pemerintah pusat yang memaksakan pemilihan langsung. Kalau saja jabatan gubernur masih dengan cara penetapan, mungkin tak seheboh ini. Saya yakin akan ada perang saudara di Hastinapura,” kata Tjipta Laksana.

Penyiar bingung , lalu: “Pemirsa, breaking news segera kembali.”


Bali, Januari 2011

Catatan:
• Penulis adalah pendeta Hindu, tinggal di lereng Gunung Batukaru Bali, sebelumnya wartawan bernama Putu Setia.
• Kisah ini terinspirasi dari Adiparwa (bagian pertama ephos klasik Mahabharata) episode Adipati Karna.

Senin, 24 Januari 2011

Kesabaran dan Kesahajaan Menjadi Teladan


Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

(Tulisan ini mengantar purna bhakti Drs. Ketut Wiana, M.Ag sebagai staf pengajar di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, 5 Januari 2011)

Rasa bangga dapat berkenalan dengan orang-orang yang dikagumi tentulah dialami oleh banyak orang. Apalagi jika orang yang dikagumi itu kemudian bisa menjadi seorang sahabat yang tulus, sekaligus seorang guru yang tak habis-habisnya menuangkan ilmunya. Saya bersyukur bisa berkenalan dengan Ketut Wiana, sahabat yang tulus itu, orang yang saya kagumi itu, dan harus saya akui pula bahwa dia adalah seorang guru buat saya, meski tak pernah saya menjadi muridnya yang formal. Pak Wiana memang seorang guru, beliau bahkan pernah menjadi kepala sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Denpasar, tetapi saya tak pernah bersekolah di sana atau ikut menjadi staf pengajar di sana.

Saya tak ingat kapan saya mulai berkenalan dengan Ketut Wiana, tetapi yang jelas jauh sebelum kenal secara pribadi saya mengenalnya lewat tulisan-tulisannya, baik di media massa maupun makalah dalam berbagai seminar. Beliau sudah lama aktif di Parisada sebelum saya mengenal dengan baik majelis agama Hindu itu.

Tetapi saya ingat sebuah pertemuan dengan Ketut Wiana di Bandung, 21 Mei 1989. Saya kira itu bukan pertemuan yang pertama, karena sebelum saya merantau ke Jawa rasanya sudah pernah ketemu dengan beliau. Di Kampus Universitas Padjadjaran Bandung 21 Mei 1989 itu ada dharmatula yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Hindu Brahmacari Unpad. Drs Ketut Wiana yang kala itu menjabat Ketua III PHDI Pusat membawakan makalah tentang kasta di Bali. Saya bertugas untuk membahas materi itu.

Diskusi soal kasta ini menarik perhatian. Perdebatan pun seru. Saya yang di kalangan orang Bali rantauan dikenal sebagai “anti kasta” seringkali diundang ke berbagai diskusi, dan di Bandung itu saya mendapatkan lawan diskusi yang menarik. Sebelumnya saya menduga Pak Wiana setuju dengan adanya kasta di Bali, setidak-tidaknya tak menganggap masalah adanya sistem kasta di Bali. Dugaan saya ini dengan alasan, Parisada selama ini tak dikenal sebagai lembaga yang mau meluruskan kasta. Bahkan saya menduga Parisada mengajegkan sistem kasta itu di Bali. Dugaan saya ini meleset. Pak Wiana dalam diskusi itu sangat sependapat dengan saya, bahkan beliau lebih gencar lagi menyebutkan bahwa kasta di Bali itu salah kaprah.

Dari pertemuan ini, ada yang berubah pada diri saya. Di sana saya menyatakan, kalau begitu pandangan Pak Wiana, saya ingin ikut di organisasi Parisada. “Silakan,” katanya. Kesan saya, orang ini begitu terbuka dan demokratis, selain rendah hati. Maaf saja, sebelumnya saya selalu curiga dengan para pengurus Parisada yang saya nilai – waktu itu – masih feodalis.

Ketika Mahasabha PHDI diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta tahun 1991, saya datang sebagai penonton. Saya tak diundang karena memang tak jadi pengurus apa-apa, bahkan saya tak tahu banyak tentang Parisada saat itu. Namun, saya sudah dikenal aktif di kalangan umat Hindu Jakarta. Dalam mahasabha itu kembali saya bertemu dengan Pak Wiana, tetapi hanya selintas. Saya melihat majelis umat Hindu ini terlalu condong pada partai tertentu dan cenderung berpolitik praktis. Situasi politik saat itu memang mempengaruhi segala gerak aktifitas berbagai organisasi kemasyarakatan. Kesan saya – dan ini kesan umum – Parisada terlalu dekat dengan Golkar, bahkan ada yang bilang Parisada itu bagian dari Golkar.

Bersama teman-teman aktifis yang tak terlibat dengan Mahasabha Parisada itu, saya pun mempunyai ide bahwa perlu ada organisasi yang vokal sebagai “penyeimbang” Parisada. Maka di sanalah lahir gagasan saya untuk membentuk Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI). Supaya tidak terasa berbenturan dengan Parisada dan menghindari konflik dengan berbagai pihak, forum ini dirancang sebagai “bukan organisasi massa”, meski pun kemudian karena tuntutan berbagai hal akhirnya nyaris sebagai organisasi massa.

Ketika menyusun personalia pengurus FCHI pada awal-awalnya, saya ingat Ketut Wiana. Saya pernah menyarankan kepada teman-teman yang lain, bagaimana kalau Ketut Wiana dirangkul. Ada banyak yang setuju karena mereka sependapat dengan saya bahwa Ketut Wiana seorang demokrat dan hampir tak punya musuh. Pemikirannya juga bagus dan tak terkotak dalam sekat-sekat kecil. Namun, karena tidak ingin ada masalah lantaran Pak Wiana berada di dalam kepengurusan Parisada Pusat, nama dia tak jadi dimasukkan. Tapi, kami bertekad jika ada kegiatan yang membutuhkan pemikiran yang beragam, Pak Wiana harus diajak serta.

Banyak sekali kegiatan FCHI di awal-awal berdirinya tatkala saya memimpin forum itu. Berbagai diskusi digelar di kota-kota besar. Ada satu diskusi yang menarik yang mempertemukan kembali saya dengan Pak Wiana, yaitu diskusi yang digelar di kantor Bali Post Denpasar, pada 22 Desember 1992. Diskusi ini diselenggarakan FCHI bekerjasama dengan Yayasan Studi Hindu Indonesia menampilkan empat pembicara yakni Ketut Wiana, Ngurah Bagus, Wayan Sudirta dan IGB Arthanegara. Temanya adalah menyikapi keberadaan Pura Besakih dikaitkan dengan Undang-Undang Tentang Benda Cagar Budaya. Saat itu ada pro dan kontra bagaimana kalau Pura Besakih dimasukkan dalam gugusan Cagar Budaya – waktu itu belum ada rencana masuk Warisan Budaya Dunia. Hasil diskusi ini kemudian saya sampaikan ke Menteri P dan K yang waktu itu dijabat Prof. Fuad Hassan.

Pertemuan di Bali Post itu membuat saya makin kagum pada pemikiran Pak Wiana. Saya sampai mengibaratkan beliau “kamus berjalan”, karena apapun pertanyaan saya mengenai masalah Hindu dan adat Bali, bisa dijelaskannya dengan gamblang. Setiba di Jakarta saya langsung punya ide untuk membuat sebuah buku yang menulis soal kasta yang salah kaprah di Bali. Penulisnya tentu tak ada lain, Pak Wiana sendiri. Saya hubungi beliau dan bersedia. Ternyata naskah yang dibuatnya tidak setebal untuk buku. “Maklum, saya hanya bisa membuat tulisan berupa makalah,” katanya waktu itu.

Kalau tulisan itu saya bukukan, akan sama saja dengan buku-buku Hindu yang ada saat itu, tipis dan tidak menarik. Saya ingin menggebrak dunia penerbitan buku Hindu dengan buku yang berkualitas dan layak dijual. Saya teringat bahwa Raka Santeri – waktu itu wartawan Kompas – pernah menulis secara berseri masalah kasta di Bali Post mulai terbitan 29 April 1989. Saya hubungi Raka Santeri dan dia bersedia tulisan itu diterbitkan. Lalu saya hubungi Satria Naradha, waktu itu Wakil Pemimpin Umum Bali Post, untuk minta izin mengambil tulisan Raka Santeri. Ternyata Satria Naradha menyambut dengan baik bahkan saya dan Satria akhirnya membuat yayasan sebagai badan hukum penerbitan itu, yakni Yayasan Dharma Naradha.

Tetapi buku pertama Yayasan Dharma Naradha bukan soal kasta itu, untuk tidak menimbulkan kegoncangan seolah-olah saya membuat penerbitan hanya untuk “menggugat kasta”. Buku pertamanya adalah Cendekiawan Hindu Bicara, sebuah kumpulan tulisan dari 12 pemikir Hindu, tapi tak ada Pak Wiana di sana. Saya sengaja menyimpan nama Pak Wiana untuk buku selanjutnya, yakni tentang kasta itu.

Akhirnya buku soal kasta yang berisi gabungan tulisan Ketut Wiana dan Raka Santri terbit dengan judul “Kasta dalam Hindu: Kesalahpahaman Berabad-abad”. Buku ini, yang saya beri pengantar agak panjang, meledak di pasaran, bukan hanya di Bali, tetapi juga di Jakarta dan kota-kota lainnya. Laris sekali. Saya senang karena buku dibicarakan di Jakarta dalam berbagai kegiatan. Tetapi tidak di Bali. Wiana dan Raka Santri diteror. Raka Santri mengaku tenang saja, tetapi Pak Wiana mengaku: “Saya serba repot, banyak yang sampai meneror saya secara phisik.” Satria Naradha dan Bali Post pun kena terror dengan surat kaleng, sampai-sampai cetakan kedua buku ini ditunda karena ada ketakutan.

Saya tak memikirkan Raka Santri karena dia seorang wartawan, sudah biasa kena terror seperti halnya saya. Namun saya terus memikirkan Pak Wiana karena dia pegawai negeri di Kanwil Departemen Agama Bali, waktu itu kalau tak salah menjadi pengawas. Bagaimana kalau dia dipecat? Syukurlah tak ada “pemecatan” itu, meskipun dia mengaku ada “pengucilan’. Sejak itulah saya semakin akrab dengan Pak Wiana, dia sama sekali tak menyalahkan saya akibat terbitnya buku itu dengan judul yang bombastis.

Kesabaran Ketut Wiana adalah hal yang saya kagumi. Setiap pulang ke Bali saya berkunjung ke rumahnya. Bahkan dia dengan entengnya datang ke desa saya di Pujungan, memimpin diskusi dengan tokoh-tokoh desa dalam rumah saya yang sempit. Sepulang dari Pujungan saya terus berdiskusi bagaimana memajukan umat Hindu. Pak Wiana mengusulkan agar saya membeli lahan yang lebih luas. “Nanti dibangun bale semacam wantilan untuk tempat diskusi,” itu kata-kata yang masih saya ingat. “Berdoa saja, kalau Tuhan mengizinkan, apapun bisa kita lakukan,” katanya lagi.

Mungkin doa saya dan doa Pak Wiana terkabul. Saya kemudian mampu membeli tanah sawah seluas 30 are di samping Pura Manikgeni, dan kemudian hari saya membangun ashram (kini pesraman) di sana. Di atas tanah itu saya baru bisa membangun balai sejenis aula dengan sangat sederhana dan sebuah padmasana. Pak Wiana langsung meminta supaya bangunan itu diresmikan saja sebagai ashram. Dan itu saya ikuti, jadilah Ashram Manikgeni yang begitu sederhana diresmikan pada 3 Maret 1995. Entah karena ashramnya yang sederhana atau saya belum dikenal banyak oleh pejabat di Bali, tak satu pun undangan pejabat yang hadir. Bupati Tabanan tak hadir, apalagi Gubernur Bali. Padahal Wihara di Pupuan yang jaraknya 2 km dari tempat saya, diremikan oleh Gubernur Bali dengan sangat meriah. “Jangan putus asa, ini soal biasa, Tuhan yang meresmikan ashram ini,” kata Pak Wiana seperti menghibur saya.

Hubungan saya dengan Pak Wiana pun akhirnya semakin dekat. Kadang saya memfungsikan beliau sebagai guru yang mengajari banyak hal, tentu lebih banyak soal tatwa agama. Kadang saya memfungsikan sebagai orang tua, yang memberi banyak nasehat. Kalau Pak Wiana ke Jakarta tentu kontak saya, kadang menginap di rumah saya sambil mengajarkan yoga – sayangnya saya tak tertarik waktu itu. Setiap ada kegiatan di dalam keluarga saya di kampung (Ashram Manikgeni), Ketut Wiana selalu datang, bukan hanya sebagai tamu tetapi seperti keluarga sendiri. Ketika dua anak saya potong gigi, Pak Wiana memberikan sambutan atasnama keluarga dan langsung memberikan dharma wacana.

Saya tak pernah mendengar dia marah, apalagi marah kepada saya. Saya sering berbeda pendapat dengan dia, tetapi tak pernah sampai meretakkan hubungan, bahkan beda pendapat itu tetap disertai dengan guyonan. Ketika saya menulis opini bahwa Kitab Mahabharata bukan kitab suci umat Hindu, Ketut Wiana menegur saya, bahwa opini itu salah. Mahabharata adalah kitab suci Hindu, katanya. Beda pendapat ini hanya soal pendekatan masalah, saya mengatakan itu dari sisi formal dan format aturan beragama dalam konstitusi Indonesia, karena selama ini kitab suci Hindu tercatat Weda. Jika Mahabharata juga disebut kitab suci Hindu – dalam tataran formal dan format konstitusi – maka Hindu di Indonesia akan kembali ke tahun sebelum 1959, disebut agama budaya dan disejajarkan dengan “kepercayaan”. Ini bisa fatal karena bisa-bisa nanti tidak diayomi oleh Departemen Agama tetapi diayomi Kejaksaan Agung sebagai salah satu “kepercayaan”. Soalnya Mahabharata sudah menjadi milik dunia.

Selain sulit menemukan kemarahan pada diri Ketut Wiana, belajarlah bersabar pada beliau. Dia sangat penyabar dan dalam beberapa hal membuat orang lain justru tak sabar untuk menunggu tindakannya. Sebagai tokoh, dia sudah sesepuh di Parisada. Dari salah satu ketua, kemudian menjadi salah satu sekretaris, balik lagi menjadi ketua, terakhir menjadi Ketua Sabha Walaka. Dia bertahan karena dia tak punya musuh atau dia bisa memasuki “sarang musuh” untuk dijadikan teman. Wawasannya yang luas dan informasi yang selalu mudah diperolehnya, membuat dia produktif dalam menulis dan seperti yang saya katakana tadi, dia bak kamus berjalan jika kita bertanya soal Hindu.

Barangkali banyak orang yang lebih pintar dari Wiana, tetapi jika ilmunya itu tak mudah dibagi, apakah arti kepinteran itu. Di sini kelebihan Ketut Wiana, dia mau membagi ilmunya kepada siapa saja tetapi juga dia bisa menerima masukan dari siapa saja, ditambah dengan kerendahan dirinya yang membuat penampilannya menjadi bersahaja. Kesahajaan itu yang membuat dia menjadi teladan, dan itu yang selalu saya kenang. ***

(Penulis adalah pendeta Hindu, mantan wartawan dengan nama walaka Putu Setia, pernah menjabat Wakil Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat)

Rabu, 02 September 2009

Yadnya Untuk Sesama

Oleh Pemilik Blog

Misalkan kita dalam perjalanan menuju pura yang jauh dan naik mobil pribadi. Kita membawa sesajen yang berisi ketupat, pisang, dan kue. Lalu di perempatan jalan mobil berhenti karena ada lampu merah. Seorang pengemis dengan muka pucat mengetuk kaca mobil. Ia memberi tanda dirinya haus dan lapar. Apa sikap kita?

Pernahkah kita mengambil kue atau buah di sesajen itu untuk diberikan kepada pengemis yang kelaparan? Mungkin tidak. Dan mungkin pula, terpikirpun tidak. Malah kita akan menutup kaca mobil rapat-rapat.

Maaf, ini pengamatan selintas di Bali. Mungkin masih ada orang yang ikhlas merelakan sesajennya untuk pengemis. Saya termasuk orang yang pelit memberi sesuatu kepada pengemis, kalau pengemis itu masih sehat dan kekar. Tetapi terhadap gelandangan yang betul-betul memerlukan bantuan mendesak, saya sering tersentuh. Saya pernah memberikan sesisir pisang kepada gelandangan yang menggedong anak kecil yang saya lihat sangat lapar, padahal pisang itu sudah dirangkai dalam bentuk sesajen. Sebelum sampai ke pura, saya membeli pisang di pasar sebagai pengganti. Saya merasa lebih plong bersembahyang, tidak diusik oleh wajah anak kecil yang kelaparan itu.

Dalam kisah kehidupan para sanyasin, banyak ditemukan teladan bagaimana menolong sesama manusia. Ada kisah sanyasin, kalau tak salah ingat, namanya Rahji. Suatu ketika keluarga ini mau menghaturkan sesajen di pura (mandir) di atas bukit. Di perjalanan ia menemukan gelandangan yang hampir sekarat karena haus dan lapar. Istri Rahji berkata: “Kita teruskan saja perjalanan ke bukit. Sepulang dari bersembahyang, baru kita berikan makanan sesajen ini.”

Rahji mula-mula sepakat, bukankah dalam ajaran Hindu kita wajib mempersembahkan semua makanan kepada Hyang Widhi, dan kita hanya menerima prasadam (bahasa Bali: surudan) saja? Dalam tradisi di Bali ada istrilah ngejot atau mesaiban sebelum kita makan, dan bagi umat Hindu yang lebih moderen (karena tahu ada mantramnya) berdoa sebelum makan, sehingga yang kita makan semuanya adalah prasadam.

Tapi, Rahji berubah pendapat. Ia mengambil makanan dalam sesajen itu dan memberikan kepada gelandangan. Alasannya: “Kalau kita menunggu perjalanan ke atas bukit baru memberikan makanan dalam bentuk prasadam, jangan-jangan gelandangan ini keburu meninggal dunia. Kita harus selamatkan mereka.”

Dan keluarga Rahji memberikan makanan itu kepada gelandangan yang sekarat. Gelandangan menjadi segar dan Rahji pun meneruskan ke bukit melakukan persembahyangan. Bhagawan Gita menyebutkan, dalam keadaan yang sangat sederhana, Tuhan bisa dipuja dengan hanya sekuntum bunga, setangkai daun, sebutir buah dan air sekedarnya: puspam, patram, phalam, toyam.

Saya kira semua ajaran agama menempatkan hubungan horisontal sesama manusia sebagai hal yang utama, melebihi hubungan vertikal antara manusia dengan Hyang Widhi. Kalau begitu, kenapa banyak anak-anak terlantar dari keluarga miskin di Bali diasuh oleh Panti Asuhan non-Hindu? Kemana orang-orang Bali yang Hindu, yang hidup berkecukupan?