Oleh Pemilik Blog
Misalkan kita dalam perjalanan menuju pura yang jauh dan naik mobil pribadi. Kita membawa sesajen yang berisi ketupat, pisang, dan kue. Lalu di perempatan jalan mobil berhenti karena ada lampu merah. Seorang pengemis dengan muka pucat mengetuk kaca mobil. Ia memberi tanda dirinya haus dan lapar. Apa sikap kita?
Pernahkah kita mengambil kue atau buah di sesajen itu untuk diberikan kepada pengemis yang kelaparan? Mungkin tidak. Dan mungkin pula, terpikirpun tidak. Malah kita akan menutup kaca mobil rapat-rapat.
Maaf, ini pengamatan selintas di Bali. Mungkin masih ada orang yang ikhlas merelakan sesajennya untuk pengemis. Saya termasuk orang yang pelit memberi sesuatu kepada pengemis, kalau pengemis itu masih sehat dan kekar. Tetapi terhadap gelandangan yang betul-betul memerlukan bantuan mendesak, saya sering tersentuh. Saya pernah memberikan sesisir pisang kepada gelandangan yang menggedong anak kecil yang saya lihat sangat lapar, padahal pisang itu sudah dirangkai dalam bentuk sesajen. Sebelum sampai ke pura, saya membeli pisang di pasar sebagai pengganti. Saya merasa lebih plong bersembahyang, tidak diusik oleh wajah anak kecil yang kelaparan itu.
Dalam kisah kehidupan para sanyasin, banyak ditemukan teladan bagaimana menolong sesama manusia. Ada kisah sanyasin, kalau tak salah ingat, namanya Rahji. Suatu ketika keluarga ini mau menghaturkan sesajen di pura (mandir) di atas bukit. Di perjalanan ia menemukan gelandangan yang hampir sekarat karena haus dan lapar. Istri Rahji berkata: “Kita teruskan saja perjalanan ke bukit. Sepulang dari bersembahyang, baru kita berikan makanan sesajen ini.”
Rahji mula-mula sepakat, bukankah dalam ajaran Hindu kita wajib mempersembahkan semua makanan kepada Hyang Widhi, dan kita hanya menerima prasadam (bahasa Bali: surudan) saja? Dalam tradisi di Bali ada istrilah ngejot atau mesaiban sebelum kita makan, dan bagi umat Hindu yang lebih moderen (karena tahu ada mantramnya) berdoa sebelum makan, sehingga yang kita makan semuanya adalah prasadam.
Tapi, Rahji berubah pendapat. Ia mengambil makanan dalam sesajen itu dan memberikan kepada gelandangan. Alasannya: “Kalau kita menunggu perjalanan ke atas bukit baru memberikan makanan dalam bentuk prasadam, jangan-jangan gelandangan ini keburu meninggal dunia. Kita harus selamatkan mereka.”
Dan keluarga Rahji memberikan makanan itu kepada gelandangan yang sekarat. Gelandangan menjadi segar dan Rahji pun meneruskan ke bukit melakukan persembahyangan. Bhagawan Gita menyebutkan, dalam keadaan yang sangat sederhana, Tuhan bisa dipuja dengan hanya sekuntum bunga, setangkai daun, sebutir buah dan air sekedarnya: puspam, patram, phalam, toyam.
Saya kira semua ajaran agama menempatkan hubungan horisontal sesama manusia sebagai hal yang utama, melebihi hubungan vertikal antara manusia dengan Hyang Widhi. Kalau begitu, kenapa banyak anak-anak terlantar dari keluarga miskin di Bali diasuh oleh Panti Asuhan non-Hindu? Kemana orang-orang Bali yang Hindu, yang hidup berkecukupan?
Om Swastyastu,
BalasHapusSebagai orang Bali di perantauan, saya sangat setuju dengan tulisan anda. Baru beberapa waktu lalu istri saya berkomentar kenapa orang Bali yang hidupnya cukup, jarang terlihat membantu sesama warganya ? Contohnya anak asuh, memberikan/mencarikan pekerjaan. Saya pun tertegun dan mengiyakan. Sebagai orang Bali perantauan saya baru dapat memandang Bali seutuhnya dari luar, ternyata semuanya tidak seindah pujian orang...
OSA. Tiang sering baca di majalah - majalah jarang dimuat ada Panti asuhan Hindu kebanyakan panti asuhan non-hindu, apa mungkin orang bali lebih senang " megarang " ketimbang mengempu " anak bali " pedidi atau mengikuti jargon seperti ini " depin gen to kan ulian karma ne ye pididi ". Klau semua mengikuti jargon tersebut apa jadinya bali kedepan, sekarang saja SDM Hindu tingkat buta aksaranya masih tinggi! kemana orang - orang kaya yang dibali meDANA, seperti komentar sebelumnya Bali banyak mendapatkan pujian dari KB ( orang Bali berhasil mensukseskan KB sedangkan mendatang berlomba - lomba melahirkan agar banyak anak ) Bali Tujuan wisata sedangkan orang luar Bali adalah tempat pengeboman dan konversi agama. Orang Bali ( tidak semua ) sudah terlena dengan pujian dan lupa dengan tanah leluhurnya kesucian pura sudah dilanggar dengan alasan menaikan ekonomi rakyat, rakyat yang manaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.OSSSO
BalasHapus