Oleh Putu Setia
Tamu saya sedang merenung ketika cucu saya berteriak: "Kakek, ada cicak mati!" Namun, cucu tiga tahunan itu segera balik ke kamar begitu dilihatnya ada tamu. Ia sudah paham bahwa saya tak boleh diganggu jika menerima tamu.
"Cicak akan mati, menyedihkan sekali negeri ini, tak pernah bebas dari korupsi," kata tamu saya. "Buaya betul-betul perkasa. Kan mereka sudah mengingatkan: kok cicak berani melawan buaya?"
Saya kurang setuju pendapat ini. Saya katakan, pimpinan cicak baru dipanggil oleh petinggi buaya, belum tentu bersalah. Tapi tamu saya ngotot: "Bersalah atau tidak, yang jelas pimpinan cicak itu sudah dikesankan tidak bersih setelah diperiksa sembilan jam. Apalagi pemeriksaan masih dilanjutkan. Tadinya saya justru berharap pimpinan cicaklah yang memanggil petinggi buaya untuk diperiksa dalam kasus Bank Century."
Salah apa petinggi buaya? "Lo, semua orang tahu, dia mengeluarkan dua surat agar uang nasabah yang triliunan itu bisa dicairkan. Ia menyediakan kantornya untuk tempat rapat. Ini tergolong semangat 45, semangat bambu runcing. Memangnya ada makan siang yang gratis?" kata tamu saya.
Saya tertawa. "Tak ada makan siang gratis, itu istilah Barat. Di negeri ini, banyak makan siang yang gratis. Saya berkali-kali ditraktir makan siang gratis, tentu di luar bulan Ramadan. Saya percaya, petinggi buaya itu tak menerima komisi 10 persen dari pencairan uang itu, sebagaimana diisukan," kata saya.
"Kalau lima persen atau dua persen atau nol koma sekian persen dari triliunan rupiah, masih percaya?" tamu saya memancing. Saya tetap yakin tidak menerima, tapi saya telanjur bilang: "Coba saja dipanggil dan diperiksa."
"Nah, itulah," tamu saya langsung menyambar. "Pimpinan cicak semestinya sudah memanggil petinggi buaya itu. Jika perlu, begitu jadwal pimpinan cicak mau diperiksa aparat buaya, saat itu pula dijadwalkan petinggi buaya diperiksa pimpinan cicak. Jadi sama-sama tidak datang. Sama-sama menunggu akan memeriksa dan akan diperiksa."
Saya terbahak. "Lo, jangan tertawa, ini kasus paling menyedihkan di negeri ini," ujar tamu saya. "Presiden tak berbuat apa-apa karena sudah tinggal dilantik lagi. Tak perlu lagi pencitraan pemberantasan korupsi yang gencar di negeri ini, bahkan mungkin tak peduli negeri ini bebas korupsi atau marak korupsi, toh lima tahun ini jabatan terakhir. Pendukung cicak juga sudah hilang, entah ke mana. Saya sedih kalau cicak benar-benar mati, karena tak ada lembaga hukum lain yang menjamin korupsi dikecilkan."
"Sebentar," saya memotong, "Anda yakin sekali pimpinan cicak itu bersih dari aroma korupsi? Mereka kan manusia juga. Ada buku yang menyebutkan, selama kentut manusia tidak berbau wangi, selama itu terselip nafsu buruk, meski kadarnya kecil sekali."
"Saya yakin, setidak-tidaknya keyakinan ini saya gunakan untuk betah tinggal di negeri yang rawan gempa ini. Keyakinan itulah yang melahirkan cinta. Seperti keyakinan saya menjalankan ibadah puasa ini, antara lain, karena rasa cinta saya kepada Tuhan. Begitu kita tak punya keyakinan pada suatu harapan yang baik, maka kita pun mudah terjerumus kepada ketidakbaikan itu sendiri."
"Kalau begitu sama," kata saya. "Tapi bedanya, saya kali ini yakin, Presiden sepertinya akan mengembalikan pemberantasan korupsi itu kepada aparat penegak hukum yang semula, sebelum lembaga cicak ada. Jadi beliau akan mengangkat petinggi yang betul-betul antikorupsi, termasuk di lembaga buaya itu."
"Nah, itu yang saya tidak yakin," kata tamu saya sambil menyeruput teh dan mohon pamit.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 13 September 2009)
Untuk kedamaian dari Rumah Budaya Pasraman Manikgeni, Pujungan, Tabanan, Bali
Kamis, 17 September 2009
Jumat, 11 September 2009
Nyepi Ngerestitiang Karya
Oleh: Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Selama ini Hari Raya Nyepi selalu dikaitkan dengan memperingati tahun baru Saka. Padahal kalau kita telusuri desa-desa tua di Bali, kita akan menemukan nyepi yang lain. Nyepi yang tidak ada kaitannya dengan tahun baru Saka, tetapi hakekat dan inti dari perayaan ini tetap sama. Hening sejenak setelah melakukan pembersihan terhadap alam semesta (bhuwana agung), melakukan tapa brata samadhi untuk menyucikan diri (bhuwana alit). Apa yang dituju? Karena akan ada karya besar, ngusaba desa.
Tradisi nyepi di luar pakem ini masih dilakukan di Desa Pekraman Pujungan, Kabupaten Tabanan pada 19 September 2009 ini setelah dilakukan tawur pada Tilem Ketiga sehari sebelumnya. Di Kabupaten Karangasem, misalnya, di Desa Ababi dan Ulakan, juga ada tradisi Nyepi yang bukan merayakan tahun baru Saka. Mungkin masih ada pula di desa-desa yang lain. Saya menduga tradisi ini sangat kuno dan di masa lalu kemungkinan besar dilakukan di banyak desa. Seiring dengan perjalanan waktu, tradisi itu ditiadakan atau upacaranya diperkecil. Atau jangan-jangan hilangnya tradisi "nyepi karya" karena ada yang melarang dengan alasan "itu nyepi yang salah".
Nyepi menyongsong ngusaba ini, sepanjang yang saya tahu, pelaksanaannya sama saja, baik di Karangasem maupun di Tabanan. Upacaranya pun sama, termasuk tawur. Tentu saja ini tidak disebut tawur agung Tilem Kesanga, karena memang jatuhnya bukan pada sasih Kesanga. Yang saya tidak perhatikan, apakah di Desa Ababi dan Ulakan itu pada saat tawur (sesungguhnya ini pecaruan) dibuat ogoh-ogoh sebagaimana nyepi untuk menyambut Tahun Baru Saka. Di Pujungan, di kampung saya sendiri, ogoh-ogoh "nyepi karya" itu tidak ada. Bahkan saya berani mengambil kesimpulan, ogoh-ogoh nyepi tahun baru Saka adalah kreasi yang datangnya belakangan untuk menggambarkan Sang Buthakala, karena terbukti tidak setiap Nyepi Tahun Saka di Pujungan dibuat ogoh-ogoh.
Pantangan (brata) pada nyepi ini juga meliputi catur brata penyepian. Orang dilarang memasak atau pekerjaan apapun yang menyalakan api (amati geni), orang tidak bisa bepergian (amati lelungan), tidak boleh bersenang-senang (amati lelanguan), dan harus menghentikan segala jenis pekerjaan (amati karya). Tetapi karena ketentuan ini hanya berlaku untuk warga desa adat, warga desa adat lain boleh saja melanggarnya. Misalnya, di jalanan mobil bebas lewat, namanya saja jalan umum. Cuma, tak akan bisa menaikkan penumpang, karena memang warga desa adat tidak boleh bepergian. Pasar tutup, dan warga desa adat lain yang berjualan ke sana, sudah tahu sebelumnya. Dari keempat catur brata penyepian itu, yang paling banyak dilanggar adalah amati karya. Warga desa saya masih bekerja ke ladang atau ke kebun kopi saat "nyepi karya" itu, tetapi alat-alat kerjanya tidak boleh dipikul atau dijunjung.
Siapa yang mengawasi pelanggaran ini, kalau ada? Tidak ada. Tidak ada pecalang petantang-petenteng. Yang mengawasi itu dirinya sendiri, atau rasa malunya sendiri kalau melanggar. Kalau ada orang yang memikul kayu bakar, orang lain akan menyindir: "inget nyepi karya, petilesang ragane nyanggra piodalan…" Orang yang disindir itu langsung malu sendiri dan menggotong kayu bakarnya, bukan lagi dipikul.
TERUS terang, "nyepi karya" di kampung saya (Pujungan) lebih khusyuk dibandingkan nyepi tahun Saka. Saya kira begitu juga di Desa Ababi dan Ulakan. Kenapa bisa lebih khusyuk? Karena pada masyarakat desa ditanamkan pengertian ngrastitiang karya atau dalam bahasa populernya berdoa dan konsentrasi untuk suksesnya karya. Seseorang yang melanggar brata penyepian akan dihadapkan pada rasa bersalah, seolah-olah dia tidak ikut berdoa dan konsentrasi menghadapi ngusaba desa Sasih kapat. Rasa bersalah itu akan terus menghantui mereka jika karya itu nanti tidak sukses (misalnya turun hujan terus menerus atau ada bencana lain) seolah-olah dirinyalah yang menjadi penyebab.
Apakah desa-desa yang masih menjaga warisan leluhurnya seperti Ababi, Ulakan, Pujungan dan sebagainya ini tergolong desa kuno? Bisa disebut begitu. Tapi apakah kuno itu juga berarti kolot, tidak mengikuti arus globalisasi, kok di zaman moderen ini masih menambah-nambah hari nyepi? (Ada yang bilang, nyepi sekali setahun saja sudah berat, ini kok malah ditambah lagi).
Pertanyaan ini bukan saja kurang relevan dan tidak ada hubungan antara kuno dan "tertinggal zaman", tetapi jelas-jelas salah. Orang moderen pun membutuhkan waktu jeda, waktu untuk merenung, waktu untuk melakukan introspeksi diri dan melakukan koreksi, mengosongkan pikiran untuk membuang vibrasi buruk dan kembali ke titik nol. Untuk apa? Agar mereka bisa melangkah lebih baik, apalagi menyongsong sebuah hajatan besar seperti ngusaba desa itu. Dikaitkan dengan konsep brata, "nyepi karya" ini sesuatu yang sangat relevan karena ajaran Hindu menyebutkan agar pelaksanaan yadnya dilakukan dengan segala keheningan pikiran, dan konsentrasi yang berkepanjangan sampai puncak yadnya itu adalah juga samadhi.
Para leluhur kita sudah mengajarkan dan mempraktekkan kitab Weda dengan simbol-simbol kearifan, bagaimana agar langkah kita meniti kehidupan ini tidak keblablasan. Apakah itu keblabasan mencari materi, menimbun kekayaan, mencari pangkat, memuaskan ego, dan sebagainya. Kita diiingatkan untuk melakukan yadnya (ngusaba salah satu saja) dan sebelum mempersembahkan yadnya itu kita diwajibkan untuk berhenti sejenak melangkah, kita bersihkan diri kita dengan brata dan samadhi, kita koreksi apakah langkah kita selama ini sudah sesuai dharma. Mengejar materi, kekayaan, pangkat, boleh-boleh saja bahkan keharusan, tetapi apakah itu berlandaskan dharma atau tidak? Nah, ibarat mobil, tidak bisa terus menerus berlari kencang, ia perlu direm karena ada tikungan tajam di depan.
Nyepi "tambahan" di Ababi dan Ulakan, juga di Pujungan dan desa lainnya lagi, adalah tradisi yang patut ditiru oleh orang-orang moderen. Masalahnya adalah bagaimana agar "nyepi karya" itu tetap disosialisasikan makna dan filsafatnya, agar anak-anak muda desa itu tahu, untuk apa dia mengekang diri seharian sementara warga desa lainnya bebas keluyuran.
Selama ini Hari Raya Nyepi selalu dikaitkan dengan memperingati tahun baru Saka. Padahal kalau kita telusuri desa-desa tua di Bali, kita akan menemukan nyepi yang lain. Nyepi yang tidak ada kaitannya dengan tahun baru Saka, tetapi hakekat dan inti dari perayaan ini tetap sama. Hening sejenak setelah melakukan pembersihan terhadap alam semesta (bhuwana agung), melakukan tapa brata samadhi untuk menyucikan diri (bhuwana alit). Apa yang dituju? Karena akan ada karya besar, ngusaba desa.
Tradisi nyepi di luar pakem ini masih dilakukan di Desa Pekraman Pujungan, Kabupaten Tabanan pada 19 September 2009 ini setelah dilakukan tawur pada Tilem Ketiga sehari sebelumnya. Di Kabupaten Karangasem, misalnya, di Desa Ababi dan Ulakan, juga ada tradisi Nyepi yang bukan merayakan tahun baru Saka. Mungkin masih ada pula di desa-desa yang lain. Saya menduga tradisi ini sangat kuno dan di masa lalu kemungkinan besar dilakukan di banyak desa. Seiring dengan perjalanan waktu, tradisi itu ditiadakan atau upacaranya diperkecil. Atau jangan-jangan hilangnya tradisi "nyepi karya" karena ada yang melarang dengan alasan "itu nyepi yang salah".
Nyepi menyongsong ngusaba ini, sepanjang yang saya tahu, pelaksanaannya sama saja, baik di Karangasem maupun di Tabanan. Upacaranya pun sama, termasuk tawur. Tentu saja ini tidak disebut tawur agung Tilem Kesanga, karena memang jatuhnya bukan pada sasih Kesanga. Yang saya tidak perhatikan, apakah di Desa Ababi dan Ulakan itu pada saat tawur (sesungguhnya ini pecaruan) dibuat ogoh-ogoh sebagaimana nyepi untuk menyambut Tahun Baru Saka. Di Pujungan, di kampung saya sendiri, ogoh-ogoh "nyepi karya" itu tidak ada. Bahkan saya berani mengambil kesimpulan, ogoh-ogoh nyepi tahun baru Saka adalah kreasi yang datangnya belakangan untuk menggambarkan Sang Buthakala, karena terbukti tidak setiap Nyepi Tahun Saka di Pujungan dibuat ogoh-ogoh.
Pantangan (brata) pada nyepi ini juga meliputi catur brata penyepian. Orang dilarang memasak atau pekerjaan apapun yang menyalakan api (amati geni), orang tidak bisa bepergian (amati lelungan), tidak boleh bersenang-senang (amati lelanguan), dan harus menghentikan segala jenis pekerjaan (amati karya). Tetapi karena ketentuan ini hanya berlaku untuk warga desa adat, warga desa adat lain boleh saja melanggarnya. Misalnya, di jalanan mobil bebas lewat, namanya saja jalan umum. Cuma, tak akan bisa menaikkan penumpang, karena memang warga desa adat tidak boleh bepergian. Pasar tutup, dan warga desa adat lain yang berjualan ke sana, sudah tahu sebelumnya. Dari keempat catur brata penyepian itu, yang paling banyak dilanggar adalah amati karya. Warga desa saya masih bekerja ke ladang atau ke kebun kopi saat "nyepi karya" itu, tetapi alat-alat kerjanya tidak boleh dipikul atau dijunjung.
Siapa yang mengawasi pelanggaran ini, kalau ada? Tidak ada. Tidak ada pecalang petantang-petenteng. Yang mengawasi itu dirinya sendiri, atau rasa malunya sendiri kalau melanggar. Kalau ada orang yang memikul kayu bakar, orang lain akan menyindir: "inget nyepi karya, petilesang ragane nyanggra piodalan…" Orang yang disindir itu langsung malu sendiri dan menggotong kayu bakarnya, bukan lagi dipikul.
TERUS terang, "nyepi karya" di kampung saya (Pujungan) lebih khusyuk dibandingkan nyepi tahun Saka. Saya kira begitu juga di Desa Ababi dan Ulakan. Kenapa bisa lebih khusyuk? Karena pada masyarakat desa ditanamkan pengertian ngrastitiang karya atau dalam bahasa populernya berdoa dan konsentrasi untuk suksesnya karya. Seseorang yang melanggar brata penyepian akan dihadapkan pada rasa bersalah, seolah-olah dia tidak ikut berdoa dan konsentrasi menghadapi ngusaba desa Sasih kapat. Rasa bersalah itu akan terus menghantui mereka jika karya itu nanti tidak sukses (misalnya turun hujan terus menerus atau ada bencana lain) seolah-olah dirinyalah yang menjadi penyebab.
Apakah desa-desa yang masih menjaga warisan leluhurnya seperti Ababi, Ulakan, Pujungan dan sebagainya ini tergolong desa kuno? Bisa disebut begitu. Tapi apakah kuno itu juga berarti kolot, tidak mengikuti arus globalisasi, kok di zaman moderen ini masih menambah-nambah hari nyepi? (Ada yang bilang, nyepi sekali setahun saja sudah berat, ini kok malah ditambah lagi).
Pertanyaan ini bukan saja kurang relevan dan tidak ada hubungan antara kuno dan "tertinggal zaman", tetapi jelas-jelas salah. Orang moderen pun membutuhkan waktu jeda, waktu untuk merenung, waktu untuk melakukan introspeksi diri dan melakukan koreksi, mengosongkan pikiran untuk membuang vibrasi buruk dan kembali ke titik nol. Untuk apa? Agar mereka bisa melangkah lebih baik, apalagi menyongsong sebuah hajatan besar seperti ngusaba desa itu. Dikaitkan dengan konsep brata, "nyepi karya" ini sesuatu yang sangat relevan karena ajaran Hindu menyebutkan agar pelaksanaan yadnya dilakukan dengan segala keheningan pikiran, dan konsentrasi yang berkepanjangan sampai puncak yadnya itu adalah juga samadhi.
Para leluhur kita sudah mengajarkan dan mempraktekkan kitab Weda dengan simbol-simbol kearifan, bagaimana agar langkah kita meniti kehidupan ini tidak keblablasan. Apakah itu keblabasan mencari materi, menimbun kekayaan, mencari pangkat, memuaskan ego, dan sebagainya. Kita diiingatkan untuk melakukan yadnya (ngusaba salah satu saja) dan sebelum mempersembahkan yadnya itu kita diwajibkan untuk berhenti sejenak melangkah, kita bersihkan diri kita dengan brata dan samadhi, kita koreksi apakah langkah kita selama ini sudah sesuai dharma. Mengejar materi, kekayaan, pangkat, boleh-boleh saja bahkan keharusan, tetapi apakah itu berlandaskan dharma atau tidak? Nah, ibarat mobil, tidak bisa terus menerus berlari kencang, ia perlu direm karena ada tikungan tajam di depan.
Nyepi "tambahan" di Ababi dan Ulakan, juga di Pujungan dan desa lainnya lagi, adalah tradisi yang patut ditiru oleh orang-orang moderen. Masalahnya adalah bagaimana agar "nyepi karya" itu tetap disosialisasikan makna dan filsafatnya, agar anak-anak muda desa itu tahu, untuk apa dia mengekang diri seharian sementara warga desa lainnya bebas keluyuran.
Selasa, 08 September 2009
YUDHISTIRA DI TEPI DANAU
(Catatan Mpu Jaya Prema: Ini adalah tulisan Goenawan Mohamad versi panjang --asli-- sebelum dipangkas untuk Catatan Pinggir Majalah Tempo terbitan 7 Sep. 2009. Tulisan yang mengagumkan dari seorang budayawan ternama negeri ini. Tapi, tulisan ini dari sisi Mahabharata versi sastra, yang oleh orang Jawa sering disebut "kisah wayang". Mungkin ada komentar dari sisi Hindu, silakan lebih terbuka di blog ini.)
Oleh Goenawan Mohamad
Pada tahun ke-13 masa pembuangan, di suatu hari yang terik di hutan pekat itu, empat dari lima bersaudara Pandhawa mati satu demi satu.
Beberapa jam sebelumnya, Yudhistira, sang sulung, meminta adik-adiknya pergi menemukan sumber air. Ia kehausan, demikian juga yang lain. Seorang demi seorang pun berangkat, tapi tak ada yang kembali.
Cemas dan bertanya-tanya dalam hati, Yudhistira pun pergi menyusul, mencari, mengusut jejak. Akhirnya, sekian puluh pal jauhnya dari tempat ia menunggu, di tepi sebuah telaga yang jernih, ia melihat tubuh dua saudara kandungnya seibu, Bhima dan Arjuna tergeletak. Tak bernyawa. Lebih ke utara terdapat jenazah Nakula. Lalu ia temukan juga mayat Sadhewa. Kedua pemuda di ujung remaja itu adiknya yang lain: putra Pandhu dari Ibu Madrim.
Yudhistira terhenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas pertempuran. Apa gerangan yang telah terjadi? Meminum air beracun? Siapa yang menyebar racun: penghuni rimba yang tak kelihatan, atau mata-mata Raja Duryudana dan para Kurawa?
Di tengah pikiran yang gelap dan galau itu, Yudhistira mendengar sebuah suara berat yang tak tampak sumbernya.
“Dengar, Yudhistira”, suara itu berkata. “Keempat ksatria ini, keempat adikmu, satu demi satu mati karena melanggar larangan: mereka telah diberitahu untuk tak meminum air telaga itu. tapi mereka – dengan penuh kepercayaan diri, bahkan angkuh – melawan pantangan itu.”
Siapakah yang bicara? Yaksa yang tak berwujud? Hantu penghuni air yang mengenalnya?
“Katakan saja: aku sukma air telaga ini. Aku tahu keempat adikmu kehausan, aku tahu engkau kehausan, tapi kau sebaiknya tak melakukan hal yang mereka lakukan”.
“Izinkan aku minum”, Yudhistira mencoba menyahut.
“Akan aku izinkan. Tapi kau harus menjawab lebih dulu beberapa pertanyaan sebelum ia boleh mereguk air ini”.
Saat itu saya bayangkan Yudhistira, di balik airmukanya yang tenang, gentar. Ia melihat siang mendadak seperti bagian mimpi buruk. Tiba-tiba saja sebuah perjalanan, sebuah proses, sejak hari mereka berlima masuk hutan karena dibuang, terpotong. Hanya sembilan hari lagi masa pembuangan 13 tahun itu akan berakhir. Tahta Kerajaan Indraprasta akan dikembalikan kepada keluarga Pandawa. Tapi kini apa yang akan terjadi? Hanya dia, Yudhistira, yang tinggal.
Harapan dan perhitungan lama tak berlaku lagi. Jika nanti para Kurawa menolak dan memperdayakannya lagi, bagaimana ia akan melawan mereka? Akan terjadikah perang besar yang sejak 13 tahun lamanya diramalkan itu? Tapi bagaimana dengan dirinya, sebelum perang disiapkan? Bisakah ia lepas dari nasib buruk di tepi danau itu?
Di saat itu ia bisa memilih: ia membiarkan dirinya mati seperti keempat Pandawa lain, atau ia bersedia menjawab pertanyaan Sang Suara Gaib. Tapi ia tak tahu apa yang akan terjadi jika jawabannya salah: akankah ia mati juga? Ataukah ia akan dibiarkan hidup tapi tetap tak bisa meminum air danau?
Dalam Mahabharata dikisahkan, Yudhistira akhirnya memutuskan untuk bersedia menjawab pertanyaan yang akan menghadangnya. Dengan itu ia sebenarnya bagaikan meloncat ke jurang yang gelap di depan.
Syahdan, dalam bagian karya besar ini, ada beberapa pertanyaan yang dimajukan. Tapi di sini saya kutip saja yang terakhir, yang paling menentukan.
Kata suara gaib: “Salah satu dari adikmu akan segera kuhidupkan kembali. Siapa yang kau kehendaki, Yudhistira?”
Yudhistira terdiam. Ia pejamkan matanya, dan pilihan-pilihan yang sulit bertabrakan dalam gelap. Akhirnya sahutnya lirih: “Nakula”.
“Nakula?”, suara itu heran. “Bukan Bhima, saudara kandungmu yang kau sayangi, yang kekuatannya setara dengan puluhan gajah? Bukan Arjuna, sang pemanah piawai?”
“Bukan”, jawab Yudhistira, kata-katanya semakin mantap. “Sebab yang melindungi manusia bukan senjata, bukan kekuatan. Pelindung utama adalah dharma. Nakula aku pilih karena aku, yang selamat dan hidup, adalah putra Kunthi. Sudah sepatutnya putra Madrim juga harus ada yang hidup seperti diriku. Itu adil.”
Kata “adil” itu seperti bergetar di seluruh permukaan danau. Mendengar itu, Sang Suara Gaib seakan-akan membisu, dan tak lama kemudian, muncullah Batara Yama di depan Yudhistira. Dewa Maut itu dengan mesra memeluknya. Kahyangan terpesona akan kata-kata putra sulung Pandhu yang barusan diutarakan. Anugerah pun diturunkan. Keempat jenazah bersaudara itu – tak hanya Nakula -- dihidupkan kembali.
Yudhistira: 13 tahun yang lalu ia seorang penjudi yang gagal. Tapi kapan perjudian berakhir? Tadi juga ketika ia memutuskan untuk bersedia menjawab Sang Suara Gaib, ia merasa dirinya ibarat sebuah dadu yang terlontar dan tak bisa menentukan bagaimana ia akan jatuh. Tiap lemparan adalah pengakuan bahwa hidup adalah kecamuk kebetulan-kebetulan. Tak jelas alasannya. Tak jelas arahnya. Absurd.
Juga di tepi telaga itu. Yudhistira sebenarnya tak tahu, muka mana dari dadu yang akan muncul dan apa yang menyebabkannya. Kupilih Nakula, tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti dengan sisa hidupku di hutan ini. Aku tak tahu, aku gentar, tapi ada sesuatu yang serta merta memperkuatku: perasaan telah memilih laku yang adil.
Di saat itu ia jadi seorang manusia yang mendekati Zarathustra dalam puisi Nietzsche: seorang yang berseru kepada langit, karena langit adalah meja para dewa tempat dadu kahyangan dilontarkan. Baginya hidup ibarat angkasa yang murni: terlepas dari jaring-jaring akal yang mematoknya dengan “tujuan”, dengan “arah”, akal yang menambatnya ke dalam hubungan kausalitas. Di angkasa yang telanjang murni, yang bergerak adalah ketidak-pastian. Yudhistira menerima itu. Dalam pengertian Deleuze, yang membaca Zarahustra dengan baik, sang sulung Pandawa justru bukan “pemain dadu yang buruk”. Pemain dadu yang buruk masuk gelanggang dengan bersenjata teori probablilitas. Yudhistira tidak.
Saya kira itulah sebabnya, 13 tahun yang lalu, ia terima tantangan para Kurawa untuk bermain dadu, dengan sikap tawakal yang membingungkan. Ia mau menghadapi lawan judi yang tangguh dan curang, Sengkuni.
Ada memang yang mengatakan, Yudhistira melakukan semua itu karena ia menyukai perjudian, tapi sebenarnya Mahabharata tak begitu jelas di sini. Yang kita ketahui, Yudhistira datang ke meja pertaruhan yang fatal itu – yang kelak jadi benih perang besar keluarga Bharata.
Ia tak berhitung dengan kalkulasi kemungkinan. Tak ada strategi mendapatkan tampilan dadu yang pas dengan yang ditebaknya. Ia cuma memandang ke langit-langit gelap, merasa tiap lontaran tak pernah sama, biarpun berkali-kali. Tiap kali dadu jatuh itu adalah kebetulan yang niscaya tak dapat diperhitungkan. Teori probabilitas terlampau menyederhanakannya.
Yudhistira berani, tapi bukannya tak ada persoalan di sini. Kesediannya menghilangkan diri sebagai subyek, dan menyerah kepada Nasib, ternyata tak membuatnya mampu menyentuh dunia di luar dirinya. Maka lakunya jadi bagian dari kekejian: ia jadikan hartanya, kerajaannya, adik-adiknya, bahkan dirinya, dan akhirnya isterinya, jadi barang taruhan. Semuanya jatuh ke tangan lawan.
Memang ia tampil dengan askesis yang kukuh: sanggup menerima absurditas hidup seraya menghilangkan diri sebagai subyek yang menguasai hal ihwal. Tapi dalam tawakal itu ia tak tergerak oleh liyan, tak terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain.
13 tahun kemudian ia berubah. Dari adegan di tepi telaga itu tampak, hari itu Yudhistira bukan lagi pelontar dadu yang lembek di depan Sengkuni. Nasib dan Kelak tak dapat dikuasainya, tapi ia tak pasif. Ia bukan seonggok otomaton. Ia memilih dengan sepenuh hati: Nakula. Ia korbankan cintanya kepada Bhima dan harapannya kepada Arjuna.
Artinya, ia hadir dalam subyektifitas yang kuat. Tapi saat itu dharma-nya bukanlah aktualisasi “aku yang teguh”, melainkan kesetiaan kepada sesuatu yang tadi tersebut dalam kata, “Itu adil” -- sesuatu yang menjadikan dirinya kukuh di momen yang menentukan itu, sesuatu yang membuat rasa hidup yang tak terhingga, dan dengan itu ia ingin dan sanggup memeluk sesama, melalui batas asal-usul. Ada yang ajaib di kejadian itu: ia merasa ada harapan, cinta, dan kesediaan memberi, walau dalam cemas dan ketidak-lengkapan.
Sejak itu, dalam Mahabharata Yudhistira adalah ksatria yang ganjil. Ia naik tahta dan menganggap diri pendosa; begitu banyak manusia dibunuh agar Kerajaan Indraprasta kembali ke tangan keluarga Pandhu. Baginya, perilaku para ksatria, kasta para pendekar perang, mirip tingkah anjing yang memperebutkan sisa makanan. Ia tahu posisi raja dan panggilan dharma selalu akan bertentangan—dharma-caryã ca rãjyam nityam eva virudhyate.
Dengan demikian ia memang tak mematuhi aturan kitab suci tentang manusia, kasta dan perannya. Tapi seperti dikatakannya kepada suara gaib di tepi danau itu, (saya kutip dari penceritaan Nyoman S.Pendit), “orang tak menjadi bijaksana hanya dengan mempelajari kitab-kitab suci”.
Goenawan Mohamad
Oleh Goenawan Mohamad
Pada tahun ke-13 masa pembuangan, di suatu hari yang terik di hutan pekat itu, empat dari lima bersaudara Pandhawa mati satu demi satu.
Beberapa jam sebelumnya, Yudhistira, sang sulung, meminta adik-adiknya pergi menemukan sumber air. Ia kehausan, demikian juga yang lain. Seorang demi seorang pun berangkat, tapi tak ada yang kembali.
Cemas dan bertanya-tanya dalam hati, Yudhistira pun pergi menyusul, mencari, mengusut jejak. Akhirnya, sekian puluh pal jauhnya dari tempat ia menunggu, di tepi sebuah telaga yang jernih, ia melihat tubuh dua saudara kandungnya seibu, Bhima dan Arjuna tergeletak. Tak bernyawa. Lebih ke utara terdapat jenazah Nakula. Lalu ia temukan juga mayat Sadhewa. Kedua pemuda di ujung remaja itu adiknya yang lain: putra Pandhu dari Ibu Madrim.
Yudhistira terhenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas pertempuran. Apa gerangan yang telah terjadi? Meminum air beracun? Siapa yang menyebar racun: penghuni rimba yang tak kelihatan, atau mata-mata Raja Duryudana dan para Kurawa?
Di tengah pikiran yang gelap dan galau itu, Yudhistira mendengar sebuah suara berat yang tak tampak sumbernya.
“Dengar, Yudhistira”, suara itu berkata. “Keempat ksatria ini, keempat adikmu, satu demi satu mati karena melanggar larangan: mereka telah diberitahu untuk tak meminum air telaga itu. tapi mereka – dengan penuh kepercayaan diri, bahkan angkuh – melawan pantangan itu.”
Siapakah yang bicara? Yaksa yang tak berwujud? Hantu penghuni air yang mengenalnya?
“Katakan saja: aku sukma air telaga ini. Aku tahu keempat adikmu kehausan, aku tahu engkau kehausan, tapi kau sebaiknya tak melakukan hal yang mereka lakukan”.
“Izinkan aku minum”, Yudhistira mencoba menyahut.
“Akan aku izinkan. Tapi kau harus menjawab lebih dulu beberapa pertanyaan sebelum ia boleh mereguk air ini”.
Saat itu saya bayangkan Yudhistira, di balik airmukanya yang tenang, gentar. Ia melihat siang mendadak seperti bagian mimpi buruk. Tiba-tiba saja sebuah perjalanan, sebuah proses, sejak hari mereka berlima masuk hutan karena dibuang, terpotong. Hanya sembilan hari lagi masa pembuangan 13 tahun itu akan berakhir. Tahta Kerajaan Indraprasta akan dikembalikan kepada keluarga Pandawa. Tapi kini apa yang akan terjadi? Hanya dia, Yudhistira, yang tinggal.
Harapan dan perhitungan lama tak berlaku lagi. Jika nanti para Kurawa menolak dan memperdayakannya lagi, bagaimana ia akan melawan mereka? Akan terjadikah perang besar yang sejak 13 tahun lamanya diramalkan itu? Tapi bagaimana dengan dirinya, sebelum perang disiapkan? Bisakah ia lepas dari nasib buruk di tepi danau itu?
Di saat itu ia bisa memilih: ia membiarkan dirinya mati seperti keempat Pandawa lain, atau ia bersedia menjawab pertanyaan Sang Suara Gaib. Tapi ia tak tahu apa yang akan terjadi jika jawabannya salah: akankah ia mati juga? Ataukah ia akan dibiarkan hidup tapi tetap tak bisa meminum air danau?
Dalam Mahabharata dikisahkan, Yudhistira akhirnya memutuskan untuk bersedia menjawab pertanyaan yang akan menghadangnya. Dengan itu ia sebenarnya bagaikan meloncat ke jurang yang gelap di depan.
Syahdan, dalam bagian karya besar ini, ada beberapa pertanyaan yang dimajukan. Tapi di sini saya kutip saja yang terakhir, yang paling menentukan.
Kata suara gaib: “Salah satu dari adikmu akan segera kuhidupkan kembali. Siapa yang kau kehendaki, Yudhistira?”
Yudhistira terdiam. Ia pejamkan matanya, dan pilihan-pilihan yang sulit bertabrakan dalam gelap. Akhirnya sahutnya lirih: “Nakula”.
“Nakula?”, suara itu heran. “Bukan Bhima, saudara kandungmu yang kau sayangi, yang kekuatannya setara dengan puluhan gajah? Bukan Arjuna, sang pemanah piawai?”
“Bukan”, jawab Yudhistira, kata-katanya semakin mantap. “Sebab yang melindungi manusia bukan senjata, bukan kekuatan. Pelindung utama adalah dharma. Nakula aku pilih karena aku, yang selamat dan hidup, adalah putra Kunthi. Sudah sepatutnya putra Madrim juga harus ada yang hidup seperti diriku. Itu adil.”
Kata “adil” itu seperti bergetar di seluruh permukaan danau. Mendengar itu, Sang Suara Gaib seakan-akan membisu, dan tak lama kemudian, muncullah Batara Yama di depan Yudhistira. Dewa Maut itu dengan mesra memeluknya. Kahyangan terpesona akan kata-kata putra sulung Pandhu yang barusan diutarakan. Anugerah pun diturunkan. Keempat jenazah bersaudara itu – tak hanya Nakula -- dihidupkan kembali.
Yudhistira: 13 tahun yang lalu ia seorang penjudi yang gagal. Tapi kapan perjudian berakhir? Tadi juga ketika ia memutuskan untuk bersedia menjawab Sang Suara Gaib, ia merasa dirinya ibarat sebuah dadu yang terlontar dan tak bisa menentukan bagaimana ia akan jatuh. Tiap lemparan adalah pengakuan bahwa hidup adalah kecamuk kebetulan-kebetulan. Tak jelas alasannya. Tak jelas arahnya. Absurd.
Juga di tepi telaga itu. Yudhistira sebenarnya tak tahu, muka mana dari dadu yang akan muncul dan apa yang menyebabkannya. Kupilih Nakula, tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti dengan sisa hidupku di hutan ini. Aku tak tahu, aku gentar, tapi ada sesuatu yang serta merta memperkuatku: perasaan telah memilih laku yang adil.
Di saat itu ia jadi seorang manusia yang mendekati Zarathustra dalam puisi Nietzsche: seorang yang berseru kepada langit, karena langit adalah meja para dewa tempat dadu kahyangan dilontarkan. Baginya hidup ibarat angkasa yang murni: terlepas dari jaring-jaring akal yang mematoknya dengan “tujuan”, dengan “arah”, akal yang menambatnya ke dalam hubungan kausalitas. Di angkasa yang telanjang murni, yang bergerak adalah ketidak-pastian. Yudhistira menerima itu. Dalam pengertian Deleuze, yang membaca Zarahustra dengan baik, sang sulung Pandawa justru bukan “pemain dadu yang buruk”. Pemain dadu yang buruk masuk gelanggang dengan bersenjata teori probablilitas. Yudhistira tidak.
Saya kira itulah sebabnya, 13 tahun yang lalu, ia terima tantangan para Kurawa untuk bermain dadu, dengan sikap tawakal yang membingungkan. Ia mau menghadapi lawan judi yang tangguh dan curang, Sengkuni.
Ada memang yang mengatakan, Yudhistira melakukan semua itu karena ia menyukai perjudian, tapi sebenarnya Mahabharata tak begitu jelas di sini. Yang kita ketahui, Yudhistira datang ke meja pertaruhan yang fatal itu – yang kelak jadi benih perang besar keluarga Bharata.
Ia tak berhitung dengan kalkulasi kemungkinan. Tak ada strategi mendapatkan tampilan dadu yang pas dengan yang ditebaknya. Ia cuma memandang ke langit-langit gelap, merasa tiap lontaran tak pernah sama, biarpun berkali-kali. Tiap kali dadu jatuh itu adalah kebetulan yang niscaya tak dapat diperhitungkan. Teori probabilitas terlampau menyederhanakannya.
Yudhistira berani, tapi bukannya tak ada persoalan di sini. Kesediannya menghilangkan diri sebagai subyek, dan menyerah kepada Nasib, ternyata tak membuatnya mampu menyentuh dunia di luar dirinya. Maka lakunya jadi bagian dari kekejian: ia jadikan hartanya, kerajaannya, adik-adiknya, bahkan dirinya, dan akhirnya isterinya, jadi barang taruhan. Semuanya jatuh ke tangan lawan.
Memang ia tampil dengan askesis yang kukuh: sanggup menerima absurditas hidup seraya menghilangkan diri sebagai subyek yang menguasai hal ihwal. Tapi dalam tawakal itu ia tak tergerak oleh liyan, tak terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain.
13 tahun kemudian ia berubah. Dari adegan di tepi telaga itu tampak, hari itu Yudhistira bukan lagi pelontar dadu yang lembek di depan Sengkuni. Nasib dan Kelak tak dapat dikuasainya, tapi ia tak pasif. Ia bukan seonggok otomaton. Ia memilih dengan sepenuh hati: Nakula. Ia korbankan cintanya kepada Bhima dan harapannya kepada Arjuna.
Artinya, ia hadir dalam subyektifitas yang kuat. Tapi saat itu dharma-nya bukanlah aktualisasi “aku yang teguh”, melainkan kesetiaan kepada sesuatu yang tadi tersebut dalam kata, “Itu adil” -- sesuatu yang menjadikan dirinya kukuh di momen yang menentukan itu, sesuatu yang membuat rasa hidup yang tak terhingga, dan dengan itu ia ingin dan sanggup memeluk sesama, melalui batas asal-usul. Ada yang ajaib di kejadian itu: ia merasa ada harapan, cinta, dan kesediaan memberi, walau dalam cemas dan ketidak-lengkapan.
Sejak itu, dalam Mahabharata Yudhistira adalah ksatria yang ganjil. Ia naik tahta dan menganggap diri pendosa; begitu banyak manusia dibunuh agar Kerajaan Indraprasta kembali ke tangan keluarga Pandhu. Baginya, perilaku para ksatria, kasta para pendekar perang, mirip tingkah anjing yang memperebutkan sisa makanan. Ia tahu posisi raja dan panggilan dharma selalu akan bertentangan—dharma-caryã ca rãjyam nityam eva virudhyate.
Dengan demikian ia memang tak mematuhi aturan kitab suci tentang manusia, kasta dan perannya. Tapi seperti dikatakannya kepada suara gaib di tepi danau itu, (saya kutip dari penceritaan Nyoman S.Pendit), “orang tak menjadi bijaksana hanya dengan mempelajari kitab-kitab suci”.
Goenawan Mohamad
Kamis, 03 September 2009
BERHUBUNGAN DENGAN PUTU SETIA
Oleh Nyoman Sukadana
Putu Setia yang sekarang sudah menjadi Brahmana dengan nama (Abhiseka) Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, adalah orang yang sangat berperan penting dalam perkembangan saya dalam perjalanan mengisi diri. Saya dikenalkan dengan beliau oleh seorang sesepuh kami pada tahun 2003. Sesepuh kami ini adalah seorang rohaniawan bernama Ketut Nedeng, ketika itu saya diminta datang dari rumah kesebuah tempat / Pura yang jaraknya sekitar 20 km, panggilan ini oleh sesepuh ini sudah saya fahami bukan sekedar perintah biasa pasti ada makna dibelakang itu bagi diri saya dan orang lain untuk hari itu dan dikemudian nanti, sehingga dengan ikhlas saya datang dan berkenalan dengan Bapak Putu Setia.
Awal perkenalan saya dengan Putu Setia - dimana saat itu beliau masih Redaktur Majalah Hindu Raditya dan juga seorang “Jro Mangku /Pinandita” yaitu tahap seseorang yang mulai masuk kedalam alam rohani dan sifatnya baru menjadi tangan-tangan Brahmana (Belum Brahmana). Hubungan ini berlanjut dan saya mulai menulis di Majalah Raditya karena memang saya merasa punya bakat dan kesenangan menulis. Saat itu ibaratnya mata air didalam diri saya yang selama ini tersimpan di bawah tanah sudah dibukakan oleh Bapak Putu setia, Dalam proses tulis menulis itu saya banyak memperoleh pelajaran jurnalistik lewat kritik pada tulisan saya, yang akhirnya saya menjadi tahu ada etik-etik tertentu. Tidak banyak kritik yang disampaikan apakah itu artinya sudah cukup atau dianggap cukup karena berikutnya saya tidak pernah dikomentari lagi, mungkin untuk standard orang yang tidak mendalami jurnalistik, maka metode penulisan saya secara standard minimal sudah dianggap cukup. Berikut beliau juga me-refer tulisan saya ke tabloid. Karena kepercayaan saya yang dalam, maka saya sampai tidak mau menulis ke Majalah sejenis (Majalah Hindu) padahal saya diminta oleh kawan di Redaksi Majalah tersebut.
Berikutnya, perjalanan Bapak Putu Setia berkembang, dan berlanjut meningkatkan diri menjadi seorang “Ida Bhawati”. Bhawati berasal dari “Bhawa = perut, di mana pada fase ini beliau sudah berada pada “Rahim Brahmana” dan siap lahir menjadi Brahmana kalau Tuhan menghendaki. Brahmana bukan keturunan tetapi adalah perjalanan rohani seseorang sesuai dengan Guna (Bakat) dan Karma (tindakan atau tugas kesehariannya). Sesuai dengan tata-krama (Sesane), maka saya juga berubah sebutan kepada beliau dengan “Ida Bhawati Putu Setia” dan komunikasi kami tidak ada masalah bisa berlanjut seperti biasa, bahkan lebih dalam karena saya juga sering minta nasehat sesuai kapasitas beliau.
Waktu berkembang dengan sangat baiknya dalam perjalanan beliau, karena pada 21 Agustus 2009 – malam telah lahir dari seorang Brahmana Pandita Mpu Jaya Rekananda sebagai Nabe Napak (yang melahirkan), didampingi oleh Nabe Waktra Pandita Mpu Jaya Prateka Tanaya, yang akan mendidik, serta Nabe saksi Mpu Dharmika Tanaya. Brahmana yang baru lahir ini diberi nama (Abhiseka): Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Kembali sebagai insan religius dan memahami tata-krama, maka saya memanggil Ida Bhawati Putu Setia dengan “Pandita Mpu”. Hubungan ini tentunya akan terus berlanjut dengan sesane dan isi komunikasi yang berbeda.
Selamat datang Mpu Jaya Prema Ananda, demikian kalimat yang pertama saya sampaikan di Facebook, “semoga semakin banyak lahir matahari-matahari kecil untuk menerangi umat manusia”
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
Putu Setia yang sekarang sudah menjadi Brahmana dengan nama (Abhiseka) Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, adalah orang yang sangat berperan penting dalam perkembangan saya dalam perjalanan mengisi diri. Saya dikenalkan dengan beliau oleh seorang sesepuh kami pada tahun 2003. Sesepuh kami ini adalah seorang rohaniawan bernama Ketut Nedeng, ketika itu saya diminta datang dari rumah kesebuah tempat / Pura yang jaraknya sekitar 20 km, panggilan ini oleh sesepuh ini sudah saya fahami bukan sekedar perintah biasa pasti ada makna dibelakang itu bagi diri saya dan orang lain untuk hari itu dan dikemudian nanti, sehingga dengan ikhlas saya datang dan berkenalan dengan Bapak Putu Setia.
Awal perkenalan saya dengan Putu Setia - dimana saat itu beliau masih Redaktur Majalah Hindu Raditya dan juga seorang “Jro Mangku /Pinandita” yaitu tahap seseorang yang mulai masuk kedalam alam rohani dan sifatnya baru menjadi tangan-tangan Brahmana (Belum Brahmana). Hubungan ini berlanjut dan saya mulai menulis di Majalah Raditya karena memang saya merasa punya bakat dan kesenangan menulis. Saat itu ibaratnya mata air didalam diri saya yang selama ini tersimpan di bawah tanah sudah dibukakan oleh Bapak Putu setia, Dalam proses tulis menulis itu saya banyak memperoleh pelajaran jurnalistik lewat kritik pada tulisan saya, yang akhirnya saya menjadi tahu ada etik-etik tertentu. Tidak banyak kritik yang disampaikan apakah itu artinya sudah cukup atau dianggap cukup karena berikutnya saya tidak pernah dikomentari lagi, mungkin untuk standard orang yang tidak mendalami jurnalistik, maka metode penulisan saya secara standard minimal sudah dianggap cukup. Berikut beliau juga me-refer tulisan saya ke tabloid. Karena kepercayaan saya yang dalam, maka saya sampai tidak mau menulis ke Majalah sejenis (Majalah Hindu) padahal saya diminta oleh kawan di Redaksi Majalah tersebut.
Berikutnya, perjalanan Bapak Putu Setia berkembang, dan berlanjut meningkatkan diri menjadi seorang “Ida Bhawati”. Bhawati berasal dari “Bhawa = perut, di mana pada fase ini beliau sudah berada pada “Rahim Brahmana” dan siap lahir menjadi Brahmana kalau Tuhan menghendaki. Brahmana bukan keturunan tetapi adalah perjalanan rohani seseorang sesuai dengan Guna (Bakat) dan Karma (tindakan atau tugas kesehariannya). Sesuai dengan tata-krama (Sesane), maka saya juga berubah sebutan kepada beliau dengan “Ida Bhawati Putu Setia” dan komunikasi kami tidak ada masalah bisa berlanjut seperti biasa, bahkan lebih dalam karena saya juga sering minta nasehat sesuai kapasitas beliau.
Waktu berkembang dengan sangat baiknya dalam perjalanan beliau, karena pada 21 Agustus 2009 – malam telah lahir dari seorang Brahmana Pandita Mpu Jaya Rekananda sebagai Nabe Napak (yang melahirkan), didampingi oleh Nabe Waktra Pandita Mpu Jaya Prateka Tanaya, yang akan mendidik, serta Nabe saksi Mpu Dharmika Tanaya. Brahmana yang baru lahir ini diberi nama (Abhiseka): Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Kembali sebagai insan religius dan memahami tata-krama, maka saya memanggil Ida Bhawati Putu Setia dengan “Pandita Mpu”. Hubungan ini tentunya akan terus berlanjut dengan sesane dan isi komunikasi yang berbeda.
Selamat datang Mpu Jaya Prema Ananda, demikian kalimat yang pertama saya sampaikan di Facebook, “semoga semakin banyak lahir matahari-matahari kecil untuk menerangi umat manusia”
Nyoman Sukadana
Karanganyar-Solo-Jawa Tengah
Rabu, 02 September 2009
Sembahyang Bisa di Mana Saja
Oleh Pemilik Blog
Bersembahyang bisa di mana saja. Di kamar bisa, di ruang tamu dengan menggelar tikar, juga bisa. Di ruang kelas pun bisa, apalagi buat pelajar. Bersembahyang di kamar kerja, bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga sudah biasa dilakukan di kota-kota besar seperti di jakarta. Dulu, ketika saya masih berkantor di Majalah Tempo Jakarta, saya biasa bersembahyang di ruang kerja. Kalau di luar ada suara hiruk pikuk yang mengganggu konsentrasi, saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kidung yadnya. Tujuannya adalah membawa pikiran pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk mencapai suasana religius.
Kalau bersembahyang bisa di mana saja, asal jangan di per¬empatan jalan yang lagi ramai lalu lintasnya, untuk apa umat Hindu mengun¬jungi pura? Kenapa umat berduyun-duyun pergi ke Pura Tri¬kahyangan pada saat Hari Raya Galungan? Kenapa Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan? Begitu pula Pura Lempuyang Luhur, umat parkir jauh sekali dan berjalan naik ke bukit. Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat Danau Batur, tetapi bersem¬bahyang ke Pura Ulun Danu pada Purnama Kedasa? Kenapa umat Hindu memenuhi Pura Dasar Bhuwana di Gelgel pada Pemacekan Agung dan berbondong-bondong ke Pura Sakenan pada hari Kuningan?
Jelas ada daya tariknya, kenapa pura dikunjungi. Yang pertama-tama dalam pikiran masyarakat tradisional adalah pura itu “tempat tinggal” Sesuhunan, stana Ida Bethara, Dewa, Hyang Widhi. Umat tak perlu lagi memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan dengan teliti apakah persembahyangan itu di depan meru, balai gedong, atau padmasana. “Sembahyang untuk memuja Tuhan,” kata keponakan saya yang baru kelas dua SD. Bagi dia sama saja, bersembahyang di merajan, di Pura Puseh, di Pura Ulun Danu Batur, di Pura Besakih, semuanya memuja Tuhan.
Dalam setiap kesempatan mengisi dharmatula, saya selalu menyarankan, jika kita mengunjungi pura (tirthayatra) hendaknya dengan cara-cara yang dikehendaki oleh para leluhur kita, yakni pikiran kita sudah dibawa ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Apa maksudnya?
Para leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di tempat-tempat di mana orang harus melakukan “perjalanan penuh rintangan” sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur (yang “asli” di Songan), sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura Lempuyang (baik di Luhur maupun di Madya) dibangun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang. Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan menganjurkan membuat Pura Trikahyangan dan “pura moderen” seperti Pura Jagatnatha?
Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya “rintangan” dalam perjalanan itu. Dengan adanya “rintangan” itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. “Rintangan” itu tak lain adalah cara tak langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai.
Sekarang “rintangan” itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu umat bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah. Anak-anak menangis minta mainan dan ibunya membentak terus. Suasana ngedumel dan tangisan dibawa langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang oleh Pemangku? Tak lain adalah pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika kita pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan. Begitu ada ombak, meski kecil, orang berdoa. Suasana khusuk doa dibawa ke jeroan pura.
Beberapa tahun yang lalu, saya punya kisah yang bisa dikenang ketika sekeluarga ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel pas di hari Pemacekan Agung. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya kecil, berdesak-desakan. Ada yang mendorong dari belakang, istri saya yang melindungi anak saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang menyikutnya. Lelaki itu tersinggung dan marah, lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan? Saya menarik tangan istri saya dan anak saya keluar dari kerumunan, lalu duduk di balai gong. Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab, apa gunanya bersembahyang ketika pikiran masih dipenuhi rasa marah dan dendam? Kami istirahat sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah pikiran tenang baru masuk ke jeroan.
Sekarang ini pengaturan masuk di Pura Dasar Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah berlapis tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada dorong-mendorong, dan ada maki-makian di antara pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di setiap pura kalau ada pujawali besar. Termasuk Pura Besakih. Penyebabnya adalah kawasan suci pura sudah semakin sempit. Dan manusia-manusia moderen sudah mempersempitnya lagi dengan memberikan akses masuk bagi kendaraan, pedagang, dan sebagainya ke lokasi pa¬ling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu dalam posisi “grasa-grusu” (tergesa-gesa dengan cara sembrono).
Sudah saatnya umat diberikan pengertian hal yang paling mendasar, seperti bagaimana etika mengunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu. Jika perlu siapkan buku sejarah mengenai pura itu yang bisa dijual dengan harga yang terjangkau.
Bersembahyang bisa di mana saja. Di kamar bisa, di ruang tamu dengan menggelar tikar, juga bisa. Di ruang kelas pun bisa, apalagi buat pelajar. Bersembahyang di kamar kerja, bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga sudah biasa dilakukan di kota-kota besar seperti di jakarta. Dulu, ketika saya masih berkantor di Majalah Tempo Jakarta, saya biasa bersembahyang di ruang kerja. Kalau di luar ada suara hiruk pikuk yang mengganggu konsentrasi, saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kidung yadnya. Tujuannya adalah membawa pikiran pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk mencapai suasana religius.
Kalau bersembahyang bisa di mana saja, asal jangan di per¬empatan jalan yang lagi ramai lalu lintasnya, untuk apa umat Hindu mengun¬jungi pura? Kenapa umat berduyun-duyun pergi ke Pura Tri¬kahyangan pada saat Hari Raya Galungan? Kenapa Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan? Begitu pula Pura Lempuyang Luhur, umat parkir jauh sekali dan berjalan naik ke bukit. Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat Danau Batur, tetapi bersem¬bahyang ke Pura Ulun Danu pada Purnama Kedasa? Kenapa umat Hindu memenuhi Pura Dasar Bhuwana di Gelgel pada Pemacekan Agung dan berbondong-bondong ke Pura Sakenan pada hari Kuningan?
Jelas ada daya tariknya, kenapa pura dikunjungi. Yang pertama-tama dalam pikiran masyarakat tradisional adalah pura itu “tempat tinggal” Sesuhunan, stana Ida Bethara, Dewa, Hyang Widhi. Umat tak perlu lagi memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan dengan teliti apakah persembahyangan itu di depan meru, balai gedong, atau padmasana. “Sembahyang untuk memuja Tuhan,” kata keponakan saya yang baru kelas dua SD. Bagi dia sama saja, bersembahyang di merajan, di Pura Puseh, di Pura Ulun Danu Batur, di Pura Besakih, semuanya memuja Tuhan.
Dalam setiap kesempatan mengisi dharmatula, saya selalu menyarankan, jika kita mengunjungi pura (tirthayatra) hendaknya dengan cara-cara yang dikehendaki oleh para leluhur kita, yakni pikiran kita sudah dibawa ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Apa maksudnya?
Para leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di tempat-tempat di mana orang harus melakukan “perjalanan penuh rintangan” sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur (yang “asli” di Songan), sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura Lempuyang (baik di Luhur maupun di Madya) dibangun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang. Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan menganjurkan membuat Pura Trikahyangan dan “pura moderen” seperti Pura Jagatnatha?
Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya “rintangan” dalam perjalanan itu. Dengan adanya “rintangan” itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. “Rintangan” itu tak lain adalah cara tak langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai.
Sekarang “rintangan” itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu umat bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah. Anak-anak menangis minta mainan dan ibunya membentak terus. Suasana ngedumel dan tangisan dibawa langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang oleh Pemangku? Tak lain adalah pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika kita pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan. Begitu ada ombak, meski kecil, orang berdoa. Suasana khusuk doa dibawa ke jeroan pura.
Beberapa tahun yang lalu, saya punya kisah yang bisa dikenang ketika sekeluarga ke Pura Dasar Bhuwana Gelgel pas di hari Pemacekan Agung. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya kecil, berdesak-desakan. Ada yang mendorong dari belakang, istri saya yang melindungi anak saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang menyikutnya. Lelaki itu tersinggung dan marah, lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan? Saya menarik tangan istri saya dan anak saya keluar dari kerumunan, lalu duduk di balai gong. Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab, apa gunanya bersembahyang ketika pikiran masih dipenuhi rasa marah dan dendam? Kami istirahat sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah pikiran tenang baru masuk ke jeroan.
Sekarang ini pengaturan masuk di Pura Dasar Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah berlapis tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada dorong-mendorong, dan ada maki-makian di antara pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di setiap pura kalau ada pujawali besar. Termasuk Pura Besakih. Penyebabnya adalah kawasan suci pura sudah semakin sempit. Dan manusia-manusia moderen sudah mempersempitnya lagi dengan memberikan akses masuk bagi kendaraan, pedagang, dan sebagainya ke lokasi pa¬ling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu dalam posisi “grasa-grusu” (tergesa-gesa dengan cara sembrono).
Sudah saatnya umat diberikan pengertian hal yang paling mendasar, seperti bagaimana etika mengunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu. Jika perlu siapkan buku sejarah mengenai pura itu yang bisa dijual dengan harga yang terjangkau.
Yadnya Untuk Sesama
Oleh Pemilik Blog
Misalkan kita dalam perjalanan menuju pura yang jauh dan naik mobil pribadi. Kita membawa sesajen yang berisi ketupat, pisang, dan kue. Lalu di perempatan jalan mobil berhenti karena ada lampu merah. Seorang pengemis dengan muka pucat mengetuk kaca mobil. Ia memberi tanda dirinya haus dan lapar. Apa sikap kita?
Pernahkah kita mengambil kue atau buah di sesajen itu untuk diberikan kepada pengemis yang kelaparan? Mungkin tidak. Dan mungkin pula, terpikirpun tidak. Malah kita akan menutup kaca mobil rapat-rapat.
Maaf, ini pengamatan selintas di Bali. Mungkin masih ada orang yang ikhlas merelakan sesajennya untuk pengemis. Saya termasuk orang yang pelit memberi sesuatu kepada pengemis, kalau pengemis itu masih sehat dan kekar. Tetapi terhadap gelandangan yang betul-betul memerlukan bantuan mendesak, saya sering tersentuh. Saya pernah memberikan sesisir pisang kepada gelandangan yang menggedong anak kecil yang saya lihat sangat lapar, padahal pisang itu sudah dirangkai dalam bentuk sesajen. Sebelum sampai ke pura, saya membeli pisang di pasar sebagai pengganti. Saya merasa lebih plong bersembahyang, tidak diusik oleh wajah anak kecil yang kelaparan itu.
Dalam kisah kehidupan para sanyasin, banyak ditemukan teladan bagaimana menolong sesama manusia. Ada kisah sanyasin, kalau tak salah ingat, namanya Rahji. Suatu ketika keluarga ini mau menghaturkan sesajen di pura (mandir) di atas bukit. Di perjalanan ia menemukan gelandangan yang hampir sekarat karena haus dan lapar. Istri Rahji berkata: “Kita teruskan saja perjalanan ke bukit. Sepulang dari bersembahyang, baru kita berikan makanan sesajen ini.”
Rahji mula-mula sepakat, bukankah dalam ajaran Hindu kita wajib mempersembahkan semua makanan kepada Hyang Widhi, dan kita hanya menerima prasadam (bahasa Bali: surudan) saja? Dalam tradisi di Bali ada istrilah ngejot atau mesaiban sebelum kita makan, dan bagi umat Hindu yang lebih moderen (karena tahu ada mantramnya) berdoa sebelum makan, sehingga yang kita makan semuanya adalah prasadam.
Tapi, Rahji berubah pendapat. Ia mengambil makanan dalam sesajen itu dan memberikan kepada gelandangan. Alasannya: “Kalau kita menunggu perjalanan ke atas bukit baru memberikan makanan dalam bentuk prasadam, jangan-jangan gelandangan ini keburu meninggal dunia. Kita harus selamatkan mereka.”
Dan keluarga Rahji memberikan makanan itu kepada gelandangan yang sekarat. Gelandangan menjadi segar dan Rahji pun meneruskan ke bukit melakukan persembahyangan. Bhagawan Gita menyebutkan, dalam keadaan yang sangat sederhana, Tuhan bisa dipuja dengan hanya sekuntum bunga, setangkai daun, sebutir buah dan air sekedarnya: puspam, patram, phalam, toyam.
Saya kira semua ajaran agama menempatkan hubungan horisontal sesama manusia sebagai hal yang utama, melebihi hubungan vertikal antara manusia dengan Hyang Widhi. Kalau begitu, kenapa banyak anak-anak terlantar dari keluarga miskin di Bali diasuh oleh Panti Asuhan non-Hindu? Kemana orang-orang Bali yang Hindu, yang hidup berkecukupan?
Misalkan kita dalam perjalanan menuju pura yang jauh dan naik mobil pribadi. Kita membawa sesajen yang berisi ketupat, pisang, dan kue. Lalu di perempatan jalan mobil berhenti karena ada lampu merah. Seorang pengemis dengan muka pucat mengetuk kaca mobil. Ia memberi tanda dirinya haus dan lapar. Apa sikap kita?
Pernahkah kita mengambil kue atau buah di sesajen itu untuk diberikan kepada pengemis yang kelaparan? Mungkin tidak. Dan mungkin pula, terpikirpun tidak. Malah kita akan menutup kaca mobil rapat-rapat.
Maaf, ini pengamatan selintas di Bali. Mungkin masih ada orang yang ikhlas merelakan sesajennya untuk pengemis. Saya termasuk orang yang pelit memberi sesuatu kepada pengemis, kalau pengemis itu masih sehat dan kekar. Tetapi terhadap gelandangan yang betul-betul memerlukan bantuan mendesak, saya sering tersentuh. Saya pernah memberikan sesisir pisang kepada gelandangan yang menggedong anak kecil yang saya lihat sangat lapar, padahal pisang itu sudah dirangkai dalam bentuk sesajen. Sebelum sampai ke pura, saya membeli pisang di pasar sebagai pengganti. Saya merasa lebih plong bersembahyang, tidak diusik oleh wajah anak kecil yang kelaparan itu.
Dalam kisah kehidupan para sanyasin, banyak ditemukan teladan bagaimana menolong sesama manusia. Ada kisah sanyasin, kalau tak salah ingat, namanya Rahji. Suatu ketika keluarga ini mau menghaturkan sesajen di pura (mandir) di atas bukit. Di perjalanan ia menemukan gelandangan yang hampir sekarat karena haus dan lapar. Istri Rahji berkata: “Kita teruskan saja perjalanan ke bukit. Sepulang dari bersembahyang, baru kita berikan makanan sesajen ini.”
Rahji mula-mula sepakat, bukankah dalam ajaran Hindu kita wajib mempersembahkan semua makanan kepada Hyang Widhi, dan kita hanya menerima prasadam (bahasa Bali: surudan) saja? Dalam tradisi di Bali ada istrilah ngejot atau mesaiban sebelum kita makan, dan bagi umat Hindu yang lebih moderen (karena tahu ada mantramnya) berdoa sebelum makan, sehingga yang kita makan semuanya adalah prasadam.
Tapi, Rahji berubah pendapat. Ia mengambil makanan dalam sesajen itu dan memberikan kepada gelandangan. Alasannya: “Kalau kita menunggu perjalanan ke atas bukit baru memberikan makanan dalam bentuk prasadam, jangan-jangan gelandangan ini keburu meninggal dunia. Kita harus selamatkan mereka.”
Dan keluarga Rahji memberikan makanan itu kepada gelandangan yang sekarat. Gelandangan menjadi segar dan Rahji pun meneruskan ke bukit melakukan persembahyangan. Bhagawan Gita menyebutkan, dalam keadaan yang sangat sederhana, Tuhan bisa dipuja dengan hanya sekuntum bunga, setangkai daun, sebutir buah dan air sekedarnya: puspam, patram, phalam, toyam.
Saya kira semua ajaran agama menempatkan hubungan horisontal sesama manusia sebagai hal yang utama, melebihi hubungan vertikal antara manusia dengan Hyang Widhi. Kalau begitu, kenapa banyak anak-anak terlantar dari keluarga miskin di Bali diasuh oleh Panti Asuhan non-Hindu? Kemana orang-orang Bali yang Hindu, yang hidup berkecukupan?
Selasa, 01 September 2009
Putu Setia Lahir Jadi Pandita
Oleh Bina Bektiati, Wartawan Majalah Tempo
Ida Bhawati Putu Setia ditahbiskan menjadi pandita. Tanda pencapaian spiritual dan bukti keberhasilannya memperjuangkan kesetaraan menjadi Brahmana.
****
Menjelang tengah malam di Pasraman Dharmasastra Manikgeni. Dua sosok berselimut kain putih diangkat dalam posisi terbujur. Di bawah rinai hujan tipis-tipis, beberapa orang memanggul keduanya dari bale upacara ke bale besar di tengah kompeks Pasraman. Wangi dupa, alunan kidung, dan denting genta sulinggih—sebutan Bali untuk pandita—melahirkan aroma mistis dan syahdu. Angin malam berhembus dari Gunung Batukaru di belakang Pasraman, melorotkan udara hingga 18 derajat Celcius.
Inilah ritual menuju puncak upacara Rsi Yadnya Mediksa bagi Ida Bhawati Putu Setia dan isterinya, Ida Bhawati Istri Ni Made Sukarnithi. Berlangsung pada Kamis malam dua pekan lalu, upacara itu menahbiskan pasangan tersebut menjadi pandita Brahmana. Tidak ada upacara pembersihan --tubuh dan jiwa—yang lebih tinggi dari Mediksa.
Pasraman Manikgeni yang terletak di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan riuh oleh tamu-tamu. Ada belasan pandita, anggota keluarga, serta sebagian warga desa, ikut bertugur hingga jauh malam. Di bale gede, Ida Bhawati Putu Setia dan isterinya dibaringkan dalam posisi bersanding. Ruang tidur mereka ditutup tirai kain Bali warna merah- ungu beraksen keemasan. Keduanya dalam kondisi ”mati”. Dan berkelana di luar raga hingga guru nabe, pandita tertinggi pemandu upacara agung itu membangunkan mereka dengan percikan tirta suci.
Saat itu tiba pada pukul 01.10 waktu Indonesia Tengah. Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda, sang guru nabe, memerciki mereka dan memberikan bhiseksa atau nama. Ida Bhawati Putu Setia mendapat nama baru Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Dan isterinya, Ida Pandita Mpu Rai Istri Jaya Prema Ananda. “Saya hanyalah fasilitator. Nama itu titipan dari Tuhan,” ujar Mpu Jaya Rekananda kepada Tempo.
Pada 18 Juni 2008, Putu Setia dan isterinya menjalani ritual menjadi Ida Bhawati. Tahapan itu wajib mereka tempuh sebelum menjadi sulinggih tertinggi: Ida Pandita. Sejak menjadi Ida Bhawati, Putu Setia berada di “rahim” guru nabe. Di sana, dia menanti dilahirkan kedua kalinya ke dunia. Ada tiga guru yang membimbing pria kelahirnan Tabanan, 58 tahun silam ini. Yakni, Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda sebagai guru nabe; Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Prateka Tanaya sebagai guru waktra; dan Ida Pandita Mpu Nabe Dharmika Tanaya, guru saksi.
“Layak tidaknya menjadi pandita, harus melalui uji kemampuan. Termasuk, harus sehat secara fisik,” kata Mpu Nabe Jaya Rekananda. “Perlu kejeniusan tertentu untuk menjadi pandita,” dia menambahkan.
Setelah setahun Ida Bhawati Putu Setia dinyatakan layak naik jenjang melalui Rsi Yadnya Mediksa. Putu Setia dan isterinya melakukan ritual Seda Raga (kematian), lalu disusul Napak, yaitu dilahirkan kembali sebagai pandita.
Seusai upacara, Putu Setia menuturkan, di saat “mati”, tanda kehidupan hanya dia rasakan di bagian dada ke atas. “Dada ke bawah terasa mati,” ujarnya. Dalam pengembaraan di luar raga selama satu jam lebih—Putu merasa melintasi hutan Bali di zaman kuno. Dia melihat manusia-manusia kecil, pepohonan, danau-danau. Rasanya belum ingin kembali (ke kesadaran dunia), tapi sudah dibangunkan oleh percikan air,” dia menuturkan.
Setelah kelahiran kedua ini, Putu Setia dan Ni Made Sukarnithi sudah tak ada lagi, berganti dengan Mpu Jaya Prema Ananda dan Mpu Rai Istri Jaya Prema Ananda. Pimpinan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi—klan terbesar di Bali—Prof. Dr. Ketut Wita, menjelaskan saat ini ada 141 orang pandita tertinggi di Bali. Ketika dia menjabat lima tahun lalu, jumlah petinggi keagamaan itu baru 72 orang. Hadirnya Mpu Jaya Prema Ananda menambah jumlah pandita tertinggi.
Para pandita Brahmana Bali tak lagi semata-mata datang dari jalur keturunan atau “nyambung rah”. Yaitu bila ayahnya seorang pandita, anak laki-lakinya otomatis bisa menjadi pandita setelah dewasa. “Para pandita nyambung rah kini jumlahnya kurang dari 10 orang,” kata Mpu Jaya yang pernah menjadi wartawan Tempo. Karena anak seorang pandita belum tentu memilih jalur yang sama. Dan untuk sampai ke tahapan sulinggih –pemimpin keagamaan—dia harus lulus serangkaian tes.
Kehadiran Putu Setia sebagai Ida Pandita adalah salah satu bukti keberhasilan ”reformasi” dalam tradisi keagamaan Hindu Bali. Reformasi ini memperjuangkan setiap orang Hindu berhak menjadi pendeta bila memenuhi syarat—dan bukan hanya keturunan brahmana. Inilah tesis dari kontroversi panjang tentang paham warna –pembagian masyarakat berdasar pekerjaan— yang dibelokkan menjadi kasta –pembagian warga berdasar garis keturunan.
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), organisasi keagamaan umat Hindu—berdiri pada 1961—menyatakan setiap pemeluk Hindu dapat menjadi pandita. Namun dalam prakteknya tidak semudah itu. Pergulatan di antara masyarakat yang pro dan kontra terhadap pendapat terus bergulir dari masa ke masa.
Mpu Jaya Prema Ananda, misalnya, ketika masih sebagai Putu Setia, dikenal gigih memperjuangkan penghapusan diskriminasi jalur menjadi pendeta. Antara lain melalui Forum Cendekiawan Hindu Indonesia. Putu pernah menjadi ketuanya pada periode 1991-1996.
Menjadi pelayan agama adalah jalur yang telah dipilih Putu Setia sejak lama. Sejak pindah dari Jakarta ke Bali pada 2002, Putu menunjukan komitmennya dengan sungguh. Dia menempuh berbagai jenjang kerohanian yang disyaratkan. Dia mengaku, tidak mudah. Dan, ada pula banyak pantangan.
Sebagai Ida Pandita, misalnya, dia hanya boleh mengenakan baju putih. Dia tak boleh berkata bohong, menyetir mobil, melakukan transaksi ekonomi, marah, dan banyak lagi.
Untunglah tak ada larangan menggunakan Internet, termasuk fasilitas Facebook. Karena Facebook dapat digunakan sebagai sarana berdakwah dan berhubungan dengan publik. Jumat sore pekan lalu, Mpu Jaya Prema Ananda membuka akun baru. Statusnya bertulisan: “Saya orang baru di facebook, semoga ada yang mau berteman untuk mewujudkan bumi yang damai”.
Bina Bektiati (Pujungan, Tabanan)
(Majalah Tempo 31 Agustus 2009)
Ida Bhawati Putu Setia ditahbiskan menjadi pandita. Tanda pencapaian spiritual dan bukti keberhasilannya memperjuangkan kesetaraan menjadi Brahmana.
****
Menjelang tengah malam di Pasraman Dharmasastra Manikgeni. Dua sosok berselimut kain putih diangkat dalam posisi terbujur. Di bawah rinai hujan tipis-tipis, beberapa orang memanggul keduanya dari bale upacara ke bale besar di tengah kompeks Pasraman. Wangi dupa, alunan kidung, dan denting genta sulinggih—sebutan Bali untuk pandita—melahirkan aroma mistis dan syahdu. Angin malam berhembus dari Gunung Batukaru di belakang Pasraman, melorotkan udara hingga 18 derajat Celcius.
Inilah ritual menuju puncak upacara Rsi Yadnya Mediksa bagi Ida Bhawati Putu Setia dan isterinya, Ida Bhawati Istri Ni Made Sukarnithi. Berlangsung pada Kamis malam dua pekan lalu, upacara itu menahbiskan pasangan tersebut menjadi pandita Brahmana. Tidak ada upacara pembersihan --tubuh dan jiwa—yang lebih tinggi dari Mediksa.
Pasraman Manikgeni yang terletak di Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan riuh oleh tamu-tamu. Ada belasan pandita, anggota keluarga, serta sebagian warga desa, ikut bertugur hingga jauh malam. Di bale gede, Ida Bhawati Putu Setia dan isterinya dibaringkan dalam posisi bersanding. Ruang tidur mereka ditutup tirai kain Bali warna merah- ungu beraksen keemasan. Keduanya dalam kondisi ”mati”. Dan berkelana di luar raga hingga guru nabe, pandita tertinggi pemandu upacara agung itu membangunkan mereka dengan percikan tirta suci.
Saat itu tiba pada pukul 01.10 waktu Indonesia Tengah. Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda, sang guru nabe, memerciki mereka dan memberikan bhiseksa atau nama. Ida Bhawati Putu Setia mendapat nama baru Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Dan isterinya, Ida Pandita Mpu Rai Istri Jaya Prema Ananda. “Saya hanyalah fasilitator. Nama itu titipan dari Tuhan,” ujar Mpu Jaya Rekananda kepada Tempo.
Pada 18 Juni 2008, Putu Setia dan isterinya menjalani ritual menjadi Ida Bhawati. Tahapan itu wajib mereka tempuh sebelum menjadi sulinggih tertinggi: Ida Pandita. Sejak menjadi Ida Bhawati, Putu Setia berada di “rahim” guru nabe. Di sana, dia menanti dilahirkan kedua kalinya ke dunia. Ada tiga guru yang membimbing pria kelahirnan Tabanan, 58 tahun silam ini. Yakni, Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda sebagai guru nabe; Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Prateka Tanaya sebagai guru waktra; dan Ida Pandita Mpu Nabe Dharmika Tanaya, guru saksi.
“Layak tidaknya menjadi pandita, harus melalui uji kemampuan. Termasuk, harus sehat secara fisik,” kata Mpu Nabe Jaya Rekananda. “Perlu kejeniusan tertentu untuk menjadi pandita,” dia menambahkan.
Setelah setahun Ida Bhawati Putu Setia dinyatakan layak naik jenjang melalui Rsi Yadnya Mediksa. Putu Setia dan isterinya melakukan ritual Seda Raga (kematian), lalu disusul Napak, yaitu dilahirkan kembali sebagai pandita.
Seusai upacara, Putu Setia menuturkan, di saat “mati”, tanda kehidupan hanya dia rasakan di bagian dada ke atas. “Dada ke bawah terasa mati,” ujarnya. Dalam pengembaraan di luar raga selama satu jam lebih—Putu merasa melintasi hutan Bali di zaman kuno. Dia melihat manusia-manusia kecil, pepohonan, danau-danau. Rasanya belum ingin kembali (ke kesadaran dunia), tapi sudah dibangunkan oleh percikan air,” dia menuturkan.
Setelah kelahiran kedua ini, Putu Setia dan Ni Made Sukarnithi sudah tak ada lagi, berganti dengan Mpu Jaya Prema Ananda dan Mpu Rai Istri Jaya Prema Ananda. Pimpinan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi—klan terbesar di Bali—Prof. Dr. Ketut Wita, menjelaskan saat ini ada 141 orang pandita tertinggi di Bali. Ketika dia menjabat lima tahun lalu, jumlah petinggi keagamaan itu baru 72 orang. Hadirnya Mpu Jaya Prema Ananda menambah jumlah pandita tertinggi.
Para pandita Brahmana Bali tak lagi semata-mata datang dari jalur keturunan atau “nyambung rah”. Yaitu bila ayahnya seorang pandita, anak laki-lakinya otomatis bisa menjadi pandita setelah dewasa. “Para pandita nyambung rah kini jumlahnya kurang dari 10 orang,” kata Mpu Jaya yang pernah menjadi wartawan Tempo. Karena anak seorang pandita belum tentu memilih jalur yang sama. Dan untuk sampai ke tahapan sulinggih –pemimpin keagamaan—dia harus lulus serangkaian tes.
Kehadiran Putu Setia sebagai Ida Pandita adalah salah satu bukti keberhasilan ”reformasi” dalam tradisi keagamaan Hindu Bali. Reformasi ini memperjuangkan setiap orang Hindu berhak menjadi pendeta bila memenuhi syarat—dan bukan hanya keturunan brahmana. Inilah tesis dari kontroversi panjang tentang paham warna –pembagian masyarakat berdasar pekerjaan— yang dibelokkan menjadi kasta –pembagian warga berdasar garis keturunan.
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), organisasi keagamaan umat Hindu—berdiri pada 1961—menyatakan setiap pemeluk Hindu dapat menjadi pandita. Namun dalam prakteknya tidak semudah itu. Pergulatan di antara masyarakat yang pro dan kontra terhadap pendapat terus bergulir dari masa ke masa.
Mpu Jaya Prema Ananda, misalnya, ketika masih sebagai Putu Setia, dikenal gigih memperjuangkan penghapusan diskriminasi jalur menjadi pendeta. Antara lain melalui Forum Cendekiawan Hindu Indonesia. Putu pernah menjadi ketuanya pada periode 1991-1996.
Menjadi pelayan agama adalah jalur yang telah dipilih Putu Setia sejak lama. Sejak pindah dari Jakarta ke Bali pada 2002, Putu menunjukan komitmennya dengan sungguh. Dia menempuh berbagai jenjang kerohanian yang disyaratkan. Dia mengaku, tidak mudah. Dan, ada pula banyak pantangan.
Sebagai Ida Pandita, misalnya, dia hanya boleh mengenakan baju putih. Dia tak boleh berkata bohong, menyetir mobil, melakukan transaksi ekonomi, marah, dan banyak lagi.
Untunglah tak ada larangan menggunakan Internet, termasuk fasilitas Facebook. Karena Facebook dapat digunakan sebagai sarana berdakwah dan berhubungan dengan publik. Jumat sore pekan lalu, Mpu Jaya Prema Ananda membuka akun baru. Statusnya bertulisan: “Saya orang baru di facebook, semoga ada yang mau berteman untuk mewujudkan bumi yang damai”.
Bina Bektiati (Pujungan, Tabanan)
(Majalah Tempo 31 Agustus 2009)
Langganan:
Postingan (Atom)