Putu Setia
(Ini Cari Angin versi awal sebelum saya perpendek untuk Koran Tempo Minggu 28 Februari 2010)
Ngobrol tentang kasus Bank Century dengan orang desa, asyik juga. Kepolosan mereka dalam berpikir dan mungkin wawasan serta pengetahuan mereka yang pas-pasan mengenai masalah perbankan, apalagi perekonomian – baik makro maupun mikro – membuat saya makin bernafsu mendengarkannya. Mula-mula ini selingan yang menarik setelah setiap saat dijejali ocehan para (yang mengaku) pakar ekonomi dan pengamat dalam tayangan televisi. Lama-lama bukan lagi selingan, karena saya mulai muak dengan ocehan di televise itu, apalagi dengan penyiar yang tidak melaksanakan fungsi sebagai “penggali berita” namun lebih sebagai “provokator”. Clik, televisi di off-kan.
Tentu orang desa yang saya maksudkan tidaklah ndeso amat, bukan orang yang buta huruf apalagi buta mata. Ada yang jadi saudagar sapi. Ada yang makelar mobil bekas, dan ada yang propfesinya – ini trend menarik dan bermunculan di pedesaan – menerima gadaian telepon seluler. Yang menarik, mereka berurusan dengan bank, minimal punya tabungan – jauh sebelum Presiden SBY mencanangkan gerakan “Mari Menabung”. Suara-suara mereka tak mungkin masuk televisi, karena suara mereka “sudah dianggap terwakili” oleh segelintir orang di kota yang teriak-teriak di jalanan. Ini klim yang sudah salah kaprah berkepanjangan. Jadinya, benar atau salah pendapat mereka, tentu tak sempat diuji, apalagi kebenaran saat ini sudah dimonopoli oleh beberapa orang politikus, yang ternyata juga mengatasnamakan rakyat.
Apa saja pendapat mereka tentang kemelut Bank Century ini? Misalnya tentang Sri Mulyani Indrawati – sungguh-sungguh mereka hafal nama lengkap Menteri Keuangan ini. Sebagai pejabat Negara yang bertanggungjawab mengenai kestabilan ekonomi nasional, Ibu Sri (saya singkat karena saya sendiri sering lupa nama panjangnya) dengan cepat memutuskan mem-bailout Bank Century agar tidak merembet ke bank lain dan mengakibatkan krisis lebih dalam. Pengalaman 1998 menjadi guru yang baik karena kekurang-cermatan penanganannya.
Salah atau benarkah Ibu Sri? “Gampang sekali, lihat saja setelah 2008 itu, ada krisis atau tidak? Tak ada krisis, jadi tindakannya benar, kok repot sekali,” kata juragan sapi. Bahwa ada aliran uang yang menetes ke sana atau ke sini, itu bukan urusan Ibu Sri, silakan diusut dan diproses sesuai hukum. Masak Ibu Sri harus nongkrongi kasir bank?
Tentang uang 6,7 trilyun itu apakah membuat negara rugi? Ini uang hasil iuran bank yang memang dipergunakan untuk saat krisis yang disimpan Lembaga Penjamin Simpanan. Memang sudah keluar uangnya, tapi kan bisa kembali kalau nanti Bank Muatiara yang jadi siluman Century sudah baik dan bisa dijual ke investor. “Nyatanya Bank Mutiara jalan bagus, saya baru menabung di sana, kantornya di Denpasar malah makin besar di daerah elite,” kata makelar mobil bekas. Tapi ia buru-buru menambahkan, aliran dana yang tak beres – kalau nyatanya ada – tetap diusut, dan tentu ada penanggung-jawabnya.
Yang menarik dalam obrolan ini adalah pendapat mereka tentang Pansus Angket Century. Kesimpulan Pansus – baik sementara maupun akhir – hanya membuang-buang duit 2,5 milyar, anggaran yang dipakai Pansus. Lo, kok begitu? “Semua fraksi bilang, hasil Pansus Century perlu ditindak-lanjuti ke jalur hukum. Kalau hasilnya begitu, ngapain pakai hak angket, dari dulu saja serahkan ke aparat hukum,” kata rentenir telepon seluler.
Jadi apa dong hasil kerja Pansus? Kata mereka, anggota Pansus hanya bermimpi menaikkan citra partai. Partai Golkar paling ge-er, seolah berhasil menjadikan “panas 32 tahun dihapuskan oleh hujan dua bulan”, padahal rakyat belum tentu mudah “lupa”. Partai lainnya – yang kalah Pemilu lalu – merasa sudah mengungkap “kebenaran yang sejati”, seolah partai lainnya “menutupi kebenaran”. Padahal kebenaran tak bisa dimonopoli dan kebenaran berkaitan dengan siapa pemberi informasi yang dianggap benar itu. Apakah kalangan perbankan dan pengusaha didengar oleh Pansus untuk menentukan kebenaran itu?
Ada pula partai yang menjadi Partai Konsisten Selalu, tak henti-hentinya berteriak konsisten dalam menyikapi hasil angket dengan menyebut berbagai penyimpangan, ada bukti kuat atau tidak, bukan masalah. Partai ini sejatinya hanya konsisten menempatkan menterinya di pemerintahan dan tak mau menariknya, sementara juga konsisten menyerang kebijaksanaan pemerintah padahal ia berkoalisi. Jadi bis a pula disebut Partai Koalisi Semu atau Partai Koalisi Semau gue.
Kalau begitu, kerja Pansus ini ibarat apa? “Membuat lawar capung,” kata mereka. Wah, ini kiasan khas Bali tulen, lawar itu masakan yang bumbunya banyak sekali, padahal bahan pokoknya hanya capung, serangga kecil. Masalah kecil yang bumbu riuhnya terlalu banyak, pakai nyanyi-nyanyi segala tatkala puluhan buruh teh di Jawa Barat tertimbun lumpur. Amit-amit.
27 Februari 2010
Untuk kedamaian dari Rumah Budaya Pasraman Manikgeni, Pujungan, Tabanan, Bali
Minggu, 28 Februari 2010
Jumat, 19 Februari 2010
Ogoh-Ogoh
Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Hari Raya Nyepi sudah datang. Hari yang ditunggu-tunggu. Tapi kebanyakan orang Bali, apalagi kaum mudanya, bukannya menunggu saat melangsungkan brata penyepian – amati geni, amati karya, amati lelungan, amati lelangunan – tetapi menunggu pawai ogoh-ogoh. Pesta ogoh-ogoh ini lebih penting ketimbang Nyepi itu sendiri. Jadi, yang ditunggu-tunggu sebenarnya bukan Nyepi tetapi pengerupukan alias sehari sebelum Nyepi. Itulah hari yang sering disebut sebagai Tawur Kesanga.
Tawur Kesanga ini adalah ritual untuk bhuta yadnya, kalau tingkatan rendah disebut caru, kalau tingkatan paling tinggi disebut tawur. Untuk gampang dihayati, inilah saatnya para bhuta diubah wujudnya menjadi dewa agar tidak mengganggu bumi sebelum umat Hindu melaksanakan brata penyepian. Mengubah wujud bhuta menjadi dewa ini dalam istilah agamanya: somya.
Agaknya istilah itu tak berarti bagi kaum remaja Hindu. Yang jelas, kawula muda di Bali merasakan hari ini hari yang tak bisa dilewatkan. Itu saatnya mereka menumpahkan kreasinya dalam acara mengarak ogoh-ogoh. Nyepi tanpa ogoh-ogoh sama dengan makan tanpa kerupuk, tak ada renyahnya meski kerupuk tidak membuat kenyang.
Namun di Bali, banyak yang salah kaprah memanfaatkan fungsi ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh dijadikan barang seni dan diarak sebagai sebuah bentuk kesenian dan menjadi dunia tontonan. Di luar Bali, khususnya di Jakarta dan kota-kota besar, anak-anak muda membuat ogoh-ogoh untuk kepentingan ritual. Ogoh-ogoh tak diarak, hanya untuk natab caru saja. Ketika tawur kesanga sudah selesai, bhuta sudah somya menjadi dewa, kenapa simbol bhuta diusung-usung lagi? Kenapa harus diarak ke jalanan? Ini kan sama saja dengan menghidupkan bhuta kembali, bagaimana bisa melaksanakan brata penyepian. Karena itu umat Hindu di luar Bali sering mengejek umat Hindu di Bali dengan menyebutkan: “Pantas saja selama ini bayak umat Hindu di Bali yang Nyepi sambil meceki dan main domino, karena bhuta masih gentayangan.”
Para remaja Hindu di luar Bali mengikuti upacara tawur dengan khikmad. Ketika Sulinggih muput tawur, mereka membunyikan musik keras dengan berbagai kreasi. Bisa gamelan baleganjur, bisa musik kentongan dari bambu (mirip tektekan di Tabanan) atau berbagai variasi lainnya. Saat itulah ogoh-ogoh sebagai symbol bhuta disuruh “makan caru”, selanjutnya dianggap sudah somya menjadi dewa. Jadi, ogoh-ogoh sudah dianggap tak ada lagi, lalu dipreteli di tempat.
Fenomena belakangan ini berkembang lagi ogoh-ogoh yang semakin jauh dari dunia ritual. Yakni, ogoh-ogoh kemasukan dunia bisnis dan membawa pesan sponsor. Kalau pun tidak ikut dimasuki virus bisnis, ogoh-ogoh jadi symbol untuk mengungkapkan perasaan. Bisa perasaan perorangan, bisa pula perasaan kelompok, maklum ogoh-ogoh dibuat oleh kelompok.
Misalnya, ada ogoh-ogoh yang menggambarkan perempuan berbadan sintal lagi merangkak dengan rok mini. Apa kaitannya dengan bhuta yadnya? Tapi, kalau kita tanya kaitannya, tentu saja ada jawabannya. Misalnya disebutkan, dunia ini sudah dikuasai oleh wanita-wanita binal yang merusak moral masyarakat khususnya anak-anak muda. Ini adalah bentuk bhuta yang baru, yang harus pula dibasmi atau disomya.
Ada ogoh-ogoh yang melambangkan pemuda bertubuh kurus sedang memegang botol minuman. Mudah ditebak, apa yang mau disampaikan oleh ogoh-ogoh itu. Yakni, mengajak masyarakat untuk waspada terhadap dampak minuman keras yang menyebabkan mabuk. Jadi, pemuda kurus pemabuk itu pun menjadi bhuta versi baru. Ada pula ogoh-ogoh \Anoman yang menunggang sepeda motor, ini jelas ada iklan sponsornya. Tapi orang bisa berdalih: sepeda motor yang terus bertambah di Bali dan memacetkan jalan adalah juga bentuk bhuta versi baru. Pertanyaannya adalah, apakah pesan “bhuta versi modern” itu sampai dicerna dan tak tenggelam dalam bentuk phisiknya?
Salahkah jika masyarakat Bali mengarak ogoh-ogoh dengan berbagai simbol untuk mengungkapkan perasaan atau fenomena yang ada dalam masyarakat? Ada yang salah dan ada yang tidak. Tidak salah karena uneg-uneg masyarakat bisa dicetuskan bersama dalam suasana pesta. Itu yang menjelaskan kenapa membuat ogoh-ogoh dengan biaya mahal mudah mendapatkan dana.
Yang salah adalah simbul bhuta dalam ogoh-ogoh itu harus jelas sesuai dengan sastra Hindu. Parisada pernah memberikan rincian tentang ini, apa saja ciri-ciri symbol bhuta. Salah satunya adalah symbol yang mempunyai sifat keraksasaan. Kalau ogoh-ogoh berbentuk Arjuna atau Krisna atau Anoman tentu tak dianjurkan, karena jauh dari sifat keraksasaan.
Kesalahan utama tentu saja karena ogoh-ogoh tidak dilibatkan dalam pecaruan atau tawur. Semestinya, ogoh-ogoh yang melambangkan bhutakala ini bagian inti dari ritual karena fungsinya untuk natab caru. Yang kita lihat di Bali, ogoh-ogohnya di arak di tempat lain, pelaksanaan tawur di tempat lain lagi. Jika pun berdekatan, ogoh-ogoh tidak diusung ke tempat banten tawur digelar.
Apa yang bisa dipetik dari kesalahan dalam menyikapi ogoh-ogoh Nyepi ini? Perlu dikembangkan adanya ogoh-ogoh nonritual atau ogoh-ogoh profan sebagai bentuk kesenian yang seratus persen tontonan. Hal ini sudah pernah dirintis oleh pemerintah kota Denpasar dengan menyelenggarakan pesta ogoh-ogoh non-ritual. Pesta ini diselenggarakan untuk menyambut HUT Kota Denpasar. Namun, pesta yang berlangsung di bulan Februari itu tetap saja tak mengurangi salah kaprah ogoh-ogoh ritual di saat Nyepi. Mungkin perlu waktu untuk “mengajarkan” umat Hindu di Bali, yang mana sakral yang mana profan.
Ide Walikota Denpasar untuk membuat karnaval ogoh-ogoh nonritual pada HUT Kota Denpasar sebenarnya patut disambut gembira. Banyak kota di dunia yang terkenal karena karnavalnya yang unik. Brasil, Lima, Meksiko, Paris, Napoli, Lisabon adalah contoh kota yang selalu kebanjiran wisatawan saat karnaval berlangsung. Kalau karnaval ogoh-ogoh profan ini dikelola dengan baik, ia bisa jadi obyek wisata baru di Bali, dan pada akhirnya masyarakat yang membuat ogoh-ogoh mendapatkan subsidi.
Namun, jika tidak dikelola dengan baik, beban masyarakat bertambah. Apalagi kalau ogoh-ogoh ritual tetap tak bisa dikontrol, maka penduduk Denpasar akan dua kali membuat ogoh-ogoh dalam setahun. Bayangkan, berapa juta uang yang habis untuk hura-hura seperti ini, padahal umat Hindu, menurut sensus BPS, adalah umat yang paling terbelakang dalam SDM. Bukankah lebih baik membangun sekolah, pasraman, atau membeli buku agama dibandingkan membuat ogoh-ogoh?
Hari Raya Nyepi sudah datang. Hari yang ditunggu-tunggu. Tapi kebanyakan orang Bali, apalagi kaum mudanya, bukannya menunggu saat melangsungkan brata penyepian – amati geni, amati karya, amati lelungan, amati lelangunan – tetapi menunggu pawai ogoh-ogoh. Pesta ogoh-ogoh ini lebih penting ketimbang Nyepi itu sendiri. Jadi, yang ditunggu-tunggu sebenarnya bukan Nyepi tetapi pengerupukan alias sehari sebelum Nyepi. Itulah hari yang sering disebut sebagai Tawur Kesanga.
Tawur Kesanga ini adalah ritual untuk bhuta yadnya, kalau tingkatan rendah disebut caru, kalau tingkatan paling tinggi disebut tawur. Untuk gampang dihayati, inilah saatnya para bhuta diubah wujudnya menjadi dewa agar tidak mengganggu bumi sebelum umat Hindu melaksanakan brata penyepian. Mengubah wujud bhuta menjadi dewa ini dalam istilah agamanya: somya.
Agaknya istilah itu tak berarti bagi kaum remaja Hindu. Yang jelas, kawula muda di Bali merasakan hari ini hari yang tak bisa dilewatkan. Itu saatnya mereka menumpahkan kreasinya dalam acara mengarak ogoh-ogoh. Nyepi tanpa ogoh-ogoh sama dengan makan tanpa kerupuk, tak ada renyahnya meski kerupuk tidak membuat kenyang.
Namun di Bali, banyak yang salah kaprah memanfaatkan fungsi ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh dijadikan barang seni dan diarak sebagai sebuah bentuk kesenian dan menjadi dunia tontonan. Di luar Bali, khususnya di Jakarta dan kota-kota besar, anak-anak muda membuat ogoh-ogoh untuk kepentingan ritual. Ogoh-ogoh tak diarak, hanya untuk natab caru saja. Ketika tawur kesanga sudah selesai, bhuta sudah somya menjadi dewa, kenapa simbol bhuta diusung-usung lagi? Kenapa harus diarak ke jalanan? Ini kan sama saja dengan menghidupkan bhuta kembali, bagaimana bisa melaksanakan brata penyepian. Karena itu umat Hindu di luar Bali sering mengejek umat Hindu di Bali dengan menyebutkan: “Pantas saja selama ini bayak umat Hindu di Bali yang Nyepi sambil meceki dan main domino, karena bhuta masih gentayangan.”
Para remaja Hindu di luar Bali mengikuti upacara tawur dengan khikmad. Ketika Sulinggih muput tawur, mereka membunyikan musik keras dengan berbagai kreasi. Bisa gamelan baleganjur, bisa musik kentongan dari bambu (mirip tektekan di Tabanan) atau berbagai variasi lainnya. Saat itulah ogoh-ogoh sebagai symbol bhuta disuruh “makan caru”, selanjutnya dianggap sudah somya menjadi dewa. Jadi, ogoh-ogoh sudah dianggap tak ada lagi, lalu dipreteli di tempat.
Fenomena belakangan ini berkembang lagi ogoh-ogoh yang semakin jauh dari dunia ritual. Yakni, ogoh-ogoh kemasukan dunia bisnis dan membawa pesan sponsor. Kalau pun tidak ikut dimasuki virus bisnis, ogoh-ogoh jadi symbol untuk mengungkapkan perasaan. Bisa perasaan perorangan, bisa pula perasaan kelompok, maklum ogoh-ogoh dibuat oleh kelompok.
Misalnya, ada ogoh-ogoh yang menggambarkan perempuan berbadan sintal lagi merangkak dengan rok mini. Apa kaitannya dengan bhuta yadnya? Tapi, kalau kita tanya kaitannya, tentu saja ada jawabannya. Misalnya disebutkan, dunia ini sudah dikuasai oleh wanita-wanita binal yang merusak moral masyarakat khususnya anak-anak muda. Ini adalah bentuk bhuta yang baru, yang harus pula dibasmi atau disomya.
Ada ogoh-ogoh yang melambangkan pemuda bertubuh kurus sedang memegang botol minuman. Mudah ditebak, apa yang mau disampaikan oleh ogoh-ogoh itu. Yakni, mengajak masyarakat untuk waspada terhadap dampak minuman keras yang menyebabkan mabuk. Jadi, pemuda kurus pemabuk itu pun menjadi bhuta versi baru. Ada pula ogoh-ogoh \Anoman yang menunggang sepeda motor, ini jelas ada iklan sponsornya. Tapi orang bisa berdalih: sepeda motor yang terus bertambah di Bali dan memacetkan jalan adalah juga bentuk bhuta versi baru. Pertanyaannya adalah, apakah pesan “bhuta versi modern” itu sampai dicerna dan tak tenggelam dalam bentuk phisiknya?
Salahkah jika masyarakat Bali mengarak ogoh-ogoh dengan berbagai simbol untuk mengungkapkan perasaan atau fenomena yang ada dalam masyarakat? Ada yang salah dan ada yang tidak. Tidak salah karena uneg-uneg masyarakat bisa dicetuskan bersama dalam suasana pesta. Itu yang menjelaskan kenapa membuat ogoh-ogoh dengan biaya mahal mudah mendapatkan dana.
Yang salah adalah simbul bhuta dalam ogoh-ogoh itu harus jelas sesuai dengan sastra Hindu. Parisada pernah memberikan rincian tentang ini, apa saja ciri-ciri symbol bhuta. Salah satunya adalah symbol yang mempunyai sifat keraksasaan. Kalau ogoh-ogoh berbentuk Arjuna atau Krisna atau Anoman tentu tak dianjurkan, karena jauh dari sifat keraksasaan.
Kesalahan utama tentu saja karena ogoh-ogoh tidak dilibatkan dalam pecaruan atau tawur. Semestinya, ogoh-ogoh yang melambangkan bhutakala ini bagian inti dari ritual karena fungsinya untuk natab caru. Yang kita lihat di Bali, ogoh-ogohnya di arak di tempat lain, pelaksanaan tawur di tempat lain lagi. Jika pun berdekatan, ogoh-ogoh tidak diusung ke tempat banten tawur digelar.
Apa yang bisa dipetik dari kesalahan dalam menyikapi ogoh-ogoh Nyepi ini? Perlu dikembangkan adanya ogoh-ogoh nonritual atau ogoh-ogoh profan sebagai bentuk kesenian yang seratus persen tontonan. Hal ini sudah pernah dirintis oleh pemerintah kota Denpasar dengan menyelenggarakan pesta ogoh-ogoh non-ritual. Pesta ini diselenggarakan untuk menyambut HUT Kota Denpasar. Namun, pesta yang berlangsung di bulan Februari itu tetap saja tak mengurangi salah kaprah ogoh-ogoh ritual di saat Nyepi. Mungkin perlu waktu untuk “mengajarkan” umat Hindu di Bali, yang mana sakral yang mana profan.
Ide Walikota Denpasar untuk membuat karnaval ogoh-ogoh nonritual pada HUT Kota Denpasar sebenarnya patut disambut gembira. Banyak kota di dunia yang terkenal karena karnavalnya yang unik. Brasil, Lima, Meksiko, Paris, Napoli, Lisabon adalah contoh kota yang selalu kebanjiran wisatawan saat karnaval berlangsung. Kalau karnaval ogoh-ogoh profan ini dikelola dengan baik, ia bisa jadi obyek wisata baru di Bali, dan pada akhirnya masyarakat yang membuat ogoh-ogoh mendapatkan subsidi.
Namun, jika tidak dikelola dengan baik, beban masyarakat bertambah. Apalagi kalau ogoh-ogoh ritual tetap tak bisa dikontrol, maka penduduk Denpasar akan dua kali membuat ogoh-ogoh dalam setahun. Bayangkan, berapa juta uang yang habis untuk hura-hura seperti ini, padahal umat Hindu, menurut sensus BPS, adalah umat yang paling terbelakang dalam SDM. Bukankah lebih baik membangun sekolah, pasraman, atau membeli buku agama dibandingkan membuat ogoh-ogoh?
Minggu, 07 Februari 2010
Gerakan Perubahan
Putu Setia
(Ini adalah Cari Angin versi panjang -- sebelum diperpendek untuk konsumsi Koran Tempo Minggu)
Saya bergegas menemui Romo Imam, guru spiritual saya, yang kebetulan sedang berada di padepokannya di lereng Gunung Lawu, di atas bukit teh Desa Kemoning. Saya mau minta restu – bukan minta izin – karena ingin bergabung dengan organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat. Sudah terang benderang saya jelaskan organisasi yang dideklarasikan oleh Surya Paloh dan Sultan HB X itu, namun Romo masih juga termangu.
“Tak ada tokoh lain yang diikuti, yang lebih segar, misalnya? Ini masih stock lama,” komentar Romo, biasalah, sedikit sinis tetapi sebenarnya beliau orang yang tulus.
“Belum muncul tokoh baru Romo, semua masih stock lama. Ada sih calon-calonnya, tapi masih belajar di Taman Kanak-Kanak Senayan, masih cengengesan dan genit. Entah kalau tamat dari sana mereka mau berubah,” jawab saya. “Pak Surya dan Pak Sultan kan jaminan Romo.”
“Tapi nama ormasnya kok ya pakai demokrat, seperti sengaja mau membingungkan masyarakat. Kalau berani kenapa tak sekalian saja memakai nama Golkar Perjuangan atau Golkar Sejahtra atau Golkar Pembaruan. Kedua tokoh itu kan lantaran tersingkir dari Golkar, ini dampak sistemik dari kongres partai kan?”
“Ah, Romo jangan sinis dong,” saya menyela. “Romo kan pernah bilang, semua organisasi politik yang menyempal dari induknya pasti tak laku, karena pendirinya hanya punya target kekuasaan, bukan target pengabdian. Mungkin Tuhan tak meridhoi. Kalau banteng perjuangan itu lain, dia bukan menyempal, tetapi induknya yang menyempal ke penguasa saat itu. Please Romo, beri restu saya, siapa tahu niat Pak Surya kali ini bagus.”
Romo kelihatan mulai lunak dengan sikap saya yang memelas. “Apa yang kau suka dari ormas itu, namanya atau tokohnya?”
“Bukan keduanya. Yang saya suka adalah slogan yang diusungnya: gerakan perubahan. Ini penting sekali Romo, negeri ini membutuhkan perubahan yang mendasar, perubahan yang fundamental sebelum menjadi negeri yang amburadul. Boleh saya sedikit merinci apa perubahan yang dilakukan?” Karena Romo mengangguk, saya pun bersemangat.
Dasar negara saja sudah diselewengkan. Sila pertama Pancasila itu berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sekarang yang dijalankan “kekuasaan yang maha esa” kemudian “keuangan yang maha kuasa”. Orientasi tokoh hanya satu, merebut kekuasaan. Untuk melanggengkan kekuasaan dipakailah uang. Apa pun bisa dibeli. Mau demontran dua puluh ribu, bisa dibayar. Mau mendatangkan kerbau, bisa. Mereka tak sabar mengikuti konstitusi, karena memang jika pakai aturan konstitusi, tokoh-tokoh itu sudah nyata kalah. Mereka mengembangkan opini lewat klim-mengklim, seolah-olah gerakan yang sepuluh dua puluh ribu itu mewakili ratusan juta masyarakat. Padahal, harga kursi untuk wakil rakyat yang paling rendah saja di kabupaten sampai tiga puluh ribu. Harus ada gerakan untuk mengubah jalan pikiran orang-orang ini.
Sila kedua Pancasila diselewengkan menjadi “Kemanusiaan yang batil dan biadab”. Kekerasan yang terorganisir menjadi mode di berbagai kota. Mahasiswa membakar dan merusak fasilitas umum hanya atas nama menyalurkan ide. Kalau mahasiswa sudah begini, bagaimana mau menyalahkan bonek Persebaya yang merampas pedagang kecil, karena mereka sekolah menengah pun tak tamat. Anak sekolah dasar di Makasar tawuran di jalan, jelas mereka meniru kakaknya yang mahasiswa.
Sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia diselewengkan menjadi “perseteruan Indonesia”. Dimana-mana diajarkan perseteruan. Debat yang ada bukan perdebatan ide, tetapi perdebatan otot dan caci maki. Anggota DPR saling caci maki dengan kata-kata kotor – tapi ruang kerjanya semakin sejuk dan ditambah komputer baru yang harganya perlu diaudit . Ini ditonton jutaan orang, bagaimana orang desa mau menghormati politikusnya?
Siapa yang mengingatkan hal ini? Tak ada. Padahal harus ada yang mengatakan bahwa kebiadaban ini segera diubah menjadi lebih beradab. Itu pentingnya gerakan perubahan yang menyeluruh dari elemen bangsa. Sekarang jangankan ada yang mengatakan itu biadab, yang melarang dan memberi sanksi saja tak ada, padahal jika pelaku anarkis itu mahasiswa kan ada dosen dan aparat kampus. Jika itu bonek, kan ada kordinatornya atau wakil klub sepakbolanya. Sekarang yang ada “gerakan pembiaran” padahal ini sudah nyata-nyata merusak akhlak bangsa. Aneh, pemuka agama juga diam.
“Romo, waktu saya habis, nanti saya lanjutkan. Kalau sampai di sini, apakah restu Romo bisa saya dapatkan agar saya ikut dalam gerakan perubahan itu?”
Romo berpikir sejenak: “Saya belum dapat diyakinkan. Ada yang sudah membuat Pondok Perubahan di kawasan Jakarta Selatan dan banyak sekali slogan perubahan lainnya. Tapi target mereka tetap hanya menggulingkan kekuasaan, siapa pun yang sedang berkuasa. Hanya sesempit itu yang dia maksudkan perubahan, bukan perubahan sikap, mental, perilaku, budaya ….”
“Jadi, bagaimana Romo?” saya tak sabar.
Romo menjawab sambil berjalan: “Tunggu beberapa saat, apa Pak Surya dan Kanjeng Sultan betul-betul berubah atau tidak. Jangan-jangan keduanya mengulang lagu lama tokoh lain, maklum mereka dalam satu generasi.”
(Cari Angin versi pendek dimuat Koran Tempo Minggu 7 Februari 2010)
(Ini adalah Cari Angin versi panjang -- sebelum diperpendek untuk konsumsi Koran Tempo Minggu)
Saya bergegas menemui Romo Imam, guru spiritual saya, yang kebetulan sedang berada di padepokannya di lereng Gunung Lawu, di atas bukit teh Desa Kemoning. Saya mau minta restu – bukan minta izin – karena ingin bergabung dengan organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat. Sudah terang benderang saya jelaskan organisasi yang dideklarasikan oleh Surya Paloh dan Sultan HB X itu, namun Romo masih juga termangu.
“Tak ada tokoh lain yang diikuti, yang lebih segar, misalnya? Ini masih stock lama,” komentar Romo, biasalah, sedikit sinis tetapi sebenarnya beliau orang yang tulus.
“Belum muncul tokoh baru Romo, semua masih stock lama. Ada sih calon-calonnya, tapi masih belajar di Taman Kanak-Kanak Senayan, masih cengengesan dan genit. Entah kalau tamat dari sana mereka mau berubah,” jawab saya. “Pak Surya dan Pak Sultan kan jaminan Romo.”
“Tapi nama ormasnya kok ya pakai demokrat, seperti sengaja mau membingungkan masyarakat. Kalau berani kenapa tak sekalian saja memakai nama Golkar Perjuangan atau Golkar Sejahtra atau Golkar Pembaruan. Kedua tokoh itu kan lantaran tersingkir dari Golkar, ini dampak sistemik dari kongres partai kan?”
“Ah, Romo jangan sinis dong,” saya menyela. “Romo kan pernah bilang, semua organisasi politik yang menyempal dari induknya pasti tak laku, karena pendirinya hanya punya target kekuasaan, bukan target pengabdian. Mungkin Tuhan tak meridhoi. Kalau banteng perjuangan itu lain, dia bukan menyempal, tetapi induknya yang menyempal ke penguasa saat itu. Please Romo, beri restu saya, siapa tahu niat Pak Surya kali ini bagus.”
Romo kelihatan mulai lunak dengan sikap saya yang memelas. “Apa yang kau suka dari ormas itu, namanya atau tokohnya?”
“Bukan keduanya. Yang saya suka adalah slogan yang diusungnya: gerakan perubahan. Ini penting sekali Romo, negeri ini membutuhkan perubahan yang mendasar, perubahan yang fundamental sebelum menjadi negeri yang amburadul. Boleh saya sedikit merinci apa perubahan yang dilakukan?” Karena Romo mengangguk, saya pun bersemangat.
Dasar negara saja sudah diselewengkan. Sila pertama Pancasila itu berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sekarang yang dijalankan “kekuasaan yang maha esa” kemudian “keuangan yang maha kuasa”. Orientasi tokoh hanya satu, merebut kekuasaan. Untuk melanggengkan kekuasaan dipakailah uang. Apa pun bisa dibeli. Mau demontran dua puluh ribu, bisa dibayar. Mau mendatangkan kerbau, bisa. Mereka tak sabar mengikuti konstitusi, karena memang jika pakai aturan konstitusi, tokoh-tokoh itu sudah nyata kalah. Mereka mengembangkan opini lewat klim-mengklim, seolah-olah gerakan yang sepuluh dua puluh ribu itu mewakili ratusan juta masyarakat. Padahal, harga kursi untuk wakil rakyat yang paling rendah saja di kabupaten sampai tiga puluh ribu. Harus ada gerakan untuk mengubah jalan pikiran orang-orang ini.
Sila kedua Pancasila diselewengkan menjadi “Kemanusiaan yang batil dan biadab”. Kekerasan yang terorganisir menjadi mode di berbagai kota. Mahasiswa membakar dan merusak fasilitas umum hanya atas nama menyalurkan ide. Kalau mahasiswa sudah begini, bagaimana mau menyalahkan bonek Persebaya yang merampas pedagang kecil, karena mereka sekolah menengah pun tak tamat. Anak sekolah dasar di Makasar tawuran di jalan, jelas mereka meniru kakaknya yang mahasiswa.
Sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia diselewengkan menjadi “perseteruan Indonesia”. Dimana-mana diajarkan perseteruan. Debat yang ada bukan perdebatan ide, tetapi perdebatan otot dan caci maki. Anggota DPR saling caci maki dengan kata-kata kotor – tapi ruang kerjanya semakin sejuk dan ditambah komputer baru yang harganya perlu diaudit . Ini ditonton jutaan orang, bagaimana orang desa mau menghormati politikusnya?
Siapa yang mengingatkan hal ini? Tak ada. Padahal harus ada yang mengatakan bahwa kebiadaban ini segera diubah menjadi lebih beradab. Itu pentingnya gerakan perubahan yang menyeluruh dari elemen bangsa. Sekarang jangankan ada yang mengatakan itu biadab, yang melarang dan memberi sanksi saja tak ada, padahal jika pelaku anarkis itu mahasiswa kan ada dosen dan aparat kampus. Jika itu bonek, kan ada kordinatornya atau wakil klub sepakbolanya. Sekarang yang ada “gerakan pembiaran” padahal ini sudah nyata-nyata merusak akhlak bangsa. Aneh, pemuka agama juga diam.
“Romo, waktu saya habis, nanti saya lanjutkan. Kalau sampai di sini, apakah restu Romo bisa saya dapatkan agar saya ikut dalam gerakan perubahan itu?”
Romo berpikir sejenak: “Saya belum dapat diyakinkan. Ada yang sudah membuat Pondok Perubahan di kawasan Jakarta Selatan dan banyak sekali slogan perubahan lainnya. Tapi target mereka tetap hanya menggulingkan kekuasaan, siapa pun yang sedang berkuasa. Hanya sesempit itu yang dia maksudkan perubahan, bukan perubahan sikap, mental, perilaku, budaya ….”
“Jadi, bagaimana Romo?” saya tak sabar.
Romo menjawab sambil berjalan: “Tunggu beberapa saat, apa Pak Surya dan Kanjeng Sultan betul-betul berubah atau tidak. Jangan-jangan keduanya mengulang lagu lama tokoh lain, maklum mereka dalam satu generasi.”
(Cari Angin versi pendek dimuat Koran Tempo Minggu 7 Februari 2010)
Jumat, 08 Januari 2010
"Pis Bolong"
Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Dua remaja Hindu berlainan etnis berdiskusi sambil bercanda di wantilan Pura Kepasekan, Karanganyar, Jawa Tengah. Yang satu dari Bali, tetapi sudah lama di Jawa menjadi mahasiswi UNS Solo. Teman berdebatnya dari Masaran, Sragen, asli Jawa. Keduanya sama-sama membawa teman, namun teman-temannya tak banyak berkomentar.
“Kalau di Bali kamu bawa kuangen berisi uang logam lima ratusan begini, nggak bakalan diterima. Kuangen itu harus berisi uang kepeng, orang Bali menyebutnya pis bolong,” kata si cewek Bali sambil menunjuk kuangen yang dibawa lelaki di sebelahnya.
Pemuda Jawa itu tak mau kalah. “Itu kan bikin rumit, uang kepeng itu hanya laku ketika zaman Majapahit. Sekarang sudah langka, kenapa harus susah-susah mencari uang Majapahit hanya untuk bersembahyang?” jawab sang pemuda.
“Kalau nggak mau susah cari uang kepeng jangan bawa kuangen, pakai saja kembang,” sahut lagi si cewek.
“Memangnya uang kepeng harus ada? Memangnya uang kepeng itu simbol apa, ayo?” tanya sang pemuda. Si cewek diam sejenak, lalu balik bertanya: “Memangnya logam lima ratusan di kuangen-mu simbol apa?”
Sang pemuda Jawa langsung nyerocos. “Ini disebut unsur panca datu. Terbuat dari logam dan berbentuk bundar, lambang windu. Jadi bukan uang kepengnya yang penting, tetapi ada unsur logam yang bebentuk bundar itu.”
Satu nol, komentar teman-teman mereka. Soalnya, si cewek Bali mengaku tidak mengerti simbol apa uang kepeng yang ada di kuangen itu. Ia hanya menyebutkan, kebiasaan di Bali seperti itu, isi kuangen untuk bersembahyang adalah pis bolong, bukan uang logam biasa. Saya tak tahu apa ada diskusi lanjutan, karena saya meninggalkan wantilan.
Di Pura Jagatnatha Denpasar kalau ada persembahyangan bulan Purnama, pedagang banten berderet-deret di jaba pura. Kalau kita membeli canangsari di sana, pedagang banten biasanya menanyakan: “Pakai kuangen dan dupa?” Kalau kita bilang, ya, pakai kuangen, cobalah periksa apakah ada pis bolong atau uang logam di sana? Tidak ada. Jadi berkuranglah salah satu simbol yang ada pada sarana persembahyangan itu.
Simbol-simbol dalam urusan banten di Bali memang sangat rumit. Orang Hindu di luar Bali, seringkali menyebut hal ini sebagai suatu hambatan untuk menyesuaikan diri jika mengikuti ritual Hindu versi Bali. Anehnya, orang Bali sendiri tak pernah mempermasalahkan kerumitan itu meskipun mereka tak tahu juga apa arti simbol itu. Satu benda bisa berubah fungsi jika diletakkan dalam rangkaian yang lain. Telor yang ditaruh di daksina memberikan simbol yang berbeda dengan telor yang ada di rangkaian ketupat. Padahal telornya sama saja. Tapi, seberapa banyak yang tahu arti simbol-simbol itu?
Begitu pula uang kepeng atau pis bolong. Uang kepeng di kuangen dengan uang kepeng di canangsari berbeda maknanya, dan berbeda pula jika uang kepeng itu diikat dalam jumlah tertentu yang biasa disebut benang pipis (karena uang kepengnya diikat benang). Sangat berbeda pula artinya kalau uang kepeng itu dijadikan kalung atau gelang. Lalu ada uang kepeng yang dimasukkan keranjang kecil yang biasa disebut pis pocongan, dan maknanya pun beda. Padahal bendanya sama saja.
Seperti umumnya uang, uang kepeng punya arti sebagai sebuah nilai tukar yang dalam ilmu ekonomi disebut alat transaksi. Arti seperti itulah yang muncul ketika uang kepeng ditaruh di canang sari. Ia menjadi “sarin banten”, yang dipersembahkan secara tulus ikhlas oleh seseorang dan uang itu bisa diambil oleh “pemuput karya” atau oleh petugas upacara untuk dikumpulkan. Karena itu uang kepeng sebagai “sarin banten” sudah lazim diganti dengan uang logam atau uang kertas yang berlaku sebagai alat transaksi masa kini.
Uang kepeng di daksina, kuangen, atau saat ngereka jenazah dan pada beberapa banten khusus, tidak dicari maknanya dari nilai tukar sebagaimana lazimnya uang, tetapi dimaknai dari bentuknya yang bulat dan terbuat dari logam. Untuk membuat simbol adegan saat Pitra Yadnya misalnya, unsur mata disimbolkan dari uang kepeng. Karena itu uang kepeng tak bisa digantikan oleh uang kertas. Apakah bisa digantikan oleh uang logam masa kini? Menurut logika kalau kita bicara masalah simbol, saya cenderung sependapat, seperti yang dikatakan pemuda Hindu dari Sragen yang saya kutip di awal tulisan ini. Karena unsur yang dicari sebagai simbol itu adalah bulat dan logamnya. Masalahnya adalah apakah uang logam buatan Bank Indonesia itu memenuhi unsur-unsur panca datu. Saya kurang sependapat kalau dibuat uang kepeng palsu dari tanah liat, karena jelas ini bukan dari unsur logam.
Sekarang, sudah ada umat kita di Klungkung yang memproduksi uang kepeng untuk memenuhi keperluan ritual umat Hindu di Bali. Ada yang betul-betul memenuhi unsur logam panca datu, namun yang beredar di masyarakat banyak yang tidak memenuhi unsur itu. Tentu saja harganya berbeda. Di kalangan pedagang ini disebut pis bolong asli dan pis bolong palsu, padahal sejatinya kalau mengacu kepada uang kepeng di masa lalu, keduanya juga palsu.
Yang dipertanyakan saat ini, meski uang kepeng itu diproduksi baru dan nyata-nyata untuk keperluan ritual Hindu versi Bali, kenapa masih memakai ornamen huruf Cina? Seharusnya ini diganti, kalau pun menggunakan huruf mungkin aksara suci Omkara bisa dipertimbangkan. Namun yang jelas umat harus benar-benar tahu, mana uang kepeng yang berfungsi sebagai simbol dan mana uang kepeng yang berfungsi sebagai nilai tukar ekonomi dalam sebuah banten. Maklumlah, leluhur kita di masa lalu begitu praktisnya memakai uang yang berlaku saat itu untuk kedua-duanya, karena memang saat itu belum ada uang kertas. Kini ketika uang kertas sudah umum, maka sesari tentu lebih tepat memakai uang kertas, karena sesari diambil oleh pemangku dan pemangku tak bisa berbelanja memakai pis bolong. Demikian sebaliknya, kalau untuk sarana kuangen, jangan pakai uang kertas karena kertas tak ada unsur logamnya, apalagi yang komplit sebagai unsur panca datu. ***
(Ini versi yang sedikit diperbarui dari artikel sebelumnya: "Uang Kepeng....")
Dua remaja Hindu berlainan etnis berdiskusi sambil bercanda di wantilan Pura Kepasekan, Karanganyar, Jawa Tengah. Yang satu dari Bali, tetapi sudah lama di Jawa menjadi mahasiswi UNS Solo. Teman berdebatnya dari Masaran, Sragen, asli Jawa. Keduanya sama-sama membawa teman, namun teman-temannya tak banyak berkomentar.
“Kalau di Bali kamu bawa kuangen berisi uang logam lima ratusan begini, nggak bakalan diterima. Kuangen itu harus berisi uang kepeng, orang Bali menyebutnya pis bolong,” kata si cewek Bali sambil menunjuk kuangen yang dibawa lelaki di sebelahnya.
Pemuda Jawa itu tak mau kalah. “Itu kan bikin rumit, uang kepeng itu hanya laku ketika zaman Majapahit. Sekarang sudah langka, kenapa harus susah-susah mencari uang Majapahit hanya untuk bersembahyang?” jawab sang pemuda.
“Kalau nggak mau susah cari uang kepeng jangan bawa kuangen, pakai saja kembang,” sahut lagi si cewek.
“Memangnya uang kepeng harus ada? Memangnya uang kepeng itu simbol apa, ayo?” tanya sang pemuda. Si cewek diam sejenak, lalu balik bertanya: “Memangnya logam lima ratusan di kuangen-mu simbol apa?”
Sang pemuda Jawa langsung nyerocos. “Ini disebut unsur panca datu. Terbuat dari logam dan berbentuk bundar, lambang windu. Jadi bukan uang kepengnya yang penting, tetapi ada unsur logam yang bebentuk bundar itu.”
Satu nol, komentar teman-teman mereka. Soalnya, si cewek Bali mengaku tidak mengerti simbol apa uang kepeng yang ada di kuangen itu. Ia hanya menyebutkan, kebiasaan di Bali seperti itu, isi kuangen untuk bersembahyang adalah pis bolong, bukan uang logam biasa. Saya tak tahu apa ada diskusi lanjutan, karena saya meninggalkan wantilan.
Di Pura Jagatnatha Denpasar kalau ada persembahyangan bulan Purnama, pedagang banten berderet-deret di jaba pura. Kalau kita membeli canangsari di sana, pedagang banten biasanya menanyakan: “Pakai kuangen dan dupa?” Kalau kita bilang, ya, pakai kuangen, cobalah periksa apakah ada pis bolong atau uang logam di sana? Tidak ada. Jadi berkuranglah salah satu simbol yang ada pada sarana persembahyangan itu.
Simbol-simbol dalam urusan banten di Bali memang sangat rumit. Orang Hindu di luar Bali, seringkali menyebut hal ini sebagai suatu hambatan untuk menyesuaikan diri jika mengikuti ritual Hindu versi Bali. Anehnya, orang Bali sendiri tak pernah mempermasalahkan kerumitan itu meskipun mereka tak tahu juga apa arti simbol itu. Satu benda bisa berubah fungsi jika diletakkan dalam rangkaian yang lain. Telor yang ditaruh di daksina memberikan simbol yang berbeda dengan telor yang ada di rangkaian ketupat. Padahal telornya sama saja. Tapi, seberapa banyak yang tahu arti simbol-simbol itu?
Begitu pula uang kepeng atau pis bolong. Uang kepeng di kuangen dengan uang kepeng di canangsari berbeda maknanya, dan berbeda pula jika uang kepeng itu diikat dalam jumlah tertentu yang biasa disebut benang pipis (karena uang kepengnya diikat benang). Sangat berbeda pula artinya kalau uang kepeng itu dijadikan kalung atau gelang. Lalu ada uang kepeng yang dimasukkan keranjang kecil yang biasa disebut pis pocongan, dan maknanya pun beda. Padahal bendanya sama saja.
Seperti umumnya uang, uang kepeng punya arti sebagai sebuah nilai tukar yang dalam ilmu ekonomi disebut alat transaksi. Arti seperti itulah yang muncul ketika uang kepeng ditaruh di canang sari. Ia menjadi “sarin banten”, yang dipersembahkan secara tulus ikhlas oleh seseorang dan uang itu bisa diambil oleh “pemuput karya” atau oleh petugas upacara untuk dikumpulkan. Karena itu uang kepeng sebagai “sarin banten” sudah lazim diganti dengan uang logam atau uang kertas yang berlaku sebagai alat transaksi masa kini.
Uang kepeng di daksina, kuangen, atau saat ngereka jenazah dan pada beberapa banten khusus, tidak dicari maknanya dari nilai tukar sebagaimana lazimnya uang, tetapi dimaknai dari bentuknya yang bulat dan terbuat dari logam. Untuk membuat simbol adegan saat Pitra Yadnya misalnya, unsur mata disimbolkan dari uang kepeng. Karena itu uang kepeng tak bisa digantikan oleh uang kertas. Apakah bisa digantikan oleh uang logam masa kini? Menurut logika kalau kita bicara masalah simbol, saya cenderung sependapat, seperti yang dikatakan pemuda Hindu dari Sragen yang saya kutip di awal tulisan ini. Karena unsur yang dicari sebagai simbol itu adalah bulat dan logamnya. Masalahnya adalah apakah uang logam buatan Bank Indonesia itu memenuhi unsur-unsur panca datu. Saya kurang sependapat kalau dibuat uang kepeng palsu dari tanah liat, karena jelas ini bukan dari unsur logam.
Sekarang, sudah ada umat kita di Klungkung yang memproduksi uang kepeng untuk memenuhi keperluan ritual umat Hindu di Bali. Ada yang betul-betul memenuhi unsur logam panca datu, namun yang beredar di masyarakat banyak yang tidak memenuhi unsur itu. Tentu saja harganya berbeda. Di kalangan pedagang ini disebut pis bolong asli dan pis bolong palsu, padahal sejatinya kalau mengacu kepada uang kepeng di masa lalu, keduanya juga palsu.
Yang dipertanyakan saat ini, meski uang kepeng itu diproduksi baru dan nyata-nyata untuk keperluan ritual Hindu versi Bali, kenapa masih memakai ornamen huruf Cina? Seharusnya ini diganti, kalau pun menggunakan huruf mungkin aksara suci Omkara bisa dipertimbangkan. Namun yang jelas umat harus benar-benar tahu, mana uang kepeng yang berfungsi sebagai simbol dan mana uang kepeng yang berfungsi sebagai nilai tukar ekonomi dalam sebuah banten. Maklumlah, leluhur kita di masa lalu begitu praktisnya memakai uang yang berlaku saat itu untuk kedua-duanya, karena memang saat itu belum ada uang kertas. Kini ketika uang kertas sudah umum, maka sesari tentu lebih tepat memakai uang kertas, karena sesari diambil oleh pemangku dan pemangku tak bisa berbelanja memakai pis bolong. Demikian sebaliknya, kalau untuk sarana kuangen, jangan pakai uang kertas karena kertas tak ada unsur logamnya, apalagi yang komplit sebagai unsur panca datu. ***
(Ini versi yang sedikit diperbarui dari artikel sebelumnya: "Uang Kepeng....")
Lilin Gus Dur
Oleh Putu Setia
(Artikel ini diambil dari Koran Tempo Minggu 3 Januari 2010)
Ada lilin dinyalakan. Berpuluh-puluh jumlahnya, untuk mendoakan kepulangan Gus Dur – sapaan akrab Abdurrahman Wahid – ke alam maya yang sejati. Di sekitar lilin ada berbagai manusia dengan keyakinan yang berbeda, namun tak ada bisik-bisik di antara mereka: “Kamu beragama apa ya?”
Di pemakaman keluarga di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, masih mengalir orang-orang yang datang berziarah, ayat-ayat Quran berkumandang. Mereka kebanyakan orang-orang yang tak bisa melayat langsung pada saat Gus Dur wafat, atau juga tak bisa menghadiri pemakaman Gus Dur, karena pejabat dan tentara begitu banyaknya atas nama penghormatan negara kepada tokoh yang wafat.
Di wihara, foto Gus Dur dipajang dan orang-orang memegang segepok dupa menyala, di ketinggian patung Buddha menjadi saksi. Sementara umat Hindu di Bali – untuk menghindari kesan ritual identik dengan sesajen -- menggunakan upacara Agni Hotra untuk mendoakan Gus Dur.
Gus Dur adalah sebuah keajaiban, begitu sebuah kalimat yang muncul di “dunia maya kiasan” alias internet. Ajaib karena ia tak takut untuk melawan setiap usaha yang menindas kaum minoritas. Ia Bapak Pluralisme. Istilah ini tak hanya diucapkan para sahabat Gus Dus –baik yang bersaksi di televisi maupun tidak – tetapi juga diucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi inspektur upacara pemakaman.
Bapak pluralisme telah tiada. “Tak ada tokoh yang bisa menggantikannya,” kata Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. “Raja Yogya” ini tak sendirian berpandangan begitu. Kalau pernyataan ini dimaksudkan sebagai sebuah sanjungan buat Gus Dur, memang enak didengar, karena sudah semestinya Gus Dur memperoleh hak itu. Tetapi, jika pesimisme itu menyiratkan akan punahnya orang-orang yang berpaham pluralis, sungguh hal ini memprihatinkan..Kami, orang Bali, warga Tionghoa, umat Budha, Khong Hu Cu, Hindu dan entah siapa lagi, akan merasa was-was sebagai penghuni Nusantara yang berlandaskan Pancasila dan punya sesanti Bhineka Tunggal Ika ini.
Saya tahu banyak sekali tokoh – ulama, pengusaha, pejabat, budayawan – yang memiliki paham pluralis tinggi di negeri ini. Mereka sama sekali tak punya masalah dalam sekat-sekat primordial, baik agama, suku dan sebagainya. Di akhir dasawarsa 1970-an, ketika saya belum mengenal Gus Dur, saya menemukan Kiai Hamam Jafar di Pesantren Pabelan, Muntilan, sebagai ulama rakyat yang sederhana dan sangat toleran. Sambil berbincang soal lele jumbo di pesantrennya, saya pun sempat “berkenalan” dengan Islam beberapa hari di sana.
Di awal dasawarsa 1980-an, ketika saya bertemu dengan Gus Dur – saya orang yang kerap sibuk mencarikan mesin tik dan kertas begitu Gus Dur akan menulis kolom untuk Majalah Tempo – secara perlahan saya pun tahu orang-orang di sekitar Gus Dur yang sebagian besar berpaham pluralis.
Memang, Kiai Hamam Jafar sudah lama tiada. Gus Dur baru saja wafat. Apakah kita harus kehilangan “Bapak Pluralis”? Bukankah negeri ini masih punya Mustofa Bisri, Djohan Effendi, Komarudin Hidayat, Ulil – maaf, nama ini mendadak melintas, kalau sempat mengingat tentu masih banyak. Atau sejumlah orang yang tak diragukan kepluralisannya, tapi “label agamanya kurang” lantaran lebih dikenal sebagai budayawan, wartawan, pengusaha, pengajar dan sebagainya.
Atau biarkan predikat “bapak pluralis” itu hanya melekat pada Gus Dur – karena beliau yang lebih berani tampil tanpa takut. Namun mari kita bersama-sama menjaganya, jangan biarkan paham itu hilang meski pun tanpa “bapak”.
(Artikel ini diambil dari Koran Tempo Minggu 3 Januari 2010)
Ada lilin dinyalakan. Berpuluh-puluh jumlahnya, untuk mendoakan kepulangan Gus Dur – sapaan akrab Abdurrahman Wahid – ke alam maya yang sejati. Di sekitar lilin ada berbagai manusia dengan keyakinan yang berbeda, namun tak ada bisik-bisik di antara mereka: “Kamu beragama apa ya?”
Di pemakaman keluarga di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, masih mengalir orang-orang yang datang berziarah, ayat-ayat Quran berkumandang. Mereka kebanyakan orang-orang yang tak bisa melayat langsung pada saat Gus Dur wafat, atau juga tak bisa menghadiri pemakaman Gus Dur, karena pejabat dan tentara begitu banyaknya atas nama penghormatan negara kepada tokoh yang wafat.
Di wihara, foto Gus Dur dipajang dan orang-orang memegang segepok dupa menyala, di ketinggian patung Buddha menjadi saksi. Sementara umat Hindu di Bali – untuk menghindari kesan ritual identik dengan sesajen -- menggunakan upacara Agni Hotra untuk mendoakan Gus Dur.
Gus Dur adalah sebuah keajaiban, begitu sebuah kalimat yang muncul di “dunia maya kiasan” alias internet. Ajaib karena ia tak takut untuk melawan setiap usaha yang menindas kaum minoritas. Ia Bapak Pluralisme. Istilah ini tak hanya diucapkan para sahabat Gus Dus –baik yang bersaksi di televisi maupun tidak – tetapi juga diucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi inspektur upacara pemakaman.
Bapak pluralisme telah tiada. “Tak ada tokoh yang bisa menggantikannya,” kata Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. “Raja Yogya” ini tak sendirian berpandangan begitu. Kalau pernyataan ini dimaksudkan sebagai sebuah sanjungan buat Gus Dur, memang enak didengar, karena sudah semestinya Gus Dur memperoleh hak itu. Tetapi, jika pesimisme itu menyiratkan akan punahnya orang-orang yang berpaham pluralis, sungguh hal ini memprihatinkan..Kami, orang Bali, warga Tionghoa, umat Budha, Khong Hu Cu, Hindu dan entah siapa lagi, akan merasa was-was sebagai penghuni Nusantara yang berlandaskan Pancasila dan punya sesanti Bhineka Tunggal Ika ini.
Saya tahu banyak sekali tokoh – ulama, pengusaha, pejabat, budayawan – yang memiliki paham pluralis tinggi di negeri ini. Mereka sama sekali tak punya masalah dalam sekat-sekat primordial, baik agama, suku dan sebagainya. Di akhir dasawarsa 1970-an, ketika saya belum mengenal Gus Dur, saya menemukan Kiai Hamam Jafar di Pesantren Pabelan, Muntilan, sebagai ulama rakyat yang sederhana dan sangat toleran. Sambil berbincang soal lele jumbo di pesantrennya, saya pun sempat “berkenalan” dengan Islam beberapa hari di sana.
Di awal dasawarsa 1980-an, ketika saya bertemu dengan Gus Dur – saya orang yang kerap sibuk mencarikan mesin tik dan kertas begitu Gus Dur akan menulis kolom untuk Majalah Tempo – secara perlahan saya pun tahu orang-orang di sekitar Gus Dur yang sebagian besar berpaham pluralis.
Memang, Kiai Hamam Jafar sudah lama tiada. Gus Dur baru saja wafat. Apakah kita harus kehilangan “Bapak Pluralis”? Bukankah negeri ini masih punya Mustofa Bisri, Djohan Effendi, Komarudin Hidayat, Ulil – maaf, nama ini mendadak melintas, kalau sempat mengingat tentu masih banyak. Atau sejumlah orang yang tak diragukan kepluralisannya, tapi “label agamanya kurang” lantaran lebih dikenal sebagai budayawan, wartawan, pengusaha, pengajar dan sebagainya.
Atau biarkan predikat “bapak pluralis” itu hanya melekat pada Gus Dur – karena beliau yang lebih berani tampil tanpa takut. Namun mari kita bersama-sama menjaganya, jangan biarkan paham itu hilang meski pun tanpa “bapak”.
Damai
Oleh Putu Setia
(Artikel ini diambil dari Koran Tempo Minggu 27 Desember 2009)
Damai itu indah. Spanduk itu terpampang di depan kantor Komando Distrik Militer. Di sebelahnya ada gardu jaga dan seorang prajurit bersenjata lengkap – entah ada pelurunya atau hampa—berdiri tegak dengan wajah garang.
Damai itu ada di dalam hati, kita ciptakan kedamaian dalam diri kita sebelum mengajak orang lain berdamai, apalagi menginginkan dunia yang damai. Kata menyejukkan ini terdengar di sela-sela lagu Kristiani pada sebuah misa Natal – entah di mana, karena saya mendengarnya lewat radio.
Ingin merasakan Indonesia yang damai seperti dulu, ritual kebaktian Natal tidak dijaga polisi. Tulisan ini ada di Facebook, diposting oleh seorang budayawan, yang – agak relevan disebut –seorang Muslim.
Tetapi, kenapa damai yang indah itu begitu mahal, kenapa ritual keagamaan harus dijaga polisi? Ini pertanyaan batin saya yang jawabannya melebar ke mana-mana.
Setelah Amrozi meledakkan bom pertama di Bali, Oktober 2002, ada ide agar persembahyangan umat Hindu di pura yang besar, dijaga oleh aparat keamanan. Ide ini datang dari aparat keamanan sendiri, tentu dengan niat baik untuk antisipasi. Namun, ide itu ditentang. Alasan yang masuk akal adalah berbagai analisa bahwa sasaran teroris di Indonesia sesungguhnya untuk menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Bukan perang terhadap orang Bali, apalagi memerangi umat Hindu.
Tapi, masyarakat Bali penganut Hindu punya alasan lain, yang boleh diperdebatkan apakah masuk akal atau kurang masuk akal. Yakni, mereka percaya Tuhan tidak tidur. Karena Tuhan tidak tidur, apalagi saat diberikan persembahan, tak mungkin Tuhan membiarkan ada bom meledak. Segala niat jahat yang mendomplengi ritual kedamaian itu pastilah “dicegah oleh Tuhan”.
Saya setuju persembahyangan jangan dijaga polisi, apalagi sampai memakai alat dedektor logam di pintu masuk pura. Kalau pun ada polisi yang bertugas, biarlah hanya mengurus lalu lintas di jalanan. Tapi, saya tak menggunakan alasan seperti tadi: sasaran teroris adalah Amerika atau Tuhan pasti mencegah karena Beliau tidak tidur. Alasan saya hanya satu: kalau itu sampai terjadi – sembahyang dijaga polisi – akan menjadi trauma berkepanjangan bahwa bumi ini sangat tidak damai. Rasa takut kita tumbuh, bahkan dipupuk dengan teror ketakutan tanpa akhir, sehingga jika pada suatu saat kita bersembahyang tidak melihat ada polisi yang menjaga, sembahyang kita menjadi tidak khusuk. Bagaimana menciptakan damai dalam diri kalau batin kita bertanya-tanya: ada bom apa tidak ya?
Seribu Banser Ansor siap mengamankan malam Natal. Puluhan ribu polisi siap menjaga gereja. Pecalang – aparat keamanan milik adat di Bali – juga diminta menjaga sejumlah gereja di Bali. Adakah ini menimbulkan rasa aman untuk mereka yang menjalankan ritual Natal? Saya tak tahu karena saya tidak merayakan Natal. Namun seorang sahabat Kristiani mengatakan, ia justru merasakan ini sebagai “menebar ketakutan”, seolah-olah misa Natal itu sesuatu yang sangat berbahaya. Yang lebih parah lagi seolah-olah ada sekelompok orang yang tidak merayakan Natal ingin mengacaukan misa Natal.
Pada akhirnya, perlu tidaknya penjagaan – tidak bisakah menjaga keamanan dengan diam-diam -- tentu umat Kristiani yang paling tahu jawabannya. Barangkali benar ada ketakutan, karena sejumlah gereja pernah dirusak -- menjelang atau sesudah Natal-- tapi apa itu sepanjang tahun?
Natal tanpa dijaga polisi, bukan saja untuk menghindari kesan umat Kristiani punya musuh besar di Nusantara ini, tetapi memang kita ingin Indonesia yang damai -- seperti dulu.
(Artikel ini diambil dari Koran Tempo Minggu 27 Desember 2009)
Damai itu indah. Spanduk itu terpampang di depan kantor Komando Distrik Militer. Di sebelahnya ada gardu jaga dan seorang prajurit bersenjata lengkap – entah ada pelurunya atau hampa—berdiri tegak dengan wajah garang.
Damai itu ada di dalam hati, kita ciptakan kedamaian dalam diri kita sebelum mengajak orang lain berdamai, apalagi menginginkan dunia yang damai. Kata menyejukkan ini terdengar di sela-sela lagu Kristiani pada sebuah misa Natal – entah di mana, karena saya mendengarnya lewat radio.
Ingin merasakan Indonesia yang damai seperti dulu, ritual kebaktian Natal tidak dijaga polisi. Tulisan ini ada di Facebook, diposting oleh seorang budayawan, yang – agak relevan disebut –seorang Muslim.
Tetapi, kenapa damai yang indah itu begitu mahal, kenapa ritual keagamaan harus dijaga polisi? Ini pertanyaan batin saya yang jawabannya melebar ke mana-mana.
Setelah Amrozi meledakkan bom pertama di Bali, Oktober 2002, ada ide agar persembahyangan umat Hindu di pura yang besar, dijaga oleh aparat keamanan. Ide ini datang dari aparat keamanan sendiri, tentu dengan niat baik untuk antisipasi. Namun, ide itu ditentang. Alasan yang masuk akal adalah berbagai analisa bahwa sasaran teroris di Indonesia sesungguhnya untuk menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Bukan perang terhadap orang Bali, apalagi memerangi umat Hindu.
Tapi, masyarakat Bali penganut Hindu punya alasan lain, yang boleh diperdebatkan apakah masuk akal atau kurang masuk akal. Yakni, mereka percaya Tuhan tidak tidur. Karena Tuhan tidak tidur, apalagi saat diberikan persembahan, tak mungkin Tuhan membiarkan ada bom meledak. Segala niat jahat yang mendomplengi ritual kedamaian itu pastilah “dicegah oleh Tuhan”.
Saya setuju persembahyangan jangan dijaga polisi, apalagi sampai memakai alat dedektor logam di pintu masuk pura. Kalau pun ada polisi yang bertugas, biarlah hanya mengurus lalu lintas di jalanan. Tapi, saya tak menggunakan alasan seperti tadi: sasaran teroris adalah Amerika atau Tuhan pasti mencegah karena Beliau tidak tidur. Alasan saya hanya satu: kalau itu sampai terjadi – sembahyang dijaga polisi – akan menjadi trauma berkepanjangan bahwa bumi ini sangat tidak damai. Rasa takut kita tumbuh, bahkan dipupuk dengan teror ketakutan tanpa akhir, sehingga jika pada suatu saat kita bersembahyang tidak melihat ada polisi yang menjaga, sembahyang kita menjadi tidak khusuk. Bagaimana menciptakan damai dalam diri kalau batin kita bertanya-tanya: ada bom apa tidak ya?
Seribu Banser Ansor siap mengamankan malam Natal. Puluhan ribu polisi siap menjaga gereja. Pecalang – aparat keamanan milik adat di Bali – juga diminta menjaga sejumlah gereja di Bali. Adakah ini menimbulkan rasa aman untuk mereka yang menjalankan ritual Natal? Saya tak tahu karena saya tidak merayakan Natal. Namun seorang sahabat Kristiani mengatakan, ia justru merasakan ini sebagai “menebar ketakutan”, seolah-olah misa Natal itu sesuatu yang sangat berbahaya. Yang lebih parah lagi seolah-olah ada sekelompok orang yang tidak merayakan Natal ingin mengacaukan misa Natal.
Pada akhirnya, perlu tidaknya penjagaan – tidak bisakah menjaga keamanan dengan diam-diam -- tentu umat Kristiani yang paling tahu jawabannya. Barangkali benar ada ketakutan, karena sejumlah gereja pernah dirusak -- menjelang atau sesudah Natal-- tapi apa itu sepanjang tahun?
Natal tanpa dijaga polisi, bukan saja untuk menghindari kesan umat Kristiani punya musuh besar di Nusantara ini, tetapi memang kita ingin Indonesia yang damai -- seperti dulu.
Rabu, 09 Desember 2009
Gemuruh Century
Oleh Putu Setia
(Tulisan diambil dari Acri Angin Koran Tempo Minggu 6 Desember 2009)
Mendadak saya dipanggil Romo Imam ke pedepokannya. Pasti penting. “Saya akan membentuk tim pemantau dan pengawas tim-tim yang memantau dan mengawasi kasus Bank Century. Nanak harus ikut,” kata Romo Imam, yang memanggil saya dengan sebutan Nanak. Itu artinya putra spiritual.
“Maaf, Romo bicaranya belepotan, ini tim apa,” tanya saya. Romo tertawa: “Nama tim itu tak salah. Sekarang kan dibentuk bermacam-macam tim, ada yang menyebut dirinya Tim Pengawas Angket Century, ada Koalisi Pengawal Angket Century, ada Tim Penelusuran Talangan Century, dan banyak lagi. Juga ada Tim 9 yang bertepuk dada sebagai inisiator angket Century. Nah, tim yang dibentuk Romo itu, memantau dan mengawasi tim-tim ini. Kalau namanya seperti belepotan, ya, sebut saja tim sebelas.”
“Kenapa tim sebelas?” Tanya saya lagi. Romo menjawab: “Supaya lebih tinggi, kan sudah pernah ada Tim 8, lalu Tim 9. Tim 10 untuk cadangan, nah, Tim 11 tugasnya memantau semua tim yang nomornya lebih kecil.”
Dalam hati saya tertawa. “Romo, boleh tahu, kok kita ikut-ikutan ribut soal ini?” Romo menjelaskan dengan serius: “Ini untuk pembelajaran demokrasi dan mencerdaskan rakyat. Yang bikin runyam mengusut Bank Century itu adalah banyaknya pemantau partikelir yang punya agenda terselubung. Ada yang agendanya menjadikan panggung ini sebagai proyek mendongkrak peringkat kepolitisiannya. Mereka anak-anak muda yang tak mau dikatakan menjadi politisi mendompleng ketenaran ayahnya, dan kini membuktikan mereka bisa berkiprah. Ini bagus dan wajar. Lalu ada anak muda di luar parlemen yang kerjanya memang begitu melulu, apa-apa dipermasalahkan dengan aksi, siapa pun yang memimpin negeri ini. Mereka ini tak mau masuk jalur formal, misalnya, bergabung ke partai politik dengan alasan macam-macam, seperti partai itu tak sehat, nepotisme dan sebagainya. Sejatinya, mereka ini memang tak akan mampu meraup konstituen untuk bisa lolos jadi wakil rakyat. Jadi, bemimpilah tentang jalan pintas. Mereka mengira dengan mengerahkan massa sepuluh ribu sudah merasa mewakili aspirasi seluruh rakyat. Padahal untuk menjadi wakil rakyat di kabupaten saja sudah harus mendapat suara 30 ribuan.”
Saya diam, takut mengganggu Romo. “Yang unik, tokoh sepuh dan tokoh yang sudah jelas tak dikehendaki oleh rakyat untuk memimpin negeri ini, buktinya kalah pada pemilihan umum, masih juga bermimpi untuk tampil di panggung kekuasaan dengan cara-cara pintas. Dalam kasus Bank Century ini mereka mendesak supaya kasus itu diusut tuntas seolah-olah memberi kesan ada orang yang tak mau kasus ini diusut tuntas. Ini kan tak mendidik, wong presiden sudah lebih dulu bilang, usut secara terbuka dan tuntas.”
Saya terpaksa menyela, supaya Romo agak turun tensinya: “Maaf beribu maaf, Romo. Nampaknya Romo kurang setuju angket Century atau kasus ini dibuka atau….”
“Stop,” Romo berteriak. “Nanak selalu curiga, itulah bahayanya menonton acara debat ala televisi. Romo seribu persen setuju kasus Century dibuka. Tapi, jangan dengan gemuruh seperti ini, suaranya keras padahal belum bekerja. Parlemen silakan buat angket. Kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi, silakan bekerja. Jika ditemukan ada yang salah, proses secara hukum. Sekarang ini belum bekerja sudah memvonis, ini pembodohan untuk rakyat. Hentikan memanipulasi suara rakyat. Katakan ada sejuta orang ke jalan, itu kan baru nol koma lima persen penduduk Indonesia. Yang 99,5 persen itu ingin tenang bekerja, tapi korupsi tetap diberantas supaya mereka lebih sejahtra.”
***
(Tulisan diambil dari Acri Angin Koran Tempo Minggu 6 Desember 2009)
Mendadak saya dipanggil Romo Imam ke pedepokannya. Pasti penting. “Saya akan membentuk tim pemantau dan pengawas tim-tim yang memantau dan mengawasi kasus Bank Century. Nanak harus ikut,” kata Romo Imam, yang memanggil saya dengan sebutan Nanak. Itu artinya putra spiritual.
“Maaf, Romo bicaranya belepotan, ini tim apa,” tanya saya. Romo tertawa: “Nama tim itu tak salah. Sekarang kan dibentuk bermacam-macam tim, ada yang menyebut dirinya Tim Pengawas Angket Century, ada Koalisi Pengawal Angket Century, ada Tim Penelusuran Talangan Century, dan banyak lagi. Juga ada Tim 9 yang bertepuk dada sebagai inisiator angket Century. Nah, tim yang dibentuk Romo itu, memantau dan mengawasi tim-tim ini. Kalau namanya seperti belepotan, ya, sebut saja tim sebelas.”
“Kenapa tim sebelas?” Tanya saya lagi. Romo menjawab: “Supaya lebih tinggi, kan sudah pernah ada Tim 8, lalu Tim 9. Tim 10 untuk cadangan, nah, Tim 11 tugasnya memantau semua tim yang nomornya lebih kecil.”
Dalam hati saya tertawa. “Romo, boleh tahu, kok kita ikut-ikutan ribut soal ini?” Romo menjelaskan dengan serius: “Ini untuk pembelajaran demokrasi dan mencerdaskan rakyat. Yang bikin runyam mengusut Bank Century itu adalah banyaknya pemantau partikelir yang punya agenda terselubung. Ada yang agendanya menjadikan panggung ini sebagai proyek mendongkrak peringkat kepolitisiannya. Mereka anak-anak muda yang tak mau dikatakan menjadi politisi mendompleng ketenaran ayahnya, dan kini membuktikan mereka bisa berkiprah. Ini bagus dan wajar. Lalu ada anak muda di luar parlemen yang kerjanya memang begitu melulu, apa-apa dipermasalahkan dengan aksi, siapa pun yang memimpin negeri ini. Mereka ini tak mau masuk jalur formal, misalnya, bergabung ke partai politik dengan alasan macam-macam, seperti partai itu tak sehat, nepotisme dan sebagainya. Sejatinya, mereka ini memang tak akan mampu meraup konstituen untuk bisa lolos jadi wakil rakyat. Jadi, bemimpilah tentang jalan pintas. Mereka mengira dengan mengerahkan massa sepuluh ribu sudah merasa mewakili aspirasi seluruh rakyat. Padahal untuk menjadi wakil rakyat di kabupaten saja sudah harus mendapat suara 30 ribuan.”
Saya diam, takut mengganggu Romo. “Yang unik, tokoh sepuh dan tokoh yang sudah jelas tak dikehendaki oleh rakyat untuk memimpin negeri ini, buktinya kalah pada pemilihan umum, masih juga bermimpi untuk tampil di panggung kekuasaan dengan cara-cara pintas. Dalam kasus Bank Century ini mereka mendesak supaya kasus itu diusut tuntas seolah-olah memberi kesan ada orang yang tak mau kasus ini diusut tuntas. Ini kan tak mendidik, wong presiden sudah lebih dulu bilang, usut secara terbuka dan tuntas.”
Saya terpaksa menyela, supaya Romo agak turun tensinya: “Maaf beribu maaf, Romo. Nampaknya Romo kurang setuju angket Century atau kasus ini dibuka atau….”
“Stop,” Romo berteriak. “Nanak selalu curiga, itulah bahayanya menonton acara debat ala televisi. Romo seribu persen setuju kasus Century dibuka. Tapi, jangan dengan gemuruh seperti ini, suaranya keras padahal belum bekerja. Parlemen silakan buat angket. Kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi, silakan bekerja. Jika ditemukan ada yang salah, proses secara hukum. Sekarang ini belum bekerja sudah memvonis, ini pembodohan untuk rakyat. Hentikan memanipulasi suara rakyat. Katakan ada sejuta orang ke jalan, itu kan baru nol koma lima persen penduduk Indonesia. Yang 99,5 persen itu ingin tenang bekerja, tapi korupsi tetap diberantas supaya mereka lebih sejahtra.”
***
Uang Kepeng, antara Simbol dan Nilai Ekonomi
Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Dua remaja Hindu berlainan etnis berdiskusi sambil bercanda di wantilan Pura Kepasekan, Karanganyar, Jawa Tengah. Yang satu dari Bali, tetapi mahasiswi UNS Solo. Teman berdebatnya dari Masaran, Sragen. Keduanya sama-sama membawa teman, tetapi teman-temannya tak banyak berkomentar.
“Kalau di Bali kamu bawa kuangen berisi uang logam lima ratusan begini, nggak bakalan diterima. Kuangen itu harus berisi uang kepeng, orang Bali menyebutnya pis bolong,” kata si cewek Bali sambil menunjuk kuangen yang dibawa lelaki di sebelahnya.
Pemuda Jawa itu tak mau kalah. “Itu kan bikin rumit, uang kepeng itu hanya laku ketika zaman Majapahit. Sekarang sudah langka, kenapa harus susah-susah mencari uang Majapahit hanya untuk bersembahyang?” jawab sang pemuda.
“Kalau nggak mau susah cari uang kepeng jangan bawa kuangen, pakai saja kembang,” sahut lagi si cewek.
“Memangnya uang kepeng harus ada? Memangnya uang kepeng itu simbol apa, ayo?” tanya sang pemuda. Si cewek diam sejenak, lalu balik bertanya: “Memangnya logam lima ratusan di kuangen-mu simbol apa?”
Sang pemuda Jawa langsung nyerocos. “Ini disebut unsur panca datu. Terbuat dari logam dan berbentuk bundar, lambang windu. Jadi bukan uang kepengnya yang penting, tetapi ada unsur logam yang bebentuk bundar itu.”
Satu nol, komentar teman-teman mereka. Soalnya, si cewek Bali mengaku tidak mengerti simbol apa uang kepeng yang ada di kuangen itu. Ia hanya menyebutkan, kebiasaan di Bali seperti itu, isi kuangen untuk bersembahyang adalah uang kepeng, bukan uang logam biasa. Saya tak tahu apa ada diskusi lanjutan, karena saya meninggalkan wantilan.
Di Pura Jagatnatha Denpasar kalau ada persembahyangan bulan Purnama, pedagang banten berderet-deret di jaba pura. Kalau kita membeli canangsari di sana, pedagang banten biasanya menanyakan: “Pakai kuangen dan dupa?” Kalau kita bilang, ya, pakai kuangen, cobalah periksa apakah ada uang kepeng atau uang logam di sana? Tidak ada. Jadi berkuranglah salah satu simbol yang ada pada sarana persembahyangan itu.
Simbol-simbol dalam urusan banten di Bali memang sangat rumit. Orang Hindu di luar Bali, seringkali menyebut hal ini sebagai suatu hambatan untuk menyesuaikan diri jika mengikuti ritual Hindu versi Bali. Anehnya, orang Bali sendiri tak pernah mempermasalahkan kerumitan itu meskipun mereka tak tahu juga apa arti simbol itu. Satu benda bisa berubah fungsi jika diletakkan dalam rangkaian yang lain. Telor yang ditaruh di daksina memberikan simbol yang berbeda dengan telor yang ada di rangkaian ketupat. Padahal telornya sama saja. Tapi, seberapa banyak yang tahu arti simbol-simbol itu?
Begitu pula uang kepeng atau pis bolong. Uang kepeng di kuangen dengan uang kepeng di canangsari berbeda maknanya, dan berbeda pula jika uang kepeng itu diikat dalam jumlah tertentu yang biasa disebut benang pipis (karena uang kepengnya diikat benang). Sangat berbeda pula artinya kalau uang kepeng itu dijadikan kalung atau gelang. Lalu ada uang kepeng yang dimasukkan keranjang kecil yang biasa disebut pis pocongan, dan maknanya pun beda. Padahal bendanya sama saja.
Seperti umumnya uang, uang kepeng punya arti sebagai sebuah nilai tukar yang dalam ilmu ekonomi disebut alat transaksi. Arti seperti itulah yang muncul ketika uang kepeng ditaruh di canang sari. Ia menjadi “sarin banten”, yang dipersembahkan secara tulus ikhlas oleh seseorang dan uang itu bisa diambil oleh “pemuput karya” atau oleh petugas upacara untuk dikumpulkan. Karena itu uang kepeng sebagai “sarin banten” sudah lazim diganti dengan uang logam atau uang kertas yang berlaku sebagai alat transaksi masa kini.
Uang kepeng di daksina, kuangen, atau saat ngereka jenazah dan pada beberapa banten khusus, tidak dicari maknanya dari nilai tukar sebagaimana lazimnya uang, tetapi dimaknai dari bentuknya yang bulat dan terbuat dari logam. Untuk membuat simbol adegan saat Pitra Yadnya misalnya, unsur mata disimbolkan dari uang kepeng. Karena itu uang kepeng tak bisa digantikan oleh uang kertas. Apakah bisa digantikan oleh uang logam masa kini? Menurut logika kalau kita bicara masalah simbol, saya cenderung sependapat, seperti yang dikatakan pemuda Hindu dari Sragen yang saya kutip di awal tulisan ini. Karena unsur yang dicari sebagai simbol itu adalah bulat dan logamnya. Masalahnya adalah apakah uang logam buatan Bank Indonesia itu memenuhi unsur-unsur panca datu. Saya kurang sependapat kalau dibuat uang kepeng palsu dari tanah liat, karena jelas ini bukan dari unsur logam.
Sekarang, sudah ada umat kita yang memproduksi uang kepeng untuk memenuhi keperluan ritual umat Hindu di Bali. Ada yang betul-betul memenuhi unsur logam panca datu, namun yang beredar di masyarakat banyak yang tidak memenuhi unsur itu. Tentu saja harganya berbeda. Di kalangan pedagang ini disebut pis bolong asli dan pis bolong palsu, padahal sejatinya kalau mengacu kepada uang kepeng di masa lalu, keduanya juga palsu.
Yang dipertanyakan saat ini, meski uang kepeng itu diproduksi baru dan nyata-nyata untuk keperluan ritual Hindu versi Bali, kenapa masih memakai ornamen huruf Cina? Seharusnya ini diganti, kalau pun menggunakan huruf mungkin aksara suci Omkara bisa dipertimbangkan. Namun yang jelas umat harus benar-benar tahu, mana uang kepeng yang berfungsi sebagai simbol dan mana uang kepeng yang berfungsi sebagai nilai tukar ekonomi dalam sebuah banten. Maklumlah, leluhur kita di masa lalu begitu praktisnya memakai uang yang berlaku saat itu untuk kedua-duanya, karena memang saat itu belum ada uang kertas. Kini ketika uang kertas sudah umum, maka sesari tentu lebih tepat memakai uang kertas, karena sesari diambil oleh pemangku dan pemangku tak bisa berbelanja memakai uang kepeng. ***
Dua remaja Hindu berlainan etnis berdiskusi sambil bercanda di wantilan Pura Kepasekan, Karanganyar, Jawa Tengah. Yang satu dari Bali, tetapi mahasiswi UNS Solo. Teman berdebatnya dari Masaran, Sragen. Keduanya sama-sama membawa teman, tetapi teman-temannya tak banyak berkomentar.
“Kalau di Bali kamu bawa kuangen berisi uang logam lima ratusan begini, nggak bakalan diterima. Kuangen itu harus berisi uang kepeng, orang Bali menyebutnya pis bolong,” kata si cewek Bali sambil menunjuk kuangen yang dibawa lelaki di sebelahnya.
Pemuda Jawa itu tak mau kalah. “Itu kan bikin rumit, uang kepeng itu hanya laku ketika zaman Majapahit. Sekarang sudah langka, kenapa harus susah-susah mencari uang Majapahit hanya untuk bersembahyang?” jawab sang pemuda.
“Kalau nggak mau susah cari uang kepeng jangan bawa kuangen, pakai saja kembang,” sahut lagi si cewek.
“Memangnya uang kepeng harus ada? Memangnya uang kepeng itu simbol apa, ayo?” tanya sang pemuda. Si cewek diam sejenak, lalu balik bertanya: “Memangnya logam lima ratusan di kuangen-mu simbol apa?”
Sang pemuda Jawa langsung nyerocos. “Ini disebut unsur panca datu. Terbuat dari logam dan berbentuk bundar, lambang windu. Jadi bukan uang kepengnya yang penting, tetapi ada unsur logam yang bebentuk bundar itu.”
Satu nol, komentar teman-teman mereka. Soalnya, si cewek Bali mengaku tidak mengerti simbol apa uang kepeng yang ada di kuangen itu. Ia hanya menyebutkan, kebiasaan di Bali seperti itu, isi kuangen untuk bersembahyang adalah uang kepeng, bukan uang logam biasa. Saya tak tahu apa ada diskusi lanjutan, karena saya meninggalkan wantilan.
Di Pura Jagatnatha Denpasar kalau ada persembahyangan bulan Purnama, pedagang banten berderet-deret di jaba pura. Kalau kita membeli canangsari di sana, pedagang banten biasanya menanyakan: “Pakai kuangen dan dupa?” Kalau kita bilang, ya, pakai kuangen, cobalah periksa apakah ada uang kepeng atau uang logam di sana? Tidak ada. Jadi berkuranglah salah satu simbol yang ada pada sarana persembahyangan itu.
Simbol-simbol dalam urusan banten di Bali memang sangat rumit. Orang Hindu di luar Bali, seringkali menyebut hal ini sebagai suatu hambatan untuk menyesuaikan diri jika mengikuti ritual Hindu versi Bali. Anehnya, orang Bali sendiri tak pernah mempermasalahkan kerumitan itu meskipun mereka tak tahu juga apa arti simbol itu. Satu benda bisa berubah fungsi jika diletakkan dalam rangkaian yang lain. Telor yang ditaruh di daksina memberikan simbol yang berbeda dengan telor yang ada di rangkaian ketupat. Padahal telornya sama saja. Tapi, seberapa banyak yang tahu arti simbol-simbol itu?
Begitu pula uang kepeng atau pis bolong. Uang kepeng di kuangen dengan uang kepeng di canangsari berbeda maknanya, dan berbeda pula jika uang kepeng itu diikat dalam jumlah tertentu yang biasa disebut benang pipis (karena uang kepengnya diikat benang). Sangat berbeda pula artinya kalau uang kepeng itu dijadikan kalung atau gelang. Lalu ada uang kepeng yang dimasukkan keranjang kecil yang biasa disebut pis pocongan, dan maknanya pun beda. Padahal bendanya sama saja.
Seperti umumnya uang, uang kepeng punya arti sebagai sebuah nilai tukar yang dalam ilmu ekonomi disebut alat transaksi. Arti seperti itulah yang muncul ketika uang kepeng ditaruh di canang sari. Ia menjadi “sarin banten”, yang dipersembahkan secara tulus ikhlas oleh seseorang dan uang itu bisa diambil oleh “pemuput karya” atau oleh petugas upacara untuk dikumpulkan. Karena itu uang kepeng sebagai “sarin banten” sudah lazim diganti dengan uang logam atau uang kertas yang berlaku sebagai alat transaksi masa kini.
Uang kepeng di daksina, kuangen, atau saat ngereka jenazah dan pada beberapa banten khusus, tidak dicari maknanya dari nilai tukar sebagaimana lazimnya uang, tetapi dimaknai dari bentuknya yang bulat dan terbuat dari logam. Untuk membuat simbol adegan saat Pitra Yadnya misalnya, unsur mata disimbolkan dari uang kepeng. Karena itu uang kepeng tak bisa digantikan oleh uang kertas. Apakah bisa digantikan oleh uang logam masa kini? Menurut logika kalau kita bicara masalah simbol, saya cenderung sependapat, seperti yang dikatakan pemuda Hindu dari Sragen yang saya kutip di awal tulisan ini. Karena unsur yang dicari sebagai simbol itu adalah bulat dan logamnya. Masalahnya adalah apakah uang logam buatan Bank Indonesia itu memenuhi unsur-unsur panca datu. Saya kurang sependapat kalau dibuat uang kepeng palsu dari tanah liat, karena jelas ini bukan dari unsur logam.
Sekarang, sudah ada umat kita yang memproduksi uang kepeng untuk memenuhi keperluan ritual umat Hindu di Bali. Ada yang betul-betul memenuhi unsur logam panca datu, namun yang beredar di masyarakat banyak yang tidak memenuhi unsur itu. Tentu saja harganya berbeda. Di kalangan pedagang ini disebut pis bolong asli dan pis bolong palsu, padahal sejatinya kalau mengacu kepada uang kepeng di masa lalu, keduanya juga palsu.
Yang dipertanyakan saat ini, meski uang kepeng itu diproduksi baru dan nyata-nyata untuk keperluan ritual Hindu versi Bali, kenapa masih memakai ornamen huruf Cina? Seharusnya ini diganti, kalau pun menggunakan huruf mungkin aksara suci Omkara bisa dipertimbangkan. Namun yang jelas umat harus benar-benar tahu, mana uang kepeng yang berfungsi sebagai simbol dan mana uang kepeng yang berfungsi sebagai nilai tukar ekonomi dalam sebuah banten. Maklumlah, leluhur kita di masa lalu begitu praktisnya memakai uang yang berlaku saat itu untuk kedua-duanya, karena memang saat itu belum ada uang kertas. Kini ketika uang kertas sudah umum, maka sesari tentu lebih tepat memakai uang kertas, karena sesari diambil oleh pemangku dan pemangku tak bisa berbelanja memakai uang kepeng. ***
Senin, 30 November 2009
Kasta di Bali: Kesalah-pahaman yang Sudah Sirna
Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Ketika Mayor Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali, ada elite politik di Jakarta yang tak yakin dengan kemenangannya. Alasannya ternyata sangat aneh. Dia mengatakan, pemimpin di Bali harus dari orang yang berkasta tinggi. Kalau kastanya rendah seperti Sudra tak akan bisa terpilih sebagai Gubernur Bali. Lantas dia menyebut nama gubernur-gubernur Bali sebelumnya, seperti Dewa Beratha, Ida Bagus Oka, Ida Bagus Mantra. Made Mangku Pastika dianggap berkasta Sudra.
Pernyataan ini membuktikan bahwa masalah kasta di Bali masih membingungkan banyak orang dan masalah kasta masih dikait-kaitkan dengan berbagai macam pekerjaan. Di Bali sendiri masalah kasta sudah tidak relevan lagi dibicarakan, dan boleh disebutkan sudah tidak lagi menjadi “kesalah-pahaman”. Mungkin hanya masih berlaku di pedesaan dan itu pun pada kalangan tua. Generasi muda Bali sudah lama meninggalkan kasta. Dengan demikian menjadi aneh terdengar justru di luar Bali orang masih membicarakan kasta dengan segala embel-embelnya seperti di masa lalu.
Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.
Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.
Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.
Di Bali juga unik. Ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Catur Warna itu terdiri dari Brahmana, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan. Kesatria, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf-stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya. Wesya, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang dan sebagainya. Kemudian Sudra, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga.
Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atai Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.
Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.
Kekacauan ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria. Orang seperti I Made Mangku Pastika yang tak punya “nama gelar” tak akan bisa menjadi pemimpin karena kastanya hanya Sudra. Kenyataan saat ini tentu sudah beda. Saya sendiri yang saat walaka (sebelum menjadi pendeta) bukan bernama awal Ida Bagus, toh nyatanya bisa menjadi pendeta atau Brahmana saat ini.
Demikianlah kesalah-pahaman itu, akhirnya dikoreksi terus menerus setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) berdiri pada 1959. Jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan perkawinan “antar-kasta” yang merugikan “Kasta” bawah seperti Sudra. Kesulitan yang dihadapi dalam menghapus Kasta di Bali itu tentu karena masalah ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan berganti abad. Namun yang menyebabkan kesalah-pahaman itu bisa dijernihkan adalah adanya toleransi dan merupakan kesepakatan yang tak perlu ditulis, yakni masyarakat akhirnya memperlakukan nama-nama depan yang dulu merupakan gelar pemberian penjajah tetap bisa dipakai sebagai nama keturunan. Tetapi tidak ada kaitan dengan fungsi sosial, juga tak ada kaitan dengan ajaran Catur Warna. Artinya, siapa pun berhak menjadi Brahmana (rohaniawan atau pendeta), tidak harus dari keluarga Ida Bagus. Siapa pun berhak menjadi pemimpin (misalnya Bupati atau Gubernur), tak harus dari yang bergelar Kesatria versi kasta masa lalu.
Era modernisasi ikut mengubur perjalanan kasta di Bali. Banyak orang yang tidak memakai nama depan yang “berbau kasta”, dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan upacara di lingkungan keluarga saja. Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah kebarat-baratan atau ke india-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu disebut berkasta Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang berkasta di atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak lagi berkaitan dengan “kasta” yang feodal itu.
I Made Mangku Pastika pun bisa menjadi Gubernur Bali, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Sudra. Wakil Gubernur adalah Anak Agung Puspayoga, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Kesatria. Staf di kantor gubernuran banyak yang bernama depan Ida Bagus, yang jika dikaitkan dengan kasta masa lalu adalah Brahmana. Kalau saja kasta versi masa lalu masih dianggap eksis, tentu aneh Gubernur Bali orang Sudra, wakil dan stafnya orang Kesatria bahkan Brahmana. Ini tentu tak masuk logika, karena itu logikanya memang sudah tak benar.
Terbuktilah kini, bahwa kasta masa lalu itu sudah terkubur. Yang tetap berlaku adalah ajaran Catur Warna, orang diberi kebebasan untuk menjadi Brahmana, Kesatria, Wesyaa maupun Sudra, asalkan mampu.
Ketika Mayor Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali, ada elite politik di Jakarta yang tak yakin dengan kemenangannya. Alasannya ternyata sangat aneh. Dia mengatakan, pemimpin di Bali harus dari orang yang berkasta tinggi. Kalau kastanya rendah seperti Sudra tak akan bisa terpilih sebagai Gubernur Bali. Lantas dia menyebut nama gubernur-gubernur Bali sebelumnya, seperti Dewa Beratha, Ida Bagus Oka, Ida Bagus Mantra. Made Mangku Pastika dianggap berkasta Sudra.
Pernyataan ini membuktikan bahwa masalah kasta di Bali masih membingungkan banyak orang dan masalah kasta masih dikait-kaitkan dengan berbagai macam pekerjaan. Di Bali sendiri masalah kasta sudah tidak relevan lagi dibicarakan, dan boleh disebutkan sudah tidak lagi menjadi “kesalah-pahaman”. Mungkin hanya masih berlaku di pedesaan dan itu pun pada kalangan tua. Generasi muda Bali sudah lama meninggalkan kasta. Dengan demikian menjadi aneh terdengar justru di luar Bali orang masih membicarakan kasta dengan segala embel-embelnya seperti di masa lalu.
Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.
Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.
Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.
Di Bali juga unik. Ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Catur Warna itu terdiri dari Brahmana, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan. Kesatria, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf-stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya. Wesya, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang dan sebagainya. Kemudian Sudra, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga.
Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atai Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.
Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.
Kekacauan ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria. Orang seperti I Made Mangku Pastika yang tak punya “nama gelar” tak akan bisa menjadi pemimpin karena kastanya hanya Sudra. Kenyataan saat ini tentu sudah beda. Saya sendiri yang saat walaka (sebelum menjadi pendeta) bukan bernama awal Ida Bagus, toh nyatanya bisa menjadi pendeta atau Brahmana saat ini.
Demikianlah kesalah-pahaman itu, akhirnya dikoreksi terus menerus setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) berdiri pada 1959. Jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan perkawinan “antar-kasta” yang merugikan “Kasta” bawah seperti Sudra. Kesulitan yang dihadapi dalam menghapus Kasta di Bali itu tentu karena masalah ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan berganti abad. Namun yang menyebabkan kesalah-pahaman itu bisa dijernihkan adalah adanya toleransi dan merupakan kesepakatan yang tak perlu ditulis, yakni masyarakat akhirnya memperlakukan nama-nama depan yang dulu merupakan gelar pemberian penjajah tetap bisa dipakai sebagai nama keturunan. Tetapi tidak ada kaitan dengan fungsi sosial, juga tak ada kaitan dengan ajaran Catur Warna. Artinya, siapa pun berhak menjadi Brahmana (rohaniawan atau pendeta), tidak harus dari keluarga Ida Bagus. Siapa pun berhak menjadi pemimpin (misalnya Bupati atau Gubernur), tak harus dari yang bergelar Kesatria versi kasta masa lalu.
Era modernisasi ikut mengubur perjalanan kasta di Bali. Banyak orang yang tidak memakai nama depan yang “berbau kasta”, dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan upacara di lingkungan keluarga saja. Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah kebarat-baratan atau ke india-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu disebut berkasta Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang berkasta di atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak lagi berkaitan dengan “kasta” yang feodal itu.
I Made Mangku Pastika pun bisa menjadi Gubernur Bali, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Sudra. Wakil Gubernur adalah Anak Agung Puspayoga, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Kesatria. Staf di kantor gubernuran banyak yang bernama depan Ida Bagus, yang jika dikaitkan dengan kasta masa lalu adalah Brahmana. Kalau saja kasta versi masa lalu masih dianggap eksis, tentu aneh Gubernur Bali orang Sudra, wakil dan stafnya orang Kesatria bahkan Brahmana. Ini tentu tak masuk logika, karena itu logikanya memang sudah tak benar.
Terbuktilah kini, bahwa kasta masa lalu itu sudah terkubur. Yang tetap berlaku adalah ajaran Catur Warna, orang diberi kebebasan untuk menjadi Brahmana, Kesatria, Wesyaa maupun Sudra, asalkan mampu.
Tancep Kayon
Oleh Putu Setia
(Tulisan ini diambil dari Koran Tempo Minggu 29 November 2009)
Bagi yang gemar menonton pertunjukan wayang kulit, ada istilah tancep kayon. Arti sebenarnya adalah menancapkan kayon, yaitu wayang yang merupakan simbol gunungan. Makna simbolisnya adalah perpindahan adegan, misalnya, dari kisah para kesatria Pandawa menjadi kisah para Kurawa. Tapi, tancep kayon juga bisa bermakna pertunjukan selesai. Penonton pulang dengan kesannya masing-masing.
Karena wayang adalah gambaran “bhuwana alit” atau dunia yang kecil, maka dalam “bhuwana agung” atau kisah keseharian umat manusia, begitu banyak ada kisah yang silih berganti. Tapi intinya tetap perang antara kebenaran dan ketidak-benaran. Lakon KPK versus Polisi dan Kejaksaan, hanya satu contoh. Tokohnya banyak, yang mendompleng ingin jadi tokoh juga banyak. Di satu sisi ada Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Di seberangnya ada Kapolri, Kabareskim, Jaksa Agung. Lalu di antara dua sisi itu ada Buyung Nasution dengan Tim 8, ada Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahmud MD dan masih banyak pendekar lainnya, baik yang terang-terangan memihak salah satu maupun sembunyi-sembunyi.
Tiba-tiba, tancep kayon, setidaknya diniatkan begitu. Lalu, siapa yang benar dan salah? Tak ada. Selain ini kecanggihan Ki Dalang, tradisi pergelaran memang demikian. Penonton dibiarkan “pulang” dengan pikiran mengambang, tergantung bagaimana dia melihat pertunjukan itu. Bibit dan Chandra boleh merasa menang karena perkara sudah pasti tak ke pengadilan. Polisi juga merasa menang, karena berhasil menyusun berkas penyidikan dan diserahkan ke institusi penuntutan, tanpa ada yang kurang. Kejaksaan juga menang, karena berhasil mendapatkan berkas penuntutan yang bukti-buktinya lengkap. Bahwa prosesnya tak ke pengadilan, kejaksaan tentu bisa berkata dengan sombong: “Bukti cukup dan lengkap, tapi ada arahan agar kami tak meneruskan ke pengadilan. Bukan salah kami.”
Jadi, kasus KPK versus Polisi dan Jaksa – seperti pergelaran wayang kulit – berakhir di awang-awang. Penonton yang kritis – karena itu jarang ada orang kritis nonton wayang kulit – yang ingin ada kemenangan dan kekalahan mutlak, akan kecewa berat. Kayon sudah ditancapkan.
Tapi pertunjukan dengan kisah yang lain, pasti akan menyusul, karena begitulah dunia wayang. Sebentar lagi akan muncul lakon Bank Century. Jika lakon KPK versus Polisi dan Jaksa menguras energi penonton tiga bulan – kita hitung dari dipanggilnya pimpinan KPK oleh polisi– kasus Bank Century bisa lebih lama. Tokohnya orang terkenal, Boediono yang kini wakil presiden dan Sri Mulyani yang Menteri Keuangan. Di seberang ada Panitia Angket DPR, orang-orang yang sedang mencari panggung. Di tengah-tengah --memihak ataupun mengaku netral-- ada Badan Pemeriksa Keuangan, pengamat perbankan, pemilik dan nasabah bank, dan masih banyak lagi. Ini jadi pertunjukan menarik karena pasti penuh dengan dinamika – kata sederhananya: serang-menyerang. Tak mustahil, dengan alasan demi ketertiban masyarakat, kasusnya akan ditutup dengan gaya pergelaran wayang kulit, tancep kayon.
Orang yang tak suka wayang kulit, sulit sekali menerima kenyataan, kenapa tontonan itu harus dipelototi semalam suntuk, begitu lamban. Persis dengan lakon di dunia nyata, penyelesaiannya amat lamban. Kita kehilangan banyak waktu. Kalau satu kasus diselesaikan tiga bulan – dengan hasil tak jelas pula – dalam 60 bulan pemerintah hanya mengurusi 20 kasus.
Kemana kita harus berguru masalah ketegasan, kecepatan, dan kepastian? Kita punya banyak teater tradisional, tak cuma gaya pergelaran wayang kulit.
(Tulisan ini diambil dari Koran Tempo Minggu 29 November 2009)
Bagi yang gemar menonton pertunjukan wayang kulit, ada istilah tancep kayon. Arti sebenarnya adalah menancapkan kayon, yaitu wayang yang merupakan simbol gunungan. Makna simbolisnya adalah perpindahan adegan, misalnya, dari kisah para kesatria Pandawa menjadi kisah para Kurawa. Tapi, tancep kayon juga bisa bermakna pertunjukan selesai. Penonton pulang dengan kesannya masing-masing.
Karena wayang adalah gambaran “bhuwana alit” atau dunia yang kecil, maka dalam “bhuwana agung” atau kisah keseharian umat manusia, begitu banyak ada kisah yang silih berganti. Tapi intinya tetap perang antara kebenaran dan ketidak-benaran. Lakon KPK versus Polisi dan Kejaksaan, hanya satu contoh. Tokohnya banyak, yang mendompleng ingin jadi tokoh juga banyak. Di satu sisi ada Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Di seberangnya ada Kapolri, Kabareskim, Jaksa Agung. Lalu di antara dua sisi itu ada Buyung Nasution dengan Tim 8, ada Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahmud MD dan masih banyak pendekar lainnya, baik yang terang-terangan memihak salah satu maupun sembunyi-sembunyi.
Tiba-tiba, tancep kayon, setidaknya diniatkan begitu. Lalu, siapa yang benar dan salah? Tak ada. Selain ini kecanggihan Ki Dalang, tradisi pergelaran memang demikian. Penonton dibiarkan “pulang” dengan pikiran mengambang, tergantung bagaimana dia melihat pertunjukan itu. Bibit dan Chandra boleh merasa menang karena perkara sudah pasti tak ke pengadilan. Polisi juga merasa menang, karena berhasil menyusun berkas penyidikan dan diserahkan ke institusi penuntutan, tanpa ada yang kurang. Kejaksaan juga menang, karena berhasil mendapatkan berkas penuntutan yang bukti-buktinya lengkap. Bahwa prosesnya tak ke pengadilan, kejaksaan tentu bisa berkata dengan sombong: “Bukti cukup dan lengkap, tapi ada arahan agar kami tak meneruskan ke pengadilan. Bukan salah kami.”
Jadi, kasus KPK versus Polisi dan Jaksa – seperti pergelaran wayang kulit – berakhir di awang-awang. Penonton yang kritis – karena itu jarang ada orang kritis nonton wayang kulit – yang ingin ada kemenangan dan kekalahan mutlak, akan kecewa berat. Kayon sudah ditancapkan.
Tapi pertunjukan dengan kisah yang lain, pasti akan menyusul, karena begitulah dunia wayang. Sebentar lagi akan muncul lakon Bank Century. Jika lakon KPK versus Polisi dan Jaksa menguras energi penonton tiga bulan – kita hitung dari dipanggilnya pimpinan KPK oleh polisi– kasus Bank Century bisa lebih lama. Tokohnya orang terkenal, Boediono yang kini wakil presiden dan Sri Mulyani yang Menteri Keuangan. Di seberang ada Panitia Angket DPR, orang-orang yang sedang mencari panggung. Di tengah-tengah --memihak ataupun mengaku netral-- ada Badan Pemeriksa Keuangan, pengamat perbankan, pemilik dan nasabah bank, dan masih banyak lagi. Ini jadi pertunjukan menarik karena pasti penuh dengan dinamika – kata sederhananya: serang-menyerang. Tak mustahil, dengan alasan demi ketertiban masyarakat, kasusnya akan ditutup dengan gaya pergelaran wayang kulit, tancep kayon.
Orang yang tak suka wayang kulit, sulit sekali menerima kenyataan, kenapa tontonan itu harus dipelototi semalam suntuk, begitu lamban. Persis dengan lakon di dunia nyata, penyelesaiannya amat lamban. Kita kehilangan banyak waktu. Kalau satu kasus diselesaikan tiga bulan – dengan hasil tak jelas pula – dalam 60 bulan pemerintah hanya mengurusi 20 kasus.
Kemana kita harus berguru masalah ketegasan, kecepatan, dan kepastian? Kita punya banyak teater tradisional, tak cuma gaya pergelaran wayang kulit.
Langganan:
Postingan (Atom)