Mpu Jaya Prema
RIBUT-ribut soal kebijakan zonasi untuk pendaftaran peserta didik baru
(PPDB) terjadi di berbagai daerah. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
mengeluarkan peraturan menteri yang mewajibkan siswa harus masuk ke sekolah
yang terdekat dengan domisili orangtuanya. Faktor jarak yang menentukan di mana
anak-anak itu harus bersekolah. Dengan demikian seorang anak didik baru tak
bisa memilih sendiri di mana dia bersekolah. Sebelum ini umumnya sekolah
favorit yang diincar seorang siswa baru, meski pun itu jaraknya jauh dari
rumah.
Kebijakan PPDB ini sesungguhnya baik. Dengan demikian tidak ada sekolah
favorit dan sekolah tidak bermutu karena nantinya diharapkan semua sekolah itu
mutunya sama, kegiatan dan sistem belajarnya pun sama. Lalu dengan bersekolah
di lingkungan terdekat lalu lintas orang dalam kaitan ke sekolah menjadi
berkurang. Anak-anak pun menjadi lebih kenal dengan temannya yang tinggal di
kawasan yang sama. Intinya ada pemerataan.
Begitulah teori di belakang meja yang ada di kementrian. Kenyataannya di
beberapa daerah mutu sekolah itu amat jomplang. Ada sekolah yang mutunya bagus
dan suasana belajarnya pun bagus pula. Bahwa uang sekolahnya mahal karena ada
pungutan yang dikenakan secara khusus, itu tak menjadi persoalan. Sekolah
swasta pun sama, ada yang mutunya bagus dan ada yang seadanya saja. Sekarang
banyak yang kelimpungan karena pilihan di mana seseorang bersekolah harus
berdasarkan jarak. Memang ada prioritas lain, seperti nilai prestasi tetapi persentasinya
kecil.
Di luar Bali, di mana pesantren menjadi alternatif untuk menuntut ilmu, tak
begitu terasa soal PPDB ini. Sekolah-sekolah yang disebut madrasah itu berada
di bawah kementrian lain, yakni Kementrian Agama sehingga luput dari peraturan Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak perlu direpotkan oleh sistem zonasi.
Di Bali amat terasa karena sekolah swasta yang berada di bawah Kementrian
Agama boleh disebutkan belum muncul. Padahal pendirian sekolah itu sudah ada
aturannya dengan nama pasraman, diambilkan dari cara-cara pengajaran
tradisional masa lalu. Secara resmi
pendidikan dalam wadah pasraman itu diberikan tempat dalam undang-undang. Lewat
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasraman disejajarkan
dengan pendidikan madrasah yang ada di pesantren-pesantren. Bahkan dalam bahasa
keseharian disebutkan bahwa pasraman itu adalah “pesantren umat Hindu” atau
oleh beberapa umat Hindu di balik bahwa pesantren itu adalah “pasraman umat
Islam”. Namun syarat-syarat pendirian pasraman formal itu sangat berat:
dinaungi organisasi yang berbadan hukum, punya gedung sendiri, kurikulum jelas,
tenaga pengajar yang cukup, dan berbagai syarat yang hampir sama dengan sekolah
swasta lainnya. Bahkan pasraman dalam kaitan dengan undang-undang ini tak lain
dari sekolah swasta yang bernapaskan Hindu.
Karena itu meski sudah dikukuhkan beberapa tahun lalu, nampaknya umat Hindu
kurang berminat membuat pasraman yang sesuai aturan pemerintah itu. Perlu biaya
besar. Yang ada sekarang ini adalah pasraman tradisional yang hanya mengajarkan
masalah agama Hindu dan ditambah dengan budaya B\ali. Pasraman tradisional ini
tak punya pendidikan berjenjang yang sesuai dengan sistem pendidikan
nasional sebagaimana sekolah-sekolah
yang berada di pesantren.
Pemda Bali pernah menggerakkan adanya pasraman desa adat yang biayanya
dibantu oleh pemerintah daerah. Yang diajarkan dalam pasraman adat ini lebih
banyak masalah budaya Bali yang sesungguhnya hanyalah tambahan pengetahuan bagi
siswa-siswa yang sudah mengikuti pendidikan di sekolah formal. Bantuan Pemda
Bali dikaitkan dengan dana bantuan yang diterima desa adat.
Jika memang sulit membuat pasraman formal sesuai undang-undang, bisakah
pasraman tradisional atau pasraman nonformal ini dihidupkan kembali? Tujuannya
diperluas, tidak lagi hanya mengajarkan masalah agama dan budaya, tetapi juga
pengetahuan umum. Sehingga anak-anak yang belajar di sekolah swasta atau
sekolah negeri yang mutunya “masih diragukan” mendapatkan tambahan dengan
belajar di pasraman nonformal ini. Kalau ini bisa dilakukan dan tentu biayanya
masih bisa diperoleh dari Pemda Bali, tentu bisa mengisi kekurangan dari
sekolah-sekolah yang dianggap “kurang mutu” itu.
Dengan demikian kita kembali kepada sistem pendidikan pasraman di masa lalu
yakni mendidik manusia seutuhnya dengan berbagai ilmu, tak cuma belajar agama.
Dalam perjalanan kemudian, ada yang hilang dari konsep pasraman ini, yakni unsur
pendidikan di luar agama dan budaya. Urusan pendidikan itu diserahkan sepenuhnya ke pemerintah atau dalam istilah kerennya
pendidikan formal.
Memang sebaiknya mendirikan pasraman formal yang diakui undang-undang
seperti madrasah di pesantren-pesantren. Pada saat ingin menguatkan budaya dan
adat Bali lewat program Nangun Sadkertih
Loka Bali, seharusnya ada yang berpikir untuk membuat pasraman formal
sesuai undang-undang. Jika itu ada orang tua murid punya pilihan ke mana
memasukkan anaknya karena keterbatasan sistem zonasi ini. Tetapi sekali lagi
ini hanyalah alternatif yang kesekian dari kisruh PPDB sekarang. Cara lain
tentu pemerintah fokus pada pemerataan mutu sekolah dan membantu sekolah swasta
yang kehidupannya masih merana. Karena sistem zonasi ini idenya bagus tentu
harus dilanjutkan, asalkan penerapannya tidak kaku. Biarkan pemerintah daerah
ikut campur karena pengelolaan infrastruktur pendidikan dasar itu ada di
daerah, bukan di pusat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar