Putu Setia @mpujayaprema|
Busana daerah
atau juga disebut pakaian adat, semakin populer. Yang berjasa mempopulerkan
adalah Presiden Joko Widodo. Beliau membawa busana daerah ke acara resmi 17
Agustusan di Istana Merdeka. Bahkan yang berbusana terbaik diberi hadiah
sepeda, seolah-olah pakaian adat yang beragam itu bisa dipertandingkan mana
lebih bagus.
Jokowi pun memakai
busana adat dalam lawatannya ke luar negeri. Dengan pakaian kebesaran raja-raja
di kawasan Klungkung, Bali, Jokowi berkunjung ke Kerajaan Malaysia, memeriksa barisan tentara kerajaan. Mengagumkan,
padahal di Bali sendiri baju kebesaran masa lalu itu, kini hanya dijadikan baju
penganten. Maklum tak ada lagi raja.
Para Gubernur tak
mau kalah mengikuti jejak presidennya. Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan peraturan
tentang “hari berbusana adat”, September tahun lalu. Seluruh karyawan, baik swasta mau pun aparatur
sipil negara (ASN), pelajar dan masyarakat umum, wajib berpakaian adat setiap hari
Kamis. Perkecualian hanya untuk petugas yang sulit bekerja dengan pakaian adat
seperti petugas pemadam kebakaran.
Provinsi Jawa
Tengah mengikuti Bali. Mulai awal Agustus yang lalu, Gubernur Ganjar Pranowo
juga mengeluarkan edaran untuk berbusana adat, namun khusus untuk ASN. Hari
berbusana adat itu juga pada setiap Kamis.
Yang menarik
kementrian pun ikut mewajibkan ASN berpakaian adat. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meminta ASN berpakaian adat setiap Selasa, mulai pekan ini. Tak ada yang
keberatan malah karyawan wanita menyebut dirinya lebih anggun dari biasanya.
Seirama dengan itu
muncul gerakan mengenakan kebaya. Tentu untuk para wanita karena gerakan ini
bukan lucu-lucuan. Bahkan sudah berdiri Komunitas
Perempuan Berkebaya Indonesia yang diketuai Rahmi Hidayati. Dalam diskusi
bertajuk Indonesia Berkebaya, Rahmi bahkan punya ide dengan menggagas Hari
Berkebaya Nasional. Luar biasa.
Kebaya memang bukan busana
daerah tertentu. Kebaya sudah milik Nusantara atau bahkan sudah mendunia. Apa
bedanya kebaya Sunda dengan kebaya Jawa atau kebaya Bali? Para pramugari Nusantara
sudah mengenakannya sejak lama, juga oleh pramugari Malaysia dan Singapura.
Meski demikian kebaya rancangan desainer kondang Anne Avantie tetap menggegerkan
jagat kebaya karena mengkombinasikan sulaman, brokat dan batik. Kebaya “Ibu
Pertiwi” ini dipakai pramugari Garuda.
Busana mencerminkan budaya. Hampir seluruh negara punya
budaya khas dalam berbusana yang dilindungi undang-undang dan wajib digunakan
dalam hal tertentu. Jadi gerakan berbusana daerah memang perlu.
Tak usah ada perlawanan, apakah lantaran tak suka melihat
keanggunan perempuan mau pun alasan agama. Toh musuh busana adat ini sudah ada,
yakni helm. Apa hubungannya?
Begini kisahnya. Busana adat bukan sekadar pakaian yang
melekat di badan, tetapi juga hiasan yang ada di kepala. Bisa cuma menyanggul
rambut atau ada pernak pernik semacam mahkota di kepala. Lalu, jika berpakaian
adat sambil naik motor, bagaimana memasang helm?
Pekan lalu dimulai Operasi Patuh Jaya dan polisi tak lagi
memberi dispensasi untuk pengendara motor yang tak menggunakan helm. Puluhan
orang di Bali kena tilang karena melaksanakan kewajiban memakai busana adat.
Seorang senator mendatangi markas polisi minta dispensasi tanpa helm saat
berbusana adat. Khusus di perkotaan yang jarak tempuhnya pendek dan macet pula.
Polisi tak mengizinkan karena sanggul tak melindungi kepala jika ada kecelakaan.
Apa perlu di setiap kantor, sekolah, dan pura ada kamar ganti untuk memakai
sanggul? Ealah...
(Cari Angin Koran Tempo 7 September 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar